Bila kita berbicara karya sastra. Kita harus sedari awal mencoba mengambil posisi pembaca dan penikmat karya yang baik dan tepat. Mengapa harus seperti itu? Karena proses pembacaan sebaiknya tidak berhenti begitu saja, hingga akhirnya terlewatkan bagian-bagian terpenting dalam karya yang kita baca. Bagaimana pun, kita harus mulai menyimpan pemahaman bahwa karya sastra, dalam bentuk apa pun, tidak pernah terlepas dari ideologi atau pun isu tertentu, karya sastra, disadari atau tidak, dalam beberapa aspeknya adalah representasi/cerminan dari wajah sosio-kultural dari masyarakat atau mungkin kondisi yang ada di dalam kehidupan kita. Karena memang itulah salah satu fungsinya, yaitu sebagai alat untuk penyampai ideologi, pengetahuan dan nilai-nilai sosial. Jonathan Culler bahkan menulis bahwa karya sastra berfungsi untuk mendidik masyarakat yang membacanya, dan salah satu unsur-unsur pendidikan dalam karya tersebut adalah nilai-nilai ideologi.
Berdasar pada alasan itulah, membaca karya sastra jangan dipersepsi atau ditujukan hanyalah untuk kenikmatan dan kesenangan semata karena, sebenarnya, dalam dunia kata yang memikat, karya sastra sebenarnya menghadirkan pandangan-pandangan dunia dan ideologi pengarangnya. Ideologi yang pelan-pelan dapat mempengaruhi cara pandang pembacanya.
Maka tidaklah aneh apabila ‘kata’ atau ‘kalimat’ tertentu di dalam karya sastra bisa dimaknai dengan banyak interpretasi, tergantung dengan pemahaman awal (background knowledge) yang kita miliki tentang masalah atau isu yang penulis sedang coba angkat dalam tulisannya.
Untuk kali ini, kita akan melakukan ‘close reading‘ atau pembacaan yang dalam dan mendasar untuk tulisan yang pernah saya buat, yang berjudul Noda.
Mari kita lihat karya ini dengan cara pandang yang berbeda.
Sepertinya ini sudah menjadi tahun kedua semenjak aku berdiam diri dan menunggu di sini. (P. 1)
Dari paragraf pertama, kita melihat ada persona ‘aku’, sekilas kita masih belum bisa sepenuhnya mengetahui persona ‘aku’ di kalimat ini merepresentasikan seorang perempuan atau laki-laki. Yang terlihat di sini, persona ‘aku’ telah cukup lama berdiam diri dan menunggu. Apa yang sedang ia tunggu? Dan mengapa ia berdiam diri? Kita masih belum menemukan jawabannya di paragraf pertama.
Meski begitu, kita bisa mengambil pemaknaan yang berbeda dari kata menunggu, seperti yang kita tahu, menunggu adalah pekerjaan yang sifatnya pasif. Dalam KBBI daring, kata menunggu memiliki makna: tinggal beberapa saat di suatu tempat dan mengharap sesuatu akan terjadi. Dengan demikian, persona ‘aku’ memang tengah berharap sesuatu akan terjadi. Dan ternyata ia telah menunggu cukup lama. Itu bisa terlihat dari kalimat; sepertinya ini sudah menjadi tahun kedua.
Hiasan yang sudah kupersiapkan selama ini masih saja belum sepenuhnya menarik siapa pun untuk menghampirinya. Aku juga sudah sangat bosan menunggu. Adakah yang salah dengan ruangan yang kuhias sekarang? Apakah mereka tidak menyukainya? Ranjangnya kuat; aku bisa jamin itu, kasurnya pun masih sangat nyaman untuk digunakan, seprai yang kupakai pun masih sangat bersih, putih, tanpa ada noda sedikit pun. Lalu mengapa masih saja tidak ada seorang pun menghampirinya? (P. 2)
Dalam paragraf kedua, kita mendapati informasi lain yang dipaparkan penulis. Dari paragraf di atas, kita bisa mulai mengambil informasi mengenai tempat dimana persona ‘aku’ itu menunggu dan berdiam diri, jawaban itu bisa kita dapatkan dengan melihat deskripsi yang dituliskan penulis. Tempat yang ‘aku’ tempati adalah sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat ranjang, kasur dan seprai putih. Dari sana, kita bisa menyimpulkan bahwa tempat ‘aku’ berdiam diri dan menunggu itu adalah sebuah kamar.
