Sebenarnya ini bukan sesuatu yang luar biasa bagiku, karena aku tahu kebiasaan suamiku yang tidak biasa. Sebagai suami, sebenarnya ia tak beda banyak dengan lelaki lain, atau suami lain yang pernah kudengar. Dan menurut penilaianku ia termasuk suami yang baik: suami yang mencintai, bertanggung jawab, dan kadang tidak setia. Ia mencintaiku dan itu kurasakan. Ia bertanggung jawab sebagaimana suami dalam tata nilai tradisi: bertanggung jawab atas semua kebutuhan dengan sukarela. Kalau ia mengaku tidak setia, karena memiliki ukuran berbeda.
Katanya: “Bahwa sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak.” Kata-kata itu mungkin menghibur, tapi tak mengubah bahwa hati seorang istri hancur karenanya. Siapa yang tidak meledak kalau mendengar penjelasan berikutnya.
“Sebagaimana kematian adalah bagian dari kehidupan, demikian juga patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna.”
Mungkin akan sempurna kalau aku patah hati dengan lelaki lain, misalnya. Bukan dengan suami sendiri. “Sebetulnya sama saja. Hanya saja sebutan suamiku, menunjukkan kepemilikanmu, jadinya terasa lebih menyakitkan.”
Saat itu merupakan masa-masa yang berat bagiku. Sama beratnya ketika nafsu seksualnya begitu menggebu dan aku makin menggerutu. Sampai pada titik jenuh, sehingga sakit walau hanya disentuh. “Dalam pikiran lelaki, hubungan seks adalah bentuk cinta. Makin perkasa dia, membuktikan ia makin mencintai.” Jelas itu omong kosong. “Akan ada waktunya nanti ketika daya seksual melemah atau habis, cinta memisahkan diri dengan nafsu seksual. Ketika itu cinta tak perlu dibuktikan dengan hubungan seksual. Nafsu seks bisa mati dan berhenti, tapi cinta bisa terus jalan sendiri.” Artinya kalau setelah daya seks melemah, tapi masih bisa betah bersama-sama, itu artinya masih cinta. “Saat seperti akan datang dengan sendirinya, tak perlu dipaksa, sebagaimana usia. Tanpa kecuali semua bertambah tua, juga dunia.”
Dan kini, ia jatuh cinta kepada jam dinding. Aku bisa merasakan, karena aku sangat mengenalnya sekian lama, dan juga karena ia tak menutup-nutupinya.
“Bagaimana kamu bisa jatuh cinta kepada jam dinding itu?”
“Seperti yang selama ini terjadi,” katanya menjelaskan. “Aku melihat jam dinding itu, tertarik, dan terjadi dramatisasi dalam seluruh kesadaranku. Karena kita membelinya bersama-sama, kamu ingat hari-hari yang kita lalui bersama jam dinding. Itu yang menjadi berharga.”
Jam dinding itu memang dibeli pertama kali kami pindah ke Jakarta. Di sebuah rumah kontrakan yang hanya satu kamar-dan satu pintu untuk keluar masuk, kamar tidur hanya ditutup tirai, sehingga jam dinding itu kelihatan terlalu besar. Sebenarnya sebutan jam dinding itu tak sepenuhnya tepat. Karena kamar kontrakan yang kami tempati tidak memiliki dinding. Hanya ada papan yang ditempeli kertas semen berlapis, lalu dicat. Jam itu bisa jatuh setiap saat. Bentuknya agak bujur sangkar dengan angka yang jelas, mulai dari 1 sampai angka 12. Ini kesepakatan bersama sebelum membeli, karena kalau tidak memakai angka, atau angka Romawi, kami sering salah lihat. Agak modern, karena di bagian bawah ada lubang yang menunjukkan tanggal serta nama hari-walau dalam bahasa Inggris. Ada tombol manual untuk menyesuaikan hari di sebelah kanan atau bawah, juga untuk membetulkan tanggal, entah sebelah kanan atau bawah. Yang akan berubah sendiri dan mengeluarkan suara jeglek keras tengah malam saat berganti. Warna dasarnya coklat, ada kontur putih. Ini model yang agak mewah, walau harganya paling murah dibandingkan dengan yang ada di toko waktu itu. Dengan satu baterai tanggung, jam itu bisa menunjukkan waktu untuk jangka lumayan lama, sebelum akhirnya batu baterainya harus diganti. Di rumah kontrakan yang sempit, satu-satunya tempat ya di ruang tamu, merangkap ruang keluarga, ruang bermain. Kalau tidak salah-mestinya tidak, jam dinding itu dibeli bersamaan dengan pembelian kursi yang memakai roda di bawahnya, yang ditawarkan dengan nama kursi direktur. Praktis roda itu tak bisa bergerak ke mana-mana karena ruangan sempit. Ketika akhirnya kami bisa pindah ke rumah yang bisa dicicil selama 20 tahun, kursi direktur dan jam dinding ikut pindah. Hanya karena rodanya sering macet-atau sebenarnya takut terlindas roda ketika anak-anak mulai merangkak-kursi itu diistirahatkan. Aku lupa bagaimana nasibnya: jelas tak mungkin dijual ke tukang loak. Walau tak ada sisanya, juga dalam ingatan. Sedangkan jam dinding itu, kini menempati posisi utama di ruang keluarga. Sampai kemudian kami pindah lagi ke rumah yang lebih besar, dengan garasi lebih lebar, dengan ruang keluarga yang menganga, jam dinding itu tetap menguasai. Ditempel di atas pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang lain yang sering dilewati. Sehingga semua orang bisa melihati. Ini menjadi masalah karena kemudian jam dinding itu berubah semaunya. Perubahan tanggal dan hari tidak terjadi tengah malam, melainkan suka-suka jam dinding itu sendiri. Bisa pagi, tahu-tahu ada suara jeglek. Sering kali lebih dari 24 jam. Beberapa kali diganti batu baterai, jadi baik lagi. Tapi yang terakhir ini, biarpun diganti batu baterai, kadang ngadat. Artinya putarannya betul-betul sesukanya. Karena mengganggu-terutama mengganggu mereka yang baru melihatnya, tempatnya berpindah ke kamar tidur.
