SATU
Kuda bernama Grudo yang ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri bergerak tidak terlalu cepat. Sebentar lagi mereka akan keluar dari kawasan hutan belantara an langsung menuju pinggiran Timur Kotapraja. Disitu Wiro akan melepaskan putri bungsu Prabu Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban berat menjaga keselamatan sang dara namun perpisahan membuat hatinya agak haru.
Saat itu menjelang dini hari. Udara masih gelap dan hawa terasa dingin. Mendekati dua buah pohon besar yang terletak mengapit kira-kira dua tombak di depan jalan yang mereka tempuh murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah Grudo. Diamemandang tak berkesip ke arah dua pohon besar di kiri kanan jalan.
”Ada apa,” bisik Gayatri bertanya.
”Saya punya firasat tidak enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di balik pohon menghadang kita,” jawab Wiro.
”Gandita?”
”Mungkin, tapi bisa juga orang lain. Atau Gandita bersama orang lain.”
”Kalau begitu kita ambil jalan lain saja,” mengusulkan Gayatri.
Wiro mengangguk. Dia menarik tali kekang Grudo. Namun belum sempat dia memutar kuda itu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara desiran angin disertai berkelebatnya satu bayangan hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di belakang Wiro terdengar menjerit. Wiro membalik. Dan terkejut besar. Gayatri tak ada lagi di belakangnya!
Pendekar 212 melompat dari atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi dia tidak melihat bayangan siapapun. Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara kerontangan Wiro Sableng lenyap, menyusul terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat berpaling ke arah itu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar dilihatnya Gandita bertolak pinggang.
”Bangsat! Kau menculik...”
”Apa kau lihat kawanmu itu ada bersamaku?” ujar Gandita dengan seringai mengejek.
Aneh, bangsat ini tampak biasa-biasa saja. Padahal sebelumnya dia jelas menderita luka dalam parah! Pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin ada orang pandai luar biasa yang menolong dan mengobatinya.
Gandita tak bergerak di tempatnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang. Dengan senyum mengejek dia berkata.
”Kau masih ingin mencari temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti perempuan itu?! Lihat apa yang terjadi di balik pohon besar sebelah kanan sana!”
Sesaat Wiro agak bimbang. Namun ketika dia menangkap suara seperti orangsedang berkelahi dari arah pohon besar yang disebutkan Gandita maka murid EyangSinto Gendeng segera berkelebat ke balik pohon itu.
Begitu sampai di balik pohon besar murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut menyaksikan apa yang terjadi.
Di situ dilihatnya seorang kakek berkulit hitam dengan rambut di gelung ke atas dan bertubuh tinggi dengan tampang kuyu sedih tengah mengepit tubuh Gayatri di tangan kirinya. Orang tua berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara seperti orang menangis sesenggukan terus menerus.
Astaga! Manusia ini adalah Dewa Sedih, kakak Dewa Ketawa, pentolan kaki tangan pemberontak! Celaka! Membatin Wiro. Jangan-jangan dia yang telah mengobati Gandita!
Gayatri sendiri yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan dikepit erat oleh kakek berkulit hitam. Sambil mengepit Gayatri si kakek berkelahi menghadapi seorang lawan dan dari mulutnya masih saja terus terdengar suara seperti menangis.
Yang dihadapi Dewa Sedih saat itu adalah seorang kakek aneh memakai caping lebar di kepalanya. Dia memanggul sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia Wiro Sableng memegang sebuah tongkat kayu sedang di tangan kanannya ada sebu-ah kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil. Setiap saat kaleng rombeng ini digoyang-goyangkannya sehingga mengeluarkan suara berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak kian kemari dalam gerakan aneh yang ternyata adalah serangan-serangan ganas yang mengurung kakek hitam. Bagaimana-pun kakek hitam ini berusaha bertahan dan mencoba membalas namun serangan tongakt itu sulit ditembusnya.
Masih untung dia belum sempat kena gebuk atau tertusuk ujung tongkat. Yang sungguh luar biasanya lagi ialah bahwa kakek bercaping lebar dan berpakaian compangcamping seperti pengemis itu ternyata kedua matanya tidak memiliki bagian hitambarang sedikitpun. Sepasang mata kakek aneh ini putih semua dan tentu saja ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak dapat melihat alias buta!
”Kakek Segala Tahu!” seru Pendekar 212 ketika dia mengenali siapa adanya kakek buta itu.
”Husss! Jangan berisik! Biar aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng yang hendak menculik temanmu ini! Jika dia tidak mau melepaskan temanmu itu, ter-paksa aku menghentikan tangisnya! Menghentikan tangisnya berarti menghentikan jalan nafasnya!” berkata si kakek buta lalu kembali dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sambil tertawa mengekeh.
”Ah benar dugaanku...” kakek hitam yang mengepit Gayatri membatin sambil terus saja sesenggukan. ”Memang dia rupanya. Tapi mengapa ilmunya setinggi ini. Aku ha-nya tahu dia sebagai seorang pengemis yang pandai meramal. Ternyata aku tidak sanggup keluar dari kurungan tongkatnya! Sudah kepalang! Lebih baik mati dari pada menerima malu besar!”
Kakek hitam itu menggerung keras. Saat itu ujung tongkat menyambar ke muka-nya lalu membabat pakaiannya. Breeet! Dada pakaiannya robek besar.
”Itu peringatan pertama dan terakhir!” kata Kakek Segala Tahu. ”Kalau kau masih belum mau melepaskan orang itu, kali berikutnya tongkatku akan menyatai tenggorokanmu!”
”Kau yang bakal mampus duluan pengemis busuk!” teriak kakek hitam lalu kembali menggerung. ”Baiknya lekas kau beri tahu nama atau gelarmu agar setan-setan rimba belantara ini mengantarmu dengan senang ke rimba kematian!”
Kakek bermata buta berpakaian seperti pengemis hanya sunggingkan tawa mengejek. Kakek hitam jadi naik darah. Dia menggerung keras. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Terjadilah satu keanehan dari telapak tangan kakek hitam itu berputar keluar bola api yang langsung melesat ke arah kakek buta!
”Kakek Segala Tahu! Awas! Lawan menyerangmu dengan bola api!” berteriak Wiro. Tangan kanannya sendiri sudah siap diangkat siap untuk memberi pertolongan.
Tapi Kakek Segala Tahu tetap tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa.
Wuss!
Bola api menyambar. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu membungkuk. Tapi gerakannya agak terlambat. Bola api menyambar ganas menghantam caping lebarnya. Caping ini langsung terbakar dibuntal bola api dan terpental jauh. Paras Kakek Segala Tahu jadi berubah. Sebaliknya di depannya kakek hitam malah menangis keras-keras. Mungkin begitu caranya dia menyatakan rasa puas melihat serangannya berhasil walaupun yang menyambar dan membakar caping lawan.
” Dalam dunia persilatan hanya ada satu manusia yang bersenjatakan bola api! Kau pasti adalah Dewa Sedih!”
Kakek hitam dongakkan kepala dan menggerung pilu sekali. ”Kau sudah tahu siapa aku. Akupun sudah tahu siapa kau! Kita orang-orang persilatan akan saling berbu-nuhan!
Salah satu dari kita akan menemui kematian. Betapa menyedihkan...Dewa Bathara kasihani pengemis malang ini...” lalu orang tua ini yang sebenarnya memang adalah Dewa Sedih menangis sejadi-jadinya.
”Manusia edan!” maki Wiro dalam hati. “Kakek Segala Tahu, biar aku yang memberi pelajaran pada tua bangka cengeng ini!”
“Tetap di tempatmu Pendekar 212! Jangan campuri urusan kami dua tua bangka keblinger!” Kakek Segala Tahu membentak, membuat Wiro terpaksa hentikan gerakan.
Hatinya berkebat-kebit apakah kakek buta ini sanggup menghadapi Dewa Sedih yang punya senjata berupa bola api yang dahsyat itu. Selama ini Wiro hanya mengenal Kakek Segala Tahu sebagai seorang jago ramal tiada duanya. Sekarang dia menyaksikan sendiribahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan. Dengan tongkat bututnya dia sanggup membuat Dewa Sedih tidak berdaya. Tapi apakah tongkat buruk itu bisa menghadapi bola api?! Selain hal itu yang dikhawatirkan Wiro adalah keselamatanGayatri yang saat itu masih berada di kepitan tangan kiri Dewa Sedih.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit yang mulai kelihatan terang tanda sebentar lagi pagi akan tiba. Tangan kanannya digoyang-goyangkan. Kaleng rombeng itu mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga. Tangan kirinya mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke tanah.
“Dewa Cengeng!” Kakek Segala Tahu sengaja menyebut nama Dewa Sedih menjadi Dewa Cengeng. “Aku bertanya untuk penghabisan kali! Kau mau serahkan pemuda yang hendak kau culik atau tidak!”
Suara gerung tangis Dewa Sedih terdengar perlahan. Lalu dia berucap. ”Malang benar nasibmu pengemis jelek. Rupanya bukan hanya matamu yang buta, telingamupun sudah tuli. Orang dalam kepitanku ini kau katakan pemuda. Padahal jelas dia menjerit mengeluarkan suara perempuan!”
Wiro merasakan wajahnya menjadi pucat dan kuduknya menjadi dingin. Kakek hitam itu ternyata sudah mengetahui bahwa orang yang tengah diculiknya itu adalah seorang perempuan. Apakah dia juga sudah mengetahui siapa adanya orang itu?!
Gayatri harus cepat dirampas. Aku harus ikut turun tangan. Persetan sekalipun Kakek Segala Tahu akan marah besar padaku!
Begitu Wiro bertekad dalam hati. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Kalau tidak dapat merampas Gayatri tanpa menciderai,membunuh kakek cengeng inipun aku tak perduli. Apalagi dia berkomplot dengan pemberontak bernama Gandita itu! Namun gerakannya lagi-lagi berhenti ketika didengarnya Dewa Sedih berkata.
”Kau inginkan pemuda banci ini, pengemis buruk? Boleh saja. Akan kuberikan padamu tapi telan dulu bola apiku ini!”
Habis berkata begitu Dewa Sedih kembali mengisak-isak lalu tangan kanannya dipukulkan ke depan. Dari telapak tangannya untuk kedua kalinya melesat keluar bola api, menderu deras ke arah mulut Kakek Segala Tahu!
”Ah makanan enak! Aku suka sekali!” Kakek Segala Tahu berucap keras. Lalu buka mulutnya lebar-lebar seperti siap untuk benar-benar menegak bola api yang disuruh telan itu. Sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng rombegnya. Pinggulnya digoyang-goyangkan seperti menari tapi tentu saja maksudnya mengejek lawan.
Sudah gila tua bangka ini rupanya! Maki Wiro menyaksikan kelakuan Kakek Segala Tahu. Serangan maut dihadapinya seperti itu! Mau tak mau murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini segera angkat tangannya, hendak menghantam bola api dengan pukulan ”Dewa topan menggusur gunung”
***
DUA
”Makanan Enak! Aku suka sekali!” kembali terdengar Kakek Segala Tahu berucap. ”Cuma sayang aku sedang berpuasa!”
Lalu mendahului gerakan Pendekar 212 Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu gerakkan tangan kirinya. Tongkat kayu butut melesat ke atas. Ujung tongkat menusuk bola api.
Seperti menusuk bola sungguhan, bola api itu tampak tidak bergerak lagi seolah ditancap mati. Si kakek goyangkan tangannya sedikit. Bola api itu berputar seperti titiran.
”Sayang aku sedang berpuasa, kau saja yang makan kue enak ini!” seru Kakek Segala Tahu. Lalu sekali tangan kirinya bergerak, bola api itu menderu, melesat ke arah kepala Dewa Sedih.
Kakek berkulit hitam itu berseru keras lalu meratap dalam kagetnya. Dia tak pernah menyangka senjata yang sangat diandalkannya bisa dikembalikan untuk menyerang dirinya sedemikian rupa. Sambil menangis Dewa Sedih cepat jatuhkan diri cari selamat. Pada saat itulah tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu berkelebat menggebuk bahu kirinya. Kali ini Dewa Sedih keluarkan jerit kesakitan.
Tulang bahunya serasa hancur. Tubuhnya terbanting ke tanah. Kempitannya pada tubuh Gayatri terlepas. Melihat hal ini Wiro cepat pergunakan kesempatan menyambar tubuh puteri bungsu Prabu Singosari itu dan membawanya ke tempat yang aman. Dewa Sedih mencoba bangun dan mulai menangis lagi. Namun saat itu ujung tongkat kayu di tangan Kakek Segala Tahu sudah menusuk tenggorokannya.
“Menangis sepuas hatimu! Manusia biang kerok sepertimu tidak layak hidup lebih lama!”
Tampang kakek muka hitam itu menjadi pucat.
Keringat mengucur di keningnya. Tapi dasar manusia aneh dalam ketakutan seperti itu dia masih saja terus menangis. Sebenarnya Kakek Segala Tahu hanya bermaksud menggertak. Dia tidak punya keinginan untuk membunuh Dewa Sedih. Pandangan hidupnya ilmu silat dan segala macam ilmu kesaktian adalah untuk melindungi diri sendiri, keluarga dan sahabat, bukan untuk membunuh orang, apapun alasannya. Soal bunuh membunuh biar serahkan saja pada orang lain.
Sebaliknya merasa dirinya tidak mungkin akan selamat dari kematian Dewa Sedih hanya bisa pasrah. Dia mulai meratap memilukan. Menyaksikan kejadian itu Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala. Lalu dia ingat pada keadaan Gayatri. Totokan yang membuat kaku sekujur tubuh gadis ini segera dilepaskannya. Tiba-tiba dari samping kiri pondok kayu berkelebat satu bayangan besar disertai mengumandangnya suara tawa bergelak disusul suara seruan.
”Jangan bunuh saudaraku!”
Selarik angin menyambar.
Wuttt!
Kakek Segala Tahu merasakan tangan kirinya bergetar. Tongkat yang ditusuk-kannya ke leher Dewa Sedih bergoyang-goyang. Semula dia berusaha mengerahkan tenaga untuk bertahan. Tapi memikir tak ada gunanya maka dia kendurkan pegang-annya dan tongkat itu terpelanting kiri namun tak sampai lepas dari pegangannya.
Di hadapan Kakek Segala Tahu kini berdiri seorang bertubuh gemuk luar biasa, mengenakan baju dan celana yang kesempitan. Sepasang matanya sipit hampir berbentuk garis, rambutnya disanggul ke atas. Dari mulutnya tiada hentinya keluar suara tertawagelak-gelak. Gayatri yang tegak disamping Wiro dan sudah bebas dari totokan pegang lengan Pendekar 212 dan berbisik.
”Manusia-manusia apa sebenarnya yang ada di depan kita ini? Sebaiknya kita lekas pergi saja dari sini.”
Keadaan tidak berbahaya seperti tadi lagi Raden Ayu. Kalau tadi memang saya yang menginginkan agar kau cepat pergi, kini tak ada yang perlu dikhawatirkan. Orang gendut seperti kerbau bunting itu adalah Dewa Ketawa. Kalau aku tidak salah dia adalah adik dari kakek hitam berjuluk Dewa Sedih itu...”
”Kalau begitu kita ketambahan seorang musuh.”
”Tidak. Walau bersaudara tapi Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tidak sehaluan.
Dewa Ketawa selalu berpihak pada orang persilatan golongan putih...”
”Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana ada manusia-manusia aneh seperti mereka itu!”
”Dunia persilatan justru menjadi ramai oleh manusia-manusia semacam mereka... Kita lihat saja apa yang akan terjadi.”
Mengenali siapa yang datang Kakek Segala Tahu bermata buta itu tampak gelenggelengkan kepala. Dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya dan ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke tanah.
”Tertawa sepanjang hari. Berbobot sebesar sapi. Siapa lagi kalau bukan Dewa Ketawa? Ha..ha..ha! Kalau sudah tahu apa yang terjadi mengapa tidak meminta kakakmu si Dewa Sedih agar segera meninggalkan tempat ini?”
Dewa Ketawa puaskan dulu gelaknya lalu mengangguk-angguk, kemudian berpaling pada kakaknya.
”Kau sudah dengar ucapan orang! Sudah untung kau masih bisa bernafas saat ini.
Ayo lekas minggat dari sini!”
Sepasang mata Dewa Sedih tampak melotot memandang pada adiknya. Namun sesaat kemudian terdengar kembali isak tangisnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sambil pegangi bahu kirinya yang mendenyut sakit akibat pukulan tongkat Kakek Segala Tahu tadi.
“Kau tidak pernah berubah,” Dewa Ketawa teruskan omelannya.
“Masih saja melibatkan diri dengan orang-orang tidak baik. Apa untungmu bergabung dengan orang-orang yang berniat jahat terhadap Singosari?!”
“Urusanmu urusanmu. Urusanku urusanku!“ jawab Dewa Sedih. Dia melangkah mendapatkan Gandita.
Dewa Ketawa mengekeh mendengar ucapan kakaknya itu. Dia menyahuti dengan suara keras. ”Bagus kalau begitu ucapanmu! Lain hari, jangan harap aku akan menolongmu!”
”Aku tidak perlu segala macam pertolongan adik durhaka sepertimu!” teriak Dewa Sedih lalu kembali terdengar suara isak tangisnya. ”Kita pasti akan bertemu lagi.
Kau akan menyesal! Pasti menyesal!”
Dewa Ketawa mencibir. ”Tua bangka tolol! Sudah bau tanah masih mau melantur!” Si gendut ini perhatikan kepergian kakaknya bersama Gandita lalu berpaling pada Kakek Segala Tahu. Dia mulai tertawa.
”Sahabatku pengemis yang turun dari Kahyangan, apa kabarmu?”
Kakek Segala Tahu tersenyum. ”Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan dirimu? Kau kelihatan agak langsingan!”
Mendengar ucapan itu meledak tawa Dewa Ketawa hingga kedua matanya berair.
”Selama tiga bulan ini beratku telah bertambah dua puluh kilo. Bagaimana kau bisa mengatakan aku agak langsing?! Ha..ha..ha..!” Dewa tertawa lalu melirik ke arah Wiro.
”Kampret Gondrong!” katanya menyebut Wiro dengan panggilan mengejek seenaknya itu. ”Selamat bertemu kembali dengan orang yang kau juluki Kerbau Bunting!”
Gayatri menutup mulutnya agar suara tertawanya tidak membersit keluar. Wiro garuk-garuk kepala tapi cepat menjawab, ”Aku si Kampret Gondrong baik-baik saja. Kukira kau sudah beranak Kerbau Bunting, rupanya belum!”
Dewa Tertawa kembali meledak tawanya. Kakek Segala Tahu dan Gayatri ikut tertawa gelak-gelak.
”Kalau aku beranak, siapa yang akan menolong! Tidak ada dukun beranak di tempat ini!” kata Dewa Ketawa pula.
Kembali tempat ini menjadi riuh oleh suara tertawa.
Kakek Segala Tahu mengangkat tongkatnya dan meletakkan benda ini di atas bahu Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Anak muda, kau selalu saja mencari-cari penyakit!” berkata si kakek
”Saya tidak bermaksud berbuat begitu. Penyakit apakah yang kau maksudkan Kakek Segala Tahu?”
Si kakek ketuk-ketukkan tongkatnya ke bahu Wiro sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng rombeng.
”Kau tahu penyakit apa yang aku maksudkan Wiro. Yang jelas saat ini kau berada berdua-duaan di dalam hutan bersama seorang puteri Kerajaan Singosari!”
”Astaga!” Wiro melengak.
Dewa Ketawapun tampak keheranan. Siapa yang dimaksud kakek buta itu dengan puteri Keraton Singosari? Dia hanya melihat seorang pemuda berkumis tipis disamping Wiro.
”Kakek Segala Tahu, bagaimana kau...?”
Gayatri sendiri tidak kalah kagetnya. Diam-diam dia mulai merasa gelisah. Diahendak membisikkan sesuatu pada Wiro tapi tak jadi karena saat itu terdengar kakek buta berkata.
“Tak usah teruskan pertanyaanmu itu. Aku mencium bau harum semerbak dari pakaian dan tubuh orang yang tegak di sampingmu. Wewangian seperti itu hanya dimiliki oleh permaisuri atau puteri-puteri Keraton Singosari! Apa salah dugaanku?”
”Kau..kau betul,” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. Bertemu dengan Kakek Segala Tahu belum tentu bisa sekali dalam tiga tahun. Maka murid Sinto Gendeng cepat berkata.
”Kek, selagi kau ada di sini, aku mohon petunjukmu...”
”Petunjuk mengenai hubunganmu dengan gadis Keraton ini?” tanya Kakek Segala Tahu lalu tertawa mengekeh. Dewa Ketawa ikut-ikutan tertawa. ”Jangan mimpi kau bakal berjodoh dengannya, Pendekar 212!”
Paras Wiro dan wajah samaran Gayatri tampak kemerah-merahan. Wiro cepat berkata. ”Maksudku bukan itu kek. Aku ingin kau meramal tentang Singosari di masa mendatang. Hal ini kutanyakan karena saat ini ada komplotan jahat yang hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari tangan Sang Prabu.
”Kalau itu yang kau tanyakan sulit bagiku untuk menjawab,” sahut Kakek Sega-laTahu sambil mendongak lalu goyang-goyangkan kaleng rombeng berisi batu di tangan kanannya.
Wiro tahu orang tua bermata putih dan buta itu berdusta. Dipegannya tangan Kakek Segala Tahu. Sebelum dia berkata si kakek berpaling ke arah Gayatri lalu berkata.
”Sebentar lagi pagi akan datang. Apakah kau tidak bakal mengalami kesulitan jika kembali ke Keraton kesiangan?”
Ucapan Kakek Segala Tahu itu membuat Gayatri sadar. Dia memandang keTimur. Langit di ufuk sana tampak mulai benderang. Puteri bungsu Prabu Singosari inimemandang pada Wiro. Mungkin banyak yang ingin dikatakannya tapi dia hanya mengucapkan: ”Jika kau ingin menemui saya di Keraton, carilah seorang abdi tua bernama Damar...” Habis berkata Gayatri tinggalkan tempat itu. Dia menemukan kudanya tak jauh dari situ lalu bersama tunggangannya ini berlalu dengan cepat.
“Nah, gadis itu sudah pergi. Sekarang baru aku bisa leluasa meramal. Aku tadi tidak ingin dia mendengar ramalanku,” kata Kakek Segala Tahu. ”Rupanya dia sangat menyukaimu Pendekar 212...”
”Lupakan dulu gadis itu. Ucapkan ramalanmu,” kata Wiro.
”Ya, ya...Aku juga ingin mendengar,” kata Dewa Ketawa lalu mengekeh panjang.
Mulut Kakek Segala Tahu tampak komat-kamit. Dengan ujung tongkatnya dia menggurat tanah di depannya membuat gambar segitiga.
”Akan kucoba meramal. Benar tidaknya ramalanku hanya kenyataan nanti yang kelak akan membuktikan. Terus terang ini Cuma ramalan seorang tua bangka tolol. Jadi jangan terlalu percaya!”
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang tua itu. Kakek Segala Tahu memulai ramalannya.
Kaleng rombeng di tangan kanannya digoyang keras-keras. ”Kejadian pertama. Akan terjadi perang saudara antara Singosari dengan orang-orang Kediri. Singosari runtuh tapi bukan tidak bisa diselamatkan. Seoarang kesatria akan muncul menye-lamatkan tahta baru.” Ujung tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu bergeser ke ujung segitiga sebelah kanan bawah. ”Kejadian kedua. Akan datang balatentara dari utara menyerbu tanah Jawa. Siapa yang dapat mempergunakan kesempatan dalam kekalutan akan mendapat pahala besar. Akan muncul lagi seorang kesatria baru. Dia bakal mendapat bantuan dari kesatria pertama tadi.”
Kakek Segala Tahu kembali goyang-goyangkan kaleng bututnya. Lalu ujung tongkat ditekankan ke arah ujung segitiga sebelah atas. ”Aku melihat sinar terang, tapi tidak terlalu terang. Sinar ini bukan sinar matahari, juga bukan sinar rembulan atau cahaya bintang-bintang. Ada tujuh warna bertabur memanjang. Mungkin ini yangdinamakan pelangi. Ingat pelangi selalu muncul setelah hujan turun dan reda. Berarti adacahaya harapan memayungi bekas bumi Singosari...” Kakek Segala Tahu mengakhiri ramalannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu menggoyang-goyangkan kalengnya.
”Terima kasih kau telah mau meramal. Hanya saja ada yang kurang jelas. Kek, dapatkah kau menerangkan mengenai balatentara dari Utara dan cahaya pelangi itu...”
Kakek Segala Tahu mendongak lalu gelengkan kepalanya.
”Sayang waktuku terbatas. Aku harus pergi sebelum siang datang. Pendekar 212 ada satu hal yang perlu aku sampaikan padamu. Betapapun sukanya Puteri Raja itu terhadapmu, jangan kau berani bermain cinta. Karena bagaimanapun kalian tidak berjodoh...”