Pertanyaan lain muncul, mengapa ada deskripsi mengenai sebuah kamar? Apakah penulis bermaksud lain dengan menggambarkan deskripsi mengenai sebuah kamar? Dalam KBBI, kamar n ruang yg bersekat (tertutup) dinding yg menjadi bagian rumah atau bangunan (biasanya disekat atau dibatasi empat dinding). Representasi kamar di sana bagaimana pun bisa juga kita maknai lain dengan tubuh. Pemaknaan seperti itu bisa disimpulkan dari kata ‘hiasan‘ di awal kalimat paragraf kedua. Persona ‘aku’ memunyai tubuh yang ia hiasi dengan maksud agar ada seseorang yang menghampiri.
Hiasan yang sudah kupersiapkan selama ini masih saja belum sepenuhnya menarik siapa pun untuk menghampirinya. Aku juga sudah sangat bosan menunggu. Adakah yang salah dengan ruangan yang kuhias sekarang? Apakah mereka tidak menyukainya? Ranjangnya kuat; aku bisa jamin itu, kasurnya pun masih sangat nyaman untuk digunakan, seprai yang kupakai pun masih sangat bersih, putih, tanpa ada noda sedikit pun. Lalu mengapa masih saja tidak ada seorang pun menghampirinya? (P. 2)
Bila kita lihat lagi dari kedua paragraf yang sudah kita baca, kita bisa melihat jawaban dari paragraf pertama. Apa yang sedang ‘aku’ tunggu? Ternyata ia menunggu seseorang menghampirinya. Apa saja yang sudah ia lakukan agar maksud yang ia miliki terpenuhi? Di paragraf kedua, penulis memaparkan dengan memberi informasi bahwa ‘aku’ telah berusaha berhias dan menampilkan sosok terbaik yang dimilikinya, namun usahanya masih tetap tidak berhasil.
Di dalam paragraf kedua, ada satu kata yang sangat menarik untuk kita perhatikan, kata itu juga yang kemudian menjadi judul dari tulisannya, yaitu kata ‘noda’. Mengapa ada pemilihan diksi ‘noda’? Dan apakah ‘noda’ ini akan berpengaruh terhadap keseluruhan cerita? Kita bisa mencoba mencari simpulan mengenai itu nanti.
Jika ada seseorang bertandang ke depan rumahku, aku akan berjalan perlahan mendekati pintu dan melihat melalui celah kecil yang kubuat di tengahnya. Aku bertanya-tanya, akankah ia masuk ke dalam dan akhirnya menemaniku? Dan setelah lama menunggu, ia kembali pergi meninggalkan rumahku, seperti tak tertarik dengan rumah yang berada di depannya. Aku jelas kembali kecewa.
Lain waktu datang lagi seseorang; dari penampilannya, aku tahu ia seorang yang menjaga dirinya sebegitu rupa. Berulang-ulang kali kulihat ia membersihkan debu-debu di tempat yang ia kira telah mengganggu penampilannya. Berulang-ulang juga aku harus menggosokkan tanganku di mata. Aku mulai merasa risih sendiri melihatnya. Penampilannya memang sangat bagus, tapi entah mengapa aku malah mulai tak tertarik melihatnya. Kutinggalkan celah kecil di pintuku dan kembali menunggu. Biarlah rumahku hanya diisi oleh mereka yang sempurna. (P. 3 – 4)
Di dalam paragraf ketiga dan keempat, ada kata ‘pintu’ yang juga menarik untuk disoroti, ‘pintu’ di sana bisa kita maknai dengan ‘kesempatan’. Persona ‘aku’ menjelaskan dalam monolognya, bahwa ia terbiasa–selama sekitar dua tahun menunggu–itu berjalan perlahan dan menimbang-nimbang apa yang hendak ia lakukan dengan orang-orang yang datang ‘menghampiri’-nya. Dalam monolognya pun, persona ‘aku’ bertanya-tanya dalam pikirnya dengan macam-macam orang yang datang mendekati ‘rumah’-nya.