Di kamar tidur pun kelakuan jam dinding itu sama. Baginya sehari bukan 24 jam. Mungkin 20 jam, atau lama-lama malah berhenti di pukul lima kurang lima. Sebulan lebih begitu terus. Tahu-tahu berubah sendiri. Terbersit suamiku yang menyesuaikan untuk suatu ketika, tapi terhapus dengan sendirinya karena itu tak mungkin dilakukan suamiku yang pemalas. Sedemikian malasnya ia, sehingga ketika makan dan sendoknya jatuh, ia melanjutkan dengan tangan telanjang.
“Jam itu tak ada gunanya,” kataku.
“Salah, Di kamar tidur ini kita tak membutuhkan waktu. Menunjuk ke angka berapa pun, apa bedanya.”
Mengganti dengan batu baterai yang baru pun tak ada gunanya. Membawa ke tukang reparasi jam tak ada gunanya. Ongkosnya akan mahal. Sementara jam yang sama dan sejenis atau bahkan lebih bagus cukup banyak. Ada masanya banyak perusahaan berpromosi dengan jam dinding. Bahkan juga nama yayasan yang meminta bantuan. Jumlahnya banyak sekali. Artinya jam dinding itu sudah tidak mempunyai fungsi. Selain sebagai hiasan, di mana sebagian kenangan masih bisa diingat-ingat darinya.
“Kenangan tak akan pernah bisa dikalahkan oleh waktu. Justru kenangan menang dengan waktu. Makin lama berlalu, kenangan makin bermutu. Ingat itu.”
Menjadi indah, walau bikin gundah, adalah contoh yang diberikan kemudian: “Itu sebabnya seorang lelaki yang mempunyai istri lebih satu, selalu yang memberi kenangan lama yang akan menang. Betapa pun lebih hebatnya istri kedua atau ketiga, dalam soal kenangan, selalu lebih banyak istri pertama. Bahkan untuk merasakan lebih baik pun perbandingannya dengan kenangan sebelumnya.”
“Berarti aku selalu nomor satu.”
“Setelah ibuku.”
Sebagaimana lelaki pada umumnya juga, suamiku juga pecinta ibu. Yang tidak malu-malu mengakui, tidak malu dikeloni meskipun saat itu sudah punya istri aku. Sedemikian dekatnya suamiku kepada ibunya, sehingga waktu ibunya meninggal aku sangat ketakutan.
“Sekarang yang kamu hormati, dan kau takuti sudah meninggal. Kamu pasti berani kawin lagi.”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Mungkin, karena semua lelaki mempunyai bakat untuk itu. Tapi secara praktis tak akan menyenangkan. Di dunia, satu-satunya tata krama yang aneh dan disepakati di seluruh dunia adalah tata krama dalam lembaga perkawinan.
Bayangkan, seseorang naik becak atau bis kota, ia naik dulu baru bayar kemudian, mungkin di tengah jalan, mungkin di tujuan. Seseorang yang naik kereta api atau naik pesawat terbang membayar di depan, tapi untuk satu atau dua perjalanan. Dalam perkawinan pembayaran dan ikatan berlangsung selamanya. Kontrak ikatan yang paling dungu, tapi dianggap aman bagi lelaki dan perempuan.”
“Berarti kamu menyesali perkawinan?”
“Satu-satunya yang kusesali dalam hidup ini adalah karena aku tak bisa menyesali apa yang terjadi. Aku bahkan tak mampu menyesali kenapa aku tak dilahirkan di Irian atau Nepal di puncak gunung saja. Atau di tempat yang paling aku sukai, tempat yang ada sungainya, lalu aku bisa bermain sepuasnya, memandangi terus.
Menyesal hasil dari pikiran, dari nalar.
Dan nalar bahkan tak bisa menjelaskan hal yang paling sederhana dan terjadi pada semua orang: “cinta”.
Di kamar tidur jam dinding itu sebenarnya tak terlalu mengganggu, karena letaknya di kepala, agak ke atas. Sehingga ketika berangkat tidur, atau bangun, juga selama berbaring tak perlu melihat ke arahnya. Tapi memang , saat keluar dan masuk kamar, masih saja melihatnya. Dan selalu menemukan jarum jam tidak menunjukkan waktu yang disepakati.
Sehingga aku berniat memindahkan.
“Bahkan ketika kamu memindahkan, ia tetap ada. Kamu bisa merasakan keberadaannya saat tiada.”
Ada benarnya juga, karena ketika kupindahkan ke dapur, aku masih menengok ke tengah jam dinding lama dipasang. Bahkan ketika di tempat itu dipasang jam dinding baru, yang terbayang adalah jam dinding lama.
“Lelaki mengenal cinta pertama melalui ibu, demikian juga bayi perempuan. Sampai kemudian merasa perlu kepada pacar atau kekasih, sampai dengan kepada istri. Semua terjadi dengan rasa aman, karena ia tak mungkin menerima cemburu dari ibunya. Atau cemburu yang aman-yang membiarkan kita mencintai orang lain. Seorang istri, juga seorang suami tak bisa benar-benar begitu.
Baru kemudian cinta aman berlanjut ketika mencintai binatang kesayangan, ketika mencintai tumbuhan, ketika kemudian mencintai barang.
Kamu mungkin berpikir cinta semakin menurun kadarnya, dari seorang ibu ke istri, ke binatang, dan ke barang. Mungkin itu ke kedewasaan, karena kemudian bisa saja jatuh cinta ke suatu yang tak ada.”
Aku tak begitu yakin apa yang dikatakan, tapi bisa merasakan. Cinta yang harus terbagi padaku ketika ia menceritakan kemesraan ibunya, jauh berbeda dengan pacarnya, kemudian dengan binatang atau jam dinding.
“Benarkah semata-mata karena rasa aman yang membedakan cinta?”
“Bisa begitu, bisa rasa-rasa yang lain. Sesungguhnya cinta hanya ada dalam pembesaran di pikiran, di perasaan. Cinta tak akan selesai dirumuskan dengan pemikiran.”
Cinta aman bisa terus ke cucu, ke menantu, ke tanah, ke yang sudah tidak ada. Atau bahkan ke yang tak pernah ada. Atau ada, walau tak berguna.
“Seseorang hanya memiliki satu cinta. Seperti air sungai, bisa mengalir ke mana-mana, membelok ke selatan atau ke utara, tapi sebenarnya satu arus saja.”
Tiba-tiba aku sadar dan menjadi sangat jengkel. Dengan kalimatnya itu berarti perkawinan tak banyak maknanya, toh tak menghalangi cinta mengalir ke jurusan mana saja. Aku lebih jengkel karena jam dinding itu ketika dipasang di dapur bisa bergerak lagi. Memang tidak tepat untuk waktu-entah kenapa selalu lebih maju.
“Istriku, ketika kita memutuskan untuk membeli jam dinding itu, itulah keberanian, itulah anugerah yang sama ketika memutuskan menjadi suami-istri dalam suatu pernikahan. Keberanian, karena banyak cinta diutarakan tanpa keberanian menikahi resmi. Anugerah, karena itu hadiah besar. Semua itulah harga yang kita bayar untuk selamanya memiliki, merawat, memanjakan dan dimanjakan. Kita tak akan merasa aman, merasa memiliki, hanya dengan melihat di pajangan toko, atau dipasang di sini karena dipinjamkan. Bahkan ketika kita membelinya dengan mencicil, sejak awal kita merasa memiliki secara resmi ketika memandangi.
Pada jam dinding lain kita bisa mengagumi, tapi kita tak mudah jatuh cinta karena kita tak memiliki kenangan yang menjadi berharga dengan berlalunya waktu yang kita lewati bersama.”
Jam dinding bermerek Citizen itu masih bergerak-gerak-kini aku tahu jarum yang menunjukkan detik memang bergerak lebih cepat dari jam dinding lain. “Kita tahu bahwa merek itu hanya ditempel oleh penjualnya. Bisa merek yang sama ditempelkan pada jam dinding lain, atau jam dinding itu menjadi merek lain. Itu biasa dalam jual beli jam di toko. Seperti juga namamu, namaku. Bisa dipakai orang lain, atau nama kita ini hasil pinjaman nama orang lain.
Kalaupun jarum detik bergegas, kita menerimanya sebagai paket. Sebagaimana aku menerimamu meskipun kamu cerewet, atau aku yang tidak cerewet.”
Seharusnya akulah jam dinding itu: menandai waktu berlalu secara bersama, mendetakkan berbagai peristiwa dan karenanya menjadi rangkaian kenangan, yang selalu ada dan bertambah, pun ketika harus berada di dapur atau kamar tidur, pun saat waktu terulur.
Sesungguhnyalah suamiku adalah jam dinding, dan aku bahagia jatuh cinta padanya. Akulah sungai yang memiliki keberanian menerimanya sebagai anugerah.*
(Maret 2005)
Tulis komentar baru