Apa yang bisa kukatakan kepadamu tentang orang-orang ini. Atau lebih baik begini. Jika kau bermaksud mengukur, atau menakar, atau mengira-ira bagaimana watak mereka, kau mungkin akan kesulitan. Tak ada ukuran yang bisa kau gunakan.
Kesulitanmu itu bisa jadi karena apa yang kau saksikan adalah sesuatu yang baru dan belum pernah melintas dalam mimpimu sekalipun. Atau, bisa jadi, kau kurang “alat” untuk menentukannya.
Maaf, jangan tersinggung. Ini memang sulit. Jangankan kau, aku sendiri yang lahir dan besar di sini pun tak paham benar apa yang terjadi dengan mereka. Aku yang meminum air tanah daerah ini pun masih tak paham mengapa semua ini begitu membingungkanku.
Begini. Kebingunganku berawal ketika aku sudah mengerti apa artinya sekolah.
Seingatku, setiap pagi, Ibulah yang memakaikan pakaianku yang berwarna merah dan putih itu. Dia pula yang menyisir rambutku, mengenakan topiku—yang juga berwarna merah—dan akhirnya memelukku erat sebagai bekal hariku bersekolah. Hari masih terang tanah ketika sepeda Bapak terangguk-angguk menyusuri jalanan desa dan diriku masih terkantuk-kantuk di boncengan menuju sekolah.
Ketika sudah kudengar kicau burung dan kabut mulai menyibak, kami sampai di mulut desa. Sepeda tua Bapak, dengan karat di sana-sininya, masih mengerit-gerit, menuju sekolahku. “Di sana nanti kamu akan tahu, mengapa kita seperti ini. Dan kuharap Bapak masih sempat menyaksikan kamu tidak seperti kami….” Itu ucapannya yang masih kuingat pada hari pertamaku sekolah.
Yang kuingat juga adalah pada suatu kali, aku disuruh pulang oleh Bu Guru. Katanya, aku dihukum. Sesampai di rumah, Bapak melolos ikat pinggangnya dan tanpa kata-kata segera menghajarku. Setelah puas menghantamkan ikat pinggangnya, baru kemudian dia bertanya mengapa aku pulang lebih awal.
Aku pun menceritakan tadi aku mengerjakan soal Bahasa Indonesia dan diminta menjawab pertanyaan dengan mengisi titik-titik yang kosong.
“Apa pertanyaannya?” bentak Ayah geram. Kusaksikan Ibu terisak dalam diam.
Kubaca tulisan di buku tulisku, “Ayah Tono adalah orang baik, pekerjaannya …titik-titik-titik…”
“Apa jawabmu?”
Setelah ragu, aku menjawab, “Pencuri….”
Aku membayangkan ikat pinggang Ayah membelah punggungku. Tetapi tidak. Aku heran menyaksikan Ayah yang pergi dengan langkah gontai. Entah apa yang terjadi.
Malamnya aku bertanya kepada Ibu. Ibu pun diam. Aku bertanya tentang mengapa “mencuri” tidak diperbolehkan di sekolah. Bahkan, ketika aku menuliskan jawaban itu, aku dihukum. Juga ketika kutanyakan mengapa sikap Ayah seperti itu setelah mendengar jawabanku, Ibu pun hanya diam. Kusaksikan wajahnya tampak kian tua, tatapannya memberat. Sepertinya di atas kepalanya ada berpuluh-puluh batang kayu gelondongan yang menindihnya. Ayah saja tak mampu mengangkat gelondongan kayu jati itu seorang diri, apalagi Ibu yang cuma seorang perempuan.
Sejak peristiwa itu, aku tak boleh sekolah oleh Ayah. Meskipun kutanyakan, bukankah dulu dia yang bersemangat menyuruhku sekolah, dia bersikeras. Kau bisa membayangkan apa yang kumaksud dengan “bersikeras”, kan? Tetapi, selang seminggu kemudian, Ibu rupanya berhasil membujuk ayah agar aku kembali bersekolah. Dan memang akhirnya aku sekolah kembali hingga selesai. Anehnya, sejak tugas yang membuatku dihukum, guruku menjadi sangat tak acuh padaku, padahal, tak sebatang pensil pun hilang dari kelasku.
“Ini kita muatkan ke truk itu. Dapat bayar. Selesai.”
“Berdua?” tanyaku tak percaya.
“Kau jauh lebih muda. Lebih kuat. Apa kau sudah jadi perempuan?” bisik ayahku dingin. Kudengar deram mesin truk di ujung sana.
Maka, tanpa banyak kata, kami pun bersimbah peluh, menggelondongkan batang-batang besar, memikul, dan memuatkannya pada truk. Hanya berdua. Dan hanya berdua pula uang yang kami terima: lumayan.
“Dengan ini, kita bisa makan,” ucap Ayah tenang. Dia sudah tua, tetapi tenaganya seakan tak pernah surut.