Beberapa orang datang menghampiri ‘aku’, namun ia tidak serta merta membuka ‘pintu’ atau ‘kesempatan’ kepada yang menghampirinya. Ia masih menahan dirinya.
Lain waktu datang lagi seseorang; dari penampilannya, aku tahu ia seorang yang menjaga dirinya sebegitu rupa. Berulang-ulang kali kulihat ia membersihkan debu-debu di tempat yang ia kira telah mengganggu penampilannya. Berulang-ulang juga aku harus menggosokkan tanganku di mata. Aku mulai merasa risih sendiri melihatnya. Penampilannya memang sangat bagus, tapi entah mengapa aku malah mulai tak tertarik melihatnya. Kutinggalkan celah kecil di pintuku dan kembali menunggu. Biarlah rumahku hanya diisi oleh mereka yang sempurna. (P. 4)
Namun ternyata di beberapa paragraf selanjutnya, setelah lama ia menahan diri, ternyata pertahanannya mulai sedikit demi sedikit luntur, ia mulai mendapatkan godaan dari orang lain. Ia mulai menjadi gundah mendengar propaganda orang-orang di sekitarnya.
Beberapa. Pernah berucap kepadaku.
Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa berbeda kala itu dinikmati bersama ia yang pertama. Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa sensasinya kala itu dilakukan bersama ia yang sudah terbiasa. Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa seperti hadiah dari surga kala itu didapatkan bersama ia yang selalu siap memberikannya.
Beberapa. (P. 5 – 7)
Sebenarnya apa yang ‘aku’ inginkan sedari lama? Sebenarnya apa yang ‘aku’ tunggu? Bila kembali ke pertanyaan itu dan mulai menyoroti paragraf 5 – 7. Kita bisa menemukan ada kata-kata yang sangat jelas menjadi penanda apa yang ‘aku’ maui. Ada ‘sentuhan’, ‘rabaan’, ‘desahan’ dan ‘ciuman’, dengan beberapa fase yang sengaja ditulis dengan akhir yang berbeda-beda, dibagi dalam tiga kalimat.
Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa berbeda kala itu dinikmati bersama ia yang pertama.
Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa sensasinya kala itu dilakukan bersama ia yang sudah terbiasa.
Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa seperti hadiah dari surga kala itu didapatkan bersama ia yang selalu siap memberikannya. (P. 6)
Penggunaan anaphora, atau pengulangan kata di awal kalimat ini, patut dicurigai kehadirannya. Seperti yang diketahui, anaphora lazimnya digunakan untuk memberi highlight atau penekanan maksud yang penulis atau pembicara ingin sampaikan kepada pembacanya. Dan di dalam paragraf keenam ini, kita bisa mulai berprasangka bahwa apa yang ada dalam paragraf ini akan sangat berkaitan erat dengan bagian-bagian lain di sisa tulisannya.
Diksi ‘sentuhan’, ‘rabaan’, ‘desahan’ dan ‘ciuman’ ini sangat jelas menunjukkan bahwa yang selama ini persona ‘aku’ tunggu adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan ‘sexual activity‘ atau aktivitas seksual. Dan bisik-bisik yang didengar ‘aku’ yang belum pernah ‘mendapati’ itu terasa sangat mengganggu. Ia menginginkan aktivitas seksual itu terjadi namun ia masih belum menemukan seorang pun yang benar-benar berani mendekatinya.
Beberapa hari setelah ia yang berpenampilan necis itu tak terlihat lagi, datang seorang berbaju putih menghampiri rumahku, dari sorot matanya kulihat ia yang bertanya-tanya, mulutnya naik turun sendiri tak tahu karena apa, ada keringat yang sedikit demi sedikit muncul dari dahi dan lehernya, kakinya bergetar. Penuh ragu ia berjalan ke arah rumahku. Dan setelah ia berada hanya sejauh dua langkah kaki. Terdengar sumpah serapah diucapkan begitu saja ketika ia mulai mendekat dengan pintu rumahku. Ia tak meneruskan tandangannya, ia pulang begitu saja meninggalkan tanda-tanya yang sangat besar dalam pikiranku. Ada apa dengan orang itu? Aku menggeleng saja. Tak mengerti dan tak lagi mau ambil peduli. (P. 8)
Selain orang yang berpenampilan necis, ada juga sesosok orang berbaju putih menghampiri ‘aku’. Bila kita lihat dari pemakaian warna ‘putih’ di paragraf kedelapan, kita bisa asosiasikan warna ‘putih’ itu dengan makna yang telah lazim kita ketahui. ‘Putih’ itu suci dan tak ada ‘cela’. Di paragraf kedelapan kita bisa lihat ada penanda lain yang menjelaskan mengenai makna ‘putih’ yang dikarakterisasikan dengan sikap yang dilakukannya.
