Ketika aku belum benar-benar sadar dari kantuk yang luar biasa, tiba-tiba kulihat bayangan tubuh lelaki berdiri di atas meja. Dalam busana lengkap seperti terlihat di plakat-plakat, aku tak ragu dia adalah figur pemimpin besar yang dijunjung tinggi dan dipuja seperti dewa di negerinya hingga menjelma seperti wujudnya sekarang: sebuah patung. Dia sedang menatapku dengan wajah tidak ramah seolah apa yang kubayangkan tentang dirinya telah terbaca olehnya: “Engkau bukan milikku, aku bukan punyamu.” Tetapi, yang mengherankan, pada lehernya melingkar sebuah arloji tangan! Bagaimana bisa?
Arloji itu milik istriku pemberian Mei Lan kemarin malam: “Untuk istri Bung sendiri!” Dan aku telah meletakkannya di atas meja, bukan di lehernya. Siapa memindahkannya? Mei Lan? Dengan mata setengah terbuka setengah terpejam kuedari seluruh ruangan, tetapi interpreter yang ramah itu tak kulihat batang hidungnya. Namun, pesan yang diucapkannya masih terdengar hingga ke dasar kesadaranku yang mendadak mulai menjadi tuli. Aku tak mampu memikirkannya karena prostata kronis yang kuderita selama ini membuatku terbirit kencing dan ini kualami empat sampai lima kali setiap malam.
Tak ada sandal tersedia di muka sofa hingga kurasakan telapak kakiku menapaki lantai yang mengilat dan dingin ketika melangkah ke arah pisoar. Dan alangkah susah bagiku membuka mata di pagi buta! Semalaman ketika pulang dari pertunjukan opera di aula hotel, barangkali hanya beberapa jam aku tertidur, ternyata bukan di kasur, tetapi di atas sofa.
Agaknya seseorang, barangkali Mei Lan sendiri, malam tadi telah memapahku melangkah pulang ke kamar karena aku terlalu banyak menenggak Mothai pada acara terakhir bersama para penari opera. Dan dia telah memasang arloji itu melingkar di leher guru besarnya sebelum meninggalkan kamarku.
Keluar dari kamar mandi setelah cuci muka aku mulai sadar apa yang kualami malam tadi. Sebelum lupa aku sempat mencatatnya.
Baru setengah halaman aku menulis surat buat istriku di Tanah Air ketika dengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Ternyata Mei Lan, tampak menggigil sambil meremas-remas jari-jemari kedua tangannya. Kedatangannya sangat mengejutkanku. Sebenarnya jika ada sesuatu yang penting dan mendesak untuk disampaikan, Mei cukup menelepon saja dari kamar interpreter. Tetapi, mengapa dalam cuaca seburuk itu dia nekat bersijingkat lari menyeberangi dua lapangan bola basket di sebelah kiri hotel hanya untuk menemuiku? Badai salju menempias wajah Mei Lan. Dengan napas terputus-putus gadis itu memberi tahu,
“Satu jam lagi opera… opera… akan dimulai, Bung….”
“Masih cukup waktu Zus, mengapa tergesa-gesa?” kataku.
“Ada yang perlu kusampaikan sebelum pertunjukan dimulai.”
Setiap kali seorang interpreter datang, selalu saja muncul prasangka di hati ini, mereka tak pernah lupa akan tugas rangkapnya sebagai penerjemah sekaligus propagandis partai: menggiring semua kawan agar mengikuti semua program. Bagiku sangat sukar buat menghindar. Hanya demi kesopanan saja biasanya aku menindas rasa bosan dalam hati untuk menuruti imbauan interpreter. Namun, aku tak tahu mengapa terhadap Mei Lan aku tak pernah bosan, padahal kedatangannya pasti mengemban tugas yang sama: menggiring semua kawan agar malam itu ikut hadir dalam sajian seni berupa opera di pentas aula. Kulihat asap kecil-kecil keluar dari mulut Mei ketika dia berbicara. Gadis itu sedang kedinginan. Butir-butir salju seperti pasir berguguran dari leher mantelnya bila dia menggerak-gerakkan pundak.
“Ayo duduk, Zus.” Kusilakan dia masuk ke kamar.
“Sebentar saja ya, Bung … Ada yang perlu kusampaikan.”
“Tentang Dewi Uban itu? Aku sudah pernah baca resensinya di Beijing Review,” kataku saat melihat lembaran-lembaran kertas di tangan Mei Lan.