“Sebagian lagi kau bagikan kepada Tewel.”
“Berapa?”
“Lebihkan sedikit dari yang lalu….”
“Mengapa?”
“Katanya, untuk membayar uang pangkal anaknya….”
“Enak betul….”
“Sudahlah.., daripada nanti kita dapat masalah.”
Dan sore itu aku ke perbatasan hutan jati menemui seorang polisi—entah apa pangkatnya—dan menyerahkan sejumlah uang seperti yang dipesankan ayahku.
Seperti biasanya, dia memintaku untuk meletakkan amplop itu di suatu tempat yang ditentukan dan begitu aku melangkah jauh, dia akan segera mengambilnya. Itu dilakukannya agar tak ada orang lain yang tahu. Jujur saja, aku ingin membelah kepalanya, mengeluarkan otaknya, dan membakarnya sampai jadi abu. Aku tak tahu mengapa niat itu belum kulaksanakan, padahal dia selalu menyulitkan kami. Tanpa dia pun kami akan baik-baik saja, sebetulnya.
Bayangkan, di sini siapa yang akan melaporkan kami? Melaporkan apa? Pencurian? Jangan-jangan jika kau, misalnya, melaporkan kepada polisi, kau malah ditanyai habis-habisan: mencuri itu apa? Di wilayah kami hanya ada kerja bakti, saling menghormati, hidup bahagia, tetapi tidak untuk “mencuri”. Tak ada itu dalam hidup kami. Jadi, Saudara jangan mengada-ada, bisa-bisa kena pasal fitnah.
Itu jawaban yang akan kau terima. Tak percaya, coba saja.
Kami semua lahir dan hidup di gunung ini, yang seluruh lembahnya ditumbuhi pohon jati. Sejak moyang kami, kami memang hidup dengan pohon-pohon ini. Dan hutan-hutan ini seakan tak habis-habisnya, jadi memang inilah yang bisa kami lakukan untuk hidup. Apa ini salah?
Percayalah, tak ada sesuatu yang kau sebut “mencuri” itu di desa kami. Ini milik kami dan kami menjualnya. Jadi, apa yang kami lakukan, yang menurut kalian adalah perbuatan tidak baik, bagi kami malah mulia.
Entah sejak kapan, tiba-tiba entah dari mana ada peraturan pelarangan menebang pohon jati. Ini hutan kami. Ini pohon jati kami. Kami yang merawatnya, menjaganya, dan memanfaatkannya. Mengapa kami tak boleh menebangnya? Bagaimana memanfaatkan pohon jati, tanpa menebangnya? Ini aneh. Peraturan aneh. Dan sejak peraturan aneh itu, kami jadi terpaksa berhubungan dengan para polisi itu. Kami jadi harus menyetorkan jerih payah kami kepada mereka, yang bahkan tak ikut memegang kapak sekalipun. Aneh!
Seusai sekolah menengah pertama, yang kulalui hampir seluruhnya dengan berkelahi, aku tak melanjutkan pendidikanku lagi. Pertama, karena Ayah kian banyak berurusan dengan para polisi; kedua, karena guru-guruku tak menyarankan aku untuk sekolah lagi. Aneh.
Maka, sejak saat itu aku menjadi pembantu Ayah. Mempersiapkan peralatan, bekal, dan tentu saja tenaga. Meskipun begitu, tidak setiap hari kami melakukan penebangan. Benar bahwa dulu pun tidak setiap hari kami menebang. Ayah akan melihat dan menentukan pohon mana yang cocok untuk ditebang, wilayah mana yang merupakan “larangan” bagi semua penduduk, dan seterusnya. Tetapi, kejarangan menebang kami kali ini lebih dikarenakan begitu banyaknya “musuh”. Istilah ini aku dengar justru dari Pak Tewel, polisi tambun yang dulu ingin kujadikan santapan kapakku. Ya, dia masih saja berkumpul bersama kami, padahal dia bukan kelahiran sini. Entah pangkatnya apa, yang jelas mobilnya selalu berganti-ganti dan jumlahnya tidak hanya sebuah.
Aku, dan mungkin juga Ayah, serta orang-orang sini, tak paham benar apa yang dimaksud dengan “musuh”. Yang jelas, sekarang kami berada dalam kendali Pak Tewel dan konco-konconya. Jika mereka bilang “jangan”, maka kami tak bisa menebang. Sebaliknya, jika dia diam saja, berarti hari itu kami dapat uang. Masalahnya, Pak Tewel lebih banyak berkata “jangan”. Celaka!
Suatu malam, ketika kami: aku, ayah, Pak Min, Pak Mus, dan Pak So tengah berkumpul membicarakan situasi yang “diciptakan” Tewel, tiba-tiba kami dikejutkan oleh teriakan seseorang. Ternyata istri si Kam yang melolong, suaminya mati. Kam, terbaring selama tujuh hari. Tubuhnya lebam-lebam, sering muntah darah, dan merintih terus. Dia sempat cerita—sebelum akhirnya pingsan berkepanjangan dan akhirnya mati—bahwa Tewel ternyata menerima uang dari “musuh” yang sering didengung-dengungkannya.
Ketika mendengar itu, kapakku mendesis. Malam itu, ketika kusaksikan sendiri Kam mati, tak ada lagi maaf untuk manusia yang satu itu. Aku sendiri sudah tak bisa lagi menahan diri. Bapak kulihat menyetujui, tentu saja hanya lewat pandangannya yang dingin. Kam mati lantaran tahu rahasia Tewel. Tewel harus mati karena dia membunuh kami. Hanya kami yang punya hutan jati, dan jati adalah kami, tak boleh orang lain mengusai kami.
Malam itu juga, Kam kami makamkan. Sepulang dari makam, malam itu juga, kami berlima puluh laki-laki mulai menebang jati. Tak ada lagi uang. Tak ada lagi makanan. Perut lapar, kami punya jati dan jati memberi kami hidup. Tak ada lagi yang bisa menghalangi. Berani menghalangi, berani mati.
Pak Mo, yang ternyata diam-diam berhasil memiliki gergaji buaya, begitu kami menyebutnya—karena gigi-giginya sepanjang moncong buaya—membuat pekerjaan jadi lebih mudah. Begitu gergaji Pak Mo menggeram, sebentar kemudian pohon pun tumbang, kemudian kami kumpulkan ke suatu tempat yang sudah kami persiapkan. Besok, pasti ada truk yang akan membayar dan mengangkutnya.
Pada pohon yang kelima puluh, menjelang subuh, kudengar suara tembakan. Aku hafal betul, itu senjata Tewel. Kami sudah menduga, dia akan marah karena saat ini dia tengah melarang kami menebang. Apa peduliku? Siapa dia? Pengemis hina tak tahu diri, berani-beraninya melarang kami.
Sekarang, apakah kau mengerti yang kumaksudkan? Ketika kutuliskan ini semua, peristiwanya sudah lama berlalu. Setelah hari-hariku di balik jeruji kutuntaskan, semuanya mungkin sudah punah di sana. Aku tak tahu lagi bagaimana nasib ibu. Ayah yang terobek peluru dan dua puluh lagi laki-laki kami yang mati menjadi saksi bahwa kami memang pernah ada. Tewel, sebagaimana yang kucita-citakan, mampus terbelah kapakku. Puas aku. Puas, karena seperti kuduga, tengkoraknya kosong melompong tak ada otaknya. Aneh! Kau pasti tak percaya. Coba saja. Amati orang-orang seperti Tewel, lalu ajak bicara, pasti tak bisa. Nah, orang seperti itu, pasti tak punya otak. Kalau tak percaya, ambil kapak, belah kepalanya.
Maaf, mungkin bicaraku terlalu kasar untuk ukuranmu. Jujur saja, aku tak tahu ke mana harus belajar sopan santun. Hanya usia yang membuatku kian luruh. Aku hanya mampu begini, menuliskan apa yang mampu kutulis. Mungkin menjadi sebuah cerita. Mungkin hanya coretan tak berarti—bagimu, tetapi ini semua memiliki arti penting bagiku.
Aku bukan saja kehilangan jatiku, tetapi kedua orangtuaku dan mereka yang kukenal benar sebagai sahabatku. Di luar gunung itu aku tak mengenal siapa pun. Juga selama hampir 15 tahun aku mendekam di penjara ini, aku tak mengenal siapa pun. Oh, sebentar, maksudku, tubuhku memang berada di balik jeruji itu, tetapi aku… aku melayang menuju gunung berhutan jati itu, menziarahi makam orang-orang yang kucintai—seandainya memang mereka dimakamkan. Selama di penjara, aku selalu berusaha menemukan kembali topi merahku yang kecil itu. Di sana, ada kecupan Bunda yang mengantarku ke sekolah. Aku selalu berusaha, namun sampai sekarang tak bisa kutemukan di mana.
Kembali kukenang lagu masa kanak-kanakku, yang selalu kami nyanyikan manakala kami berkumpul atau membantu ibu-ibu kami mengumpulkan klaras: …pring reketeg gunung gamping jebol… yang jujur saja tak kuketahui sama sekali apa maknanya. Jangankan maknanya, selengkapnya pun aku sudah tak ingat lagi. Tetapi, semua peristiwa yang terjadi di desaku, mendekam, membatu dalam sudut kenanganku.
Sebetulnya aku ingin menceritakan selembar daun jati yang kami sebut klaras. Konon, itulah sebabnya si Cindelaras dinamai demikian karena ketika bayi merah dan diketemukan orang dia tengah ditutupi klaras oleh yang meninggalkannya. Dan asal tahu saja, Cindelaras lahir di desa kami: hutan jati. Hutan jati yang kini entah ada di mana….
Pinang, 982
Tulis komentar baru