Beberapa hari setelah ia yang berpenampilan necis itu tak terlihat lagi, datang seorang berbaju putih menghampiri rumahku, dari sorot matanya kulihat ia yang bertanya-tanya, mulutnya naik turun sendiri tak tahu karena apa, ada keringat yang sedikit demi sedikit muncul dari dahi dan lehernya, kakinya bergetar. Penuh ragu ia berjalan ke arah rumahku. Dan setelah ia berada hanya sejauh dua langkah kaki. Terdengar sumpah serapah diucapkan begitu saja ketika ia mulai mendekat dengan pintu rumahku. Ia tak meneruskan tandangannya, ia pulang begitu saja meninggalkan tanda-tanya yang sangat besar dalam pikiranku. Ada apa dengan orang itu? Aku menggeleng saja. Tak mengerti dan tak lagi mau ambil peduli. (P. 8)
Seorang berbaju putih itu bisa kita maknai dengan orang yang menjaga kesuciannya, orang yang beragama. Ungkapan ‘mulutnya naik turun’ bisa dimakai dengan keadaan ia yang berdzikir; ‘ada keringat yang sedikit demi sedikit muncul…’ itu menandakan ada kegelisahan yang orang berbaju putih itu rasakan ketika hendak mendekati ‘aku’. Apakah kemudian orang berbaju putih itu mengikuti hawa nafsunya dan menanggalkan kepercayaannya? Ternyata tidak. Ia justru malah mengungkapkan ‘sumpah serapah’ dan ternyata ia pergi meninggalkan ‘aku’ dengan kebingungan.
Aneh. Banyak yang datang, tapi tak ada seorang pun yang mau mendekati rumahku. Banyak yang berpikir bahwa mereka sudah sangat dewasa dan siap menanggung resiko apa pun, tapi tak ada seorang pun yang mau mengetuk pintu rumahku dan meminta izin untuk memasukinya.
Haruskah kubuka begitu saja rumahku dan membiarkan orang melihatku lebih jelas? Agar mereka tak usah berpikir terlebih dahulu ketika berada di depan rumahku dan pergi begitu saja karena pertimbangan yang terlalu banyak mereka punya. Ide bagus. Mungkin besok pintu rumahku ada baiknya aku buka saja. Agar aku juga tak perlu bersembunyi. Lebih mudah mereka melihatku, lebih mudah juga mereka memutuskan untuk mendekatiku atau tidak.
Esoknya kubiarkan gorden terbuka dan cahaya mentari masuk dengan mudah ke dalam rumahku. Kusapukan halamanku agar rumahku terlihat lebih bersih dan nyaman dilihat. Dan aku buka pintu rumahku selebar-lebarnya. (P. 9 – 11)
Ada pengulangan kata ‘rumah’ lebih dari sekali di paragraf sembilan sampai sebelas dan juga di bagian-bagian tulisan lainnya. Dengan pemahaman kita sebelumnya, kita bisa sekali lagi bercuriga, bahwa kata ‘rumah’ dan ‘pintu’ tidak bisa kita baca begitu saja, karena bisa jadi kedua kata itu punya maksud lain. Di paragraf kesepuluh, kita bisa lihat ada tindakan lain yang ‘aku’ coba lakukan demi mendapatkan keinginan yang ia mau terpenuhi. Dalam monolognya, ia tekankan, ‘Haruskah kubuka begitu saja rumahku dan membiarkan orang melihatku lebih jelas?’
