Kapan ikan tidur dan istirahat? Tidak ada yang tahu. Tidak juga Wali Kota yang memelihara ikan arwana di dalam rumah dinasnya. Ikan itu terus saja berenang dalam akuarium kaca berukuran cukup besar, berputar-putar dengan gagahnya. Sesekali melesat menyambar serangga yang mendekat di luar akuarium. Usaha ikan arwana itu kelihatan bodoh, tapi meyakinkan keganasannya. Siripnya yang mengilap keperakan kadang-kadang memantulkan sinar lampu yang menyilaukan mata tamu-tamu yang terpesona melihatnya. Tamu-tamu yang menunggu giliran dipanggil ajudan untuk segera menghadap Wali Kota di ruang penerimaan tamu di sebelah ruang duduk itu, seperti tak henti-hentinya terpesona menyaksikan gerakan akrobatik ikan cantik yang garang itu.
Jam dinding yang tiap seperempat jam bermusik nyaring untuk kesekian kalinya bernyanyi menjelang tengah malam. Engku Nawar yang di atas tujuh puluh tahun itu hanya bisa menduga bahwa seperempat jam lagi pukul nol-nol. Rasa capai dan mengantuk sengaja diusirnya dengan paksa, dan tiap sebentar ia membangunkan cucu perempuannya yang berkali-kali tertidur sambil duduk di kursi tamu yang lebar itu. Di kursi-kursi berhadap-hadapan dengan Engku Nawar, duduk enam orang tamu pria dan satu perempuan menunggu panggilan. Tak lama, terdengar bunyi bel dari ruang tamu sebelah. Ajudan setengah berlari membuka pintu, masuk, dan menutup kembali. Beberapa detik, ajudan yang lincah seperti arwana itu muncul lagi sambil tersenyum yang kelihatannya palsu.
”Pak Muis, SH dan rombongan, dipersilakan,” kata ajudan itu sambil tergopoh membuka pintu menuju ruang tamu utama.
Ketujuh orang yang duduk di hadapan Engku Nawar tadi ternyata satu rombongan yang melangkah dengan bergegas menuju ruang tamu utama Wali Kota. Engku Nawar menarik nafas panjang. Diikutinya langkah-langkah rombongan terakhir yang menghadap Wali Kota itu dengan rasa cemburu dan sebal. Cemburu pada tamu-tamu yang telah mendahuluinya menemui Wali Kota, dan sebal dengan perlakukan ajudan yang mirip arwana itu. Dengan bahasa kasarnya, ajudan itu tidak saja menyebalkan, tapi sangat kurang ajar terhadap orang tua seperti dirinya yang merasa bukan sembarang orang.
Sehabis magrib, Engku Nawar telah siap bersama cucunya, Sarini, yang lulusan kursus komputer berijazah itu, menuju kediaman Wali Kota yang jauhnya lima belas kilo dari warungnya. Ia memeluk erat Sarini, cucu kesayangannya itu, ketika dibonceng Sarini naik sepeda motor. Dialah yang paling awal datang ke rumah dinas itu dan langsung melapor pada ajudan yang berambut cepak. Dengan rasa bangga ia menyatakan bahwa ia keluarga dekat, bahkan Wali Kota itu sendiri bagaikan anaknya. Oleh karena itu, ia minta izin menemui Wali Kota sebentar saja untuk urusan keluarga.
Ajudan hanya mendengar dengan wajah datar sambil berkata: ”Isi formulir ini, nama, alamat, keperluan, nanti saya sampaikan.” Lelaki tua itu merasa tak mampu lagi menulis, tapi cucunya, Sarini, yang dari tadi memegang map berisi surat-surat penting itu cepat-cepat mengisi formulir itu dan memberikan pena pada kakeknya untuk menandatanganinya. Tak lama, tamu-tamu rombongan dan perorangan silih berganti datang berkendaraan mobil, motor, dan jalan kaki. Semua mengisi formulir yang sama.
Seseorang berpakaian hansip mempersilakan tamu-tamu itu duduk di ruang sebelah rumah jaga di samping rumah gedung kediaman resmi Wali Kota itu. Dari ruang tamu yang terbuka itu, Engku Nawar terpesona dengan pemandangan yang menakjubkannya. Lampu-lampu taman yang besar dan terang, pohon dan tanaman hias serta halaman parkir di belakang yang luas. Semua seperti bermandikan cahaya listrik yang melimpah ruah. Dari percakapan orang-orang, terdengar seseorang berkata: ”Pak Wali lagi makan malam dengan tamu-tamunya dari Jakarta. Sebentar lagi selesai.”