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Terdengar suara kaleng berkerontangan. Ketika memandang ke depan astaga! Kakek Segala Tahu tidak ada lagi di tempatnya. Hanya suara kaleng rombengnya yang terdengar di kejauhan.
Dewa Ketawa menepuk bahu Pendekar 212. ”Kampret Gondrong! Aku juga harus pergi sekarang. Ingat pesan orang tua tadi. Kampret sepertimu jangan bercinta dengan Puteri Raja! Ha..ha..ha..!”
”Kerbau Bunting sialan!” maki Wiro tapi hanya dikeluarkannya dalam hati.
Dewa Ketawa masukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Lalu terdengar suara siutan nyaring sekali. Sambil terkekeh-kekeh dia memandang seekor keledai yang keluardari balik semak-semak.
”Tungganganku sudah datang. Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita ngobrol lagi Kampret Gondrong! Ha..ha..ha..!”
Dewa Ketawa melompat ke punggung keledai kecil itu. Binatang ini melenguh pendek lalu melangkah cepat. Seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya Wiro melihat Dewa Ketawa hanya menumpang duduk di atas punggung keledai sementara kedua kakinya yang menjejak tanah melangkah cepat mengikuti langkah keledai.
***
TIGA
Malam itu hujan turun lebat sekali. Di bawah curahan hujan deras dan dinginnya udara seorang penunggang kuda nampak memacu tunggangannya memasuki Singosaridari pintu gerbang Utara. Busur dan kantong anak panah tersandang di bahunya. Sebilahgolok panjang tergantung pada ikat pinggang besar yang dikenakannya. Bahu kirinyadibalut kain tebal untuk menutupi luka besar yang masih mengeluarkan darah. Ternyata dia adalah seorang anggota pasukan Singosari berpangkat setinggi di bawah kepalapasukan.
Luka di bahu kirinya membuat tubuhnya panas dingin. Tapi perajurit ini berusaha menguatkan diri. Apapun yang kemudian terjadi atas dirinya dia tidak perduli. Yang penting dia harus menyampaikan berita besar itu pada Patih Kerajaan. Seharusnya dia melapor pada atasan tertinggi yaitu Panglima Perang Argajaya. Namun karena kediamansang Panglima terletak jauh di selatan sedangkan Patih Raganatha diam di kawasankraton yang lebih dekat sementara lukanya cukup parah, maka prajurit itu memutuskanmenghubungi Patih Kerajaan lebih dulu. Tetapi para pengawal di gedung Kepatihan tidaksatupun yang berani membangunkan Raganatha. Perajurit itu disarankan agar melapor pada Panglima Argajaya saja.
Udara mulai terang-terang tanah ketika akhirnya prajurit itu sampai di tempat kediaman Panglima Pasukan Singosari. Dia harus menunggu lama sampai seorang pengawal keluar menanyakan keperluannya.
”Serombongan pasukan menyerang balatentara Singosari di Welirang... Perajurit kita banyak yang menemui ajal akibat serangan mendadak ini. Kepala pasukan berusaha bertahan. Aku diutus untuk melapor serta minta bala bantuan.”
”Tunggu di sini. Aku akan beritahu Panglima Argajaya,” kata pengawal itu.
Tak selang berapa lama Panglima Balatentara Singosari itu muncul di hadapan si prajurit. Prajurit ini segera menghatur hormat.
”Saya Kijangat, Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong di utara. Saya dikirim Kepala Pasukan untuk menghadap dan melapor.”
”Pengawal mengatakan ada pasukan tak dikenal menyerang pasukanmu. Betul?”
Kijangat mengangguk. ”Jumlah mereka cukup banyak sedang kekuatan kita di wilayah itu terbatas. Saat ini pasukan Singosari pasti berada dalam bahaya besar. Kepala Pasukan minta saya mendapatkan bantuan dengan segera.”
”Kalian tahu kira-kira pasukan dari mana yang berani menyerbu bala tentara Singosari itu?” tanya Panglima Argajaya.
”Besar dugaan mereka adalah orang-orang Kediri...”
”Orang-orang Kediri berani melakukan itu? Pasti Adikatwang yang punya pekerjaan! Keparat!” Argajaya tampak berang besar.
”Ada satu hal lagi Panglima,” kata Kijagat.
”Apa?”
” Dalam rombongan penyerbu itu bercampur pula orang-orang Madura...”
Paras Panglima Argajaya yang tadi sudah merah kini jadi tambah merah mengelam. ”Aku harus segera bertindak!” katanya. ”Tapi lukamu perlu diobati.”
Argajaya berteriak memanggil pengawal. Begitu pengawal muncul dia berkata. ”Rawat lukanya. Kalau sudah biarkan dia istirahat di salah satu kamar belakang.”
Dalam keadaan letih karena perjalanan jauh dan karena banyak darah yang keluar Kijangat dipapah oleh dua orang pengawal. Tapi dua pengawal ini ternyata tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan Argajaya. Kijangat dinaikkan ke atas sebuah gerobak lalu dilarikan menuju ke Selatan. Pengawal yang satu bertindak sebagai kusir gerobak sementara satunya lagi menduduki punggung Kijangat yang dipaksa menelungkup di lantai kereta.
”Hai! Kalian mau bawa kemana aku?!” teriak Kijangat. ”Kalian diperintahkan untuk mengobati lukaku!”
”Tutup mulutmu atau kubunuh kau saat ini juga!” bentak pengawal yang menduduki punggung Kijangat hingga orang ini tidak berkutik. Sebilah golok pendek disilangkannya di batang leher Kijangat. Gerobak meluncur kencang di atas jalan tanah berbatu-batu menuju arah Selatan Tumapel ibukota Singosari.
Di satu tempat yang sunyi dan ditumbuhi pepohonan lebat, pengawal di sebelah depan hentikan gerobak. Dia memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu sunyi senyap. Udara pagi masih terasa dingin. Mereka berada di bibir timur Lembah Bulan Sabit. Keadaan di situ diselimuti kesunyian.
”Kurasa ini tempat yang baik,” berbisik pengawal yang mengemudikan gerobak.
Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kawannya di sebelah belakang serta merta angkat tangan kanannya yang memegang golok. Lalu sekuat tenaga senjata itu dihunjamkannya ke punggung Kijangat.
Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong itu meraung keras. Kepalanya mendongak sesaat lalu terbanting ke atas lantai gerobak. Darah mengucur membasahi punggung pakaiannya. Kedua kaki dan tangannya mengejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Dua pengawal menurunkan tubuh Kijangat dari atas gerobak. Lalu tubuh itu mereka lemparkan ke lembah.
Tak lama setelah gerobak bersama dua pengawal itu berlalu, dari pusat Lembah Bulan Sabit sayup-sayup terdengar suara orang bersiul menyanyikan lagu tak menentu. Mendadak suara siulan itu berhenti. Menyusul terdengar satu seruan.
”Astaga! Binatang atau manusia yang melingkar di semak belukar itu!”
Orang yang bersiul menggaruk kepalanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah meninggalkan Lembah Bulan Sabit setelah pertemuan dengan Gayatri, Dewa Ketawa, dan Kakek Segala Tahu. Wiro mendekati dengan cepat sosok yang terbaring di tanah dengan pakaian penuh lumuran darah. Orang ini berseragam prajurit Singosari. Sosok ini adalah Kijangat yang sebelumnya telah ditusuk oleh pengawal Panglima Argajaya. Wiro memeriksa keadaan prajurit yang malang itu. ”Masih hidup. Tapi tak bakal lama,” pikir Wiro. Bibir Kijangat tampak bergetar.
Dari sela bibir itu terdengar suara mengerang. Murid Eyang Sinto Gendeng segera alirkan tenaga dalam untuk memberi kekuatan pada orang yang tengah sekarat itu.
”Prajurit Singosari, katakan apa yang terjadi,” Wiro menekan dada Kijangat dengan telapak tangan kanannya. Mulut Kijangat terbuka sedikit. Namun bukan suara yang keluar melainkan lelehan darah. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Sepasang mata Kijangat membuka, hanya putihya yang kelihatan.
“Pas..pasukan musuh me.. menyerang di Utara...” Kijangat berucap dengan susah payah. ”Aku...aku melapor pada Panglima...Dua peng.. pengawalnya membawaku ke sini. Aku..aku ditusuk... Pengawal itu sengaja... membunuhku. Beritahu Patih. Penyerang adalah orang-orang Kediri...orang-orang Madura. Aku...” Kijangat megap-megap.
”Beritahu siapa namamu!” ujar Wiro.
”Aku...aku Kijangat. Aku...” kata-kata Kijangat terputus. Nyawanya lepas.
Wiro menghela napas panjang. Dia ingat ramalan Kakek Segala Tahu. ”Agaknya ramalan orang tua itu akan segera menjadi kenyataan,” kata Wiro dalam hati.
Bagi Wiro yang merasa dirinya tidak lebih sebagai seorang buronan tidak mungki untuk menemui Patih Singosari guna melaporkan apa yang diketahuinya. Sesuai dengan petunjuk Gayatri, pagi itu dia berusaha untuk menyelinap di sekitar Keraton, mencari seorang abdi tua bernama Damar.
Namun anehnya setiap orang yang ditanya mengatakan tidak ada orang bernama Damar. Selagi kebingungan tiba-tiba ada seorang anak lelaki mendatangi dan sengaja menabraknya.
Wiro yang sedang bingung hendak mendamprat anak itu. Tapi si anak berkata tanpa berpaling, ”Ikuti saya. Saya tahu orang bernama Damar itu.”
Wiro cepat ikuti si anak. Dia dibawa ke tembok belakang Keraton, menuju sederetan kandang kuda. Seorang lelaki tua bertubuh katai tampak tengah memaku ladam kaki kiri belakang seekor kuda besar. Anak tadi menunjuk pada orang tua katai itu lalu cepat-cepat bertindak pergi. Murid Sinto Gendeng dekati orang tua bertubuh katai yang tengah memperbaiki ladam di kaki seekor kuda. Abdi yang tingginya hanya sepinggang Wiro menatap Pendekar 212 dengan pandangan dingin.
“Apa keperluanmu?” tanya orang tua katai ini. Ternyata suaranya besar sekali.
”Saya mencari seorang bernama Damar,” jawab Wiro.
”Dari mana kau tahu nama itu?” tanya lagi si katai.
Wiro jadi ragu untuk menjawab.
”Orang bertanya apakah kau tuli?!”
”Puteri bungsu Sang Prabu yang memberi tahu nama itu,” Wiro akhirnya menjawab.
”Namamu sendiri siapa?!”
Dalam hati Wiro mulai mendumal. Si katai tua ini banyak sekali tanyanya. Tapi karena perlu maka diapun menjawab juga. ”Saya Wiro. Sahabat Raden Ayu Gayatri.”
Si katai menyeringai sinis. ”Puteri Gayatri mana punya sahabat orang sepertimu!”
Habis berkata begitu acuh tak acuh si katai membalikkan tubuh. Dia mengambil sebuah ladam besi dari dalam sebuah kotak kayu. Tangan kanannya yang memegang ladam itu bergerak meremas. Kraaakkk! Ladam besi patah tiga!
Selagi Wiro mengagumi kehebatan orang ini, tiba-tiba si katai melemparkan tiga besi potongan ladam tadi ke arahnya.
Tiga potongan besi itu menderu ke arah kepala, dada, dan perut Pendekar 212. Kaget murid Sinto Gendeng bukan kepalang. Cepat dia menghantam lepaskan pukulan sakti Tameng sakti menerpa hujan. Tiga kepingan ladam maut mental. Dua menancap di atap kandang kuda, satu lagi menancap di tembok belakang Keraton. Angin pukulan sakti itu terus menggebubu menyapu ke arah si katai. Dengan cekatan orang tua ini melompat ke samping. Di lain kejap dia telah duduk seenaknya di atas punggung seekor kuda. Wajahnya masih sedingin tadi walau kini tampak senyumnya yang sinis. Ketika Wiro hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong berikutnya, si katai cepat mengangkat tangan tinggi-tinggi.
”Tahan!” katanya. ”Sekarang aku baru percaya kau pemuda yang bernama Wiro, sahabat Raden Ayu Gayatri. Aku mendengar kehebatanmu darinya. Karena itu aku perlu menguji lebih dahulu. Kau mampu melumpuhkan seranganku. Hanya orang yang berkepandaian setinggi puncak Gunung Semeru yang dapat melakukan hal itu!”
”Orang tua, siapa kau sebenarnya?!” tanya Wiro.
Orang tua itu tidak menjawab. Dia membuat gerakan ringan dan sekali berkelebat kini dia sudah berdiri di atas punggung kuda. Tangan kanannya diulurkan ke atas atap.
Wiro melihat ada sebuah bungkusan di atap kandang kuda itu. Orang tua ini mengambil bungkusan itu, membukanya lalu melemparkan isinya pada Wiro.
”Tukar pakaianmu dengan itu!” kata si katai.
Wiro perhatikan apa yang barusan dilemparkan orang tua katai itu. Ternyata seperangkat pakaian prajurit Singosari.
”Kalau kau ingin menemui Raden Ayu Gayatri, lekas kenakan pakaian itu. Aku tak punya waktu lama.”
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
”Kau pasti sudah lama tidak mandi. Sejak tadi kulihat sudah beberapa kali kau menggaruk-garuk kepala!”
”Kurang ajar! Sialan!” maki Wiro dalam hati.
***
EMPAT
Patih Raganatha yang ditemani Pendeta Mayana untuk beberapa saat seperti tidak bisa percaya atas apa yang barusan disampaikan Raden Ayu Gayatri.
”Kami akan sampaikan berita ini pada Panglima Argajaya agar dia segera melakukan tindakan,” kata Patih Raganatha.
”Saya lebih suka kalau Paman Patih langsung menyampaikan pada Sang Prabu,” kata Raden Ayu Gayatri.
”Jika itu keinginan Raden Ayu akan kami laksanakan,” jawab Pendeta Mayana.
”Lalu bagaiman dengan Panglima Argajaya? Apakah tidak dilakukan pengusutan atas dirinya?”
Patih Raganatha tersenyum. ”Kita tidak tahu pasti apakah memang dia yang menyuruh bunuh prajurit yang datang dari Porong itu. Atau kedua pengawalnya itu yang sebenarnya telah menjadi kaki tangan orang-orang Kediri.”
”Kalau begitu kedua pengawal itu harus ditangkap, diperiksa!”
Patih Raganatha mengangguk. ”Serahkan semua urusan ini pada kami berdua.”
Patih Raganatha dan Pendeta Mayana mengantarkan Gayatri sampai di pintu. Di situ berdiri seorang prajurit bertubuh tegap yang tadi ikut datang mengantar puteri Sang Prabu itu dan menunggu di luar.
”Raden Ayu,” tiba-tiba Patih Raganatha ingat sesuatu.
”Dari siapa sebenarnya Raden Ayu mendapat berita penyerangan itu. Bukankah prajurit yang datang melaporkannya mati dibunuh?”
Gayatri tak bisa menjawab. Dia berpaling pada prajurit yang tegak di samping pintu.
”Maafkan saya,” kata prajurit itu setelah menghaturkan sembah hormat. ”Pagi tadi kebetulan saya melakukan perondaan di Lembah Bulan Sabit. Saya yang menemukan prajurit itu. Dalam keadaan sekarat dia masih sempat menceritakan apa yang terjadi di Utara.”
Patih Raganatha menatap paras prajurit itu sesaat.
”Jika kau yang menemukan prajurit itu, selayaknya kau melapor pada Panglima, bukan pada Raden Ayu Gayatri...”
Pendeta Mayana melirik ke arah Gayatri. Dia melihat perubahan pada wajah puteri sang Prabu ini ketika mendengar kata-kata Patih Raganatha.
”Terus terang...” kata prajurit itu. ”Seharusnya memang saya melapor pada Panglima atau Kepala Pasukan dipindahkan. Tetapi setelah saya tahu ada yang tidak beres dengan kematian prajurit itu maka saya merasa khawatir dan berpikir lebih baik melapor pada Paduka Patih saja. Dalam perjalanan ke sini saya berpapasan dengan Raden Ayu. Saya ceritakan padanya kejadian itu. Kami bersama-sama kemudian menghadap Paduka Patih.”
Patih Raganatha mengangguk-angguk tapi kedua matanya tetap mengawasi prajurit itu.
”Paman Patih, ingat. Kerajaan dalam bahaya besar. Sebaiknya segera saja menemui Ayahanda,” kata Gayatri memotong karena mulai merasa tidak enak. Dia membalikkan diri dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Si prajurit melangkah di sampingnya.
”Tunggu!” tiba-tiba Patih Ragantha berseru dan memburu. Dia memotong jalan si prajurit dan menghadang di depannya. Pendeta Mayana bergegas menyusul. ”Aku merasa pernah melihatmu sebelumnya,” kata Patih Raganatha.
Tangannya diulurkan menarik rambut prajurit yang tergelung di atas kepala. Ketika ikatan rambut itu terbuka dan rambut si prajurit menjulai gondrong sebahu, ingatan Patih Raganatha pulih penuh. Dia mengenali siapa adanya prajurit itu.
”Kau...! Aku sudah duga dan curiga! Kau ternyata buronan bernama Wiro itu! Serahkan dirimu!”
”Paman Patih! Siapa dia tidak penting!” Gayatri keluarkan suara keras seraya menyeruak lalu tegak diantara Wiro dan Patih Raganatha. “Yang lebih penting adalah menyelamatkan Kerajaan dari kaum penyerbu Kediri dan Madura!”
Paras Patih Singosari itu nampak membesi. “Manusia satu ini tak kalah pentingnya Raden Ayu. Saya harus menangkapnya saat ini juga!”
Di saat itu pula Wiro tiba-tiba mendengar suara mengiang di telinga kirinya. Seseorang mengirimkan suara tanpa berucap kepadanya, “Anak muda, lekas kau lakukan sesuatu sebelum Patih Raganatha menangkapmu.”
Wiro maklum, yang mengirimkan ucapan itu adalah Pendeta Mayana, kekasih gurunya di masa muda. Saat itu pula dilihatnya Patih Raganatha melompat ke hadapannya. Kedua tangannya diulurkan ke depan dan Wiro melihat kedua tangan itu berubah panjang sekali, bercabang-cabang seperti gurita.
“Astaga!” Pendeta Mayana terkejut melihat apa yang dilakukan Patih Raganatha.
”Mapatih mengeluarkan ilmu Seratus gurita mengamuk. Murid Sinto Gendeng itu tak mungkin bisa lolos!”
Diam-diam dari belakang dalam gerakan yang tidak kelihatan dan terlindung di balik pakaiannya, Pendeta Mayana mengangkat tangan kanannya lalu menariknya ke belakang.
Gerakan Patih Raganatha mendadak seperti tertahan. Dalam kejutnya Patih Kerajaan ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Justru saat itu dari depan Wiro mendahului dengan mendorongkan tangan kiri ke arah dada, mengirimkan pukulan tangan kosong kunyuk melempar buah. Raganatha merasa seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Dia cepat berkelit ke samping.
Namun angin pukulan Wiro masih sempat menabrak bahunya. Patih Singosari ini terpuntir keras dan terbanting ke lantai. Dua tangannya yang tadi berubah panjang vercabang-cabang lenyap dan kembali ke bentuknya semula. Ketika dia mencoba bangkit dengan mengerenyit kesakitan ditolong oleh Pendeta Mayana, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Patih Ragantha memandang tak berkesip pada Raden Ayu Gayatri. Kalau saja bukan puteri sang Prabu yang dihadapinya mungkin saat itu sudah ditamparnya. Dia menoleh ke arah Pendeta Mayana, pandangan matanya tampak beringas. Ah, dia tahu kalau aku tadi menahan gerakannya, membatin sang Pendeta. Lalu dia cepat berkata: ”Mapatih, kita harus segera menghadap Sang Prabu.”
”Biarkan saya sendiri yang menghadap Sang Prabu,” kata Patih Raganatha. Lalu dengan bergegas ditinggalkannya tempat itu. Pendeta Mayana dan Gayatri hanya bisa saling pandang untuk beberapa saat lamanya. Sang Pendeta kemudian berkata. “Raden Ayu, seperti Raden Ayu, saya merasa yakin bahwa saat ini Singosari benar-benar berada dalam bahaya besar. Saya akan menghubungi Damar. Hati-hatilah bicara dan bertindak. Bukan mustahil dalam Keraton ini ada musuh dalam selimut.”
Raden Ayu Gayatri mengangguk.
Ketika Patih Raganatha masuk ke ruangan dimana sang Prabu biasa menerima kedatangan para pejabat dan petinggi Keraton, di tempat itu ternyata sudah ada Panglima Argajaya tengah bicara dengan sang Prabu.
”Mungkin apa yang saya hendak sampaikan pada sang Prabu, sama dengan apa yang tengah dibicarakan Panglima dengan sang Prabu saat ini,” kata Patih Raganatha. Lalu dia menerangkan kabar penyerbuan orang-orang Kediri yang dibantu oleh orang-orang Madura.
”Paman Patih benar,” kata Panglima Argajaya.
”Saya baru saja menyampaikan laporan itu pada sang Prabu. Bahkan saya sudah mengirimkan satu kelompok kecil pasukan ke Utara.”
”Satu kelompok kecil?” ujar Patih Raganatha. ”Kaum penyerbu dikabarkan berjumlah cukup besar dan pasukan kita di sekitar Porong saat ini terdesak hebat.”
”Ah, dari manakah sumber keterangan Paman Patih?” bertanya Argajaya.
Sesaat Patih Raganatha terdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk bicara apa adanya. Lalu diceritakannya kedatangan Raden Ayu Gayatri bersama pemuda bernama Wiro itu.
Terkejutlah Sang Prabu mendengar keterangan Sang Patih. ”Pemuda kurang ajar buronan itu berani masuk Keraton dan bersama puteriku! Paman Patih! Tugasmu menagkapnya!”
”Saya sudah melakukannya Sang Prabu. Tapi pemuda itu sempat melarikan diri..” jawab Patih Raganatha.
“Kalau memang dia yang jadi sumber keterangan, jangan-jangan kita sudah kena ditipu!” berkata Argajaya.
”Berarti tepat tindakan saya hanya mengirimkan satu pasukan kecil ke Utara”
“Saya mencium hal yang mencurigakan,” menyahut Patih Raganatha. Ketika bicara dia memandang pada Sri Baginda.
“Maksud Mapatih?” tanya Sang Prabu.
”Menurut keterangan yang saya terima, prajurit yang datang dari Utara membawa laporan dan pesan, dibunuh oleh dua orang pengawal yang bertugas di tempat kediaman Panglima...Hal ini perlu diusut!”
”Secara tidak langsung Paman Patih bermaksud mengatakan bahwa saya harus dicurigai dan diusut!” Panglima Argajaya tidak dapat menyembunyikan rasa marahnya. Suaranya bergetar.
“Saya tidak mengatakan demikian Panglima. Tapi jika keterangan itu benar, harus dicari tahu mengapa hal itu terjadi,” jawab Patih Raganatha.
”Mencurigai sesama kita tidak baik,” ujar Sang Prabu.
”Saya setuju dengan ucapan Sang Prabu,” kata Panglima Argajaya. ”Lagi pula saya suvah melakukan pengusutan sebelum Paman Patih mengemukakan. Prajurit yang datang dari Utara berada dalam keadaan luka parah. Ketika hendak diobati dia berusaha melarikan diri. Karena tidak mau menyerah, dua pengawal saya terpaksa menyerangnya. Dia memang tewas.”
”Tapi mengapa mayatnya ditemukan dekat Lembah Bulan Sabit? Tidak di Tumapel?”
Panglima Argajaya tampak merah wajahnya. Lalu didengarnya Patih Kerajaan bertanya, ”Bisakah saya bicara dengan dua pengawal yang Panglima sebutkan tadi?”
”Bisa saja. Tapi keduanya sudah saya kirim ke Utara bersama kelompok pasukan bantuan.” jawab Argajaya pula. Lalu dia berpaling pada Sri Baginda. “Sang Prabu, kta berada di sini bukan untuk membicarakan kematian prajurit atau kecurigaan terhadap dua pengawal saya ataupun diri saya sendiri. Yang harus kita lakukan adalah menumpas kaum pemberontak itu. Saya telah mengirimkan sejumlah pasukan ke Utara. Seseorang sudah saya minta untuk melihat situasi dan kembali memberikan laporan siang ini juga. Bagaimanapun juga saya mohon petunjuk Sang Prabu lebih lanjut.”
”Kalian melaporkan adanya orang-orang Kediri dan pasukan dari Madura yang bergabung dalam pasukan penyerbu itu,” berucap Sang Prabu. ”Sekali lagi saya katakan tidak mungkin Adikatwang ataupun Wira Seta punya niat jahat terhadap Singosari. Saya setuju dengan tindakan Panglima hanya mengirim serombongan pasukan kecil. Yang penting seluruh pasukan disiapsiagakan untuk melindungi Tumapel. Tapi ingat, satu lapis pasukan harus dikirim ke luar Kotapraja sebelah Utara untuk menjaga segala kemungkinan.”