‘Rumah’ adalah tempat seseorang berteduh dan berlindung dari panas dan hujan. Pemaknaan yang mirip dan kurang lebih serupa dari kata ‘rumah’ bisa kita dapatkan juga padanannya dalam kata ‘pakaian’. ‘Pakaian’ adalah salah satu bentuk kita menjaga diri kita agar terlindungi juga dari panas dan hujan. Maka ketika ada kalimat, ‘Haruskah kubuka begitu saja rumahku dan membiarkan orang melihatku lebih jelas?’ Kita bisa mendapatkan penafsiran yang berbeda bila kalimat itu kita ubah menjadi seperti ini; ‘Haruskah kubuka begitu saja pakaian-ku dan membiarkan orang melihatku lebih jelas?’
‘Aku’ merasa dengan tindakannya seperti itu, ia akan jauh lebih mudah mendapatkan perhatian dari lawan jenisnya; lelaki. Itu bisa jelas kita lihat di kalimat yang ada setelahnya.
Haruskah kubuka begitu saja rumahku dan membiarkan orang melihatku lebih jelas? Agar mereka tak usah berpikir terlebih dahulu ketika berada di depan rumahku dan pergi begitu saja karena pertimbangan yang terlalu banyak mereka punya. Ide bagus. Mungkin besok pintu rumahku ada baiknya aku buka saja. Agar aku juga tak perlu bersembunyi. Lebih mudah mereka melihatku, lebih mudah juga mereka memutuskan untuk mendekatiku atau tidak. (P. 10)
Bahkan di paragraf selanjutnya ia mencoba tindakan yang lebih berani.
Esoknya kubiarkan gorden terbuka dan cahaya mentari masuk dengan mudah ke dalam rumahku. Kusapukan halamanku agar rumahku terlihat lebih bersih dan nyaman dilihat. Dan aku buka pintu rumahku selebar-lebarnya. (P. 11)
Persona ‘aku’ mulai berani dan juga berinisiatif membuka ‘gorden’, yang notabene adalah bagian pertama yang menghalangi orang luar agar bisa melihat langsung ke dalam ‘rumah’-nya (atau bisa juga kita langsung ganti dengan ‘pakaian’-nya). Di akhir paragrafnya, terlihat jelas betapa sudah mulai merasuk bisik-bisik yang ia dapatkan dulu dan bagaimana ia bersikap setelahnya. Ia pun mulai merasa perlu membuka ‘kesempatan’ itu sebesar-besarnya.
Esoknya kubiarkan gorden terbuka dan cahaya mentari masuk dengan mudah ke dalam rumahku. Kusapukan halamanku agar rumahku terlihat lebih bersih dan nyaman dilihat. Dan aku buka pintu rumahku selebar-lebarnya. (P. 11)
Ia mulai lebih berani menyatakan keinginannya. Ia mulai merasa memang dengan cara itulah ia bisa mendapatkan keinginannya terpenuhi dan akhirnya itu memang terjadi sesuai dengan ekspektasinya. Ia ‘menjual’ dan ‘menawarkan’ tubuhnya dengan berpakaian terbuka agar bisa ‘mengundang’ orang lain datang menghampirinya.
Beberapa. Akhirnya tak hanya sekedar melirik penuh tanya lagi. Mereka mulai berani mendekat. Dan akhirnya memasuki rumahku. Beberapa kali aku berbincang-bincang dengan mereka, kulihat lagi siapa yang masuk ke dalam rumahku. Apakah mereka sudah cukup baik untuk aku ajak ke dalam kamarku atau belum. Dan ternyata meski mereka telah berada dalam rumahku. Ternyata aku masih saja belum berani mengizinkan mereka masuk.
Lusa dan hari-hari yang hadir setelahnya pun kembali membawakan berpuluh-puluh orang baru ke dalam rumahku. Dan seperti yang akhirnya bisa kamu duga, aku menolak. Aku menolak mengizinkan mereka masuk.
Tapi ternyata itu tak bertahan lama. Akhirnya aku luluh juga setelah melihat seorang yang begitu kukuh memintaku mengajaknya ke dalam kamarku. Setelah menimbang-nimbang, aku putuskan juga. Mungkin ini memang saatnya aku mengizinkan ia masuk ke dalam kamarku dan menemani malamku. (P. 12 – 14)
Berhari-hari setelah ‘undangan’ itu disebarkan, ia kemudian memilah siapa yang patut mendapatkan ‘izin masuk’-nya. Ia masih punya idealisme karena hanya menginginkan orang yang ‘sempurna’, namun akhirnya ternyata ia ‘luluh’ juga.