Mendengar pernyataan itu, Engku Nawar berdiri dan mendekati orang yang bicara barusan sambil berbisik.
”Boleh saya menemuinya sebentar saja, habis itu saya pulang. Saya cuma sebentar, barangkali lima menit.”
”Sabar, Pak. Sebentar lagi Bapak juga dipanggil. Tadi sudah isi formulir bukan? Nah, ajudan sudah membawa formulir Bapak itu ke dalam. Tunggu saja. Minum dulu, tuh, minuman datang.”
Seseorang berpakaian seragam datang membawa sekardus air minum kemasan dalam gelas-gelas plastik.
”Silakan Pak, Ibu, yang sudah merasa haus. Ambil saja airnya di sini.”
Engku Nawar mencoba bersabar. Baginya waktu terasa berjalan lambat. Ia merasa sesak duduk beramai-ramai di ruang tamu yang sempit itu. Ia lalu berdiri, keluar dan mencari bangku-bangku beton di taman halaman samping rumah dinas Wali Kota itu bersama Sarini yang mengikutinya dari belakang. Ia amat berharap Wali Kota yang muda dan gagah itu muncul menemuinya di tempat terpisah dari tamu-tamu lain. Meski batuk-batuk dan dilarang cucunya, ia masih mencoba merokok, menghilangkan rasa jenuh. Baju koko terbaik yang dipakainya terasa sangat tipis dari sentuhan angin malam terhadap tubuhnya yang telah ringkih. Ia mempererat belitan sarung di lehernya. Diam dengan pikirannya yang menerawang. Dan, Sarini hanya bisa mengunyah permen karet di samping kakeknya sambil mengasuh harapan-harapannya untuk diterima Wali Kota menjadi pegawai honorer.
Hampir dua tahun lalu, ketika Wali Kota ini terpilih dengan cara demokratis, Engku Nawar merasa sangat bahagia. Wali Kota baru itu adalah putra Kapten Tulus, komandan pasukan PRRI di garis depan yang bermarkas di kaki bukit, tak jauh dari Kampung Padangilalang. Hanya ada satu kincir penggilingan gabah di kampung itu, yakni milik Wali Kampung muda, Engku Nawar, yang dikenal berani. Pada masa itu, tak ada yang mau menjabat sebagai Wali Kampung karena posisinya terjepit di antara dua kekuatan yang sedang berperang, antara pasukan TNI atau yang disebut dengan Tentara Soekarno dan pasukan PRRI yang memberontak. Mau tidak mau, Engku Nawar harus bermuka dua, meski sangat berbahaya. Nyawa tantangannya. Dialah yang menjabat sebagai Wali Kampung yang dipercaya oleh TNI dan Tentara PRRI.
Bagian depan kincir penggilingan gabah itu berfungsi sebagai warung kopi dan sekaligus tempat tinggal Engku Nawar sekeluarga. Kantor Wali Kampung adalah warung itu juga, tempat masyarakat mengurus surat-surat dan KTP. Kalau pasukan TNI patroli ke perbatasan, biasanya mampir di warung kincir itu. Komandan patroli selalu berbincang-bincang dan saling bertukar informasi dengan Engku Nawar.
Lain halnya kalau malam telah larut, Kapten Tulus, komandan pasukan PRRI, dan beberapa orang anak buahnya sering menyusup ke warung kincir itu melalui sungai kecil yang mengalir dengan deras di belakang kincir. Air sungai itulah yang memutar roda kincir penggiling gabah dengan tujuh balok tegak yang menjadi alu penumbuknya. Beras yang dihasilkan kincir itu biasanya diangkut ke kota dengan pedati yang ditarik oleh sapi benggala jantan yang kuat. Tapi, sebagian beras itu dipasok untuk kebutuhan pasukan PRRI di kaki bukit. Hal itu telah berlangsung sejak perang dimulai 15 April 1958, di bulan puasa. Perjanjian rahasia antara Kapten Tulus dan Engku Nawar itu pada tahun pertama belum tercium oleh pihak Tentara Soekarno. Akan tetapi, di mana ada perang, di situ ada pengkhianat yang menyediakan diri untuk jadi mata-mata. Rahasia Engku Nawar akhirnya terbongkar juga oleh pihak Tentara Soekarno.
