Seminggu kutinggalkan kamar penuh warna dan kenangan hidup, menjadikan aku seperti anak kecil yang pulang ke pangkuan ibu. Tidak ada yang berubah. Tempat tidur hanya teraba dingin di telapak tangan. Tembok dan segala macam yang bergantungan juga tetap diam membisu. Suasana seperti ini sudah biasa. Apalagi di saat kamu sedang pergi meninggalkan aku sendiri didekap sepi.
Televisi tak lebih barang mati dengan layar hitam menyimpan misteri. Satu minggu dia ketinggalan berita dan gosip selebriti. Semoga dia tak lupa dengan iklan rokok yang masih setia terus mengancam untuk membunuhmu.
Lalu kubuka tirai jendela. Cahaya dari luar menyelinap, dan kamar menjadi cukup terang. Kulepas selot kunci daun jendela. Kudorong pelan. Jendela pun membuka. Kini angin segar menyentuh mesra seperti ingin menyapa, betapa cukup lama kita terpisah waktu tidak bercengkerama. Kuusap wajahku. Kuhirup dalam-dalam udara segar dan angin yang berembus dari luar agar penuhi paru-paruku.
Dari balik jendela, kutebar pandang keluar. Tidak juga berubah. Anak-anak masih semangat menggowes sepeda sambil berceloteh. Sepeda motor dan mobil masih berseliweran tanpa peduli anak-anak kucing yang tiba-tiba menyeberang. Dan mereka tidak pernah menampakkan penyesalan bila anak-anak kucing itu terlindas mati!
Waktu terus berputar. Hidup terus bergerak. Tak peduli ditinggal pergi sehari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan selamanya. Kamar ini juga akan tetap sama. Jendela ini juga tidak berubah, meskipun bingkai kayunya semakin hari semakin tua merapuh. Membuka dan menutup mengikuti kenangan yang terus sambung menyambung berujung rindu yang mendera kalbu.
Dari balik jendela, kembali kususun cerita yang tak pernah usang tentang pagi siang dan malam seperti dongeng-dongeng yang dulu sering diceritakan ibu.
Dari balik jendela, aku melihat segalanya. Segalanya yang lepas menjadi sepotong rindu
Komentar
Tulis komentar baru