Tapi ternyata itu tak bertahan lama. Akhirnya aku luluh juga setelah melihat seorang yang begitu kukuh memintaku mengajaknya ke dalam kamarku. Setelah menimbang-nimbang, aku putuskan juga. Mungkin ini memang saatnya aku mengizinkan ia masuk ke dalam kamarku dan menemani malamku. (P. 14)
Bila ‘rumah’ kita maknai dengan ‘anggota tubuh’ sang persona ‘aku’–yang notabene merepresentasikan perempuan/wanita; maka dapat dipastikan ‘kamar’ adalah bagian ‘terdalam’ darinya. Dan di paragraf empat belas, kita bisa melihat, bahwa ‘aku’ telah memberikan ‘izin masuk’ ke dalam kamarnya.
Hiasan yang sudah kupersiapkan selama ini akhirnya telah menarik seseorang untuk menghampirinya. Malam ini adalah puncaknya.
Dan di tengah kenikmatan yang baru saja kurasakan. Aku kembali mengingat mereka. Beberapa. Beberapa orang yang pernah berucap kepadaku.
Beberapa yang mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa berbeda kala itu dinikmati bersama ia yang pertama. Beberapa yang mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa sensasinya kala itu dilakukan bersama ia yang sudah terbiasa. Beberapa yang mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa seperti hadiah dari surga kala itu didapatkan bersama ia yang selalu siap memberikannya.
Beberapa. (P. 15 – 18)
Di paragraf lima belas, kita dapatkan di kalimat terakhirnya, malam ini adalah puncaknya. Itu artinya, ini adalah malam yang memang ‘aku’ tunggu-tunggu selama ini. Di paragraf selanjutnya, ia kemudian mengingat-ingat bisik yang selama ini ia dapatkan. Di tengah ‘pengalaman’-nya yang pertama, ia ingat dan ia menyadari bahwa ‘saat’ itu memang merupakan saat yang telah ia tunggu dan ia inginkan selama ini.
Dan di tengah kenikmatan yang baru saja kurasakan. (P. 16)
Bila kita kembali menilik kata ‘noda’ di awal pembahasaan ini, kita bisa kemudian mengaitkannya dengan apa yang ada di paragraf ke enam belas ini. Awalnya ‘aku’ tak ber-’noda’, karena memang ia belum pernah melakukan apa pun terkait dengan keinginannya. Sementara di paragraf ini dijelaskan bahwa ia tengah merasakan ‘kenikmatan’ yang ‘baru’ saja ia rasakan. Jelas sudah, noda yang dimaksud adalah aktivitas seksual yang selama ini ‘aku’ inginkan.
Sakit.
Seprai putihku kini bernoda. Ia kini penuh darah. Tak lagi putih, warnanya justru memerah, mengalir begitu saja di bawahku rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi aku menikmatinya. Ini yang pertama.
Kini jika ada seseorang bertandang ke depan rumahku, aku akan berjalan perlahan mendekati pintu dan mulai mengajaknya masuk. Aku tak lagi bertanya-tanya, akankah ia masuk ke dalam dan akhirnya menemaniku atau tidak? Aku tidak mau lama menunggu, dan akhirnya membiarkan ia kembali pergi meninggalkan rumahku. Aku jelas tak ingin merasa kecewa. Aku butuh yang kedua.
Maka bila di lain waktu datang lagi seseorang; yang dari penampilannya terasa seperti seorang yang sangat menjaga dirinya sebegitu rupa. Aku tentu tak akan menolaknya. Semakin berkilau penampilannya, tentu aku akan sangat tertarik untuk menerimanya. (P. 17 – 20)
Kata di paragraf 17 sangatlah pendek. Hanya satu kata. Sakit. Mengapa ‘aku’ merasa sakit? Penjelasnya ada di paragraf selanjutnya.