“Itu memang versi terbaru, tetapi pasti bukan yang terakhir,” katanya.
Mei Lan memberiku selembar kertas stensilan. Sebenarnya aku tak memerlukannya karena sudah hafal jalan ceritanya setelah beberapa kali menonton, meskipun itu versi sebelum Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Tetapi, kurang sopan rasanya jika aku menolak untuk menerima dan membaca sinopsisnya.
“Ada lagi yang penting selain ini, Zus?” tanyaku.
“Terus terang ya, Bung, justru untuk itu aku datang ke sini. Tetapi, persoalannya bersifat sangat pribadi.”
Sangat pribadi? Kaget juga aku mendengarnya. Kehadirannya di kamarku pada malam ketika di luar sana salju berhamburan, itu saja sudah membuatku bertanya-tanya.
“Panas benar kamar Bung ini,” kata Mei tiba-tiba.
Brengsek. Itu saja rupanya apa yang disebutnya sangat pribadi! Namun, kalimat Mei sempat membuatku melangkah menghampiri termometer di atas heater, memastikan jawaban dari skala air raksa.
“Delapan belas derajat, Zus. Normalnya berapa di hotel ini?”
“Sudah maksimal itu Bung, maafkan, kecilkan sedikit.”
Ya, aku masih saja sejenis makhluk manja di negerinya, teledor dan lupa buat menghemat penggunaan energi, padahal saban hari dengar propaganda penghematan yang selalu didengungkan. Bahkan sebatang paku di pinggir jalan adalah harta berharga yang perlu dan harus diselamatkan. Di asrama penampungan kami dulu, anak-anak dengan rajin dan penuh disiplin keluar-masuk gedung hanya untuk menegur paman-paman dan bibi-bibi yang kelupaan mengecilkan atau mematikan lampu yang dibiarkan menyala sepanjang lorong di antara deretan kamar-kamar. Salah seorang sasaran mereka adalah aku: penghuni kamar paling depan di gedung kami. Dengan lantang mereka berbarengan mengutip Mao Tjusi Ilu, kata-kata Ketua Mao, entah halaman berapa dari buku saku warna merah yang mereka bawa ke mana-mana. “Kita harus menghemat setiap sen demi membantu rakyat-rakyat tertindas seluruh dunia melawan…” dan sebagainya dan selanjutnya. Begitu hafal anak-anak ini mengutip kata-kata sang Ketua. Tetapi, Mei barangkali lupa, peringatan seperti itu hanya perlu diulang-ulang kepada seluruh rakyat negerinya, tetapi tidak kepadaku: si makhluk manja yang keras kepala. Sambil lalu aku tanyakan, “Berapa derajat di kamar Zus sana?”
“Heater jarang kupasang,” jawab Mei ringan.
Aku tak tahu apakah dia bermaksud memberi saran supaya aku memutar pengatur temperatur sampai titik nol. Namun, waktu tanganku menjamah barang berharga itu Mei Lan menarik lenganku.
“Jangan Bung! Maafkan, aku tidak bermaksud menegur. Hanya merasa kepanasan di kamar Bung ini.”
“Sudah kuputar sampai minimal. Memang agak kepanasan.”
“Jangan lebih rendah, bisa kedinginan….”
“Mari Zus, mantelnya,” kualihkan pembicaraan. Kurenggut kerah mantel Mei dari belakang punggungnya dan dia melepaskan diri dari belenggu mantel birunya. Paling tidak tiga kilogram beratnya, kusangkutkan pada kapstok di sisi lemari. Entah barang apa berada dalam gembolan saku mantelnya.
“Bung sudah makan?” tanyanya. “Kantin sudah dibuka.”
“Belum lapar, Zus, sebentar lagi.”
“Tetapi, satu jam lagi opera akan dimulai.”
“Ya, setengah jam lagilah. Sekarang katakan saja, apa yang bersifat sangat pribadi itu?”
“Hanya jika Bung tidak keberatan. Memang soal pribadi saja.”
“Bukan urusan hengkang?”
Tidak dengan sengaja aku menyindir Mei. Terlontar begitu saja dari mulutku. Terkadang aku lupa, semua interpreter bersikap netral dalam urusan intern organisasi partai sebagai satu-satunya instansi yang dianggap bertanggung jawab atas semua urusan orang Indonesia yang masih berada di negerinya karena terhalang pulang.
