Skip to Content

I'm Coming Back

Foto Asep Saeful Azhar

 






 

 

I’m Coming Back

Oleh: Asep Saeful Azhar

 

Tepat pukul 21.15 di malam Ahad, aku tiba di Masjid Al-Hijrah, masjid tempat di mana aku tumbuh; di saat usiaku masih kecil dibawa oleh bapa untuk belajar sholat berjamaah, belajar mengaji oleh kakak-kakak remaja untuk belajar membaca Alif, Ba, Ta. Belajar tahsin Al-Quran oleh Ibu, tempat berkumpul dan bermain bersama kawan-kawan, istilah dalam bahasa Sunda-nya itu ­motah. Tempat bercerita kisah-kisah misteri yang menyeramkan. Tempat menangis karena di­heureuyan oleh kawan-kawan yang usianya lebih dewasa dariku. Ya, tergambar sudah masa-masa kecil dulu. Kini aku kembali; I’m Coming Back!

Saat usiaku remaja, secara kultur estafeta mengajar mengaji anak-anak kecil di bawah asuhan dan pengajaran kakak-kakak remaja. Aku pun sama mengajarkan ngaji bersama kawan-kawan sebaya yang dahulu saat kecilnya mengaji di sini. Hingga di usia 14 tahun, aku di amanahi menjadi Ketua Remaja Masjid Al-Hijrah selama satu tahun. Agenda rutinannya adalah  kajian satu kali dalam seminggu yang bertujuan untuk memakmurkan masjid, mempererat tali silaturahim para remaja sekampung, acara rapat-rapat, dan kegiatan tahunannya adalah tabligh akbar serta kuliah subuh di bulan ramadhan.

Sesaat tiba di pinggir masjid, sepeda motor kusisikan. Kulihat warna hijau masih membaluti dinding-dinding masjid luar. Dahulu masjid Al-hijrah banguannya masih kecil, mungkin secaa berdesakkan  20 sampai 25 orang masuk di dalamnya dan atapnya masih depek. Kini bangunanya sudah hampir menampung 50 sampai dengan 60 orang lebih setelah pada tahun 2005 atau 2006 yang lalu  dibangun ulang agak melebar dan bahkan kini menjadi masjid yang dipakai juga untuk ibadah jumat.

Kugeser pagar masjid yang kini terbuat dari baja ringan, aku teringat pagarnya dahulu tebuat dari bambu, lalu ke tembok yang dipancangkan besi dan kini menjadi baja. Ya, Perubahan zaman mewakili rupa dan bentuk. Hingga tiba di depan pintu masjid yang kini mempunyai dua gagang  pintu, sebab dahulu masih satu pintu dari triplek. Kumasuki masjid Al-Hijrah yang beberapa waktu kutinggalkan. Kunyalakan lampu ruangan dalam yang bercahaya putih menyilaukan, bahkan sampai 4 lampu yang menyala. Kuceritakan lagi, dahulu lampunya hanya satu saja, berwarna kuning 10 watt dan itu cukup untuk mengaji anak-anak kecil sekampung. Aku masih teringat ketika listrik padam, lilin dan damar menjadi penerang anak-anak kecil mengaji.

Di samping kiri ada rak berundak,Iqra dan Al-Quran tergeletak tak beraturan, berdebu, dan kurang terawat. Di depan tempat shalat imam terdapat mimbar kayu yang desainnya sangat baru, berukir dan moden, tempat di mana para khatib menyuarakan syiar-syiar Islam. Aku kembali teringat mimbar triplek berwarna coklat yang kadang imam masjid pun berdesakkan ketika tahiyat akhir. Waktu itu masih sangat sempit. Kulihat ke atas, jam dingdingnya baru juga, tetapi yang jam dingding yang lama desainya retro disimpan di belakang di atas pintu masuk yang masih tetap sama seperti dahulu, walau pernah beberapa kali diganti pula sebab maling mengambilnya tanpa sepengetahuan. Ya, namanya juga maling. Dasar maling!

Aku pun duduk di atas sejadah karpet yang memanjang, memang dahulu karpet masjid itu berwarna hijau memanjang dari depan sampai belakang, lalu sejadahnya masih satu lebar- satu lembar berwarna-warni pula. Seperti aku bilang tadi: berubah rupa dan bentuk, itulah zaman.

Kini zaman berubah, era milenium, digital dan maya. Zaman telepon wartel,  sepucuk surat, lalu diganti era telephone gengam menjadi smart phone yang lumrah dan menjadi kebutuhan primer setiap warga kampung bahkan dunia. Zaman serba mudah, serba instan. Maka kukatakan kembali: berubah rupa dan berubah bentuk, mungkin manusianya pun sama sepertiku, berubah rupa berubah bentuk!

 

Menjelang subuh

Rancapait, 10 Oktober 2021

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler