Dunia dalam kata, itulah sastra. Namun pengertian yang mempunyai makna luas ini belum cukup untuk mengungkapkan apa sebenarnya makna atau batasan sastra. Sastra terlalu universal untuk diberi batas pengertian. Tak ada batasan yang memuaskan tentang pengertian sastra.
Robert Frost pernah mengungkapkan bahwa sastra adalah pertunjukan dalam kata (a performance in words). Jadi kata-kata tersebut dibentuk oleh pengarang menjadi suatu aksi dan menimbulkan reaksi bagi setiap orang yang membaca dan mengapresiasikannya. Di sini pengarang telah memodifikasi kata menjadi sebuah makna yang berujar lepas bebas menjadi sebuah kesatuan yang lepas dari pengarang.
Pengarang tak lagi menyatu dalam karyanya. Yang ada hanyalah karya itu bersumber dari pengarang. Jika ada sebuah karya yang menimbulkan keharuan pembaca, belum tentu pengarang yang membuat karya tersebut sebenarnya juga mengalami apa seperti yang diceritakan dalam karyanya. Pengarang bebas untuk bermain-main dengan imaginasi yang mengalir dalam benak pikirnya.
Sastra telah menyelami segala denyut nadi kehidupan manusia. Dari mulai manusia dapat berbahasa, sastra telah menjadi makanan yang siap disantap. Adapun salah satu contoh adalah dongeng-dongeng dari bunda untuk melelapkan anak-anaknya. Cerita-cerita bergenre fable, mite maupun sage, itu adalah macam-macam karya sastra. Jadi sastra telah melingkungi dunia manusia. Seiring jejak waktu sastra telah memberikan beberapa pengaruh terhadap kehidupan manusia karena pengaruh sastra memang sangat jelas terasa.
Sastra dapat dijadikan objek untuk mengungakapkan segala rasa. Pengungkapan jiwa yang paling dalam pun dapat tersalur melalui sastra. Sastra mampu menyepuh kegelisahan dan kekejaman dunia atas perlakuan manusia yang tak bertanggung jawab. Hanya dengan perunjukan kata sastra dapat mengungkapkan sebuah kebenaran yang mungkin sulit terjawab hanya dengan cara yang biasa.
Tingkatan kebudayaan manusia lahir dari bagaimana manusia itu bertindak, secara batiniah maupun lahiriah. Adanya aspek-aspek rohani menuntut manusia untuk menyelami sebuah ajaran keyakinan yang mereka sebut sebagai agama. Agama disanjung sebagai suatu keyakinan yang mampu merubah peradaban manusia di dunia. Sebagai tolok ukur yang nyata adalah sebagian besar manusia di segala penjuru dunia mempunyai agama.
Sekulerisme telah dijalankan, namun kebebasasan itu tak sepenuhnya membuat manusia untuk tak beragama karena beragama adalah tuntutan batin untuk mencari cahaya kedamaian. Agama telah mampu mengawal hokum moral, mendidik tunas muda, mengajarkan kearifan, kebajikan, ketenangan, kesabaran dan sebagainya. Sejalan dengan fungsinya, agama bertindak sebagai faktor kreatif dan dinamis, perangsang atau pemberi makna kehidupan yang sebenarnya. Melalui agama, kita dapat mempertahankan keutuhan masyarakat dan menuntun umat untuk meraih masa depan yang cerah dan lebih baik.
Kebenaran mutlak
Agama bersumber dari Maha hakiki pencipta alam semesta. Agama dianut untuk mengatur bagaimana cara hidup yang sesuai dengan norma-norma yang ada dalam agama tersebut dan untuk menuntun jalan manusia menapak kehidupan setelah mati.Kebenaran mutlak bersifat tetap, tak terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Kebenaran ada karena memang terbukti dengan penjelasan-penjelasan yang empiris dan konkret. Kebenaran mewakili tujuan utama setiap informasi yang diserap dan diterima oleh manusia. Semua hal berorientasi pada suatu kebenaran, entah itu kebenaran yang bersifat konkret atau abstrak.
Hubungan timbal balik antara sastra, agama dan kebenaran jelas ada keberadaannya. Sastra dan agama masing-masing mempunyai sebuah kebenaran. Kedua-duanya mempunyai kebenaran yang bersifat abstrak. Suatu teks sastra menjadi sebuah kebenaran ketika ia telah menjadi satu kesatuan yang utuh yakni karya sastra. Karya sastra itu berdiri sendiri dan menyuguhkan suatu kebenaran menurut alur dan jalan cerita sastra itu sendiri. Jika suatu karya sastra dikaji dengan kebenaran yang terjadi di kehidupan nyata maka yang terjadi adalah sebuah pendistorsian kebenaran. Belum tentu apa yang disuguhkan suatu karya sastra benar atau relevan dengan kehidupan sehari-hari jika itu dihubungankan dengan kebenaran di kehidupan nyata.
Lain halnya jika karya sastra itu memang dikaji hanya sebagai karya sastra yang utuh tanpa dihubungkan dengan keadaan di luar. Karya sastra tersebut akan memuat suatu kebenaran yang tak akan terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar. Walaupun begitu sastra harus mempunyai kajian nilai yang mewakili sebuah kebenaran. Karya-karya yang bersifat imaginer dan absurb memang sering kali sulit untuk menemukan nilai yang terkandung di dalamnya namun tetap saja ada nilai yang tersirat di dalamnya. Nilai-nilai yang muncul dalam karya sastra itulah yang mewakili kebenaran suatu karya sastra.
Selanjutnya adalah kebenaran dari sebuah agama. Agama lahir dari suatu keyakinan dan rasionalitas serta cara berpikir manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Selanjutnya yang membedakan sastra dan agama yakni kebenaran agama adalah kebenaran keyakinan dan sastra adalah kebenaran imaginasi. Jika ditelaah lebih lanjut melalui sebuah tingkatan yang kecil, teks sastra dan teks agama mempunyai suatu persamaan yakni keduanya sama-sama bentuk bahasa yang estetis baik dari segi bahasa tulis maupun lisan.
Dapat disimpulkan asal mula agama adalah Tuhan atau firman Tuhan, sedangkan asal mula sastra adalah kata-kata dari pengarang yang merupakan daya imaginasi atau pengalaman konkret. Seorang pembaca sastra bebas menilai tidak hanya keindahan sastranya namun juga menilai kebenaran sastranya. Sastra berasal dari intuisi, perasaan dan pikiran seorang manusia, dan sedikit banyaknya akan menyentuh perasaan dan pikiran pembacanya juga. Interaksi dan penjiwaan manusia dalam menggauli sastra akan mempengaruhi jalan jiwanya.
Sastra mampu mengubah psikologis pembacanya. Maka dahulu pernah muncul istilah Psichopoetry atau istilah lainnya adalah terapi melalui puisi. Dampak-dampak seperti ini akan diarahkan agama sebagai keyakinan yang hakiki. Jadi sastra, agama, dan kebenaran adalah suatu kaitan yang sulit untuk dilepaskan keberadaannya.
Sumber: Solopos, Minggu 20 Januari 2008
MENELAAH TEKS SASTRA DAN AGAMA
- 6379 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru