Di Stasiun Gambir aku menemukan tubuhmu. Sedangkan dimasa kanakmu disini, jadi disini adalah milikmu dimana kedua orangtuamu membuat pintu, jendela, meja dengan ukiran yang tak jauh beda dengan pengukir Jepara. Aku tergesa karena malam menggoyahkan laju jarum jam. Pikiranku berlarian agar segera menemukan kamar peristirahatan. Dan kamar itu pula yang mengajariku untuk tidur mengubur kesepian kami berdua. Dimana air matamu masih mengaliri sungai yang kering dari kemarau panjang kemarin hingga menyebar aroma melati seperti yang tertanam ditaman hotel berbintang. Tampaknya juga seperti wanginya air-air untuk ritual para jagoan supranatural. Dan aku tersenyum karena yang dapat mengusapi air matamu hingga mengaliri sungai-sungai di wilayah Roxy dan sekitarnya adalah aku.
Pagi hari para perempuan memasuki kamar satu ke kamar lainnya menciumi negeri yang pecah berantakan. Menggantikan sprai-sprai kusut menyerupai dibanyak kepulauan yang tertumpah semalam. Mereka berbicara tentang tumpahnya air kepuasan antara penghuni-penghuni tadi malam. Juga bercerita seperti bocah-bocah kecil bermain dokter-dokteran yang sembari tangannya lincah menaburkan cita-citanya kelak diusia matang.
Aku menemukan tubuhmu tanpa busana di dalam kamar. Telah banyak kuciptakan tulisan dengan kata-kata yang menunjukan adanya gravitasi antara aku dan kamu dalam pelukan disekujur lekuk tubuh basah di belahan benua manapun. Dan aku akan pastikan bisa lebih mengenalimu tadi malam dan malam-malam kemudian. Meski hanya disisa nadimu, disisa pelukanmu, disisa kemolekanmu untuk ruang-ruang kamar seperti semalam kuciptakan rindumu dan untuk kukenang kehangatanmu.
Warm regards NN,anno2014.
Komentar
Tulis komentar baru