”Perintah Sang Prabu akan saya lakukan,” kata Panglima Argajaya pula. ”Jika tidak ada hal-hal lain, saya minta diri untuk menjalankan perintah.”
”Kau boleh pergi Panglima. Beritahu setiap ada perkembangan baru pada saya.”
“Akan saya lakukan sang Prabu.” Kata Argajaya pula.
Lalu setelah melontarkan lirikan tajam ke arah Patih Raganatha diapun keluar dari ruangan itu.
“Saya rasa sayapun bisa minta diri jika diizinkan,” kata Patih Singosari setelah hanya dia saja yang berada di ruang itu bersama sang Prabu.
“Tolong panggilkan Pendeta Mayana. Minta dia datang ke ruangan berdoa. Saat-saat seperti ini meminta perlindungan dari Yang Kuasa adalah sangat penting. Jika Paman Patih suka bisa ikut mengadakan upacara pemanjatan doa bersama-sama.”
“Saya akan panggilkan Pendeta Mayana,” kata Patih Raganatha lalu meninggalkan ruangan setelah terlebih dulu menjura hormat.
***
LIMA
Beberapa pengawal yang bertugas di halaman belakang Keraton meliha ada orang lari segera mengejar. Di sebelah depan sempat menghadang empat orang prajurit bersenjatakan tombak dan pedang. Namun keempatnya langsung terjengkang begitu kaki dan tangan Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat menghantam.
Dengan gerakan ringan apalagi setelah menerima ilmu meringankan tubuh dari Dewa Ketawa, Wiro Sableng melompati tembok belakang Kraton tanpa kesulitan. Para pengawal tak mungkin mengejar. Begitu menjejakkan kaki di jalan belakang tembok sesaat Wiro berpikir kemana dia harus pergi dan apa yang musti dilakukannya. Selagi dia berpikir begitu di depannya dilihatnya seorang nenek berjubah merah muda berbelang-belang merah tua melangkah ke arahnya. Semakin dekat perempuan tua ini mendatangi tambah jelas keanehan pada wajahnya dilihat Wiro. Nenek ini memiliki mata semerah buah saga. Telinganya dicantoli giwang panjang berwarna merah.
Tiupan angin dan langkah yang dibuatnya menyebabkan sepasang giwang itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara bergemerincing. Sesekali si nenek mengulurkan lidah membasahi bibirnya. Lidah itu mengerikan sekali. Bukan saja karena panjang tetapi juga warnanya yang merah seperti api.
Di belakang rambutnya yang berwarna merah lepas riap-riapan ada secarik pita yang juga berwarna merah. Wajahnya yang angker tampak lebih mengerikan karena sepasang alisnya yang panjang menjulai ternyata juga berwarna merah pekat! Nenek aneh ini melangkah ke arah Wiro. Begitu sampai di hadapannya baru murid Sinto Geneng ini menyadari betapa tingginya si nenek. Kepalanya hanya sampai di dada perempuan tua itu.
Si nenek mengeluarkan tangan kanannya. “Minta sedekah!” katanya kasar. Pandangan mukanya garang dan kedua matanya membara. Ketika bicara lidahnya menjulur keluar seperti lidah api menyambar. Wiro merasa ada hawa panas keluar dari mulut dan mungkin juga dari kedua mata perempuan tua ini.
Ah, pengemis dia rupanya, kata Wiro dalam hati.
Perasaannya yang tidak enak kini menjadi lega. Namun dia tidak bisa memberikan apa-apa dan harus segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang mengejar.
”Harap mafkan, saya tidak punya uang,” kata Wiro lalu cepat memutar diri hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba, sama sekali tidak terduga, tangan kanan yang masih diulurkan itu meluncur ke arah dada Wiro Sableng. Pendekar ini merasakan ada hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia tidak bisa bergerak tidak bisa bersuara! Ternyata nenek pengemis itu telah menotoknya dengan ilmu totokan yang aneh. Semakin lama Wiro merasakan tubuhnya semakin panas!
Celaka! Keluh Pendekar 212.
Di hadapannya si nenek tertawa mengekeh. Lidahnya terjulur-julur seperti lidah api menyambar-nyambar. Kedua matanya bertambah merah. Dia membungkuk, siap memanggul tubuh Wiro. Pada saat itulah ada angin menyambar disusul oleh satu letupan halus. Segulung asap putih menggebubu menutupi jalan seluas lima tombak persegi.
Wiro merasa ada seseorang tiba-tiba memegang pinggangnya, tubuhnya dikempit lalu dibawa lari laksana melayang. Di belakangnya terdengar suara nenek memaki marah lalu ada suara menderu keras. Wiro memandang ke belakang. Dari gelungan asap putih tebal dilihatnya ada lidah api mencuat mengerikan. Lidah api ini mengejar ke arahnya. Panas dan ganas. Orang yang mengempitnya melompat ke kiri sambil mengebutkan lengan jubah pakaiannya. Semburan lidah api tampak bergoyang-goyang. Tubuh si pengempit bergetar keras hampir jatuh. Tapi lidah api berhasil dibuat mental hingga Wiro dan orang yang mengempitnya tidak sempat disambar lidah api itu. Dalam waktu beberapa kejapan saja si pengempit sudah membawa Wiro jauh dan tak mungkin dikejar oleh nenek pengemis tadi.
Di satu tempat yang sunyi, orang yang mengempit menurunkan Wiro ke tanah. Tegak berhadap-hadapan Wiro cepata memandang ke arah wajah orang yang telah menolongnya itu. Ternyata orang itu mengenakan sehelai cadar hitam untuk menutupi wajahnya. Tapi dari pakaiannya Pendekar 212 mulai menduga-duga.
Orang bercadar membuka dada pakaian Wiro lalu dari balik cadarnya dia meniupi dada yang ditotok oleh nenek pengemis tadi. Wiro merasa ada hawa hangat sejuk menembus kulit dan daging tubuhnya, terus menyusup ke seluruh peredaran darahnya. Sesaat kemudian tubuhnya yang tadi serasa panas hingga dia kucurkan keringat sebesar-besar butir jagung kini menjadi dingin dan saat itu pula dia bisa menggerakkan kaki tangannya dan membuka suara.
”Terima kasih,” ucap Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
”Sahabat, siapakah kau yang telah menolongku? Dan siapa nenek pengemis tadi? Mengapa dia menotok saya?”
“Dia bukan pengemis,” jawab orang bercadar. “Dia adalah Dewi Maha Geni, seorang tokoh silat istana yang ilmu luar biasa tapi diragukan kesetiaannya. Kemungkinan dia adalah kaki tangan orang-orang Kediri... Dia pasti bermaksud menculikmu. Ada dua kemungkinan mengapa dia melakukan hal itu, pertama membujukmu ikut dalam gerakan Adikatwang dan Wira Seta. Atau menyerahkan kepalamu pada orang-orang Kediri!”
Wiro terkesiap mendengar ucapan orang itu. “Kau, kau sendiri belum mengatakan siapa dirimu. Saya seperti mengenal suaramu tapi agak meragu. Bukankah kau...“
Orang di hadapan Wiro membuka cadar hitamnya. Wiro melihat satu wajah yang bersih dan mata yang bening.
“Pendeta Mayana!” seru Wiro sementara orang di hadapannya hanya tersenyum kecil. “Saya memang sudah menyangka tadi..”
“Waktuku tidak banyak. Aku perlu beberapa bantuan darimu,“ kata Pendeta Mayana.
“Katakanlah, matipun aku mau mengingat budi besarmu” jawab Pendekar 212 tanpa ragu-ragu.
“Tidak, bantuan itu bukan untuk pribadiku. Tapi untuk Kerajaan. Untuk Singosari,” kata Pendeta Mayana pula. ”Kita sudah sama tahu bahwa musuh mulai menyerbu dari Utara.”
Wiro mengangguk. Sang Pendeta meneruskan. “Aku punya firasat bahwa Singosari akan jatuh. Beberapa petunjuk Dewa mengatakan begitu. Sementara Sang Prabu seperti tidak mau percaya pada kenyataan. Jika bahaya benar-benar tak dapat dihindari, aku mohon kau menyelamatkan keempat puteri sang Prabu dan dua buah pusaka Kerajaan yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Dua benda itu adalah yang menentukan syah tidaknya seseorang menjadi Raja Singosari.”
”Saya akan lakukan hal itu pendeta. Namun saya butuh petunjukmu bagaimana melakukannya.”
Pendeta Mayana mengangguk. “Bila saatnya sudah tiba, aku akan tunjukkan dimana adanya kedua benda pusaka itu.”
”Bagaimana caranya saya menghubungi pendeta?” tanya Wiro.
”Seorang sahabat yang akan menghubungimu. Berusahalah agar tidak jauh-jauh dari Keraton. Kalau perlu menyamar.”
”Akan saya lakukan,” jawab Wiro. Lalu dia bertanya.
”Siapa sahabat yang akan menghubungi saya itu?”
”Damar.”
”Damar? Orang katai perawat kuda-kuda Keraton itu?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Itu pekerjaannya sehari-hari. Tapi sebenarnya dia adalah orang kita yang disusupkan ke Keraton untuk membayangi tindak-tanduk Dewi Maha Geni. Cuma aku khawatir tingkat kepandaiannya masih berada jauh di bawah nenek bermata dan berlidah api itu. Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik...”
“Sekali lagi terima kasih saya untukmu Pendeta. Kau juga harus berhati-hati. Saya menduga Keraton telah disusupi musuh dalam selimut...”
Pendeta Mayana mengangguk segera tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba Wiro ingat pada pesan Eyang Sinto Gendeng, gurunya. Pendeta Mayana juga tahu sekali pesan itu karena disampaikan lewat dirinya.
”Pendeta, tunggu dulu!” seru Wiro. Dia lari mengejar.
“Ada apa?” tanya Pendeta Mayana seraya hentikan larinya.
”Saya punya ganjalan dalam melakukan permintaanmu.
Ingat pesan Eyang Sinto Gendeng yang disampaikannya untukku melaluimu di pondok Lembah Bulan Sabit tempo hari?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Aku tidak lupa hal itu. Pesan orang tua dan guru wajib diingat dan dihormati. Tetapi harus kau ketahui setiap pesan bisa saja tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kehendak waktu. Lebih dari itu berbuat satu kebajikan untuk orang banyak apalagi Kerajaan lebih banyak hikmahnya daripada hanya mengikuti suatu pesan yang tidak dapat lagi dipertahankan. Kau mengerti maksudku?”
“Saya mengerti Pendeta,” jawab Wiro.
“Apakah kau kini masih merasa ada ganjalan?”
”Tidak.”
“Bagus. Kalaupun nanti gurumu marah, biar aku yang menghadapinya. Aku yang akan bertanggung jawab terhadap dirinya.”
“Kalau begitu sekarang saya benar-benar merasa lega.”
Pendeta Mayana mengangguk dan tinggalkan tempat itu.
***
Patih Raganatha tidak berhasil menemui Pendeta Mayana. Sang Pendeta saat itu secara diam-diam hendak menemui Raden Ayu Gayatri di Kaputeran. Di taman indah di samping Kaputeran Pendeta Mayana berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi langsing berparas cakap. Dia adalah Raden Juwana, calon menantu sang Prabu yang kelak akan dinikahkan dengan puteri sulung Tribuana Tunggadewi. Saat itu Raden Juwana tengah bercakap-cakap dengan calon istrinya yang ditemani oleh seorang pengasuh. Melihat jalan Pendeta Mayana yang begitu bergegas, Raden Juwana menegur hormat.
”Rupanya ada sesuatu yang penting hingga Pendeta tampak melangkah cepat. Ada apakah hingga Pendeta mengambil jalan melintas menuju Kaputeran?”
“Syukur Raden ada disini. Mari kita sama-sama masuk Kaputeran. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan.”
Raden Juwana dan Pendeta Mayana melangkah di depan. Tribuana mengikuti dari belakang diiringi pengasuh. Di dalam Kaputeran yang kemudian dihadiri juga oleh tiga puteri Raja lainnya termasuk puteri bungsu Gayatri, Pendeta Mayana menjelas-kan tentang adanya serangan oleh musuh Kerajaan di sebelah Utara.
”Saya bukan seorang peramal. Tetapi dalam kehidupan ini segala sesuatunya dapat kita hubungkan dengan petunjuk dari Dewata. Beberapa waktu lalu ada hal aneh yang terjadi di candi Jago. Petir dahsyat menyambar di siang hari.
Getarannya terasa sampai di jantung. Ini satu pertanda dari para Dewa bahwa sesuatu akan terjadi di Singosari. Jika hal itu adalah sesuatu yang baik, kita tidak perlu membicarakannya. Tetapi bagaimana kalau kelak itu adalah pertanda akan terjadinya sesuatu yang buruk, suatu malapetaka?”
“Maksud Pendeta Mayana?” tanya Raden Juwana.
”Orang-orang Kediri dibantu oleh orang-orang Madura mengirimkan pasukan, menyerbu kedudukan pasukan kita di Utara sekitar Porong. Panglima telah mengi-rimkan bala bantuan namun saya merasa khawatir pihak kita akan mengalami kekalahan.”
”Mana mungkin Singosari bisa dikalahkan. Kta mempunyai jumlah pasukan yang lebih besar dan terlatih. Apakah Raden Adikatwang dan Wira Seta ikut terlibat dalam gerakan penyerbuan itu?”
”Saya rasa begitu,” jawab Pendeta Mayana. Lalu dipegangnya bahu Raden Juwana dan diajaknya berjalan agak menjauh dari Tribuana. ”Dengar...” kata Pendeta Mayana pula. ”Singosari memang punya bala tentara besar dan terlatih. Tetapi baik Panglima maupun Mapatih serta sang Prabu merasa bahaya itu tidak perlu dikhawatirkan. Lain dari itu, saya merasa kita telah disusupi oleh musuh-musuh dalam selimut.”
”Kalau Pendeta mengetahui siapa orangnya, mengapa tidak dilaporkan pada sang Sri Baginda?” ujar Raden Juwana.
”Saya dan beberapa petinggi Kerajaan berada dalam kesulitan. Sang Prabu tidak mau mendengar pandangan kami.”
”Menurut Pendeta apakah keadannya gawat sekali?”
“Saat ini mungkin belum. Tapi siapa tahu apa yang terjadi besok atau lusa...?”
Saat itu seorang prajurit Kraton muncul memberi tahu bahwa Pendeta Mayana ditunggu Sang Prabu di Ruang Pemanjatan Doa.
”Kita akan bicara lagi nanti,” kata Pendeta Mayana lalu tinggalkan tempat itu mengikuti prajurit tadi.
***
ENAM
Malam itu Tumapel dilanda kehebohan. Deretan gudang panjang di selatan Kotaraja dilanda kebakaran. Di bagian lain hampir dua ratus ekor kuda yang ketakutan menjadi liar, mendobrak palang pembatas dan lari ke pelabagai arah sulit untuk dikejar.
Di halaman kandang kuda enam orang tidak dikenal menggeletak jadi mayat dengan kepala pecah. Orang tua katai bernama Damar memandangi mayat itu satu per satu. Tak seorangpun yang dikenalinya.
Seharusnya tidak semua kubunuh, kata Damar dalam hati penuh penyesalan. Kini dia tidak bisa mengetahui siapa adanya keenam orang yang dengan sengaja telah melepaskan ratusan ekor kuda itu. Damar berlutut di samping salah satu mayat. Dirabanya pakaian orang itu. Terasa tebal. Tangannya bergerak merobek dada pakaian mayat.
Ah! Orang tua katai ini melengak. Di bawah pakaian yang barusan dirobeknya terlihat sehelai pakaaian berwarna hitam bergaris-garis kuning. Itu adalah pakaian seragam prajurit Kediri! Pasti mereka juga yang telah melakukan pembakaran atas gudang senjata! Damar segera tinggalkan tempat itu, bergegas menuju gedung Kepatihan.
Sampai di depan gedung dilihatnya Patih Raganatha tegak di tangga depan, memandang ke arah timur dimana langit tampak merah terbakar.
”Mohon maafmu, Mapatih Singosari,” kata Damar.
”Orang-orang Kediri berhasil menyusup dan melepas kuda-kuda milik kita. Saya berusaha mengejar binatang-binatang itu. Tapi sia-sia saja. Enam penyusup berhasil saya tewaskan...”
”Orang-orang Kediri rupanya tidak main-main,” kata Patih Raganatha. Hatinya mulai merasa khawatir. Dia berpaling pada seorang pembantu kepercayaan yang tegak di sampingnya. ”Apa sudah ada kabar dari Panglima mengenai keadaan di Utara?”
Yang ditanya menggeleng. ”Orang saya berusaha menemui Panglima. Namun pengawal di sana mengatakan bahwa Panglima tengah melakukan pertemuan di Selatan dengan beberapa Kepala Pasukan untuk membuat persiapan berjaga-jaga melindungi Kotaraja.”
”Ada beberapa keanehan!” kata Patih Kerajaan pula.
”Orang-orang Kediri menyusup begitu mudah. Ratusan kuda yang bisa diandalkan untuk perang dilepas orang! Panglima tidak ada di tempat. Lalu gudang senjata dibakar orang! Tak ada yang bisa diselamatkan! Lalu tak ada sama sekali kabar dari medan pertempuran di Utara.”
”Maaf Mapatih,” berkata pembantunya. ”Mungkin keterangan saya sebelumnya kurang jelas. Mengenai gudang senjata yang terbakar, gudangnya memang musnah tetapi sewaktu kebakaran terjadi tidak ada sepotong tombak atau pedang ataupun tameng di dalamnya.”
”Berarti gudang itu memang sudah kosong sebelum terjadi kebakaran!” sepasang mata Patih Raganatha membeliak.
”Mungkin memang begitu adanya, Mapatih,” jawab si pembantu.
”Aku segera menemui sang Prabu. Beliau masih berada di Ruang Pemanjatan Doa saat ini.” Patih itu berpaling pada Damar lalu berkata.
”Lakukan apa yang bisa kau lakukan. Usahakan mengembalikan kuda-kuda yang terlepas itu.”
Orang tua bertubuh katai itu mengangguk dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Tapi dia tidak melakukan apa yang diperintahkan Patih Raganatha melainkan mendahului Patih itu menuju Ruang Pemanjatan Doa.
Dalam Ruang Pemanjatan Doa, sang Prabu hanya ditemani oleh Pendeta Mayana. Sang Prabu saat itu duduk di atas batu pualam putih yang mengeluarkan sinar terang dalam ruangan yang redup itu. Keadaannya seperti orang yang kurang sadar. Kedua matanya terpejam. Telapak tangan dirapatkan dan diluruskan di depan dada. Mulutnya bregerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Damar maklum sekali keadaan sang Prabu seperti itu buakn karena dia tenggelam dalam kekhusyukan doa, melainkan karena pengaruh minuman keras yang diteguknya terlalu banyak. Di atas lantai di sekitarnya bertebaran tabung-tabung dari tanah tempat minuman keras yang telah kosong.
Di sebelah belakang duduk bersila Pendeta Mayana. Ada dua tabung minuman di sampingnya yang masih berada dalam keadaan penuh karena dia sama sekali tidak menyentuhnya walaupun dalam upacara pemanjatan doa seperti itu meneguk minuman keras memang diperkenankan. Walaupun tidak membuka mata namun Pendeta Mayana sudah tahu siapa yang datang.
”Kau membawa kabar apa Damar?”
“Orang-orang Kediri membakar gudang senjata yang sebelumnya memang sudah kosong. Mereka juga melepaskan kuda-kuda. Panglima...”
”Tunggu, saya mendengar langkah orang di luar sana. Ada yang datang,” memotong Pendeta Mayana. Ketinggian ilmunya membuat dia mampu mendengar langkah kaki orang yang masih jauh sekalipun.
”Pasti itu Patih Raganatha,” kata Damar. ”Saya tidak suka dia mengetahui kita bicara di tempat ini.”
”Kalau begitu lekas kita menyelinap ke balik tirai besar di sebelah kiri sana,” kata Pendeta Mayana.
Kedua orang itu cepat bersembunyi ke balik tirai biru muda tebal yang ada di dinding sebela kiri ruangan. Tak lama kemudian seseorang memasuki Ruang Pemanjatan Doa.
Dia memang adalah Patih Raganatha. Sang Patih agak heran mendapatkan Sri Baginda hanya sendirian di ruangan. Apalagi dilihatnya Sang Prabu berada dalam keadaan kurang sadar. Mau tak mau dia harus bicara dengan Sang Prabu. Patih Raganatha berlutut di samping Raja. ”Sang Prabu, saya Patih Raganatha datang menghadap...”
“Kau berani mengganggu Raja yang sedang melakukan upacara keagamaan?” sepasang mata Sri Baginda membuka sedikit. Kelihatan matanya agak merah kurang tidur.
”Mohon maafmu sang Prabu. Tapi ada berita penting yang harus saya sampaikan. Gudang senjata dibakar dan ratusan kuda dilepaskan orang. Sama sekali tidak ada kabar dari pasukan kita di Utara...”
”Semua laporan itu harus kau sampaikan pada Panglima, bukan padaku!”
”Saya tahu sang Prabu. Tapi Panglima tidak ada di Kotaraja saat ini. Dia berada di Selatan tengah berembuk dengan beberapa Kepala Pasukan untuk menyusun rencana perlindungan atas Kotaraja.”
”Adalah tolol kalau dia hanya memikirkan perlindungan bagi Tumapel. Dia harus turun tangan menyerbu musuh, sebelum musuh mendekati Tumapel!”
Patih Raganatha merasa heran mendengar ucapan Rajanya itu. Sebelumnya sang Prabu sendiri yang menyetujui tindakan yang diambil Panglima yaitu hanya mengirim satu kelompok kecil pasukan ke Utara. Kini mengapa dia baru bisa berpikir lebih baik seperti ini?
”Paman Patih, apakah kau masih di sini?”
”Saya masih di sini sang Prabu. Saya mohon petunjuk sang Prabu,” jawab Patih Raganatha.
“Kau kuperintahkan untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab Panglima Argajaya...”
“Saya siap kalau begitu perintah sang Prabu. Kita masih belum tahu sampai seberapa besar bahaya yang dihadapi Singosari. Namun untuk berjaga-jaga saya mohon sang Prabu meninggalkan tempat ini dan bersembunyi di satu tempat yang aman.”
“Bersembunyi?” sang Prabu tertawa panjang.
“Raja Singosari bersembunyi hanya karena ada gangguan dari serombongan tikus-tikus Kediri dan Madura? Jangan kau hinakan Rajamu sendiri, Mapatih!”
”Maafkan saya sang Prabu. Kalau sang Prabu ada usul lain demi keselamatan sang Prabu, saya akan lakukan..”
“Usulku lekas tinggalkan tempat ini. Aku tidak akan pernah meninggalkan Ruangan Pemanjatan Doa ini apapun yang terjadi!”
”Sang Prabu, keadaan sewaktu-waktu bisa berubah genting!” kata Patih Raganatha pula.
”Keluar dari tempat ini Paman Patih, lakukan apa yang tadi kuperintahkan! Aku hanya minta agar seratus prajurit utama berjaga-jaga di luar.”
Patih Raganatha menarik napas panjang. Perlahan-lahan dia berdiri, menjura hormat lalu tinggalkan tempat itu. Di balik tirai tebal Pendeta Mayana berbisik, ”Damar, saya rasa keadaan sudah mulai gawat. Saya tidak yakin Panglima Argajaya emnemui beberapa Kepala Pasukan di Selatan untuk menyusun perlindungan atas Tumapel...”
”Saya juga merasa begitu Pendeta. Jika dia hendak melindungi Kotaraja, dia harus memanggil semua Kepala Pasukan ke Kotaraja, bukannya dia yang harus pergi ke sana. Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
”Kau awasi gerak-gerik Dewi Maha Geni. Temui Raden Juwana, katakan agar dia bersiap-siap mengungsikan empat puteri sang Prabu ke desa Tembang Sari dekat Kudadu di percabangan Kali Brantas.” Dari balik jubahnya Pendeta Mayana menge-luarkan secarik kertas. Kertas ini diserahkannya pada Damar. ”Berikan peta ini pada Raden Juwana agar dia tidak tersesat.”
Damar menyimpan peta kecil itu di balik pinggang pakaiannya. ”Ada hal lain lagi Pendeta?” tanya lelaki katai ini kemudian.
”Ya. Kau ingat pemuda gondrong bernama Wiro itu?”
”Saya ingat.”
”Saat ini dia berada di sekitar tembok luar Keraton. Temui dia dan katakan padanya agar menyiapkan seekor kuda yang kuat, menyamar sebagai tukang rumput dan supaya menunggu di persimpangan jalan. Jangan pergi sebelum saya muncul. Nah hanya itu Damar. Cepat pergi. Sebentar lagi pagi segera datang.”
”Pendeta sendiri akan berada dimana dan akan berbuat apa?” tanya Damar.
”Ada sesuatu yang akan saya lakukan. Jika sudah selesai saya akan berada di tempat ini menemani sang Prabu.”