Seprai putihku kini bernoda. Ia kini penuh darah. Tak lagi putih, warnanya justru memerah, mengalir begitu saja di bawahku rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi aku menikmatinya. Ini yang pertama. (P. 18)
Ini adalah pengalaman pertama dari persona ‘aku’. ‘Seprai putih’ bisa kita maknai dengan keadaan sucinya terdahulu, saat ia masih belum berkenalan dan ‘terpengaruh’ dengan bisik-bisik orang lain. Dan dalam paragraf 18, kita temukan kondisi seprai putih itu yang menjadi kotor, warnanya memerah. Sudah lazim bila ‘merah’ selalu saja kita kaitkan dengan ‘darah’. Dan, ya, ‘aku’ menumpahkan darahnya untuk pertama kali. Meski ia merasa sangat kesakitan namun ia juga tetap ‘menikmati’-nya.
Dan akhirnya aktivitas seksual yang ia dapatkan, kemudian menjadi candu. Penanda ini bisa kita lihat di paragraf selanjutnya.
Kini jika ada seseorang bertandang ke depan rumahku, aku akan berjalan perlahan mendekati pintu dan mulai mengajaknya masuk. Aku tak lagi bertanya-tanya, akankah ia masuk ke dalam dan akhirnya menemaniku atau tidak? Aku tidak mau lama menunggu, dan akhirnya membiarkan ia kembali pergi meninggalkan rumahku. Aku jelas tak ingin merasa kecewa. Aku butuh yang kedua.
Maka bila di lain waktu datang lagi seseorang; yang dari penampilannya terasa seperti seorang yang sangat menjaga dirinya sebegitu rupa. Aku tentu tak akan menolaknya. Semakin berkilau penampilannya, tentu aku akan sangat tertarik untuk menerimanya. (P. 19 – 20)
Ironis bila kita baca kembali apa yang penulis coba sampaikan di dalam tulisan ini. Kita bisa dapatkan kondisi seorang perempuan yang terpengaruhi oleh godaan dan bisikan dari teman-teman sebayanya. Kita bisa menemukan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan oleh karakter yang dituliskan di sini, semuanya dilakukan bukan dalam lembaga pernikahan. Karena tidak ada satu pun informasi yang kita dapatkan mengenai prosesi ritual pernikahan itu di sini.
Bila kita cermati, kita bisa mendapatkan bahwa akhirnya, ketika aktivitas seksual ini dilakukan olehnya sekali, ia merasa ‘perlu’ dan ‘butuh’ dengan aktivitas seksual lainnya, meski itu didapatkan bukan dari orang yang sama. Sesuatu yang awalnya seharusnya ditempatkan pada posisi yang ‘suci’ menjadi ‘bernoda’.
Dari paparan yang kita bisa lihat sepanjang setiap paragraf dalam tulisan ‘Noda’ ini dikupas satu per satu, dan kita kemudian bercuriga dengan diksi yang digunakan penulis. Kita akhirnya dapatkan bahwa tulisan ini bisa jadi merupakan ‘satir’ atas representasi sosial dan budaya di tempat dimana penulis hidup. Penulis berusaha memaparkan dan menggambarkan kondisi remaja yang akhirnya mulai terpengaruhi oleh budaya luar dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang menjadi satu ‘kelaziman’ tersendiri di tengah-tengah kita semua.
Seperti yang sudah dituliskan di awal, karya sastra tidak pernah bisa dilepaskan dari isu atau ideologi yang mungkin disisipkan penulisnya. Maka, akan menjadi lebih baik dan juga bijak, apabila kita mulai lebih peka akan masalah yang dibawa di setiap karya sastra yang kita baca.
Ingat. Satu ‘kalimat’ bahkan satu ‘kata’ pun bisa menjadi penjelas dan penanda yang harus bisa kita maknai dengan sebaik-baiknya penafsiran. Karena karya sastra tak pernah bisa terlepas dari itu. Dan sudah menjadi tugas kita agar membaca karya sastra jangan dipersepsi atau ditujukan hanyalah untuk kenikmatan dan kesenangan semata karena, sebenarnya, dalam dunia kata yang memikat, karya sastra sebenarnya menghadirkan pandangan-pandangan dunia dan ideologi pengarangnya yang bisa menjadi ibrah dan pelajaran bagi kita semua.
Tabik!
Tulis komentar baru