“Boyong ke desa itu maksud, Bung?” peras Mei Lan.
“Ya. Tetapi, Zus tahu bukan, tak bakalan aku bersedia pindah ke desa!”
“Bung juga tahu, itu bukan urusanku sebagai interpreter.”
“Nah baiklah, katakan saja urusan pribadi apa yang Zus maksudkan.”
“Tak terlalu penting sebenarnya.”
“Bagiku soal pribadi juga penting, Zus… Pribadi siapa? Pribadiku? Pribadi Zus sendiri?”
Senyum Mei serasa isyarat bagiku agar tak mengajaknya ikut berdebat perihal hengkang ke proyek baru pimpinan organisasi partai. Tak ada niat bagiku menentang proyek mereka yang sebenarnya bukan proyeknya. Mereka tinggal mengamini seniornya: Partai Komunis Tiongkok. Asas sama derajat di antara partai-partai sekawan sudah lama terkubur. Begitulah nasib orang kalah, dan aku sendiri bukan orang yang menang. Tetapi, siapa menyebar kebohongan demi pelaksanaan program pindah ke desa itu?
Entah siapa akhir-akhir ini menyebar rumor seolah sekarang sudah mulai ada usaha pendekatan antara RI dan RRT buat merintis pemulihan hubungan diplomatik! Sungguh absurd. Biasanya itu berasal dari sumber berita VOA >sup<1)>res<>res<, tetapi tak tertutup kemungkinan berasal dari kawan sendiri. Bila itu benar, akan tiba saatnya, entah kapan, dan itu tak akan lama lagi, kami akan tinggal onggokan sampah yang dicampakkan orang ke jurang sejarah. Konon yang absurd itu adalah syarat utama yang dituntut menteri luar negeri RI: jangan lagi melindungi sisa-sisa Gestapu-PKI. Dan tampaknya proyek pindah ke desa merupakan persiapan menuju pemulihan hubungan diplomatik. Huh!
Kulihat Mei Lan agak lama terdiam dan akhirnya:
“Aku datang ke sini bukan untuk urusan pribadiku sendiri. Bukan juga pribadi Bung.”
“Pribadi siapa?”
“Pribadi kita berdua…,” tegas Mei.
Pribadi kita? Terkejut aku mendengar cetusan Mei Lan! Kalau begitu, ini sudah berarti skandal yang melibatkan dia dengan diriku. Apakah selama ini aku salah langkah dalam memperlakukan interpreter yang satu ini? Bagiku keakraban hubungan kami selama ini biasa saja, tidak berlebihan. Mei cuma seorang interpreter, bertugas membantu kawan-kawan Indonesia yang jumlahnya tak banyak lagi di ibu kota. Tetapi, dia juga bekas warga negara Indonesia atau malah masih memiliki kewarganegaraan rangkap selama studi di negeri leluhurnya. Kondisi khusus Mei telah lama membuat aku biasa memanggilnya “Zus”, bukan “Kawan”. Celakanya, kawan-kawan lain lebih sering pergi sendirian dan aku paling sering meminta bantuan Mei Lan selaku penerjemah dalam rangka persiapan berangkat untuk meninggalkan negerinya. Urusan exit-permit dan health certificate saja sudah memaksa kami sering berdua-dua pergi bersama, terkadang sampai malam.
“Katakan terus-terang Zus,” kudesak Mei. “Aku punya anak-istri di Indonesia.”
“Dan aku sendirian di sini, Bung. Kita harus berhati-hati.”
Gemetar seluruh sendi tubuhku. Baru sekarang aku merasa, mungkin sudah lama tersiar fitnah tentang persahabatanku dengan Mei Lan.
“Zus,” tiba-tiba saja aku menegurnya. “Jangan lama-lama menemui aku di kamar ini.”
“Tetapi, ini kesempatan terakhir. Tak lama lagi Bung berangkat pulang, bukan?”
“Tergantung tiket pesawat.”
“Aku tahu. Tetapi, bukan itu maksudku. Bung ingat titipan Ven Lan dari Surabaya itu? Sepatu Bata, sepasang kaus kaki, satu sweater, satu arloji tangan.”
“Tentu saja ingat, tetapi lupa isinya. Ven Lan itu muridku di Surabaya dan Zus sendiri sepupunya. Tugasku cuma bawa titipan itu buat Zus. Dan itu sudah empat tahun yang lalu ketika Zus masih studi di Beida >sup<2)>res<>res<.”