Damar tampak bimbang sebentar. Lalu dia bertanya.
”Bagaimana dengan Sri Baginda sendiri? Apakah kita tidak akan menyelamat-kannya?”
”Keselamatan sang Prabu serahkan pada saya,” jawab Pendeta Mayana pula.
”Kalau begitu saya minta diri sekarang.”
”Pergilah. Hati-hati..”
***
TUJUH
Apa yang dikhawatirkan orang-orang seperti Pendeta Mayana dan Damar serta Patih Raganatha walaupun kekhawatiran sang Patih ini datangnya agak terlambat memang beralasan.
Pasukan musuh yang menyerbu di kawasan Utara jumlahnya memang tidak besar. Tetapi mereka sempat memporak-porandakan pasukan Singosari di wilayah itu. Katika bala bantuan yang dikirim Panglima Argajaya datang, pasukan musuh berhasil dihantam hingga cerai berai di satu tempat tak jauh dari Candi Sanggariti.
Pasukan dalam jumlah besar yang kemudian dikirimkan oleh Patih Raganatha ke Utara mambentuk tembok pertahanan guna melindungi Singosari. Namun satu hal tidak pernah diduga oleh orang-orang Singosari. Serangan yang dilancarkan oleh orang-orang Kediri yang dibantu oleh orang-orang Madura di kawasan Utara itu ternyata hanyalah siasat tipu daya belaka. Selagi sebagian besar pasukan Singosari bergerak menuju Utara, secara diam-diam satu gelombang gabungan pasukan Kediri dan Madura yang luar biasa besarnya, bergerak menyusuri kaki Gunung Penang-gungan sebelah timur, terus menyusup ke kaki Gunung Welirang, melewati bagian timur kaki Gunung Anjasmoro lalu mendekati Singosari dari arah Selatan. Gerakan pasukan yang besar ini telah dilakukan jauh sebelum serbuan pancingan dilakukan di Utara. Sehingga ketika pertempuran pecah di Utara, dua hari kemudian pasukan musuh di Selatan sudah berada di pintu gerbang Selatan membuat kaget pasukan Singosari yan berada di situ. Lebih mengejutkan lagi karena di kepala pasukan kelihatan memimpin panglima Perang Argajaya. Lenyapnya Sang Panglima sejak beberapa hari ini rupanya karena memang dia sudah menyusun rencana pengkhia-natan, menggabungkan pasukan yang dapat ditariknya dengan pasukan Kediri-Madura yang datang dari Utara!
Saat itu matahari masih belum menyembul dari ufuk timur. Rombongan pasukan yang siap menggempur Singosari bergerak laksana gelombang air laut. Di lapis kedua barisan terdapat serombongan penabuh genderang dan peniup terompet. Mereka bertugas memberikan semangat pada seluruh balatentara.
Di barisan terdepan di belakan pasukan panah kelihatan Panglima Argajaya. Dia tidak mengenakan seragam pasukan Singosari melainkan berpakaian merah dengan ikat kepala merah. Dia dikelilingi oleh enam orang bekas Kepala Pasukan Singosari wilayah Selatan yang berhasil dibujuknya untuk ikut bergabung dengan pasukan Kediri-Madura.
Dua puluh tombak di sebelah kiri Argajaya terlihat Adipati Wira Seta didampingi pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita. Kedua orang ini mengenakan pakaian perang lengkap dengan senjatanya. Seperti Argajaya keduanya menunggangi kuda.
Penunggang kuda keempat yang bertindak selaku salah satu pimpinan pasukan penyerang adalah Dewa Sedih. Orang tua ini seperti biasa selalu kelihatan murung dan sesenggukan. Orang kelima yang menjadi tokoh di pihak penyerang adalah seorang perempuan tua bertubuh jangkung, mengenakan jubah merah. Saosoknya hampir tidak kelihatan karena terhalang oleh barisan berkuda yang ada di sebelah depan. Perempuan tua ini bukan lain adalah Dewi Maha Geni yang seperti Panglima Argajaya melakukan pengkhianatan, menyeberang ke pihak musuh. Yang tidak kelihatan justru adalah Raden Adikatwang, pucuk pimnpinan tertinggi pasukan musuh, yang berambisi ingin menjadi Raja di Raja penguasa Kediri dan Singosari.
Di pihak Singosari yang telah bersiap sedia menyambut serangan musuh di pintu gerbang Selatan hanya dipimpin oleh beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda. Melihat pasukan musuh dipimpin oleh empat orang kawakan itu mau tak mau pihak Singosari menjadi kendor nyali mereka. Namun apa mau dikata tugas mereka harus siap mempertahankan kerajaan dengan darah dan nyawa. Perlahan-lahan sang surya mulai muncul di Timur.
Genderang ditabuh keras. Terompet ditiup nyaring. Inilah satu pertanda bahwa serangan segera dimulai. Laksana air bah pasukan Kediri-Madura bergerak cepat menuju pintu gerbang Selatan. Pasukan panah sudah siap merentang busur. Saat itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berpakaian perang. Ternyata dia avalah Patih Raganatha.
Kedatangan Raganatha memberi semangat pada pasukan Kerajaan. Orang tua ini muncul di pintu gerbang, mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Argajaya. Patih Singosari ini berusaha terus maju sampai ke luar pintu gerbang. Di satu tempat dia hentikan kudanya. Argajaya mengangkat tangan dan meneriakkan sesuatu. Seluruh pasukan yang tengah bergerak itu berhenti dengan tiba-tiba.
“Argajaya! Aku tidak mengira serendah ini budimu terhadap Sri Baginda Prabu dan Singosari. Namun aku memberikan kesempatan. Kau masih punya waktu untuk kembali bersama pasukanmu!”
Argajaya menyeringai. Dia balas berteriak. “Patih Singosari! Saat ini tidak perlu kita bicara menyangkut segala macam budi! Aku tawarkan padamu untuk bergabung bersama kami. Atau kau akan ikut kami sama ratakan dengan bumi Singosari!”
”Pengkhianat busuk!” teriak Patih Raganatha marah. Tangan kirinya dihantamkan ke depan. Selarik angin menderu menyambar ke arah Argajaya. Selagi Panglima Singosari yang menyeberang ke pihak musuh itu menarik kudanya dan mengelak ke samping, Raganatha angkat tangan kanannya. Tangan itu berubah menjadi panjang sekali bercabang cabang. Inilah ilmu kesaktian seratus gurita amuk. Argajaya tahu betul kehebatan ilmu ini. Maka cepat-cepat dia menyingkirkan kudanya ke kiri sam-bil balas menghantam dengan pukulan tangan kosong. Argajaya berlaku cerdik. Yang dihantamnya adalah kuda tunggangan Patih Singosari itu. Saat itu pula Argajaya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Genderang ditabuh gegap gempita.
Terompet ditiup memekakkan telinga. Pasukan menyerbu untuk kedua kalinya. Dan sekali ini seperti tidak ada lagi yang sanggup menahannya. Setelah menewaskan ratusan prajurit Singosari, pertahanan di pintu gerbang Selatan bobol. Pasukan musuh membanjir. Patih Raganatha berteriak memberi semangat. Tangan kanannya kini memegang sebilah golok panjang sedang tangan kiri terus menerus melancarkan serangan seratus gurita mengamuk. Balasan prajurit lawan menjadi korbannya. Namun pasukan musuh datang laksana air bah, menggulung apa saja yang ada di hadapannya. Patih Raganatha tidak mampu mendekati Argajaya. Bahkan kini dia terpaksa mundur terus dan keselamatannya terancam.
Di tengah-tengah perang bersosoh itu terdengar teriakan Argajaya. “Patih Singosari! Nyawamu akan selamat jika kau ikut dengan kami!”
Patih Raganatha menyambar sebilah tombak lalu dilemparkannya ke arah Argajaya. Karena tidak menyangka akan diserang seperti itu, walau masih bisa berkelit namun ujung tombak itu masih sempat menyambar kain merah ikatan kepalanya hingga putus!
Meskipun marah namun Argajaya tahu kalau ilmunya masih setingkat di bawah Patih Raganatha. Maka dengan cerdik dia menoleh pada Dewa Sedih.
”Dewa Sedih! Bantu aku melenyapkan tua bangka buruk ini!”
Dewa Sedih keluarkan suara terisak lalu didahului oleh suara menggerung keras tubuhnya berkelebat ke arah Raganatha. Saat itu pula Argajaya cabut golok panjang yang mencantel di ikat pinggang besarnya lalu menarik tali kekang kuda hingga binatang ini melompat mendekati Patih Raganatha. Dikeroyok dua serta merta Patih Singosari ini terdesak hebat, sekalipun ada dua Perwira Tinggi yang berusaha membantunya, Sang Patih akhirnya tewas secara mengenaskan.
Di bagian lain, ketika pasukan gabungan Kediri-Madura mulai menyerbu, sambil mengeluarkan pekik keras nenek berjubah merah yaitu Dewi Maha Geni berkelebat ke depan.
Dia bukannya menyerang pasukan Singosari namun melompati tembok tinggi. Begitu sampai di dalam dia menggebuk kepala seorang Perwira Muda hingga rengkah dan jatuh dari kudanya. Si nenek rampas kudanya lalu menghambur menuju ke arah Timur yaitu dimana terletak kawasan Keraton. Pagi itu kabar penyerbuan besar-besaran pasukan musuh di pintu gerbang Selatan telah sampai di Keraton Tumapel.
Di salah satu bangunan yang sangat rahasia Pendeta Mayana keluar dengan tergopoh-gopoh. Di tangannya ava dua buah kotak kayu. Yang pertama berisi Mahkota Narasinga yakni mahkota lambang dan syahnya seorang menjadi Raja Singosari. Kotak kedua yang agak kecil dan pipih di dalamnya terdapat Keris Saktipalapa, juga merupakan salah satu benda pusaka sangat berharga, pendamping Mahkota Narasinga.
Pendeta ini mengambil jalan berputar dan muncul di sebuah pintu kecil di bagian Barat tembok Keraton. Dua orang pengawal yang bertugas di situ memberi hormat dan membiarkannya lewat. Di luar tembok Pendeta Mayana melangkah cepat menuju persimpangan jalan. Dia mengharapkan pemuda itu sudah menunggu di sana. Tetapi ketika dia sampai di persimpangan tak seorangpun dilihatnya di tempat itu. Sang Pendeta mulai khawatir. Serombongan prajurit berkuda lewat di jalan dengan cepat. Pendeta Mayana memandang berkeliling. Hatinya lega ketika di depan sana ada seorang bercaping terbungkuk-bungkuk memikul dua keranjang berisi rumput. Di belakangnya mengikuti seekor kuda coklat.
Pendeta Mayana cepat mendekati tukang pikul rumput itu. Dua buah kotak yang dibawanya dimasukkan ke dalam keranjang seraya berkata.”Lekas tinggalkan Kotaraja. Bergabung denganRaden Juwana dan empat puteri Sri Baginda di desa Tembang Sari. Ingat, dua kotak berisi benda pusaka dalam keranjang itu adalah mati hidupnya Kerajaan Singosari. Jaga baik-baik..”
”Akan saya pertahankan dengan darah nyawasaya,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Saya harus kembali ke Keraton untuk menyelamatkan Sang Prabu,” kata Pendeta Mayana lalu pergi meninggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat naik ke atas punggung kuda. Tapi belum sempat dia menarik tali kekang binatang itu tiba-tiba ada bayangan merah berkelebat di depannya disertai menyambarnya hawa panas. Memandang ke depan Wiro melihat nenek berjubah merah yang pernah ditemuinya sebelumnya dan disangkanya adalah seorang pengemis. Dewi Maha Geni! Dari Pendeta Mayana Wiro suvah mendapat keterangan siapa adanya nenek bermata dan berlidah api ini. Dia bersikap berpura-pura ramah tapi penuh waspada.
“Ah, sobatku nenek canti jelita bermata seperti Bintang Timur. Apakah kali ini kau muncul hendak mengemis lagi? Atau ingin menotokku sekali lagi?!”
Dewi Maha Geni menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggerendeng. Lalu perempuan tua yang sakti ini berkata dengan suara keras.
”Jangan berlaku seperti pemuda merayu janda!”
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. ”Harap maafkan kelancanganku. Aku tidak tahu kalau kau seorang janda!”
Sepasang mata Dewi Maha Geni menyorot marah laksana api. Lidahnya dijulurkan membasahi bibirnya dan lagi-lagi Wiro melihat lidah itu seperti lidah api.
”Sebetulnya aku sudah bosan jadi pengemis. Tapi sekali ini tidak ada salahnya. Lekas kau serahkan padaku keranjang berisi rumput yang kau cantelkan di leher kuda itu!”
Ah, jadi dia sudah tahu apa isi keranjang ini, membatin Wiro. Kalau perempuan tua beralis dan berambut merah ini suvah berkata begitu berarti dia tidak main-main. Tahu betul tingkat kepandaian si nenek maka Wiro siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri dan tangan kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya. Kalau dia mampu menipu nenek ini mengapa tivak dicobanya? Daripada harus melakukan baku hantam!
”Kalau kau tidak mau serahkan keranjang itu, kau bisa ganti dengan menyerahkan jantungmu!” si nenek membentak marah.
Pendekar 212 pura-pura ketakutan tapi masih coba bergurau. Nenek, aku tidak tahu kau senang rerumputan. Kalau kau memang doyan lalapan rumput silahkan ambil keranjang ini!” lalu dengan tangan kirinya Wiro lepaskan keranjang yang dicantelkannya pada tali di leher kuda. Namun tumit kaki kanannya yang dialiri tenaga dalam tanpa terlihat oleh Dewi Maha Geni ditusukkannya ke tulang rusuk kuda. Binatang ini meringkik kesakitan dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Wiro pura-pura jungkir balik jatuh ke tanah. Keranjang rumput yang hendak diserahkannya jatuh bergelindingan dan bertabrakan dengan keranjang rumput yang satu lagi yang masih ada di tepi jalan. Kedua keranjang itu sama-sama terguling dan sama-sama bergelindingan. Wiro mengejar dan menangkap salah satu dari dua keranjang itu. Lalu dilemparkannya ke arah Dewi Maha Geni.
”Ini keranjang yang kau minta Nek! Ambillah!” ujar Wiro.
Nenek bermata api segera menyambuti keranjang yang dilemparkan. Merasa bahwa keranjang itu memang keranjang yang tadi berada di atas kuda maka Dewi Maha Geni cepat tinggalkan tempat itu. Setelah si nenek menghilang di kejauhan Wiro tertawa gelak-gelak. Diambilnya keranjang yang masih tergeletak di tengah jalan dan cepat-cepat dicantelkannya ke tali leher kuda. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng ini menggebrak kuda tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan. Di atasnya Wiro tak henti-hentinya tertawa karena berhasil menipu nenek tadi, menyerahkan keranjang yang hanya berisi rumput, tidak berisi dua buah kotak kayu benda pusaka Keraton Singosari itu!
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang berhasil mengelabui Dewi Maha Geni. Kita menuju ke dalam kawasan Keraton. Sesuai dengan nasihat Pendeta Mayana maka Raden Juwana mengumpulkan keempat puteri Sang Prabu. Agar tidak mencurigakan mereka dinaikkan ke atas empat kereta mayat. Sekitar seratus orang prajurit terper-caya tanpa pakaian seragam mengawal empat kereta jenazah itu. Untuk mengelabui, enam orang perempuan disewa mengikuti perjalanan. Tugas mereka adalah pura-pura menangis bila berpapasan dengan orang lain. Sehingga orang menyangka bahwa rombongan yang lewat itu adalah benar-benar rombongan duka yang membawa empat jenazah yang akan disembahyangkan di satu tempat. Di sebelah muka menunggangi kuda Raden Juwana.
Dalam rombongan terdapat si katai Damar dan empat Perwira Muda. Mereka tidak menempuh jalan umum tapi melewati perbukitan dan hutan belantara di Timur Laut Tumapel. Meskipun jarak perjalanan menjadi tambah jauh namun terasa lebih aman. Di satu tempat Raden Juwana yang merasa was-was atas keselamatan calon mertua-nya yaitu Sri Baginda berbalik kembali menuju Tumapel. Dia berpesan kepada Damar dan Perwira-Perwira kepercayaan agar terus bergerak menuju Kudadu. Bila sang Prabu sudah diselamatkan dia akan segera menyusul.
Sementara itu di Ruang Pemanjatan Doa, Pendeta Mayana telah mendampingi Sang Prabu melakukan upacara keagamaan. Di luar seratus pengawal berjaga-jaga. Bagi Pendeta Mayana apalah artinya jumlah seratus prajurit itu jika nanti ribuan pasukan musuh berhasil menerobos benteng pertahanan Singosari di Selatan lalu menyerbu Keraton. Apalagi kalau orang-orang berkepandaian tinggi seperti si pengkhianat Argajaya dan Dewi Maha Geni muncul di tempat itu, pasti keselamatan nyawa Sang Prabu tidak akan tertolong.
Belum lama Pendeta Mayana berpikir seperti itu, seorang prajurit tiba-tiba masuk ke dalam memberikan laporan. Prajurit ini jatuhkan diri ke lantai, bersujud beberapa lamanya kemudian baru duduk bersila di hadapan Sang Prabu dan Pendeta Mayana dengan wajah pucat.
“Ada apa Prajurit?” tanya Pendeta Mayana sedang Sang Prabu hanya memandang dengan lirikan matanya. Raja Singosari ini masih berada dalam pengaruh minuman keras.
“Pasukan Singosari tidak sanggup mempertahankan pintu gerbang Selatan. Balatentara musuh berhasil menjebol pintu gerbang dan saat ini tengah membanjir memasuki Kotaraja! Panglima Argajaya ternyata berpihak pada mereka dan ikut memimpin pasukan musuh!”
Pendeta Mayana mengelus dadanya sendiri. Musuh cukup cerdik. Mereka sengaja mengirimkan pasukan kecil menyerbu kawasan Utara, padahal mereka sebenarnya tengah menyelinapkan pasukan besar di bagian Selatan Tumapel!
Wajah sang Pendeta nampak muram. Sebenarnya dia sudah maklum bahwa suatu saat orang-orang Kediri di bawah pimpinan Adikatwang yang sudah dianggap Raja oleh pengikutnya, dibantu orang-orang Madura di bawah pimpinan Wira Seta akan melakukan penyerbuan. Namun dia sama sekali tidak mengira hal itu terjadi demikian cepatnya.
“Prajurit,” kata Pendeta Mayana. “Lekas kembali ke induk pasukanmu...”
Prajurit itu merunduk khidmat. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Dia tidak pernah kembali ke induk pasukannya tetapi menghambur bersama kudanya menuju ke Barat yaitu ke arah Jombang. Baginya kembali ke pasukan sama saja dengan menyerahkan nyawa pada pemberontak.
Pendeta Mayana bangkit dari duduknya lalu melangkah ke tempat Prabu Kertanegara duduk pejamkan mata. Dalam keadaan biasa tidak mungkin Pendeta Mayana akan berani mengganggu sang Prabu. Namu saat itu keadaan sudah sangat gawat. Dia harus memberi tahu Prabu Kertanegara. ”Sang Prabu...,” kata Pendeta Mayana. Kertanegara tetap tak bergerak dalam duduknya. Mukanya tampak merah akibat pengaruh minuman keras.
”Sang Prabu!” memanggil kembali Pendeta Mayana. Sekali ini dengan suara lebih keras. Ketika dilihatnya kedua mata Kertanegara bergerak tanda dia mendengar panggilan tadi maka Pendeta Mayana meneruskan ucapannya dengan suara keras. “Kita harus meninggalkan tempat ini dengan segera Sang Prabu! Balatentara musuh telah memasuki Tumapel...”
“Kau takut pada orang-orang Kediri dan orang-orang Madura itu, Pendeta Mayana?”
“Tidak ada yang saya takutkan di dunia ini sang Prabu, kecuali terhadap para Dewa...”
“Kalau begitu ikuti aku memuja dan berdoa pada Dewata.”
”Sang Prabu, maafkan saya. Doa bisa dilakukan kemudian. Yang penting saat ini sang Prabu harus menyelamatkan diri. Ikuti saya. Saya tahu jalan rahasia yang bisa membawa kita keluar dari kawasan Keraton dan sampai di sebuah rimba belantara.”
Sang Prabu berpaling, memandang menyeringai pada Pendeta Mayana.
”Lupakan apa yang ada dalam pikiranmu Pendeta Mayana. Lebih baik kau pimpin upacara berdoa ini. Kita berada di tempat suci. Para Dewa akan melindungi kita. Balatentara musuh tidak akan dapat menyerbu ke tempat ini! Kita punya pasukan besar dan setia serta berani. Kita punya orang gagah seperti Panglima Argajaya, Dewi Maha Geni, serta belasan Perwira.”
”Panglima Argajaya telah berkhianat. Dia menyeberang ke pihak penyerbu. Dewi Maha Geni saya yakin juga melakukan hal yang sama,” mejelaskan Pendeta Mayana. Kening sang Prabu tampak mengerenyit tapi dia tidak berkata apa-apa.
”Sang Prabu, waktu kita hanya tinggal sedikit. Lekas ikuti saya...!”
”Kalau kau mau pergi, pergilah sendiri. Aku akan tetap di sini. Jangan ganggu aku lebih lama!” Sang Prabu lalu mencabut keris yang tersisip di pinggangnya dan meletakkan senjata ini di atas meja kecil di hadapannya.
Keris itu adalah senjata sakti, termasuk salah satu pusaka Kerajaan. Dalam keadaan sang Prabu seperti itu akan sulit bagi Pendeta Mayana untuk membujuknya. Sementara itu di luar terdengar sorak sorai gegap gempita disusul suara beradunya senjata. Pendeta Mayana mengintai dari balik kisi-kisi di dinding. Dia melihat banyak sekali pasukan musuh mengurung dan menghantam seratus prajurit yang melindungi Raja. Bagaimanapu seratus prajurit itu mempertahankan diri namun jumlah lawan banyak sekali.
Pendeta Mayana berpaling pada sang Prabu. Saat itu dilihatnya sang Prabu tengah meneguk minuman keras dari dalam sebuah tabung bambu. Tak ada jalan lain. Sang Pendeta segera mendekati Rajanya. Begitu berdekatan dengan cepat ditariknya lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Namun pertolongan yang dilakukan oleh Pendeta Mayana sia-sia saja. Saat itu puluhan prajurit lawan telah menyerbu masuk ke ruangan itu. Kebanyakan dari mereka segera mengenali sang Prabu dan Pendeta Mayana.
Tidak menunggu lebih lama puluhan prajurit segera memburu kedua orang itu dengan senjata masing-masing. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara membentak.
”Tahan! Raja Singosari itu punya hutang padaku! Aku yang akan menghabisinya!”
Lalu terdengar suara ringkikan kuda disusul ada suara angin menyambar dan tahu-tahu seekor kuda hitam besar sudah berada dalam ruangan itu. Di atas punggungnya duduk seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian sederhana. Rambutnya yang hitam digulung di atas kepala. Di pihak musuh, suara itu tidak asing lagi. Mereka segera batalkan serangan lalu bergerak mundur tapi tetap dalam keadaan mengurung. Melihat tidak ava jalan untuk lari, perlahan-lahan Pendeta Mayana turunkan tubuh sang Prabu yang didukungnya. Raja Singosari ini tegak terhuyung-huyung setengah tidak sadar, bersandar ke dinding. Di hadapannya saat itu Pendeta Mayana melihat Adikatwang penguasa Gelang-Gelang di Kediri duduk di atas punggung kuda sambil memegang sebilah pedang. Di bagian lain sang Pendeta melihat Panglima Argajaya berdiri diantara para prajurit penyerbu.
”Sri Baginda yang mengakui sebagai Prabu dan Raja Singosari!” tiba-tiba suara Adikatwang menggeledek di ruangan itu. ”Belasan tahun lalu kau membunuh ayahku. Kini puteranya akan menuntut balas! Bersiaplah menerima kematianmu!”
Habis berkata keras begitu Adikatwang melompat dari kudanya. Namun gerakannya disongsong oleh Pendeta Mayana.
”Adikatwang manusia tidak berbudi!” bentak Pendeta Mayana. ”Ini balasanmu terhadap Sang Prabu yang telah mengampuni jiwamu dan memberikan kedudukan tinggi di Gelang-Gelang...!”
”Pendeta Mayana! Kau tidak masuk dalam daftar manusia-manusia Singosari yang harus disingkirkan. Tapi jika kau tidak segera minggat dari hadapanku, kau akan kubunuh saat ini juga!”
Diancam seperti itu Pendeta Mayana ganti tertawa dan menjawab. ”Kau bodoh! Seharusnya kau masukkan aku dalam daftar orang-orang yang harus kau bunuh! Aku bukan penveta yang berpantang membunuh demi menyelamatkan Singosari dan Sang Prabu Raja syah kerajaan ini!”
