LIMA
SEKIAN lama sudah, menjalani bulan ke lima, hubungan Delito dan Rani berlalu dan semua baik-baik saja. Keseriusan Rani untuk berubah pun telah keliatan. Ia menjadi ramah, sopan dan selalu tersenyum untuk setiap orang yang menatapnya. Banyak orang yang mengakui kehebatan Delito yang dalam beberapa kejap berhasil merubah Rani.
Sementara itu, Delito tidak bosan membantu dan menyuport Rani untuk terus berubah, dengan berada di sisi Rani. Delito merasa hal itulah yang bisa dilakukannya. Mereka tidak lagi menghindari Arby saat berduaan. Malah Rani mencoba bermanja-manja pada Delito saat berada di hadapan Arby dan Eza. Arby hanya cuek meliat tingkah Rani pada Delito.
Meski Delito mengerti sikap Arby dengan tingkah Rani, namun ia menepisnya dan mencoba tidak berkomentar. Sedangkan Eza malah senang dengan semua itu. Kini, ia merasa leluasa bersama Arby tanpa merasa bersalah dengan menomorduakan Rani lagi. Toh, Rani sudah memiliki seseorang yang membuat hari-harinya menjadi hari penuh warna-warni.
Delito terus mendampingi Rani, memotivasi dan menyuport kekasihnya untuk sabar. Dia memulai lembaran baru kisah cintanya dengan memuja Rani dalam setiap goresan khayalnya. Dengan semua itu, Rani semakin senang dan yakin untuk merubah hidupnya. Cintanya semakin bertambah pada Delito.
Semakin Rani menunjukkan perkembangan positif dalam hidupnya, semakin Arby tidak percaya hal mustahil itu. Arby selalu menginterogasi Delito dengan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan ketidaksukaannya pada hubungan yang dijalin Delito dan Rani.
Meskipun Rani selalu berbicara sopan, ramah dan telah berubah seratus delapan puluh derajat, namun Arby tetap tidak percaya seratus persen akan perubahan Rani. Ia tak percaya, Rani yang selama ini dikenalnya hanya orang sombong dan selalu menyepelekan orang lain, tak peduli siapa pun itu. Kebencian Arby semakin menjadi-jadi, ketika hubungannya dengan Eza hampir kandas. Itu karena ketidakpercayaan Arby pada perubahan Rani.
“To, kamu udah tau sendiri, dia udah nyuruh orang buat mukuli kamu, tapi kamu malah mencintainya. Gimana, sih kamu?” tanya Arby.
“Ar, Rani udah berubah, ia pengen aku selalu ada untuk membantunya berubah. Ini sebuah tanggung jawab yang selama ini aku pelajari dalam Al Kitab. Jika pipi kananmu ditampar, maka berilah pipi kirimu untuk ditampar. Jika bajumu dicuri, maka berilah jubahmu untuk diambil. Ini sebuah pelajaran yang harus kami amalkan. Dengan arti, jika orang butuh bantuan kita, apa salahnya kita bantu. Bahkan jika musuh meminta bantuan kita, tak salah kita bantu.” balas Delito meyakinkan Arby. “Aku emang mencintainya dan dia pun mencintai aku. Ini jalan termudah membantunya. Ngutip ajaran Gandhi: Melawan kejahatan dengan kebaikan.” lanjutnya.
“Iya. Aku tau, To. Aku gak larang kamu ngamalin ajaran kitab suci kalian dan ngutip ajaran Gandhi. Tapi, jangan terlalu percaya, belum tentu ia berubah. Mustahil sekali, orang yang selama ini nyepelein orang lain, dosen, dekan bahkan rektor udah jadi korbannya. Dia cuman ngandalin kekayaan orang tuanya. Aku takut, di balik semua ini ada sesuatu yang direncanakan.”
“Arby, gak baik berprasangka seperti itu. Aku udah tau semua itu dari Rani dan aku udah nyuruh dia minta maaf, mereka juga udah maafin Rani.” jelas Delito. “Aku cuman pengen kamu ngerti posisi aku. Semua udah baikan dan gak ada yang mesti dicurigai. Aku yakin dia tulus untuk berubah. Kami pacaran hanya sebatas untuk introspeksi diri. Yang penting sekarang, bisa nggak aku bantu dia dan menganggap ini tugas suci dari Kristus untuk aku.”
“Okey. Moga Tuhan memberkatimu dan melindungimu dalam tugas yang mungkin benar-benar suci.” kata Arby sambil menepuk pundak delito dengan senyum.
“Ma kasih, Ar.” balas Delito tersenyum. “Yok, Ar...!” ajak Delito sambil meraih jaketnya.
“Tu dia?”[1])
“Apel malam Minggu. Martandang.”
“Oo..., pikir mo kemana. Ya, udah kamu duluan. Aku nunggu Eza, dia udah janji mo jemput.”
“Kok, dijemput?”
“Emang napa? Iri, ya?”
Delito senyum. “Gak, kok.” balas Delito sambil keluar.
“Selamat kencan, ya.”
“Okey...!”
Di rumah Rani, Delito mengetuk pintu dan Rani muncul dengan gembira. Keduanya gak ke mana-mana, cuman ngobrol di teras depan.