Suatu malam bergerimis, ketika Engku Nawar dan Kapten Tulus menikmati kopi tubruk di gudang gabah, warung kincir itu dikepung dan ditembaki oleh Tentara Soekarno. Kapten Tulus dan Engku Nawar lolos dari kepungan melalui lubang sumbu roda air penggerak gilingan gabah. Mereka selamat ke kaki bukit melalui sungai kecil yang berhulu di kaki bukit itu. Akan tetapi, dari kejauhan, kedua lelaki itu menyaksikan warung kincir itu terbakar. Istri dan dua anak Engku Nawar yang masih balita ikut jadi abu.
Sejak peristiwa itu, tak ada jalan lain bagi Engku Nawar, kecuali bergabung menjadi tentara pemberontak bersama Kapten Tulus. Esok malamnya, dengan ganas Engku Nawar ikut membumihanguskan pos Brimob yang berjarak tiga kilo dari Kampung Padangilalang bersama pasukan Kapten Tulus. Tak seorang pun anggota Brimob yang lolos di hujan lebat dekat subuh itu. Untunglah perang cepat selesai. Engku Nawar dicarikan jodoh oleh Kapten Tulus, seorang gadis masih sepupu dekat Kapten itu.
Beberapa bulan setelah menjadi Wali Kota putra Kapten Tulus itu, datang menjumpai Engku Nawar.
”Engku Nawar, kalau Engkau sayang sama almarhum bapak saya, juallah tanah kosong di kaki bukit itu kepada pemerintah kota. Tanah itu tidak subur, lebih baik dijadikan uang untuk modal Engku naik haji dan anak cucu.”
”Untuk apa tanah buruk itu sama kamu Indober, anakku?”
”Untuk dijadikan TPA. Tempat pembuangan akhir sampah kota.”
Ketika orang tua itu mengiyakan, Wali Kota bertepuk tangan dan mengumumkan kepada stafnya: ”Orang tua ini adalah orangtua saya juga. Ia bagaikan sepasang sejoli dengan ayah saya dulunya sewaktu masih menjadi tentara pemberontak PRRI. Di mana ada bapak saya, di situ ada Engku Nawar. Semua orang tahu….”
Engku Nawar bangga campur terharu ketika Wali Kota mengumumkan hubungan dan persahabatan almarhum Kapten Tulus dengan dirinya.
”Kapan Engku ada perlu dengan saya, datang saja ke rumah sehabis magrib,” bisik Wali Kota sebelum meninggalkan gubuk Engku Nawar.
Sejak itu, Engku Nawar berubah nasibnya sebagai pemilik warung di depan jalan masuk ke TPA. Sebelumnya, ia hanya jadi pengrajin lidi daun kelapa untuk bahan sapu. Tapi, sejak tanahnya yang di kaki bukit itu dijadikan TPA, ia bisa hidup lebih baik. Warung itu dikelola oleh anak perempuan satu-satunya dengan suaminya yang dulunya jadi sopir oplet. Satu-satunya warung di mulut jalan ke TPA milik Engku Nawar itu makin hari makin ramai. Sopir-sopir truk sampah, para pemulung dan calo-calo tanah, mampir minum kopi di warung itu. Karena ekonomi mulai membaik itulah cucu Engku Nawar dapat menamatkan SMA dan melanjutkan ke kursus komputer di pusat kota. Bahkan, cucunya itu sudah dibelikan sepeda motor.
Tapi, itulah yang membuat Engku Nawar gelisah. Sudah setahun lamanya Sarini tamat kursus komputer, tak satu pun kantor yang mau menerima lamarannya. Padahal, Engku Nawar ingin benar salah seorang keturunannya jadi pegawai pemerintah. Tiap kali ikut tes, Sarini tidak lulus. Orang-orang bilang, mesti pakai uang jutaan. Engku Nawar tidak setuju. Ia mau mengadukan nasib cucunya itu kepada Wali Kota Indober Tulus. Orang-orang bilang, lebih baik menemuinya di rumah. Kalau ke kantor, hampir tidak dapat layanan kalau masalah keluarga.
”Bapak Engku Nawar, dipersilakan menunggu di ruang tunggu dalam,” kata ajudan berambut cepak tadi. Semula, Engku Nawar mengira hanya dia saja yang dipanggil, ternyata semua tamu yang telah terdaftar masuk ke ruang itu. Tapi ia masih berharap, ia akan mendapat giliran pertama, sesuai urutan mendaftar. Dengan sedikit lega, ia masuk bersama puluhan tamu yang hendak bertemu Wali Kota dengan berbagai kepentingan itu. Jam dinding bernyanyi untuk pukul sembilan malam.
Ruang tamu di bagian tengah rumah dinas itu, besar sekali. Tamu sebanyak itu, cukup dapat tempat duduk di sofa yang empuk. Tamu-tamu itu pun disambut oleh pelayan yang menghidangkan semangkuk teh panas untuk masing-masing tamu. Semua seperti diatur oleh ajudan yang berpakaian rapi itu sambil terus memegang kertas-kertas formulir yang telah diisi tamu-tamu. Tiap sebentar ajudan itu keluar masuk ke ruang tamu depan, dengan tanda bel listrik. Sebentar-sebentar menjawab telepon. Kadang-kadang tergopoh-gopoh masuk menerobos pintu yang membatasi ruang itu dengan ruang tamu utama karena telepon itu penting dan dari orang penting untuk Wali Kota.
Di ruang yang terbatas itu, sang ajudan mondar-mandir dengan sikap sigap dan tegas, tanpa banyak senyum. Orang-orang yang sabar menunggu lebih banyak mencurahkan perhatian pada ikan arwana di dalam akuarium, kemudian pada ajudan itu. Keduanya sama-sama lincah. Dan, setiap orang yang dipanggil dan diantar ke ruang tamu utama menghadap Wali Kota, yang lain seperti protes, tapi tidak dinyatakan, kecuali Engku Nawar.
”Sabar, Pak. Ini bukan kemauan saya. Pak Wali yang minta.”
Meski tidak dibantahnya, Engku Nawar tidak percaya. Itu pasti pandai-pandainya ajudan arwana itu. Buktinya? Nomor satu, nomor dua, nomor tiga, dan selanjutnya, Engku Nawar belum juga dipersilakan menghadap. Kalau saja ia tidak tua, ia akan menerobos masuk. Tapi, niat itu ditekannya. Engku Nawar sadar, tugas ajudan itu berat, dan itu pernah dialaminya sewaktu menjadi ajudan Kapten Tulus, orangtua Wali Kota itu.
Ikan arwana yang tetap mondar mandir di dalam akuarium itu kelihatan semakin besar dan terasa makin mendekat ke tempat Engku Nawar duduk sambil berselonjor kaki karena telah penat menunggu. Dan, akuarium itu kelihatan semakin miring ke depan, seperti hendak jatuh dari kedudukannya. Air di dalam akuarium itu berguncang hebat. Engku Nawar merasa pusing dan hendak jatuh ke lantai. Merasa hendak muntah. Ia menoleh dan memegang bahu Sarini kuat-kuat. Tapi Sarini seperti menghindar dan terlempar ke lantai.
”Pak, Pak. Giliran Bapak…” ajudan menggoyang-goyang Engku Nawar yang tertidur di kursi sofa itu.
”Gempa susulan?”
Ajudan tersenyum, meski matanya juga sudah merah.
Engku Nawar mengucek-ucek matanya. Menguap dan cepat tersadar. Wali Kota telah berada di depannya. Wali Kota juga sudah kelihatan lelah dan bermata merah.
”Maaf Engku. Saya hari ini banyak tamu. Kalau Engku ada perlu, tulis saja surat, nanti kasi sama ajudan saya ini di kantor, besok atau lusa lewat pukul dua. Sekarang pulanglah dulu, sudah malam. Atau saya suruh antar pakai sopir?”
”Tidak usah Pak Wali. Saya pulang dibonceng cucu saya ini.”
Wali Kota dan ajudan arwana itu mengantar Engku Nawar yang berjalan tertatih-tatih dibimbing cucunya ke depan pintu. Angin malam menggigilkan Engku Nawar di atas sepeda motor cucunya. Di perjalanan, perutnya terasa mulas hingga ia tak mampu menahan berak di celananya.
Rawamangun, 5 Januari 2006
Tulis komentar baru