Pendeta Mayana tutup ucapannya vengan menghantamkan kedua tangannya ke depan sekaligus! Dua gelombang angin menderu. Adikatwang tidak berlaku ayal. Dia sudah lama tahu kalau Pendeta Mayana bukan Cuma seorang pendeta agama biasa, tetapi seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Cepat-cepat Adikatwang menyingkir dengan melompat kek kiri. Dua gelombang angin menyambar lewat di sampingnya. Saat itu juga terdengar pekik jerit kematian sembilan orang prajurit yang terkena hantaman pukulan Pendeta Mayana.
Adikatwang cepat berpaling pada Panglima Argajaya dan berkata: ”Dimas Argajaya! Aku tak ingin mengotorkan tangan membunuh manusia satu ini! Kau bereskan dia!”
Adikatwang lalu melompat menjauhi Pendeta Mayana namun terus berkelebat ke arah Sang Prabu yang masih tegak tersandar ke dinding. Pedangnya menyambar. Pendeta Mayana berteriak marah dan coba memburu Adikatwang. Namun gerakannya dihadang oleh Argajaya yang melompat ke hadapannya dengan golok besar terhunus.
”Pengkhianat busuk terkutu!” teriak Pendeta Mayana.
Dengan tangan terpentang dia menerjang. Argajaya babatkan goloknya tapi serangannya luput. Sebaliknya serangan Pendeta Mayana pun dapat dihindari oleh Argajaya yang kemudian berteriak pada beberapa Perwira dan puluhan prajurit yang ada di sekitarnya. Pendeta Mayana tak dapat menghindarkan diri vari keroyokan begitu banyak lawan. Dengan mengandalkan tangan kosong dan pukulan-pukulan sakti dia mampu merobohkan belasan lawan. Namun lebih banyak yang datang. Selagi dia terdesak dan bertahan mati-matian di bagian lain didengarnya suara jeritan Sang Prabu.
Pendeta Mayana yang telah menderita beberapa luka di tubuhnya berpaling ke arah suara jeritan itu. Lalu terdengar Pendeta ini meraung ketika melihat apa yang terjadi. Adikatwang tegak menyeringai memegang pedang yang berlumuran darah. Di depannya, tersandar ke dinding sang Prabu berdiri megap-megam sambil pegangi perutnya yang berlumuran darah akibat tusukan pedang Adikatwang.
”Manusia iblis! Biadab!” teriak Pendeta Mayana. Dia melompat ke arah Adikatwang dan menghantam dengan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Namun dari samping Panglima Argajaya memotong gerakannya dengan sambaran golok besar.
Hantaman Pendeta Mayana memang berhasil membunuh seorang Perwira Kediri dan delapan prajurit musuh. Namun tangannya tidak dapat diselamatkan dari tabasan golok yang dibabatkan Argajaya. Tangan kanan itu putus. Darah memancur. Selagi Pendeta Mayana terhuyung menahan sakit, golok di tangan Argajaya bergerak menusuk lambung pendeta itu.
”Ananta!” tiba-tiba terdengar seseorang menjerit menyebut nama asli Pendeta Mayana. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah benda aneh memancarkan warna berkilau melesat dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Di lain kejap terdengar jeritan Panglima Singosari yang berkhianat itu. Sebuah senjata berupa tusuk kundai terbuat dari perak menancap di keningnya. Dua buah lainnya menancap di lehernya!
Sekujur tubuh Argajaya nampak bergetar. Dia seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Lalu terdengar jeritannya sekali lagi. Tubuhnya kemudian terbanting ke lantai, menggeliat beberapa kali akhirnya meregang nyawa dengan mata membeliak dan lidah mencelet. Seluruh muka dan lehernya sampai ke dada tampak berubah menjadi seputih kapur! Mengerikan untuk dipandang.
Selagi semua orang geger melihat apa yang terjadi, satu sosok berkelebat laksana bayangan. Orang ini menyambar tubuh Pendeta Mayana lalu memanggulnya. Belasan prajurit dan beberapa orang Perwira berusaha menangkap atau menghantamnya dengan senjata. Orang yang memanggul tubuh Pendeta Mayana membuat dua kali gerakan.
Enam orang prajurit roboh, seorang Perwira langsung meregang nyawa dengan kepala pecah. Lalu laksana ada kilat yang menyambar, di ruangan itu terdengar suara letusan keras disertai menghamparnya hawa panas dari suatu sinar yang menyilaukan. Ruangan Pemanjatan Doa tergoncang seperti dilanda gempa. Dinding, langit-langit dan lantai ruangan berderak.
”Lekas tinggalkan tempat ini!” terdengar teriakan Adikatwang. Lalu pimpinan pemberontak ini melompat ke arah pintu. Beberapa orang mengikutinya. Yang lain tidak sempat menyelamatkan diri. Ruangan Pemanjatan Doa itu runtuh dengan suara bergemuruh. Sekitar enam puluh orang terkubur hidup-hidup di dalamnya, belum terhitung belasan mayat termasuk jenazah Sang Prabu dan Panglima pengkhianat yaitu Argajaya.
Selamat dari tertimbun ruangan yang runtuh wajah Adikatwang nampak pucat di balik debu reruntuhan bangunan. Dia memandang berkeliling. Namun dia tidak melihat lagi bayangan orang yang tadi melarikan tubuh Pendeta Mayana.
***
DELAPAN
Pendeta Mayana tahu kalau dirinya dipanggul dan dilarikan laksana kilat. Namun dia tidak tahu siapa yang melarikannya itu. Dibukanya kedua matanya. Pemandang-annya berkunang dan kabur. Dia melihat wajah itu tapi sangat samar-samar. Lalu dia ingat kejadian di Ruangan Pemanjatan Doa. Saat itu dia dalam keadaan luka. Tangan kanannya buntung. Lalu perutnya ditembus golok Argajaya. Saat itu dia mendengar ava seseorang berteriak menyebut namanya. Bukan memanggilnya sebagai Pendeta atau Mayana tapi menyebut nama aslinya yaitu Ananta! Suara teriakan itu jelas suara perempuan. Jika ada seorang perempuan yang tahu nama aslinya maka hanya satu orangnya yaitu nenek sakti Sinto Gendeng alias Sinto Weni.
Dalam keadaan luka parah seperti itu Pendeta Mayana alisan Ananta Wirajaya coba mengerahkan tenaga dalamnya. Lama dan perlahan sekali akhirnya dia mampu memandang sedikit lebih jelas. Wajah itu. Wajah orang yang mendukungnya. Wajah seorang nenek berkulit hitam keriput dan cekung. Memang dia!
”Sinto Weni, betul kakukah ini yang memanggul dan melarikanku...?” terdengar suara menjawab tersendat. ”Jangan bicara dulu Ananta. Lukamu parah sekali. Aku tidak yakin bisa menyelamatkanmu...”
”Kau telah menyelamatkanku. Aku berterima kasih. Bawa aku ke tempat yang teduh Sinto. Aku ingin bicara banyak hal denganmu disana. Aku.. aku ingin mati bahagia dalam pelukanmu.”
”Jangan bicara begitu Ananta! Jangan bicara lagi atau aku terpaksa menotok jalan suaramu...”
Ananta diam tapi tersenyum. ”Bawalah aku kemana kau suka Sinto. Kali ini jangan kau tinggalkan lagi diriku...”
Sinto Weni tidak dapat menahan air mata yang membuat kedua matanya berkaca-kaca. Dia mendengar apa yang diminta Ananta Wirajaya. Dia tahu mungkin itu adalah permintaannya yang terakhir. Karena itu Sinto Weni membawa Ananta Wirajaya yang dipanggulnya menuju sebuah puncak bukit kecil yang teduh dimana tumbuh pepohonan rindang dan kembang-kembang liar warna-warni.
Hati-hati sekali nenek sakti itu membaringkan Ananta di atas rerumputan. Pendeta ini berusaha membuka kedua matanya lebih besar agar dia dapat melihat orang yang dikasihinya itu lebih jelas. Lalu terdengar suaranya berbisik. ”Sinto...Aku ingin mati di dalam pelukanmu. Peluk diriku Sinto...”
Betapapun kerasnya hati nenek sakti ini dia tetap seorang perempuan yang punya hati dan sentuhan rasa. Dia membungkuk dan menangis terisak-isak lalu memeluk tubuh Ananta.
”Boleh...boleh aku melihat wajahmu untuk terakhir kali Sinto...?”
Sinto Weni melepas kulit tipis yang selama puluhan tahun menutupi wajahnya. Kelihatan kini satu wajah putih yang keriputan tapi masih membayangkan kecantikan di masa muda.
Dengan tangan kirinya Ananta Wirajaya berusaha membelai wajah orang yang dikasihinya itu tapi tangannya hilang kekuatan dan jatuh. Saat itu pula terdengar suara tercekik halus di tenggorokannya. Kepala lelaki itu terkulai. Sinto Weni menjerit keras dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernapas itu. Air matanya membasahi wajah Ananta ketika dia menciumi lelaki itu sejadi-jadinya. ”Aku mengasihimu Ananta. Hanya kau seorang yang benar-benar mendapat tempat di hatiku. Aku ingin ikut bersamamu Ananta...” Ratapan Sinto Weni yang menyayat hati itu hanya disambut oleh suara hembusan angin di puncak bukit.
”Ananta! Aku bersumpah membalaskan kematianmu!” kata Sinto Weni diantara suara isakannya.
Kejatuhan Kraton Tumapel dan runtuhnya Kerajaan Singosari tidak dapat dielakkan lagi. Apalagi kalau tewasnya Sri Baginda Prabu sudah tersebar luas. Di tengah berkecamuknya pertempuran di sekitar Kotaraja, seorang mata-mata membawa kabar kepada Adipati Sumenep Wira Seta. Kabar ini kemudian diteruskan Wira Seta kepada pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita.
”Bawa tigaratus prajurit. Kejar rombongan itu! Ingat jika apa yang dikatakan mata-mata memang benar jangan biarkan seorangpun hidup!”
Gandita mengangguk lalu cepat memisahkan diri keluar dari pertempuran. Tak lama kemudian kelihatan dia membawa satu rombongan besar pasukan terdiri dari tiga ratus prajurit gabungan Kediri-Madura. Rombongan berkuda ini bergerak meninggalkan Kotaraja ke arah Timur Laut. Menjelang rembang petang, setelah melewati satu jalan memintas Gandita dan pasukannya berhasil mencapai sebuah bukit kecil. Memandang ke bawah mereka melihat satu rombongan sekitar seratus orang berkuda membawa empat kereta jenazah. Rombongan ini bukan lain adalah rombongan yang telah berusaha menyelamatkan empat puteri sang Prabu. Mereka tidak pernah menyangka kalau pihak musuh telah mengetahui rahasia besar yang ada dalam rombongan itu. Yang lebih mengenaskan ialah saat itu setelah ditinggal-kan oleh Raden Juwana yang hendak menyelamatkan rombongan tidak memiliki lagi seorang berkepandaian tinggi kecuali lelaki katai bernama Damar.
Dari atas bukit Gandita membawa turun pasukannya ke sebuah jalan menikung. Pasukan bergerak melebar dan begitu sampai di tikungan kembali merapat membentuk japitan. Ketika rombongan yang membawa empat kereta jenazah sampai di tikungan jalan serat merta mereka berada dalam kepungan rapat. Dari atas kudanya Gandita memandang berkeliling. Ada empat kereta jenazah. Dikawal oleh hampir seratus orang berpakaian biasa. Di bagian depan kereta ada satu atau dua orang perempuan yang bermata merah tanda banyak menangis.
”Siapa pimpinan rombongan ini?!” teriak Gandita sambil tekankan tangan kanan ke hulu golok yang terselip di pinggangnya.
Orang tua bernama Damar mengangkat tangannya dan menjawab. ”Aku pimpinan rombongan yang tengah berduka ini!”
”Hemmmm..manusia katai. Aku pernah melihatmu. Kau bekerja di Keraton. Sebagai perawat kuda-kuda Kerajaan! Betul! Memang kau orangnya!”
”Dugaanmu tidak meleset!” jawab Damar.
”Rombonganmu ini dari mana dan mau kemana?”
“Ini adalah rombongan berduka. Empat orang kerabat kami menemui ajal karena penyakit sampar. Kami akan mengurus upacara pemakaman mereka di muara Kali Mas.”
”Begitu?” ujar Gandita sambil menyeringai. ”Aku mau periksa kereta jenazah itu satu per satu!”
”Kalian manusia-manusia tidak tahu peradatan! Berani mengganggu orang yang sedang berduka! Kalau kalian adalah prajurit-prajurit pemberontak mengapa jauh-jauh berada di sini menghadang kami? Bukankah kalian ingin merebut tahta Kerajaan Sang Prabu? Pergialh ke Tumapel! Bertempur disana!”
”Manusia katai! Cakapmu banyak amat! Bawa rombonganmu meninggalkan tempat ini. Empat kereta jenazah tetap di sini!”
”Aku meminta kaulah yang harus segera meninggalkan tempat ini! Pergilah mencari mampus di Tumapel!”
Kesabaran Gandita habis sudah. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Tiga ratus prajurit menyerbu seratus lawan yang telah terkurung rapat. Si katai Damar yang sadar tidak bisa berbuat banyak menyelamatkan empat kereta jenazah berisi puteri-puteri sang Prabu memutuskan untuk berjibaku. Tubuhnya melesat dari punggung kuda. Enam prajurit yang berusaha menghantamnya dengan berbagai senjata terpental. Dua roboh tak berkutik lagi, empat terjengkang jatuh ke tanah.
”Hemm... Si katai ini rupanya bukan tukang kuda biasa! Aku mau lihat sampai dimana kehebatannya!” habis berkata begitu Gandita majukan kudanya lalu lepaskan pukulan tangan kosong ke arah Damar. Orang tua ini memang memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Gandita, pemuda itu bukanlah lawannya. Setelah berhasil mengelakkan serangan pemuda ini dia tampak mengeruk saku pakaiannya. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah senjata rahasia berbentuk paku hitam melesat ke arah kepala, dada dan perut Gandita.
Yang diserang cabut golok besarnya. Sesaat kemudian senjata itu berkelebat di udara. Terdengar tiga kali suara berdentangan. Tiga paku terbang yang dilemparkan Damar runtuh ke tanah. Satu diantaranya menghantam leher seorang prajurit Kediri hingga dia tewas saat itu juga!
Golok di tangan Gandita berkelebat ganas kian kemari. Namun ternyata tidak gampang baginya untuk dapat membacok atau menusuk lawan pendek yang mampu bergerak cepat kian kemari. Apalagi saat itu Gandita masih tetap berada di atas kuda tunggangannya. Sebelum dia memutuskan untuk melompat turun, si katai Damar berhasil menyelinap di bawah tubuh binatang itu dan memukul pecah kemaluan kuda jantan ini.
Diiringi ringkik setinggi langit kuda itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi, membuat Gandita terpental. Meskipun dia sanggup jatuh ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu namun amarah si pemuda sudah tak terkendalikan lagi. Tubuhnya berkelebat ke depan. Goloknya berubah jadi bayang-bayang yang mengeluarkan suara bersiuran. Di samping itu Gandita telah pula memberi isyarat pada anak buahnya. Sepuluh orang prajurit bergabung dengannya menyerang Damar. Empat prajurit berhasil dirobohkan Damar, namun lebih banyak lagi yang datang mengeroyok. Si katai tua ini hanya mampu bertahan enam jurus. Dengan tubuh penuh luka dia bersandar ke roda salah satu kereta jenazah. Dalam keadaan tak berdaya dia harus menerima tusukan golok Gandita di perutnya!
Seratus prajurit yang setia pada Kerajaan bertahan mati-matian menyelamatkan empat puteri Sang Prabu yang ada dalam empat kereta jenazah itu. Namun kekuatan lawan yang tiga kali lebih besar tidak dapat dibendung. Apalagi setelah melihat matinya Damar, mereka merasa tidak punya daya lagi. Dua belas prajurit dan seorang Perwira yang masih hidup jatuhkan diri tanda menyerah. Tanpa ampun Gandita memerintahkan pasukannya untuk memancung prajurit-prajurit dan Perwira yang menyerah ini! Lalu dia melompat ke arah salah satu kereta jenazah. Dengan kasar didorongnya dua orang perempuan yang duduk di depan kereta. Ketiga pintu kereta dibuka, sepasang mata Gandita tampak membesar. Di dalam sana tampak puteri bungsu sang Prabu duduk menyudut dengan wajah pucat pasi ketakutan. Di tangan kanannya puteri ini memegang sebilah pisau.
“Kalau kau sentuh aku, aku akan bunuh diri!” mengancam Gayatri.
Gandita tersenyum. “Tidak ada seorangpun yang akan menyakitimu Raden Ayu Gayatri.” Tanpa ada yang tahu sebenarnya Gandita sudah sejak lama secara diam-diam jatuh cinta terhadap puteri bungsu sang Prabu ini. Namun ketika diketahuinya ada semacam hubungan rahasia antara puteri Keraton Singosari ini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang sangat dibencinya itu, maka rasa cinta sepihak pembantu utama Adipati Sumenep ini kini dikobari rasa benci, dendam dan itikad untuk menguasai Gayatri secara keji. Kesempatan itu kini sudah ada di depan mata, di dalam tangannya karena Sang Puteri berada dalam kekuasaannya. Dan saat itu malam segera pula akan tiba. Pucuk dicinta ulam tiba!
”Apa yang kalian lakukan terhadap kami? Prabu Singosari akan memancung kepalamu jika berani berlaku kurang ajar terhadapku!”
Gandita mengulurkan tangannya memegang paha Gayatri. Puteri bungsu sang Prabu ini hunjamkan pisaunya ke tangan Gandita. Tapi si pemuda sepat menarik pulang tangannya. ”Raden Ayu Gayatri! Sejak saat ini tak perlu lagi menyebut-nyebut nama Singosari. Kerajaan itu sudah runtuh! Musnah! Masih untung kalau Ayahandamu dibiarkan hidup. Dengar, malam ini kau akan bersamaku. Kita akan berdua-dua...!”
”Mulutmu kotor! Otakmu keji!” teriak Gayatri marah sekali. Dia melompat dan kembali menusukkan pisaunya ke arah Gandita. Tapi dengan cepat pemuda ini merangkul pinggangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan menotok dada Gayatri hingga puteri Kerajaan ini tersentak dan kaku tak bisa bergerak lagi. Gandita memanggul Gayatri di bahu kirinya.
Sementara itu ketika tiga kereta jenazah lainnya diperiksa dalam masing-masing kereta memang ditemui ketiga puteri Raja Singosari.
”Kumpulkan ketiga puteri ini di satu tempat,” perintah Gandita. ”Puteri Gayatri biar aku yang mengurus. Kita berkemah malam ini di sini. Kalian semua boleh istirahat!”
”Tapi Raden,” berkata seorang Prajurit Kepala.
”Bukankah Adipati Wira Seta meminta kita segera kembali ke Kotaraja begitu urusan di sini selesai?”
Sepasang mata Gandita membeliak. ”Aku yang mengambil segala putusan dan mengeluarkan perintah di sini!” bentak Gandita dengan mata melotot. ”Jika kau ingin pergi ke Kotaraja, lebih baik minggat sekarang-sekarang!”
Prajurit Kepala itu hanya bisa berdiam diri. Gandita berpaling pada seorang pembantunya. ”Siapkan sebuah kemah untukku di bawah pohon sana! Dan dengar baik-baik! Kalau aku berada dalam kemah itu, jangan ada yang berani mengganggu!”
Si pembantu mengangguk lalu bersama beberapa orang lainnya dia segera melakukan apa yang diperintahkan Gandita. Membangun sebuah kemah untuk atasan mereka itu.
***
SEMBILAN
Ketika Raden Juwana bersama empat pengiringnya memasuki Kotaraja dan sampai di Keraton Tumapel, saat itu Ruang Pemanjatan Doa baru saja runtuh menimbun jenazah Prabu Singosari dan Panglima pengkhianat Argajaya. Raden Adikatwang masih belum sirna kejut dan kecutnya. Wajahnya masih tampak memucat. Para pengawal dan pembantunya mengelilinginya. Kalau saja dia terlambat keluar dari ruangan tadi, pasti dia akan ikut tertimbun hidup-hidup. Dalam tegak seperti tertegun Adikatwang berpikir dan menduga-duga siapa adanya nenek sakti yang mampu membunuh Argajaya dengan senjatanya berupa tiga buah tusuk konde perak lalu menyambar dan menyelamatkan tubuh Pendeta Mayana yang terluka parah.
Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba Adikatwang melihat kemunculan Raden Juwana bersama empat pengiringnya. Adikatwang mengenali siapa adanya Raden Juwana. Lebih dari itu dia tahu kalau Raden Juwana adalah calon menantu mendiang Prabu Singosari, pemuda gagah yang akan dinikahkan dengan puteri sulung sang Prabu yaitu Tribuana Tunggadewi.
”Manusia ini harus dilenyapkan! Kalau tidak bisa berbahaya!” membatin Adikatwang. Dia memberi isyarat pada Adipati Wira Seta. Melihat isyarat Adikatwang. Adipati Sumenep itu cepat mendatangi.
”Saya tahu apa yang ada di benak Kangmas Adi,” kata Wira Seta pula.
”Kalau begitu kita bunuh dia sekarang juga!”
”Jangan, dia lebih berguna kalau dibiarkan hidup,” jawab Wira Seta.
”Apa gerangan maksud Dimas?” bertanya Adikatwang.
”Setelah sang Baginda dan Patih Raganatha tewas dia satu-satunya orang penting dan berbobot di Singosari. Bukankah dia keturunan Raja besar Singosari pertama yaitu Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa? Kalau dia tidak disingkirkan sekarang, di kemudian hari bisa menjadi pangkal bahaya!”
”Apa yang Kangmas katakan itu betul. Tapi untuk sementara biar dia kita tangkap hidup-hidup. Kita perlu beberapa keterangan penting dari dia.” Wira Seta lebih mendekat.
Lalu berbisik ke telinga Adikatwang. ”Orang kita memberi kabar bahwa dua pusaka sangat berharga milik Keraton Singosari yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa tidak ditemui di tempat penyimpanan rahasianya!”
“Kurang ajar! Padahal dua benda pusaka itu sangat diperlukan syahnya aku menjadi penguasa Singosari dan Kediri!” kata Adikatwang sambil mengepalkan tinjunya.
“Di samping itu saya mendengar kabar bahwa keempat puteri Sang Prabu lenyap tanpa bekas. Diduga dia kabur bersama Pendeta Mayana, tapi ternyata Pendeta itu berada dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Walaupun seorang tak dikenal melarikan dan menyelamatkan dirinya namun saat ini dia pasti sudah tewas karena luka-lukanya. Nah, kalau pemuda itu kita tangkap hidup-hidup, saya yakin dia bisa memberi keterangan dimana beradanya dua benda pusaka Keraton Singosari serta dimana pula beradanya empat puteri Sri Baginda.”
“Kalau begitu, saya setuju pada pendapat Dimas Wira Seta! Lekas gerakkan orang kita untuk mengurung pemuda itu. Saya mendengar si Juwana ini membekal ilmu kesaktian bernama geger guntur. Kita harus berhati-hati.”
Adipati Wira Seta menyeringai. “Dia boleh punya seribu ilmu. Namun dia tidak lebih seorang pemuda hijau yang tak punya apa-apa. Lagi pula masakan kita berdua tidak bisa meringkusnya?”
Di lain pihak Raden Juwana telah pula melihat kedua orang musuh besar Singosari itu. Meskipun dia belum dapat memastikan nasib Sang Prabu Baginda Raja namun melihat runtuhnya Ruangan Pemanjatan Doa pemuda ini merasa sangat khawatir bahwa sesuatu telah terjadi dengan Raja Singosari itu. Ketika dia meninggalkan Keraton sebelumnya, sang Prabu berada di dalam ruangan itu. Kini ruangan itu dilihatnya dalam keadaan runtuh porak poranda. Jangan-jangan sang Prabu tertimbun di dalamnya! Walau hatinya bersikeras ingin menyelidiki namun menyadari bahaya yang bakal dihadapinya jika dia terus berada di situ maka Raden Juwana cepat mengajak para pengiringnya meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat. Puluhan prajurit telah mengurung mereka. Lalu Adikatwang dan Wira Seta bergerak ke tengah lingkaran.
“Calon menantu sang Baginda yang malang!” menegur Adikatwang dengan seringai pongah mengejek. “Calon mertuamu Prabu Singosari sudah jadi mayat di bawah puing reruntuhan di sebelah sana! Patih Kerajaan sudah tewas! Kini tinggal kau seorang diri. Jika kau mau menyerah secara baik-baik dan ikut bersama kami, tubuhmu akan tetap utuh. Aku berjanji memberikan satu kedudukan yang lumayan untukmu. Tapi kalau kau bertindak bodoh dan berani melawan, nyawamu tidak lebih berharga dari sampah busuk! Nah, kau memilih madu atau minta racun?!”
“Manusia-manusia terkutuk! Pengkhianat busuk! Kalian menghidangkan racun! Sekarang minumlah sendiri!” teriak Raden Juwana. Pemuda itu cabut pedangnya lalu mendahului membuka serangan.
Ilmu pedang Raden Juwana memang hebat. Sekali dia membabatkan pedang, dua prajurit yang mengurung roboh mandi darah. Empat prajurit musuh bergerak maju. Keempatnya langsung tersungkur luka-luka. Sesaat para pengurung menjadi kecut. Namun Adikatwang berteriak memberi semangat lalu bersama Wira Seta dia menyerbu masuk ke kalangan pertempuran. Empat pengiring Raden Juwana merupakan korban pertama kedua orang berkepandaian tinggi ini. Raden Juwana mengamuk dengan pedang di tangan kanan sementara tangan kiri mulai melepas pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian bernama geger guntur. Setiap tangan itu dihantamkan terdengar suara dahsyat seperti suara guntur. Lalu menyusul satu gelombang angin panas menyapu dengan ganas. Belasan prajurit pengurung mencelat mental dan roboh berkaparan tanpa nyawa.
”Awas! Hati-hati Dimas!” teriak Adikatwang.
Bagaimanapun kehebatan ilmu pedang dan pukulan sakti yang dimiliki Raden Juwana, dikurung ratusan prajurit serta menghadapi dua tokoh pemberontak berkepandaian tinggi setelah mengamuk selama sebelas jurus, dalam satu gebrakan hebat pedang di tangan Raden Juwana berhasil dibuat mental oleh hantaman golok Adikatwang. Walau golok Adikatwang patah dua tapi jelas bahwa tingkat tenaga dalam pimpinan pemberontak ini jauh lebih tinggi dari yang dimiliki Raden Juwana.
Dalam keadaan tanpa senjata begitu rupa, Raden Juwana kini pergunakan kedua tangannya untuk menebar maut dengan melepaskan pukulan-pukulan geger guntur. Semua serangannya diarahkan pada Adikatwang yang dianggapnya sebagai biang racun malapetaka dan gembing utama kaum pemberontak. Adikatwang yang sejak tadi telah berlaku waspada sambut serangan Raden Juwana dengan mengangkat kedua tangannya pula. Dari telapak tangan orang ini kelihatan sinar cahaya kebiru-biruan. Inilah ilmu kesaktian andalan Adikatwang yang didapatnya dari seorang Resi di pantai Selatan. Dia harus berpuasa dan merendam diri dalam lautan selama 40 hari untuk mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama gelombang hantu itu. Berbarengan dengan terlihatnya sinar kebiruan maka menggemuruh suara seperti ombak sambung-menyambung serta deru angin seperti badai mengamuk. Suara seperti guntur yang menyertai ilmu pukulan yang dilepaskan Raden Juwana tampak bergetar keras. Mukanya menjadi pucat dan keningnya penuh dengan butir-butir keringat. Ketika dia berusaha bertahan, di depannya Adikatwang dorongkan kedua tangannya. Sinar biru pukulan gelombang hantu kelihatan berkilau terang. Saat itu pula Raden Juwana merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Dari mulutnya meleleh darah. Sadar bahaya maut yang bakal dihadapinya jika dia bersikeras melayani kekuatan lawan maka Raden Juwana cepat jatuhkan diri ke tanah.
Ketika dia berusaha tegak dengan sempoyongan, dari belakang Wira Seta mendatangi lalu menotok punggungnya dengan cepat hingga pemuda ini kaku tegang tak berkutik lagi.
Lima orang prajurit Kediri segera meringkusnya. Ketika hendak dinaikkan ke atas seekor kuda Raden Juwana berpaling pada Adikatwang. ”Aku tidak takut mati! Mengapa kau tidak membunuhku saat ini juga?!”
Adikatwang menyeringai. “Bersabarlah sedikit anak muda. Akan datang saatnya aku mengorek jantung dan hatimu!”
”Manusia pengkhianat busuk! Sang Prabu telah mengampuni nyawamu dan masih mau memberikan kedudukan tinggi di Gelang-Gelang. Sekarang ini balasanmu terhadapnya. Kau bukan manusia tapi iblis laknat! Terkutuk kau dan keturunanmu!”
Plaak!
Tamparan Adikatwang meledak di muka Raden Juwana. Pipi kiri pemuda ini tampak bengkak merah kebiruan. Bibirnya pecah mengeluarkan darah. Tapi di wajahnya sedikitpun tidak ada tampak rasa takut. Malah dengan menyeringai sinis dia mengangkat kepalanya lalu meludahi muka Adikatwang!
”Keparat rendah!” teriak Adikatwang. Dia menyambar golok seorang prajurit. Sewaktu senjata itu hendak dipancungkannya ke leher Raden Juwana, Adipati Wira Seta cepat menghalangi seraya berbisik. ”Ingat rencana kita harus membiarkan nafasnya berjalan.”
Tubuh Adikatwang nampak bergetar menahan amarah. Golok di tangannya dibanting hingga terhunjam masuk ke tanah sampai ke gagangnya. Dalam hati dia menyumpah. “Aku akan menentukan cara matimu yang paling sengsara Juwana!”
***
SEPULUH
Adikatwang duduk di singgasana milik Sri Baginda Singosari sambil tiada hentinya tersenyum. Dia benar-benar telah mendapatkan apa yang diidamkannya, menumbangkan Kerajaan Singosari, merebut tahta Sang Prabu, dan menjadi Raja di Raja di Kediri dan Singosari.
Di samping singgasana berdiri Adipati Sumenep Wira Seta. Semuanya tidak kalah dengan Adikatwang yang kini tengah mabuk kepayang. Di sekelilingnya berdiri para pembantu kepercayaannya yang lain, yang telah membantu perjuangannya meruntuhkan Singosari dan menjadikannya sekarang seorang Raja besar. Beberapa orang Pendeta Istana juga kelihatan berada di tempat itu dengan wajah muram tanda mereka sebenarnya mendekam perasaan tidak enak. Tetapi sebagai pemuka agama mereka hanya bisa pasrah.
Apa yang telah terjadi yaitu direbutnya tahta Kerajaan dan gugurnya sang Prabu mungkin sudah menjadi suratan. “Saya sekarang menjadi Raja di seluruh kawasan ini, Dimas Wira Seta!” kata Adikatwang sambil tertawa lebar.
“Memang itu tujuan kita Sri Baginda,” jawab Wira Seta. “Saya mengucapkan selamat!”
“Kau boleh memilih jabatan apa yang kau inginkan, asalkan bukan jabatan Patih Kerajaan...”
Paras Wira Seta berubah. “Kangmas Adikatwang, ” katanya dengan suara agak tercekat. Rasa tercekat membuat dia tidak lagi menyebut Adikatwang dengan panggilan Sri Baginda. “Kangmas, sesuai perjanjian kita dalam perundingan sebelum rencana ini kita jalankan, bukankah kau sudah mengatakan dan menyetujui bahwa jabatan Patih adalah menjadi bagianku kalau Singosari berhasil ditumbangkan. Apakah Kangmas lupa hal itu?”
“Tidak, tentu saja tidak Dimas Wira Seta.”
“Kalau begitu mengapa...”
Adikatwang berdiri dari singgasana dan memegang bahu Wira Seta. ”Saya tidak lupa janji itu Dimas. Cuma berikan saya waktu. Untuk sementara jabatan itu akan serahkan pada Rana Trijaya...”
“Adik Kangmas?”
“Ya, adik kandung saya...”
Paras Wira Seta berubah mengelam. ”Jadi..”
”Dimas, jabatan Patih itu akan saya berikan pada Rana hanya untuk sementara. Satu atau dua tahun saja. Setelah itu kau akan menggantikannya.”
”Itu tidak ada dalam perjanjian kita Kangmas.” Wira Seta semakin tidak enak.
”Memang benar. Maafkan kalau saat ini saya berubah pikiran. Bukan apa-apa. Hanya sekadar untuk mengajar Rana dalam tatacara kehidupan berkerajaan. Sementara itu Dimas bisa memilih jabatan apa saja. Panglima Balatentara misalnya. Itu bukan jabatan rendah. Hampir setingkat dengan kedudukan Patih Kerajaan.” Adikatwang tersenyum.
Wira Seta menggeleng. ”Saya tidak mengerti,” jawabnya.
”Saya tidak menginginkan jabatan Panglima Balatentara itu.”
”Kalau begitu masih tersedia jabatan lain. Kedudukan Dimas sebagai Adipati di Madura tidak akan dikutik-kutik. Dimas tetap berkuasa di sana.”
”Maafkan saya Kangmas. Saya merasa kurang sehat. Saya akan kembali dulu ke perkemahan di tapal batas...”
”Dimas Wira Seta, jangan pergi dulu. Nanti malam pembicaraan kita lanjutkan. Kita akan mengadakan pesta besar-besaran. Lagi pula Dimas harus menyaksikan satu acara sangat menarik yang sebentar lagi akan diadakan di halaman belakang Keraton. Sesuai dengan usul Dimas sendiri... Ingat Raden Juwana yang sudah kita ringkus?”
Wira Seta mengangguk. Tapi dia sudah tidak tertarik lagi untuk bicara dengan Adikatwang. Juga untuk menyaksikan apa yang bakal dilakukan Raja baru itu. Dia merasa sangat terpukul dan sangat kecewa. Dia merasa tertipu ikut membantu Adikatwang meruntuhkan Singosari, merebut tahta. Begitu tujuan tercapai Adikatwang tidak menepati janjinya yaitu memberikan kedudukan Patih Kerajaan padanya.
“Maaf Kangmas, saya harus kembali ke tapal batas. Saya benar-benar merasa kurang sehat...” kata Wira Seta. Lalu dia bergerak hendak melangkah.
”Tunggu dulu Dimas,” ujar Adikatwang pula. ”Saya tidak melihat Gandita pembantu utamamu itu. Dimana dia?”
Semula Wira Seta hendak mengatakan bahwa dia telah memberikan tugas pada Gandita untuk menguntit rombongan yang membawa empat kereta jenazah. Tetapi setelah melihat keculasan Adikatwang, Wira Seta menjawab dengan angkat bahu. ”Dia pasti masih berada di salah satu medan pertempuran. Saya akan beri tahu jika Kangmas ingin bertemu dia.”
”Ya, malam ini dia harus menghadiri pesta. Dimas juga...”
Wira Seta tidak menyahut. Dia meninggalkan ruangan besar itu dengan langkah cepat tetapi limbung. Seorang pembantu menyodorkan sebuah tabung bambu berukir-ukir berisi minuman keras pada Adikatwang. Penguasa baru Singosari ini meneguk seluruh isi tabung sampai habis hingga wajahnya kelihatan merah padam.
Seorang Perwira Tinggi Kediri mendekatinya lalu membisikkan sesuatu. ”Bagus! Mari kita sama-sama ke halaman belakang...” Adikatwang memberi isyarat agar semua orang yang ava di tempat itu mengikutinya. Namun tiba-tiba dari pintu depan terdengar seorang berseru.
”Sri Baginda Adikatwang! Lihat apa yang aku bawa!”
Satu bayangan merah berkelebat. Sesaat kemudian di depan Adikatwang tampak berdiri Dewi Maha Geni, si nenek yang menjadi kaki tangan utama Adikatwang dalam penggulingan sang Prabu. Seperti diketahui sebelumnya nenek sakti ini adalah pembantu Raja Singosari, seorang tokoh silat Istana. Dia berdiri di hadapan Adikatwang membawa sebuah keranjang berisi rumput. Keranjang ini adalah keranjang yang dirampasnya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Dewi Maha Geni meletakkan keranjang di lantai. Lalu dia membongkar dan mengeluarkan rumput yang ada dalam keranjang.
Paras si nenek jadi berubah ketika keseluruhan rumput dikeluarkan tetapi dua kotak kayu yang dipastikannya ada dalam keranjang saat itu sama sekali tidak ditemukan. Hal ini jelas karena sebelumnya dengan cerdik Wiro telah menukar keranjang rumput berisi dua kotak kayu itu dengan keranjang rumput yang bentuk dan isinya sama, tetapi tidak ada isinya selain rumput belaka.
Untuk beberapa lamanya Dewi Maha Geni tegak ternganga. Dia memandang pada keranjang rumput di hadapannya dengan rasa tidak percaya lalu berpaling pada Adikatwang.
”Nenek sakti, permainan apa yang hendak kau sajikan di depan Rajamu?!” menegur Adikatwang.
Paras Dewi Maha Geni menjadi merah. ”Dalam keranjang ini seharusnya ada dua kotak kayu itu...”
”Kotak kayu apa?” tanya Adikatwang.
”Kotak kayu berisi Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa!” sahut Dewi Maha Geni lalu menggigit bibirnya sendiri.
Adikatwang tampak terkejut. Tapi hanya seketika. ”Saya lihat keranjang itu hanya berisi rumput melulu! Atau mata Rajamu ini telah buta?”
”Maafkan saya Sri Baginda. Sesuatu telah terjadi. Pemuda itu telah menipu saya.” Dewi Maha Geni nampak jengkel sekali.
”Pemuda siapa maksudmu?” Adikatwang mulai kehilangan kesabarannya.
”Pemuda bernama Wiro itu!”
”Lagi-lagi dia!” sungut Adikatwang. ”Semua orang-orangku seperti menjadi tolol di hadapan pemuda itu! Jika kau ditipu dan pemuda itu berhasil membawa lari Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa, lalu apa lagi yang kau tunggu? Cari pemuda itu! Bawa kepalanya ke hadapanku dan yang lebih penting dapatkan kedua benda pusaka Kerajaan Singosari itu!”
Dewi Maha Geni merasa sangat tersinggung dianggap orang tolol. Tanpa banyak bicara lagi dia berpaling dan tinggalkan tempat itu. Adikatwang tidak perdulikan lagi si nenek. Dia melangkah ke halaman belakang diikuti oleh semua yang ada di ruangan itu.
Halaman belakang Keraton Tumapel yang sebagian merupakan sebuah taman luas dijaga oleh hampir dua ratus pengawal bersenjata lengkap. Di bagian tengah halaman terdapat dua buah tiang kayu besar dan di atas kedua tiang ini melintang sebuah balok. Di sebelah atas balok ada seutas tambang besar yang salah satu ujungnya dipegang oleh tiga orang prajurit bertubuh tegap kekar. Ujung lain dari tambang ini dihubungkan dengan sebuah ikat pinggang besi. Dan ikat pinggang besi ini dikatupkan ke dada terus ke ketiak Raden Juwana yang saat itu sudah dilepas totokannya tetapi berada dalam keadaan terikat kedua tangan dan kakinya. Saat itu dia hanya mengenakan sehelai celana dalam saja. Di punggung, dada, dan wajahnya kelihatan bekas-bekas penganiayaan.
Di bawah tubuh Raden Juwana yang tergantung itu sejarak dua tombak dari ujung kedua kakinya ada sebuah kuali raksasa berisi minyak mendidih sementara di bawah kuali api besar terus dipasang menyala. Sudah dapat dibayangkan malapetaka apa yang bakal menimpa pemuda ini. Semua ini dilakukan atas perintah Adikatwang. Semua orang menduga-duga apa tujuan Adikatwang melakukan hal itu.
Melihat segala persiapan telah dilakukan orang, Adikatwang nampak puas. Dia melangkah dan berhenti sekitar sepuluh langkah dari hadapan kuali besar di atas mana Raden Juwana tergantung.
”Juwana!” tiba-tiba Adikatwang berkata dengan suara lantang. ”Kau tahu bahaya apa yang bakal kau hadapi saat ini?”
Mulut Raden Juwana nampak bergetar. Terdengar suaranya menjawab. ”Manusia iblis! Siapa bilang aku takut mati!”
Adikatwang tertawa bergelak. ”Memang tidak ada yang bilang kalau kau takut mati. Tapi coba kau perhatikan minyak yang mendidih di bawahmu. Sekali tubuhmu masuk ke dalam kuali kau akan menjadi matang garing! Ha...ha...ha!”
”Kau boleh melakukannya sekarang juga pengkhianat busuk!” teriak Raden Juwana tanpa rasa takut. Kedua matanya seperti dikobari api.
”Kau memang manusia hebat!” kata Adikatwang. Dia menjentikkan jari-jari tangannya. Tiga orang lelaki di belakang tiang penggantungan mengulur tambang yang mereka pegang. Tubuh Raden Juwana turun ke bawah sampai dua jengkal. Hawa panas minyak mendidih yang ada di bawah kakinya mulai terasa.
”Juwana, aku akan mengajukan dua pertanyaan! Kalau kau mau menjawab dan beri keterangan, nyawamu kuampuni!” kata Adikatwang. Raden Juwana diam saja. Kedua matanya dipejamkan.
”Pertanyaan pertama! Siapa yang membawa Mahkota Narasinga dan Keris Sakti Palapa. Dimana kedua barang pusaka Kerajaan itu disembunyikan! Kau mau memberikan keterangan?!”
Sepasang mata Raden Juwana terbuka. Mulutnya juga terbuka. Lalu dari mulut itu melesat ludah campur darah. ”Kau tanyalah pada setan-setan di neraka!”
Walaupun tampang Adikatwang menjadi mengelam merah namun sambil menyeringai dia berkata. ”Pertanyaan kedua, dimana beradanya empat puteri Sang Prabu. Kau pasti tahu! Nah, saatnya kau menjawab atau tubuhmu akan garing dalam kuali itu!”
”Manusia terkutuk! Kau tak bakal mendapat jawaban apa-apa dariku!” teriak Raden Juwana.
Adikatwang menjentikkan jari-jari tangan kanannya. Tiga prajurit di belakang tiang gantungan kembali mengulur tali yang mereka pegang. Hawa panas semakin keras terasa pada kedua kaki dan tubuh bagian bawah Raden Juwana. Tapi pemuda ini tetap tabah bahkan nekad.
”Kau mau menjawab atau memilih mampus?” bentak Adikatwang.
”Aku memilih mampus!” jawab Raden Juwana tanpa tedeng aling-aling.
”Bangsat tolol!” maki Adikatwang. Dia mengangkat tangan kirinya. Dua orang pengawal muncul membawa seekor kambing. Binatang ini dilemparkan ke dalam kuali berminyak mendidih. Terdengar suara mendesis panjang mengerikan. Kambing itu terdengar mengembik pendek lalu tubuhnya telah berubah menjadi garing, mengambang di atas permukaan minyak. Semua orang yang ada di tempat itu bergidik menyaksikan kejadian itu. Di tali penggantungan Raden Juwana tetap tenang walau sekujur tubuhnya kini kelihatan keringatan oleh hawa panas minyak mendidih.
”Bagaimana? Kau masih tetap menutup mulut dan memilih mati?” tanya Adikatwang sementara dua pengawal tadi mengeluarkan kambing yang sudah matang garing itu dari dalam kuali.
Raden Juwana tak menjawab. Diam-diam dia kerahkan tenaga dan mengukur jarak antara dia dengan Adikatwang. Tiba-tiba tubuh itu berayun keras. Kaki kanan Raden Juwana menyambar ke arah kepala Adikatwang. Kalu tendangan itu sempat menyambar tidak dapat tidak akan pecahlah kepala Adikatwang. Namun dengan menunduk sambil mundur satu langkah Adikatwang berhassil mengelakkan serangan maut mendadak itu. Kedua matanya mendelik saking marah. Dia berteriak keras.
”Cemplungkan keparat itu ke dalam kuali!”
Mendengar perintah itu, ketiga orang di belakang tiang penggantungan langsung lepaskan pegangan mereka pada tambang besar. Tubuh Raden Juwana melayang jatuh ke bawah. Beberapa orang yang tidak tahan menyaksikan apa yang bakal terjadi, termasuk para Pendeta Kerajaan, pejamkan mata masing-masing. Sebentar lagi pasti terdengar suara mendesir keras begitu tubuh Raden Juwana menyentuh minyak mendidih di dalam kuali besar! Namun suara mendesir itu tidak terdengar. Justru saat itu meledak satu bentakan dahsyat yang menggetarkan halaman luas, disusul oleh suara berdesing.
”Orang-orang Kediri! Pemberontak busuk! Kekejian dan dosa kalian sedalam laut setinggi langit! Kalian rasakan pembalasanku!”
Di udara kelihatan dua buah benda putih melesat ke arah Adikatwang. Lalu laksana petir menyambar, di tempat itu satu sinar putih seperti perak berkilat. Panas yang seperti membakar tubuh menghampar! Suara pekikan terdengar dimana-mana. Asap putih kemudian bergulung-gulung di seluruh halaman. Ketika asap itu pupus, kelihatanlah satu pemandangan yang mengerikan.
Sekitar dua puluh orang prajurit Kediri berkaparan tewas di halaman belakang Keraton Tumapel itu. Tubuh mereka kelihatan hitam seperti gosong. Kuali besar berisi minyak mendidih hancur berantakan dan minyaknya menyiprat kian kemari menimbulkan luka parah pada hampir selusin prajurit dan seorang Perwira. Rerumputan dan tanaman yang ada di taman tampak hangus kehitaman. Bau daging manusia yang seolah-olah dipanggang memenuhi udara di tempat itu, menegakkan bulu kuduk semua orang!
Adikatwang sendiri tampak tegak terhuyung-huyung sambil memgangi sebuah benda yang menancap di bahunya. Jari-jari tangannya berlumuran darah. Benda itu adalah sebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Apa yang telah terjadi?
Ketika tadi terdengar suara orang membentak di udara tampak berdesing dua buah benda putih. Dua buah benda yang merupakan senjata terbang ini melesat ke arah batang leher Adikatwang. Dalam kejutnya Adikatwang memberikan reaksi cepat. Sambil miringkan tubuh dia menghantam ke depan. Salah satu dari benda putih itu berhasil dipukulnya sampai mental tapi tangannya sendiri luka dan berlumuran darah. Benda kedua walau sudah dielakkan ternyata masih sempat menancap di bahu kirinya! Dan benda ini ternyata adalah sebuah tusuk kundai perak ini! Dalam dunia persilatan yang memiliki tusuk kundai perak dan menjadikannya satu senjata maut hanyalah seorang nenek sakti dari Gunung Gede, guru dari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yaitu Sinto Weni alias Sinto Gendeng, manusia aneh yang dianggap Datuk dari segala Datuk tokoh-tokoh persilatan.
Adikatwang telah menyaksikan ketika tiga buah tusuk kundai yang sama menancap di tubuh Panglima Argajaya yang membuatnya mati seketika. Tanpa tunggu lebih lama Adikatwang cepat cabut tusuk kundai perak yang menacap di bahunya, lalu menotok jalan darahnya di bagian kiri tubuh. Saat itu dia merasakan bagaimana rasa panas yang mengerikan merayapi hampir setiap bagian tubuhnya. Dari dalam saku pakaiannya cepat dia mengeluarkan sebutir obat pemusnah racun lalu ditelannya cepat-cepat.
Sambil menelan obat dia memandang ke depan. Adikatwang masih sempat melihat sosok tubuh Sinto Gendeng menyambar tubuh Raden Juwana yang melayang jatuh ke bawah. Tali pengikat pinggangnya putus. Di lain kejap si nenek telah lenyap dari pemandangan bersama Raden Juwana di atas dipanggulnya.
”Dia lagi...” desis Adikatwang. Lalu Raja pemberontak ini terkulai tak sadarkan diri. Dua orang prajurit dan seorang Pendeta cepat menolongnya.
Raden Juwana merasakan nafasnya seperti terbang dibawa lari oleh nenek tak dikenalnya itu. Saat itu mereka telah berada jauh di luar Kotaraja.
”Nek, kau mau bawa aku ke mana? Kau menolong jiwaku dari minyak mendidih itu. Katakan apa kau seorang sahabat atau seorang penculik?!”
”Tutup mulutmu anak sambel!” membentak Sinto Gendeng. ”Kalau aku tidak berpihak padamu perlu apa aku menghabiskan waktu dan tenaga mengurusi manusia macammu!”
Di satu tempat si nenek turunkan tubuh Raden Juwana yang hanya mengenakan sehelai kolor. Begitu menginjak tanah Raden Juwana langsung bersujud menghatur sembah.
”Nek, aku berhutang nyawa padamu. Mohon kau sudi memberi tahu nama...”
Mendengar kata-kata Raden Juwana itu, Eyang Sinto Gendeng cemberut. ”Kau pergilah mencari pakaian yang pantas. Kalau sudah lekas menuju ke arah Timur Laut dan bergabung dengan pasukanmu kembali. Aku menaruh firasat empat puteri Sang Prabu berada dalam bahaya besar.”
”Terima kasih Nek, aku sangat berterima kasih. Sekali lagi mohon kau sudi memberi tahu nama...”
”Sudah, berdirilah anak muda. Aku tidak pantas mendapat kehormatan seperti cara yang kau lakukan.”
Sekali lagi Raden Juwana menghatur sembah memberi penghormatan seraya membungkuk dalam-dalam. Ketika dia bangkit kembali si nenek tak ada lagi di tempat itu! Lalu dia sadar keadaan dirinya yang hanya mengenakan sehelai celana kolor begitu rupa! Cepat-cepat Raden Juwana menyelinap di antara semak belukar. Dia harus segera menyusul rombongan puteri-puteri Kerajaan yang sebelumnya telah ditinggalkannya.
Hatinya mendadak saja merasa tidak enak. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan rombongan itu. Raden Juwana memutuskan untuk mengambil jalan memintas agar dapat menyusul sebelum rombongan mencapai desa Tembang Sari dekat Kudadu. Namun dia harus mencari rumah penduduk lebih dahulu agar dapat meminta sehelai pakaian.
Adikatwang dinaikkan ke atas sebuah tandu. Namun sebelum keburu diangkut dia sudah keburu siuman. Dia minta diturunkan dari atas tandu dan melangkah sendiri dengan sempoyongan menuju tangga belakang Keraton. Seperti merasakan sesuatu dia hentikan langkah lalu memutar diri. Lama Adikatwang tegak tertegun. Sewaktu dia mendongak ke atas, saat itulah dia baru menyadari bahwa langit di sore itu telah dibungkus oleh awan mendung yang sangat tebal. Belum sempat Adikatwang kembali meneruskan langkahnya memasuki Keraton tiba-tiba turunlah hujan sangat besar. Tapi hanya sebentar. Begitu hujan berhenti langit tampak kembali cerah. Adikatwang terheran-heran menyaksikan perubahan cuaca yang serba cepat ini. Ketika dia berpaling ke arah Utara kedua matanya membesar dan hatinya tercekat. Di langit di kejauhan sana dia melihat pelangi terpampang membelintang dari Barat ke Timur.
”Apa artinya ini...?” desis Adikatwang. Karena luka di bahunya mendenyut, dia kembali memutar tubuh. Dua orang pembantu menolong memapahnya menaiki tangga Keraton.
***
SEBELAS
Di kawasan di mana pasukan pemberontak pimpinan Gandita berada sore itu sama sekali tidak turun hujan. Cuaca terang benderang. Namun semua orang melihat keanehan yang tampak di langit sebelah Utara. Sebuah pelangi membentang di langit.
“Aneh,” kata seorang Prajurit Kepala. “Tak ada hujan mengapa ada pelangi? Mungkin ini suatu pertanda buruk?” dia berpaling pada kawannya. ”Haruskah hal ini kita beri tahu pada pimpinan pasukan?”
Kawannya menjawab dengan gelengan kepala. ”Kurasa tidak usah saja. Pemuda itu sedang dilanda nafsu. Dia sibuk memerintah agar kemahnya selesai sebelum malam tiba. Aku tidak menyangka perang akan sekejam ini. Dia sama sekali tidak menaruh rasa hormat kepada puteri Sri Baginda. Malah hendak....”
Prajurit Kepala memberi tanda agar kawannya tidak meneruskan ucapannya. Keduanya meningglkan tempat itu, bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang juga sudah melihat adanya pelangi di langit Utara.
Ketika langit di Barat mulai tampak merah tanda sang surya akan segera tenggelam, Pendekar 212 Wiro Sableng yang memanggul keranjang rumput berisi dua buah benda pusaka Keraton Singosari yang sangat berharga sampai di puncak bukit.
Menurut penjelasan yang pernah diterimanya rombongan puteri-puteri Kerajaan akan melewati jalan kecil di bawah sana. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat serombongan pasukan di kaki bukit. Ada empat buah kereta dekat tikungan jalan. Lalu tersiraplah darah murid Sinto Gendeng ini. Dia melihat puluhan manusia berkaparan di bawah sana. Diperhatikannya lagi dengan seksama. Pasukan yang berada di tempat itu berseragam balatentara Kediri dan Madura, bukan seragam Singosari.
Wiro menggaruk kepalanya. ”Jangan-jangan...” Dia tidak berani meneruskan kata hatinya. Wiro memandang berkeliling. Tak jauh di sebelah kanannya dilihatnya serumpunan semak belukar lebat. Wiro keluarkan dua buah kotak kayu dari dalam keranjang rumput. Dia menggali sebuah lobang dangkal di kaki semak belukar lalu memasukkan kedua kotak berisi benda pusaka Keraton Singosari itu ke dalam lobang dan menimbunnya kembali. Tepat pada saat matahari tenggelam dan keadaan mulai gelap Pendekar 212 sampai di kaki bukit. Kini dia bisa melihat lebih jelas, siapa adanya kelompok besar pasukan yang berkemah di tempat itu dan pihak mana pula yang telah menjadi korban tewas berkaparan di mana-mana.
Dari balik semak-semak Wiro perhatikan empat buah kereta di depannya. Jelas itu adalah kereta milik Keraton Singosari. Keempat kereta itu dalam keadaan kosong. Dimana keempat puteri Sri Baginda? Wiro menyelinap mendekati. Tubuhnya bergetar ketika tiba-tiba matanya melihat sosok orang tua katai terkulai tak bernyawa pada salah satu roda kereta. Sekujur tubuh dan mukanya penuh luka mengerikan. Wiro melompat ke hadapan mayat yang dikenalinya itu. ”Damar...” dia menyebut orang tua katai itu dengan suara tegang.
”Hai! Siapa kau?!” satu suara tiba-tiba membentak di belakang Pendekar 212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu terdengar suara gesekan senjata dicabut. Lalu sebilah golok menempel di lehernya!
Perlahan-lahan Wiro palingkan kepala. Di hadapannya berdiri seorang prajurit Madura bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang.
”Kau pasti orang Singosari!” prajurit Madura itu kembali membentak. Tangannya bergerak siap untuk menusukkan golok.
Murid Sinto Gendeng menyeringai. ”Tahan, sabar dulu! Masakan kau lupa siapa aku?!”
”Sialan! Lekas katakan siapa dirimu sebelum golok ini menembus lehermu!”
”Ah, kau benar-benar sudah lupa siapa diriku. Bukankah aku malaikat maut yang datang hendak mengambil nyawamu?!”
”Setan alas...”
Makian prajurit Madura itu hanya sampai di situ. Wiro membuat gerakan cepat. Kaki kanannya menedang tulang kering orang lalu bersamaan dengan itu dia menarik tangan kanan lawan. Dalam keadaan kesakitan prajurit itu terbetot ke depan. Bersamaan dengan itu tangan kanan Wiro kembali berkelebat.Bukk! prajurit itu langsung terjengkang dengan muka remuk akibat jotosan mengandung tenaga dalam yang dihantamkan Wiro ke hidungnya. Dengan cepat Wiro menyelinap meninggalkan tempat itu. Dia harus segera mengetahui dimana adanya keempat puteri Sang Prabu. Yang paling dicemaskannya adalah kesalamatan puteri bungsu yaitu Gayatri. Di samping itu dia juga menduga-duga dimana Raden Juwana yang seharusnya berada bersama rombongan puteri-puteri Kerajaan.
Menyadari kalau dia tidak bisa bergerak leluasa dalam pakaian seperti itu, Wiro mendekati seorang prajurit yang tengah berjaga-jaga sambil menghisap sebatang rokok kawung. Wiro sengaja berdiri di balik sebatang pohon, hanya memperlihatkan sebagian tubuhnya lalu ”Ssstt...!” Dia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya.
Prajurit yang sedang merokok berpaling. Dia melihat ada seorang pemuda gondrong tak dikenal tersenyum padanya serta melambaikan tangan memanggilnya dari balik pohon. Orang ini buang rokok kawungnya ke tanah, meraba golok di pinggangnya lalu melangkah cepat ke arah pohon.
”Siapa kau?!” si prajurit membentak. Dari balik pohon sepasang tangan yang kokoh tiba-tiba berkelebat mencekik lehernya. Dia berusaha mencabut senjatanya. Tapi tubuhnya keburu terangkat ke atas dan lehernya berderak patah. Wiro seret prajurit ini ke balik pohon, menanggalkan pakaiannya lalu memakainya tanpa membuka pakaiannya sendiri. Dengan mengenakan pakaian seragam prajurit Madura itu Pendekar 212 Wiro Sableng bisa menyelinap ke setiap pelosok perkemahan tanpa dicurigai.
Dalam kegelapan, jauh di sebelah kiri Wiro melihat sebuah kemah. Dia segera bergerak ke arah kemah ini. Sejarak tiga tombak dari kemah tiba-tiba ada dua orang pengawal mendatangi.
”Kawan, kau hendak kemana?”
”Ah, kalian,,,” kata Wiro seraya senyum. ”Ada sesuatu hal penting hendak kusampaikan pada orang di dalam kemah.”
”Kau tahu Gandita pemimpin kita tengah beristirahat. Apa kau berani mati hendak mengganggunya?”
”Ini menyangkut puteri-puteri sang Prabu,” kata Wiro pula mengada-ada. Justru ucapannya itu memancing jawaban yang mengejutkan.
”Semua puteri itu sudah ada yang mengurus. Salah satu diantaranya malah sudah ada di dalam kemah sana bersama Gandita.” pengawal yang bicara keluarkan suara tertawa pendek.
Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi dalam hati dia menyumpah. ”Wah, pasti Gandita memilih puteri yang paling cantik. Siapa kira-kira yang beruntung dipaksa melayaninya?”
”Yang paling muda dan yang paling cantik tentunya!” jawab pengawal satu lagi. Gayatri! Wiro berteriak dalam hati. Saat itu ingin dia segera melompat ke arah kemah. Tapi dia masih bisa menguasai diri. Pura-pura bersungut dia berkata, ”Enak juga jadi pemimpin. Bisa bersenang-senang. Sedang kita berjaga-jaga di luar. Kedinginan dan disantap nyamuk hutan!” Lalu Wiro memutar tubuhnya seperti hendak pergi. Tapi tiba-tiba sekali kedua tangannya bergerak. Empat ujung jari bekerja. Kedua pengawal itu langsung roboh dalam keadaan kaku tertotok! Pendekar 212 Wiro Sableng cepat bergerak menuju kemah. Dia berhenti sesaat ketika dari dalam kemah didengarnya suara perempuan membentak.
”Manusia iblis! Kau akan mendapat hukuman setimpal atas perbuatan kejimu ini!”
Wiro kenal betul. Itu adalah suara Gayatri. Pendekar ini menggeram dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Senjata mustika sakti itu tampak berkilau meskipun dalam kegelapan malam.
”Gayatri...” terdengar suara lelaki.
Bangsat! Itu suara Gandita si keparat! Wiro memaki dalam hati. Apa yang hendak dilakukannya?! Kalau dia sampai berani berbuat kurang ajar aku bersumpah memenggal kepalanya!
”Gayatri, kau tahu aku sejak lama menyukaimu. Kau seharusnya merasa beruntung dan berterima kasih karena aku masih mau menyelamatkanmu. Menurut perintah kau dan semua saudaramu harus dibunuh habis.”
”Aku lebih suka kau bunuh daripada kau jadikan mangsa nafsu bejatmu!”
Gandita terdengar ketawa, ”Dengar, jika kau mau berjanji kujadikan istri, keselamatanmu akan kujamin. Tapi jika kau menolak kau tahu sendiri akibatnya.”
”Cis! Siapa sudi menjadi istrimu! Pemberontak busuk! Kau berkacalah lebih dahulu!” Panas hati Gandita mendengar kata-kata itu bukan kepalang. Mukanya merah membesi. Dia bergerak mendekati tubuh Gayatri yang terbaring di atas sehelai tikar.
Tangannya bergerak. Terdengar suara pakaian robek disusul oleh suara jeritan Gayatri. Wiro merasakan tubuhnya bergetar. Gagang Kapak Maut Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Ketika dia siap menerobos kemah tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Ada suara perempuan menangis keras. Dan itu bukanlah suara tangisan Raden Ayu Gayatri!
***
DEU BELAS
Di dalam kemah Gandita terkesiap kaget. Dia memandang ke arah kemah sebelah kanan dari arah mana, di luar sana terdengar suara orang menangis. Cepat-cepat Gandita mengenakan pakaiannya kembali. Lalu dia membentak.
”Siapa di luar sana?”
Suara tangis di luar kemah semakin keras. Tampang Gandita berubah. Dia coba berpikir dengan cepat. Mungkinkah dia? Tapi apa perlunya dia berada disini? Aku harus menemui dan mengusirnya. Bangsat tua itu mengganggu saja!
Gandita membuka tali pengikat belahan kemah lalu melangkah keluar. Apa yang diduganya memang benar. Di dekat kemah, duduk menjelepok tanah tampak duduk seorang kakek berkulit hitam sekali. Dia duduk sambil menangis keras. Belasan pengawal berdatangan tapi segera disuruh pergi oleh Gandita.
”Dewa Sediha! Apa yang kau lakukan disini?!” bertanya Gandita dengan suara keras.
Orang tua sakti yang merupakan kakak dari Dewa Ketawa sesaat memandang pada Gandita lalu mengusap kedua matanya. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang sayu ke arah Gandita.
”Aku bersedia membantu kalian orang-orang Kediri dan orang-orang Madura merebut tahta Kerajaan. Membunuh soal biasa bagiku. Tapi merusak kehormatan seorang gadis, melakukan perkosaan sangat bertentangan dengan jiwaku! Aku bersumpah untuk tidak membantu lagi manusia-manusia macammu! Kau akan mempertanggungjawabkan perbuatan kotormu di hadapan para Dewa!” habis berkata begitu Dewa Sedih kembali menggerung dan melangkah pergi.
”Dewa Sedih! Tunggu dulu! Jangan salah sangka....!” berseru Gandita. Tapi si kakek sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Sesaat Gandita tegak tertegun. Tapi bila dia kemudian ingat pada tubuh Gayatri yang setengah telanjang di dalam kemah maka dia tidak perdulikan lagi kakek sakti itu. Gandita menyibakkan kain penutup kemah dan masuk ke dalam. Dua langkah masuk ke dalam kemah pemuda ini terbelalak besar dan tegak laksana dipaku ke tanah!
Di hadapannya berdiri Pendekar 212 bertelanjang dada. Di tangan kanannya ada sebuah senjata yang terasa aneh di mata Gandita yakni sebuah kapak bermata dua yang memancarkan sinar angker menyilaukan. Pandangan mata pemuda itu membersitkan maut. Di belakangnya berdiri Raden Ayu Gayatri, mengenakan sehelai baju putih. Pasti itu adalah pakaian Wiro yang dikenakannya untuk menutupi bajunya yang robek-robek. Di lantai kemah ada sehelai baju seragam prajurit Kediri. Wiro sendiri dilihatnya mengenakan celana pasukan Kediri.
”Gandita! Dulu kau masih layak dihargai sebagai seorang musuh yang pantas untuk dilawan. Tapi saat ini kau tak lebih dari seekor anjing buduk pembawa penyakit kotor yang harus dibikin mampus!”
Pelipis dan rahang Gandita menggembung. Dia menyeringai. ”Keberanianmu masuk ke sarang harimau patut dipuji. Apakah kau sanggup menembus kepungan tiga ratus prajurit? Kau datang menghantar nyawa pemuda tolol!”
Wiro menyeringai. ”Umurmu tidak lama lagi! Keluarkan semua makian dalam perutmu!”
Sebelumnya Gandita sudah dua kali berhadapan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Kali terakhir di Lembah Bulan Sabit, dia dibuat muntah darah, menahan sakit dan malu serta dendam bukan kepalang. Saat itu rasa dendam seperti membakar dirinya. Tapi dia menyadari bahwa Wiro bukan lawannya. Maka dia cepat mengeluarkan suitan keras dua kali berturut-turut. Saat itu juga di luar sana terdengar langkah berdatangan banyak sekali. Gandita menarik sehelai tali sebagian kemah tersibak lebar sehingga kini Wiro dapat melihat bagaimana sekitar seratus prajurit telah mengurung tempat itu.
Paras Gayatri tampak ketakutan. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng tenang-tenang saja. Kalaupun dia mati di tempat itu dia akan merasa bahagia bisa mati bersama-sama Gayatri.
“Kurang banyak Gandita! Panggil lagi yang lainnya! Aku tahu ada tiga ratus prajurit di tempat ini. Yang muncul baru seratusan!”
”Manusia sombong takabur!” rutuk Gandita. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Belasan prajurit melompat ke arah Wiro dan Gayatri.
”Wiro...” terdengar suara Gayatri ketakutan.
”Kalian mau mampus? Majulah lebih dekat!” kata Wiro pula. Tangan kirinya diangkat ke atas. Semua orang melihat tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari berubah menjadi putih seperti perak. Sementara itu dua mata kapak yang di tangan kanan mengeluarkan cahaya lebih menyilaukan.
”Kalian mengapa diam saja?! Bunuh kedua orang itu!” teriak Gandita.
Puluhan prajurit kembali bergerak. Kali ini Wiro tidak ragu-ragu lagi. Tangan kirinya dihantamkan. Terdengar suara menggelegar. Satu cahaya laksana kilat menyambar berkiblat di tempat itu. Hanya luar biasa panas laksana matahari berada di atas kepala! Belasan prajurit Kediri dan Madura berpekikan lalu berkaparan di tanah.
Semuanya tewas mengerikan dengan tubuh menghitam hangus. Belasan lainnya bergelimpangan terkena sambaran hawa panas, menderita luka bakar tapi masih untung tidak sampai meregang nyawa. Yang lain-lainnya serta merta melompat mundur dengan muka pucat. Gandita jelas tampak kecut. Nyalinya sudah leleh. Wiro sendiri saat itu merasakan dadanya berdenyut sakit. Seingatnya baru sekali itu dia melepaskan pukulan sinar matahari dengan tenaga dalam penuh.
”Serang! Bunuh mereka!” teriak Gandita.
Tapi ratusan prajurit yang ada di tempat itu sudah putus nyali masing-masing. Bukannya menyerang mereka malah mundur menjauh. Gandita menjadi salah kaprah. Hendak melawan pasti dia tidak mampu. Untuk kabur melarikan diri dia masih punya rasa malu. Ketika Wiro melangkah mendekatinya pemuda ini menjadi nekad. Dia menyambar sebilah pedang yang dipegang oleh seorang prajurit. Dengan senjata ini di tangan dia menyongsong gerakan Wiro. Pedang dibacokkan. Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat. Seperti memotong sebatang ranting, pedang di tangan Gandita dibabat putus.
Gandita sendiri merasakan tangannya bergetar keras dan panas. Patahan pedang yang masih ada dalam genggamannya dilemparkannya ke arah Wiro lalu disusul pukulan tangan kosong yang ganas.
Wiro cepat menghindar ketika ada dua gelombang angin menderu ke arahnya. Kesempatan ini dipergunakan Gandita untuk mengambil sebilah keris yang tergantung di tiang kemah. Tapi dia tak pernah sempat menyentuh senjata mustika pemberian gurunya itu. Dari samping Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat ganas mengeluarkan deru angker disertai sambaran sinar panas menyilaukan.
Puluhan mulut berseru tercekam. Puluhan pasang mata terbeliak ketika menyaksikan bagaimana kepala Gandita menggelinding di lantai kemah. Tempat itu kini diselimuti kesunyian seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bicara. Gayatri sendiri sampai beberapa lamanya menutup matanya dengan kedua telapak tangan.
”Kalian lihat sendiri apa yang bisa aku lakukan! Kalian bisa bernasib seperti manusia keji itu jika kalian memang menginginkan! Majulah siapa yang mau!” semua mata memandang ke arah Wiro. Tak ada yang bergerak, apa lagi maju menyambut tantangan yang diucapkan Pendekar 212. Merasa dia telah dapat mempengaruhi orang-orang itu Wiro lantas berkata, ”Aku tahu kalian adalah prajurit-prajurit gagah berhati polos. Aku tahu tiga orang puteri Raja Singosari yang terbunuh ada di tempat ini. Aku meminta bantuan kalian. Lepaskan ketiga puteri itu dan masukkan ke dalam kereta di sebelah sana!”
ara prajurit itu tampak saling berpandangan sesaat. Lalu sekelompok demi sekelompok mereka bergerak ke satu tempat. Tak lama kemudian kelihatan mereka mengiringi tiga kakak perempuan Gayatri dalam keadaan selamat tidak kurang suatu apa. Gayatri lari menyongsong. Keempat puteri itu mendiang Sang Prabu itu saling berangkulan dan bertangisan.
Khawatir pasukan musuh itu akan berubah pikiran Wiro berbisik pada Gayatri agar membawa kakak-kakaknya naik ke sebuah kereta lalu dia sendiri melompat ke bagian depan kereta, bertindak sebagai sais. Wiro memandang pada prajurit-prajurit itu.
”Kalian bebas pergi ke Tumapel. Kalian telah menang karena berhasil meruntuhkan tahta Singosari. Tapi ingat, pengkhianatan dan pemberontakan yang kalian lakukan itu kelak akan mendapat balasan yang sama pahitnya malah mungkin lebih pahit di kemudian hari...”
Tidak seorangpun dari puluhan prajurit Kediri dan Madura itu yang bergerak dari tempatnya. Banyak yang menundukkan kepala.
”Mengapa kalian tidak pergi?” tanya Wiro. Dia mulai was-was dan tangan kanannya didekatkan ke pinggang dimana terselip Kapak Maut Naga Geni 212. Seorang prajurit yang sudah agak lanjut usia tiba-tiba melangkah maju. Dia menjura lalu berkata. ”Raden...”
Wiro hampir tertawa bergelak mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan Raden! ”Ada apa...?”
”Kami semua di sini memutuskan untuk ikut bersama Raden saja. Mengabdikan diri pada empat puteri mendiang Sang Prabu.”
”Apa?! Apa aku tidak salah dengar?” tanya Wiro.
”Tidak, Raden tidak salah dengar...”
”Kalian coba hendak menipu lalu nanti di tengah jalan membokong?!”
”Saya tidak menipu. Saya mewakili kawan-kawan berkata jujur...”
Murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling ke belakang dan membuka jendela kereta. ”Semua Raden Ayu yang ada di dalam tentu sudah mendengar kata-kata prajurit itu. Harap para Raden Ayu memberikan jawaban.”
Sesaat kemudian muncul kepala Raden Ayu Gayatri di jendela kereta. ”Saya percaya mereka semua prajurit-prajurit gagah yang jujur dan tahu artinya kebenaran. Saya dan kakak-kakak saya menyetujui mereka ikut bersama kita.”
Mendengar ucapan Raden Ayu Gayatri itu, ratusan prajurit Kediri dan Madura mengangkat tangan dan bertempik sorak. Seorang penunggang kuda muncul dalam kegelapan. Dia langsung menuju kereta di atas mana Wiro dan empat puteri Singosari berada. ”Apa yang terjadi di sini?!” tanya penunggang kuda itu.
Semua orang berpaling. ”Astaga!” seru Wiro. ”Raden Juwana, kau rupanya. Kami semua sudah kebingungan memikirkan apa yang terjadi dengan dirimu! Hai, kau memakai pakaian kecil kesempitan. Dari mana kau mencurinya? Kau yang harus mengatakan apa yang terjadi dengan dirimu!”
Si penunggang kuda yang memang adalah Raden Juwana adanya memandang berkeliling. Dia jelas melihat bahwa pasukan yang ada di tempat itu adalah prajurit-prajurit Kediri dan Madura. Parasnya berubah.
Wiro cepat berkata. ”Raden tidak usah khawatir. Mereka adalah prajurit-prajurit kita!”
”Dan Raden mulai saat ini adalah pimpinan kami!” prajurit tua yang tadi bicara keluarkan seruan. Yang lain-lainnya mengangkat tangan. Kembali di malam hari itu terdengar pekik sorak gegap gempita.
”Dewa Maha Besar...” kata Raden Juwana. Kedua matanya berkaca-kaca karena gembira. Terlebih ketika dilihatnya empat puteri mendiang Sang Prabu semua berada di atas kereta dalam keadaan selamat.
Wiro ingat pada dua buah kotak kayu yang disembunyikannya vi puncak bukit. Dia melompat turun dari atas kereta. ”Raden, kau lebih ahli menjadi kusir para puteri ini. Aku pinjam kudamu sebentar...”
”Eh, kau hendak kemana sahabat?”
Wiro membisikkan sesuatu ke telinga Raden Juwana. Wajah pemuda itu Nampak berseri-seri. ”Kau luar biasa. Benar-benar luar biasa. Pergilah, tetap hati-hati. Susul kami secepatnya...”
Wiro mengacungkan ibu jari tangan kanannya lalu melompat ke atas kuda yang diberikan Raden Juwana padanya.
***
TIGA BELAS
Runtuhnya Kerajaan Singosari memang tidak dapat dihindari lagi. Sang Prabu tewas di Ruangan Pemanjatan Doa. Keraton Singosari musnah. Putera-putera terbaik Kerajaan seperti Patih Raganatha, Pendeta Mayana, Damar, dan si pengkhianat Argajaya ikut menjadi korban. Belum terhitung para Perwira dan ratusan prajurit. Semua menemui ajal karena ketamakan akan kekuasaan yang berpangkal pada dendam kesumat.
Adikatwang kembali ke Gelang-Gelang membawa kemenangang. Puluhan harta pusaka dan kekayaan Singosari dibawanya ke Kediri. Dalam perjalanan dari daerah pertempuran menuju Kediri dia sempat menderita demam panas akibat tusuk kundai perak beracun milik Sinto Gendeng. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan karena dia cepat menelan obat penangkal racun. Di samping itu seorang tabib dari Banten telah pula memberikan obat mujarab padanya hingga nyawanya tertolong.
Kini Singosari yang porak poranda itu berada di bawah kekuasaan Adikatwang yang mengangkat dirinya menjadi Raja di Raja Kediri-Singosari. Walau tanpa tanda syah yaitu adanya Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Gelang-gelang dijadikan pusat Kerajaan, Kotaraja baru. Dalam kemelut berdarah itu Raden Juwana bersama empat puteri Sang Prabu dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menyelinap meninggalkan Singosari menuju ke Utara. Mereka bergerak mengikuti peta yang diberikan oleh mendiang Pendeta Mayana. Dalam perjalanan menuju desa Tembang Sari di Kudadu beberapa kali rombongan itu dicegat dan diserang oleh kelompok-kelompok pasukan gabungan Kediri-Madura. Namun Raden Juwana berhasil mematahkan semua serangan dibantu oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kesetiaan prajurit-prajurit Kediri-Madura yang ikut bersama Raden Juwana patut dipuji. Mereka berjuang mati-matian menyelamatkan rombongan penting itu, terutama menjaga keselamatan empat puteri mendiang Sang Prabu. Menjelang mencapai Kudadu, Dewa Ketawa muncul dan bergabung dengan rombongan ini.
Beberapa tokoh penting yang diketahui berpihak pada Adikatwang lenyap secara misterius. Mereka antara lain adalah nenek bermata api Dewi Maha Geni. Lalu Adipati Wira Seta dan yang ketiga kakek sakti bergelar Dewa Sedih.
Seperti dituturkan Dewi Maha Geni meninggalkan Keraton Singosari karena sakit hati dimaki tolol oleh Adikatwang di hadapan orang banyak. Nenek sakti ini kemudian bergabung dengan rombongan Adipati Wira Seta yang dalam perjalanan ke Madura, kembali ke Sumenep. Wira Seta termasuk salah seorang yang meninggalkan Adikatwang karena dikecewakan mentah-mentah. Sebelumnya sudah ada perjanjian bila Singosari jatuh maka dalam Kerajaan baru yang akan segera didirikan Wira Seta akan diangkat sebagai Patih. Namun setelah mencapai kemenangan Adikatwang berubah pikiran. Dia mengangkat adik kandungnya sendiri Rana Trijaya sebagai Patih.
Orang ketiga yang tadinya membantu Adikatwang kemudian melenyapkan diri begitu saja adalah Dewa Sedih. Orang tua berkulit hitam yang aneh ini berbalik membenci orang-orang Adikatwang ketika dia memergoki Gandita yang hendak merusak kehormatan puteri bungsu sang Prabu. Bagaimanapun mungkin jahat hatinya, namun Dewa Sedih sangat benci pada kekejian seperti itu. Dia mendengar kalau Dewi Maha Geni bergabung dengan Wira Seta menuju Madura. Dewa Sedih memilih jalannya sendiri, melenyapkan diri dalam rimba belantara dunia persilatan.
Ketika sampai di pedataran dimana Kali Brantas bercabang dua, rombongan sempat berhenti dan tercengang melihat pemandangan aneh di langit di atas mereka. Ada pelangi membentang jelas dengan segala keindahannya. Dewa Ketawa mendongak sambil tertawa mengekeh. Wiro garuk-garuk kepala sedang Raden Juwana memandang tak berkesip.
”Aneh,” kata Raden Juwana. ”Tak ada hujan, bagaimana mungkin ada pelangi membentang di langit?”
Wiro lantas saja ingat pava ramalan Kakek Segala Tahu. Dia menoleh pada Dewa Ketawa yang juga ikut mendengarkan ramalan itu. Keduanya saling pandang sesaat.
Dewa Ketawa kemudian mengekeh panjang. Di desa Tembang Sari rombongan membuka sebuah lahan di pinggiran desa, dekat sebuah hutan kecil dimana mengalir sebuah anak sungai. Di sini mereka mendirikan pondok-pondok kayu untuk tempat bermukim sementara.
Pada hari ketiga ratus Raden Juwana dan orang-orangnya bermukim disana, Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini menghilang sampai tiga bulan tiba-tiba muncul membawa kabar besar.
”Belasan perahu besar berisi pasukan Cina mendarat di Tuban!” katanya pada Raden Juwana.
”Sulit saya percaya hal ini. Apa maksud kedatangan mereka?”
”Saya coba menyirap kabar,” jawab Wiro. ”Pasukan Cina itu adalah pasukan Raja Kubilai Khan. Ada tiga orang Perwira Tinggi bertindak sebagai pemimpin. Kalau saya tidak salah sebut....” Wiro garuk-garuk kepala sebentar. ”Mereka masing-masing bernama Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing. Kabarnya mereka datang untuk menghukum sang Prabu. Tapi mereka tidak tahu kalau sang Prabu sudah tiada...”
Sepasang mata Raden Juwana tampak membesar. Demikian juga keempat puteri mendiang sang Prabu. Gayatri tiba-tiba membuka mulut.
”Saya tahu mengapa mereka datang dengan maksud seperti itu. Ingat peristiwa beberapa tahun lalu ketika utusan Kubilai Khan bernama Meng Chi datang ke Singosari membawa perintah agar Singosari tunduk pada Kerajaan Cina? Ingat apa yang terjadi saat itu?”
”Saya ingat,” sahut Raden Juwana. ”Sang Prabu menyuruh potong hidung utusan bernama Meng Chi itu. Ini satu penghinaan luar biasa. Tidak salah kalau Kubilai Khan menjadi marah.”
”Kini ribuan pasukan Cina mendarat di Tuban, tanpa tahu kalau Sang Prabu sudah tidak ada lagi,” ikut bicara Wiro. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini memandang melotot pada Raden Juwana.
”Sahabat, ada apa kau memandangku seperti melihat setan?”
”Saya...saya punya satu rencana. Bagaimana kalau...” lalu Wiro tertawa gelak-gelak.
Saat itu pula terdengar suara tertawa mengekeh. Sesosok tubuh gendut luar biasa muncul dari balik pohon besar menunggang seekor kuda kecil.
”Dewa Ketawa!” seru semua orang lalu mereka lari menyambut dan mengelilingi kakek gemuk itu.
Dewa Ketawa berpaling pada Wiro. ”Sekilas tadi aku sudah sempat mendengar pembicaraan kalian. Dan aku.... Ha..ha..ha..! Aku tahu apa yang ada dalam benakmu Kampret Gondrong!”
Sialan! Dia masih ingat saja makian itu! Wiro mengomel dalam hati.
”Bukankah kau ingin menjalankan siasat meminjam nyawa untuk membunuh nyawa?! Ha..ha..ha..! Tampangmu tolol, wajahmu seperti kampret! Tapi siapa menyangka otakmu boleh juga!”
”Dewa Ketawa, apakah yang tengah kau bicarakan ini?” tanya Gayatri.
”Tanyakan saja pada dia. Dia yang punya otak. Aku hanya menerka dan kebetulan sangkaanku ini tidak meleset! Ha..ha..ha..!”
Gayatri memandang pada Wiro. Pandangannya ini di samping ingin tahu apa yang ada dalam kepala sang pendekar juga menunjukkan rasa rindu karena sekian lama tidak bertemu dengan pemuda yang diam-diam disukainya itu dan kepada siapa dia banyak berhutang budi bahkan nyawa. Cara memandang Gayatri ini membuat Raden Juwana merasa tidak enak. Maka diapun cepat berkata.
”Agar semua jelas dan semua orang tahu sebaiknya sahabat Wiro menerangkan saja kalau memang punya rencana atau sesuatu.”
Wiro menggaruk kepalanya dulu baru berkata. ”Saya tidak berani mengatakan kalau ini adalah rencana saya. Terus terang sebenarnya apa yang akan saya sampaikan adalah bersumber dari jalan pikiran Raden Juwana. Suatu malam kami mengobrol, Raden Juwana sekali mengatakan. Kalau saja ada satu kekuatan besar yang bisa kita pergunakan untuk menyerbu Gelang-Gelang, menghancurkan kekuasaan Adikatwang yang tidak syah.”
Raden Juwana terdiam mendengar ucapan Wiro itu. Mungkin memang dia pernah menyampaikan pendapat seperti itu namun tidak ingat lagi kapan dan dimana.
”Kalau hal itu memang bisa dilaksanakan mengapa tidak dicoba?” Gayatri membuka mulut.
”Saya akan menemui pemimpin pasukan Cina yang baru datang itu!” kata Raden Juwana pula.
”Tidak,” kata Wiro. ”Raden tetap disini mengatur segala sesuatunya. Saya yang akan berangkat ke Tuban menemui tiga orang Perwira Kubilai Khan itu.”
”Saya ikut bersamamu,” kata Gayatri pula.
Raden Juwana tampak tidak senang mendengar ucapan Gayatri itu sebaliknya Wiro tersenyum dan dengan lembut berkata. ”Saya hargai keberanian Raden Ayu Gayatri. Tapi ini adalah urusan laki-laki. Biar saya sendiri yang akan pergi.”
”Ya, biar dia saja yang pergi,” kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Tuban cukup jauh. Aku akan pinjamkan keledaiku padamu! Ha..ha..ha..!”
Pagi itu di langit kembali kelihatan pelangi yang membuat semua orang di pemukiman di pinggiran desa Tembang Sari itu semakin merasa aneh. Selagi mereka dicengkeram perasaan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan. Lalu muncul seorang kakek bercaping, berpakaian penuh tambalan seperti pengemis. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat sedang tangan kanannya memegang sebuah kaleng rombeng berisi batu. Setiap saat kaleng ini digoyang-goyangkannya hingga mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga.
”Pengemis dari mana pagi-pagi kesasar ke sini?” ujar Raden Juwana. ”Beri dia makanan lalu suruh pergi. Suara kalengnya menusuk gendang-gendang telinga!”
Raden Ayu Gayatri muncul dari balik pondok. Begitu dia melihat kakek bercaping itu serta merta dia berseru. “Kakek! Bukankah kau Kakek Segala Tahu?! Sahabat pemuda bernama Wiro itu?”
Orang bercaping memutar tubuhnya ke arah Gayatri yang mendatangi sementara Raden Juwana jadi terheran-heran.
“Ah, syukur kau masih mengenali tua bangka buruk dan buta ini! Aku ingat siapa kau adanya. Puteri bungsu mendiang sang Prabu yang biasa dipanggil Raden Ayu Gayatri. Benar?!”
”Benar,” sahut Gayatri. ”Saya senang Kakek masih ingat saya.”
”Mana sahabatku si Wiro Gendeng itu?”
”Dia tengah membawa pasukan besar dari Cina menuju kemari,” jawab Gayatri.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. ”Pagi yang segar...” ucapnya perlahan.
”Katakan, apakah ada pelangi terpampang di langit?”
”Betul Kek, memang ada pelangi di langit,” menjelaskan Gayatri.
”Pelangi itu membentang di atas kawasan hutan maja yang luas di sebelah Timur?”
”Saya tahu memang ada hutan pohon maja di sebelah Timur. Kau betul, Kek,” kata Gayatri pula.
Wajah Kakek Segala Tahu tampak berseri.
”Pelangi...Pasukan besar dari Cina. Ah, rupanya ramalanku dahulu tidak terlalu tolol! Satu raja baru akan muncul. Satu kerajaan baru akan berdiri. Maha Besar kekuasaan Sang Pencipta. Maha Besar Kasih dan KeadilanNya.”
Kakek Segala Tahu menggoyangkan kaleng rombengnya berulang kali. Lalu dia memutar tubuh tinggalkan tempat itu. Raden Juwana coba mengejar untuk menanyakan apa maksud ucapan si kakek tadi. Tapi orang tua itu tidak berhenti ataupun berpaling. Kaleng rombengnya terus saja digoyang-goyang sepanjang jalan hingga akhirnya lenyap di kejauhan.
***
EMPAT BELAS
Adikatwang tengah duduk di atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut disanggul rapi ke atas,berpakaian sutera dan bersepatu kulit. Beberapa orang pembantu dekat duduk mengelilinginya. Tiba-tiba muncul seorang pengawal dengan nafas terengah.
Pengawal ini jatuhkan diri. Begitu bangkit dia segera berkata: ”Mohon ampun daulat Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Seorang prajurit di perbatasan Timur dan seorang lagi di perbatasan Timur Laut memberi tahu bahwa ada dua rombongan besar pasukan Cina berjumlah ribuan orang bergerak menuju Gelang-Gelang...”
Adikatwang sampai tertegak dari duduknya mendengar ucapan si pengawal.
”Pasukan Cina katamu?!”
”Betul sekali daulat tuanku Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina bergerak menuju Kotaraja. Ikut bersama dua gelombang pasukan itu sejumlah prajurit berseragam tidak dikenal. Namun ada yang menyaksikan bahwa dalam pasukan itu kelihatan Raden Juwana, seorang pemuda yang dikenal bernama Wiro Sableng, juga seorang kakek gendut menunggang keledai sambil tertawa-tawa. Juga ada beberapa kelompok prajurit Kediri dan Madura dalam pasukan besar itu.”
Paras Adikatwang berubah total. ”Raden Juwana...Wiro Sableng...Pasti dia pemuda keparat murid nenek sundal yang bersenjatakan tusuk kundai itu! Lalu seorang kakek gemuk menunggang keledai yang selalu tertawa-tawa. Siapa lagi kalau bukan Dewa Ketawa! Tapi adalah aneh kalau diantara mereka ada prajurit-prajurit Kediri dan Madura. Mungkin sisa-sisa pasukan Gandita yang dulu membelot? Atau mungkin Wira Seta ikut ambil bagian pula!”
Adikatwang memandang berkeliling pada para pembantunya. Lalu kembali pada pengawal yang masih duduk bersila di lantai. ”Ada keterangan lain yang akan kau sampaikan?”
”Ada Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina terlihat membawa senjata lengkap. Tongkat yang bisa meletus dan batang kelapa yang juga bisa meletus!”
“Tongkat dan batang kelapa! Prajurit tolol! Itu namanya bedil dan meriam! Sudah pergi sana!”
Begitu si pengawal berlalu Adikatwang segera perintahkan para pembantunya untuk memukul genta tanda bahaya yang ada di empat sudut Kotaraja. “Siapkan pasukan! Siapa saja yang berani memasuki Kotaraja akan kita bantai!”
Saat itu di Kediri terdapat sekitar dua ribu prajurit berpengalaman yang siap tempur. Namun balatentara Cina jumlahnya jauh lebih besar. Sementara itu di Keraton Kediri tidak lagi memiliki tokoh-tokoh silat yang bisa diandalkan sedang di pihak musuh kelihatan Pendekar 22 Wiro Sableng dan si kakek sakti Dewa Ketawa. Tiba-tiba saja Adikatwang ingat mimpinya malam tadi. Dia melihat rembulan indah empat belas hari di langit malam yang jernih. Tiba-tiba rembulan itu turun ke bumi, melayang ke arah pangkuannya, tapi begitu sampai di pangkuannya rembulan itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah bola api yang meledak dan membakar sekujur tubuhnya.
”Raden Juwana keparat! Wira Seta tolol sialan! Kalau dulu-dulu aku membabat lehernya...”
Adikatwang masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dia sudah mengenakan pakaian perang yang bagian depan dan punggungnya dilapisi besi tipis. Di tangan kanannya dia mencekal sebilah pedang.
Pada seorang pembantu dia minta agar Patih Kerajaan segera datang menghadap. Seperti diketahui Patih Kediri adalah Rana Trijaya adik kandung Adikatwang sendiri. Tak lama kemudian pembantu tadi kembali membawa kabar yang membuat Adikatwang marah besar.
”Patih Raden Rana Trijaya meninggalkan Kotaraja beberapa saat lalu bersama keluarga dan para selir. Dia membawa serta seratus prajurit sebagai pengawal.” Begitu laporan si pembantu.
”Manusia keparat! Pengecut haram jadah!” kutuk serapah keluar dari mulut Adikatwang. ”Beritahu Panglima Ganda Cula! Dia harus menyongsong serbuan musuh di luar Kotaraja! Lipat gandakan pasukan berpanah!”
”Mohon maafmu Sri Baginda Raja di Raja Kediri,” berkata pembantu itu sambil menjura beberapa kali. ”Panglima Ganda Cula juga sudah meninggalkan Kotaraja bersama keluarganya tak lama setelah Patih Trijaya pergi...”
Meledaklah kemarahan Adikatwang. Dia berteriak-teriak memanggil beberapa orang Perwira Tinggi Kerajaan. Namun tak ada yang datang. Malah di kejauhan terdengar suara letusan-letusan bedil yang sekali-sekali diseling oleh dentuman meriam. Sebuah peluru meriam menghantam dinding Keraton hingga ambruk dan berlubang besar. Paras Adikatwang menjadi pucat. Dia lari keluar Keraton. Dua ratus prajurit siap mendampinginya menuju medan pertempuran yang telah pecah di bagian Barat tembok Kotaraja. Raja Kediri ini hanya sempat memacu kudanya sejarak seratus langkah.
Laksana air bah tiba-tiba saja pasukan musuh sudah berada didepan pintu gerbang Keraton. Di sebelah depan tiga orang berkelebat ke arahnya. Dua larik sinar putih menyilaukan menyambar ganas. Sembilan prajurit mencelat mental dan menemui ajal dengan tubuh hangus hitam. Tiga ekor kuda terguling roboh. Itulah hantaman pukulan sinar matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang kedua bukan lain si kakek gendut Dewa Ketawa. Sambil tertawa mengakak dia mengarah-kan keledainya ke barisan prajurit Keraton pendamping Adikatwang. Ketika kakek sakti ini menggerakkan kedua tangannya terdengar suara seperti angin puting beliung disusul menyambarnya sinar kebiruan. Pekik jerit seperti merobek langit. Delapan prajuri Kediri terkapar mati, selusin lainnya berpelantingan. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Dia terus merangsak maju.
Adikatwang untuk beberapa saat lamanya seperti tertegun di atas punggung kudanya. Kemudian dilihatnya Raden Juwana di sebelah kiri.
”Budak keparat! Aku lawanmu!” teriak Adikatwang. Dia menggebrak kudanya ke arah Raden Juwana. Namun sebutir peluru yang ditembakkan pasukan Cina menghantam dadanya hingga dia terpelintir dan jatuh dari tunggangannya. Sebelum dia sempat bangkit Raden Juwana sudah berada di depannya dan langsung menusukkan pedangnya tepat di samping luka tertembus peluru. Adikatwang berteriak antara kesakitan dan kemarahan.
Kedua tangannya diulurkan dengan nekad mencabut pedang yang menancap di dadanya. Begitu pedang tercabut dia meneruskan hendak merebutnya dari tangan Raden Juwana. Namun saat itu, salah seorang Perwira Tinggi Balatentara Cina yaitu Kau Sing yang berada di dekat sana merasa yakin bahwa Adikatwang adalah Sang Prabu, melepaskan tembakan dengan bedil panjangnya.
Peluru bersarang tepat di kening Adikatwang. Tubuhnya terbanting. Raja di Raja Kediri ini menghembuskan nafas dengan kepala hampir rengkah! Secara keseluruh-an Kediri bertekuk lutut hanya dalam tempo kurang dari setengah hari. Selagi pasu-kan Cina bersuka ria merayakan kemenangannya, Raden Juwana, Dewa Ketawa dan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga kelompok prajurit Kediri-Madura serta sisa-sisa pasukan di masa Singosari dulu meninggalkan Gelang-Gelang, kembali menuju pemukiman di pinggiran Desa Tembang Sari. Mereka sampai di pemukiman pagi hari sama seperti ketika mereka meninggalkannya beberapa hari lalu. Dan lagi-lagi mereka dicengangkan oleh bentangan pelangi di langit sebelah Utara, tepat di atas hutan maja yang luas.
”Mungkin sekali ini petunjuk para Dewa. Kita harus pindah dan membuka lahan baru di hutan maja itu.” kata Raden Juwana. Ucapan Raden Juwana ini ternyata nantinya akan menjadi kenyataan. Kelak kemudian hari hutan maja itu akan berubah menjadi Kotaraja dari Kerajaan Majapahit.
”Bagaimana pendapatmu Dewa Ketawa?” tanya Raden Juwana pada si kakek gendut yang menunggang keledai.
”Selama di tempat yang baru itu orang tidak dilarang ketawa, aku pasti setuju dan ikut kesana!” jawab Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Dan kau sahabat Wiro?” tanya Raden Juwana.
“Dia pasti akan ikut bersama kita!” menjawab satu suara. Ketiga orang itu berpaling. Yang menjawab ternyata adalah Raden Ayu Gayatri. Wiro sekilas cepat melirik ke arah Raden Juwana. Seperti yang sudah-sudah dia melihat paras pemuda itu berubah.
Wiro mengeluh dalam hati. Aku tidak bisa menipu diriku. Aku menyukai gadis itu. Diapun menyukai diriku. Tapi seperti ucapan Kakek Segala Tahu adalah gila kalau aku berharapkan bisa berjodoh dengan puteri Raja. Tempatku bukan di sini, ataupun di lahan yang baru itu. Aku harus pergi.
Wiro menggaruk kepalanya dan coba tersenyum. ”Kalian semua sahabat-sahabat, mungkin malah bisa kukatakan saudara-saudaraku yang baik. Namun...”
”Kau tidak boleh membantah!” potong Gayatri.
”Maafkan saya... Saya harus pergi. Di lain waktu saya pasti akan menemui kalian lagi. Semoga kalian mendapatkan perlindungan dan berkah Yang Kuasa. Selamat tinggal...” Wiro memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Gayatri tak tinggal diam. Dia melompat ke atas punggung seekor kuda dan mengejar hingga Wiro terpaksa berhenti di satu tempat.
”Raden Ayu...”
”Nama saya Gayatri..” sepasang mata gadis itu berkaca-kaca.
”Gayatri, kembalilah. Saya tidak mungkin menetap di sini.”
”Kau..Kau tidak mengetahui bagaimana perasaanku padamu Wiro. Dan kau tak perlu mengatakan bagaimana perasaanmu padaku. Aku dapat merasakannya. Lalu mengapa kau harus pergi?”
Wiro merasa tenggorokannya seperti kering. Untuk beberapa lamanya dia tidakbisa berkata apa-apa.
“Gayatri, saya... Bagaimanapun juga dalam hidup ini kita harus melihat kenyataan. Antara kita ada jurang yang maha luas. Kau adalah seorang puteri Raja. Saya seorang gelandangan. Mana mungkin...”
Gayatri sesenggukan. Tubuhnya seperti limbung. Wiro cepat memegang bahu gadis itu. ”Kuatkan hatimu Gayatri. Saya berjanji untuk datang lagi menemuimu suatu ketika kelak.”
”Kau masih menyimpan peniti emas yang kuberikan dulu?”
Wiro mengangguk lalu keluarkan peniti emas yang pernah diberikan Gayatri. Benda itu diperlihatkannya sambil tersenyum. Dari balik pakaiannya Gayatri mengeluarkan selipatan kain. Benda itu adalah ikat kepala yang dulu diberikan Wiro kepadanya sebagai balasan pemberian peniti. Dengan kain itu disekanya air mata yangmenggelinding di pipinya.
”Berjanjilah kau akan datang lagi Wiro...” bisik Gayatri.
”Saya berjanji Gayatri. Izinkanlah saya pergi sekarang.”
Gayatri mengangguk. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Pendekar 212. kedua matanya dipejamkan. Wiro merasa ragu-ragu sesaat. Namun dia tidak tega menolakpermintaan tanpa terucap itu. Diciumnya kedua pipi dan kening Gayatri. Lalu denganlembut dan mesra dikecupnya bibir gadis itu. Gayatri masih terduduk memejamkan kedua mata dan tak bergerak di atas punggung kuda walau saat itu Pendekar 212 telah meninggalkannya. Gadis ini seolah-olah terlena dan terbuai oleh kelembutan hangat kecupan sang pendekar tadi.
”Pergilah sayang. Selamat jalan orang yang kucintai. Jaga dirimu baik-baik. Datanglah kelak, aku akan selalu menantimu..” kata-kata itu terucap dan terukir di lubuk hati Gayatri. Air mata kembali membasahi pipinya. Dia mendengar langkah-langkah kaki di sampingnya. Dia tak mau membukakan matanya. Yang berjalan di sampingnya saat itu adalah si gendut Dewa Ketawa bersama keledainya. Orang tua ini pandangi wajah cantikWiro Sableng yang tenggelam dalam kesedihan itu. Perlahan-lahan Dewa Ketawa teruskan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. ”Cinta...” desisnya. ”Kau datang begitu aneh.
Tidak memilih siapa yang dicintai, tidak mengenal batas derajat dan keturunan. Cinta begitu indah, tetapi terkadang bisa kejam. Itulah sebabnya aku memilih terus saja jadi bujangan!” untuk pertama kalinya Dewa Ketawa tidak mengeluarkan suara tawa bergelaknya.
TAMAT
Tulis komentar baru