“Maafkan Bung, baru sekarang aku mau bilang. Aku tidak bisa menggunakannya. Aku tidak memerlukan itu.”
“Sudah selama itu? Dan baru sekarang bilang? Mengapa tidak bisa menggunakannya? Kebesaran atau bagaimana?”
“Semua pas-pasan saja, termasuk sepatu dan kaus kakinya. Ven Lan tahu benar ukuran sepatuku.”
“Lantas apa soalnya?”
“Situasinya yang tidak pas. Terlalu mewah bagiku. Bung tahu sebabnya. Seluruh rakyat Tiongkok hidup sederhana dan aku disuruh bermewah-mewah di depan mata mereka? Ketua Mao bilang….”
“Cukup, Zus, cukup.” Sengaja kupotong kalimat Mei Lan. “Cukup jelas bagiku, tetapi ada soal apa lagi dengan titipan itu?”
“Tak ada soal selama aku tidak menggunakannya. Aku cuma berharap Bung sudi membawa titipanku juga. Sekali lagi ini bersifat sangat pribadi.”
“Terlalu pribadi?”
“Bung segera pulang ke Indonesia, bukan? Tidak keberatan bawa titipanku?”
“Zus percaya aku segera bisa pulang ke Indonesia?”
“Tidak. Tetapi, itu semboyan dan tekad Bung sendiri bukan?”
“Selalu ada jarak antara tekad dan kenyataan, mungkin pendek tetapi bisa sangat panjang.”
“Bung belum yakin?”
“Tentu saja aku yakin, tetapi masih banyak rintangan. Dari kawan sendiri, misalnya.”
Mei Lan tak menanggapi dan aku tidak bermaksud melibatkannya dengan urusan intern kami sendiri. Tetapi, dia mendesak juga.
“Kira-kira saja kapan?”
Tiba-tiba aku curiga, jangan-jangan Mei Lan sudah sejak awal menjadi alat organisasi partai atau bahkan pemerintah Tiongkok untuk menggiring kami berangkat, bukan ke Eropa Barat tetapi ke desa!
Belum aku menjawab pertanyaannya, dan Mei tiba-tiba merenggut tanganku. Betapa lembut. Betapa hangat.
“Katakan kapan!” desaknya.
“Belum jelas, Zus,” kataku.
“Meskipun begitu sebaiknya titipan itu kuserahkan sekarang. Bagaimana?”
“Baiklah, berikan sekarang. Tetapi, kalau aku gagal pulang ke Indonesia bagaimana?”
“Enggak soal. Simpan saja. Titipan ini buat istri Bung sendiri.”
Aku geleng kepala. Mei Lan beranjak dari kursi, melangkah mengambil mantelnya di cantolan. Dari sakunya dia keluarkan sebuah bungkusan karton.
“Arloji itu Bung, lebih baik dipakai istri Bung.”
“Arloji? Jangan, Zus, jangan. Lantas apa yang berat ini?”
“Itu untuk Bung sendiri. Patung Ketua Mao.”
Aku terdiam. Mei memelukku. Aku memeluk Mei. Aku tidak sedang bermimpi. Kulihat sepasang mata menggelimang di wajah Mei Lan ketika dia melangkah keluar dari kamar.
>diaC<
Surat kepada istriku masih telantar di meja di bawah kaki Ketua Mao. Semalam aku belum sempat merampungkan. Hanya beberapa jam aku tertidur di atas sofa. Seseorang pasti telah memapahku balik ke kamar, barangkali Mei Lan sendiri, karena aku terlalu banyak menenggak Mothai dalam acara bersama pada penutupan opera.
Dan pagi itu aku tak tahu, akan kukemanakan benda keramat itu. Kubawa pulang ke negeriku? Ia lebih berguna bagi rakyatnya. Barangkali.
Tetapi, di mana Mei Lan? Malam itu ternyata hari terakhir aku melihatnya. Gadis yang lembut dan jujur itu sudah pada esok harinya menghilang. Dia memikul tugas barunya di ladang-ladang pertanian jauh di luar ibu kota. Laudung kata orang. Kerja badan. Pendidikan ideologi. Seperti rumor yang mulai beredar di Hotel Druzhba: pangkalan terakhir kami di negerinya.
Paran, awal September 2007
________
1) VOA – Voice Of America
2) Beida – Beijing Daxue, Universitas Beijing
Tulis komentar baru