“Cantik kali malam ini.” puji Delito.
“Biasa, kok.”
“Malah aku suka kamu dandan gini. Kesannya naturalisme, gitu.” balas Delito. “Udah lama nunggu, ya?”
“Lumayanlah. Sejak balik dari kampus aku udah deg...deg ser nunggu kamu dengan penampilan kamu yang kalem. Taunya baru datang jam segini. Kangen banget ama senyum maut kamu.”
“Bisa mati, dong, kalau gitu. Tapi sorry-lah, sekarang Medan udah kek Jakarta, jalannya macet apalagi jam-jam segini.”
“Macet?”
“Lha, iya. Jalannya selangkah-selangkah, gak bisa lari kencang, takut keringatan, trus bau ketek, deh.”
“Ho...o...!”
“Lagian gak mungkinlah apel jam enam. Gak punya otak, dong. Apa kata nyokap kamu, ntar. Mereka pasti nilai aku gak punya aturan. Masak jam enam udah apel. Kamu kan harus shalat sampe isya, aku gak pengen ganggu kamu jam-jam segitu.”
“Tau dari mana?”
“Arby. Dia juga Muslim, sama kek kamu.”
“Oo..., dari Arby.”
“Iya. Eh, tapi kenapa, sih, Arby itu gak suka banget sama kamu?”
“Gak taulah. Kenapa gak tanya dia aja?”
“Kalau nanya dia, selalu aja ngalihin pembicaraan dan dari situ aku bisa ngerti, kalo dia suka ama kamu.”
“Suka gimana? Dia kan baik-baik aja ama Eza.”
“Emang, sih. Tapi gelagatnya mencurigakan. Sepertinya dia mulai jaga jarak ama Eza.”
“Kasihan Eza, dong. Padahal Eza cinta banget ama dia.”
“Iya. Apa kamu benci ama dia?”
“Kayaknya aku gak punya alasan untuk membencinya.”
“Ya, udahlah. Masalah gitu gak perlu dibicarakan, mereka udah sama-sama dewasa dan pasti tau gimana ngatasinya. Yang penting kita bisa ngerti pribadi kita masing-masing. Aku bahagia banget.”
“Ya. Dalam cinta gak ada yang namanya paksaan. Yang namanya pacaran itu, ketika kita membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri dengan kepribadian yang dimilikinya. Bukan membentuk orang yang kita cintai menjadi pribadi yang kita inginkan.”
“Ya, kamu betul, Ran. Orang boleh saja menilai kita macam-macam, tapi kita tau apa yang kita rasakan ini patut kita pertahankan.” balas Delito.
“O, ya, gimana kalau kita ngajak Arby ama Eza kencan bareng. Ngapa-ngapain gitu, jalan-jalan, nonton atau makan malam.”
“Boleh juga ide kamu, biar Arby bisa nerima kamu sesuai kenyataan, kalau kamu itu udah benar-benar berubah dan sikap negative thinking-nya berubah menjadi positive thinking.”
“Maksud aku juga gitu. Biar dia ngasih peluang ama kita untuk nyaman ngejalin hubungan ini.”
Di kampus, ketika Rani menyampaikan idenya ke Eza, Eza langsung menyambut dengan antusias, karena ia tau, sampai sekarang Arby masih saja ber-negative thinking pada Rani. Eza berharap, dengan cara ini Arby bisa ngerti apa yang dijalani Delito dan Rani gak seperti yang ada dipikirkan Arby.
Arby menolak dengan keras, tapi dengan susah payah Eza dan Delito membujuknya, hingga Arby akhirnya mau.
Hari yang mereka rencanakan berjalan dengan baik, semua tersenyum kecuali Arby yang masih cuek dan menatap sinis pada Rani. Mereka ngadain acara bakar ikan di tepi pantai yang emang gak biasa di datang orang.
Delito dan Rani begitu asyiknya mengurus ikan, Delito mengajari Rani cara-cara membersihkan ikan yang sebelumnya belum pernah dilakukannya. Tapi kali ini bersemangat untuk tau. Sementara Eza dan Arby asyik membuat api untuk tempat membakar ikan.
Saat membakar ikan, Rani akhirnya buka bicara untuk meyakinkan Arby, kalau ia benar-benar ingin berubah dengan tulus dan meninggalkan segala kemewahan yang didapatnya dari orang tuanya, meskipun sedikit demi sedikit. Tapi ia yakin, kalau lama-lama ia akan berubah total, berbuat sesuatu tanpa mengandalkan tampang dan kekayaan.
“Aku heran sekaligus kagum ama kamu, To. Kok, bisa ngerubah life style sobat aku ini dalam waktu sesingkat ini. Padahal aku udah nyoba segala hal, cara lembut, tegas, kasar dan cuek, toh, gak ada pengaruhnya. Tapi, begitu kamu nongol, langsung kebelet mo berubah. Apa sih rahasianya? Kasih dikitlah, atau mungkin ada pelet-peletnya.”
“Apaan, sih, Za?” Rani menyikut Eza dengan wajah masam.
“Gak ada rahasia apa-apa, Za, apalagi pelet-peletan. Aku gak percaya dengan black magic, menurut aku itu pikiran kuno. Meskipun aku orang Dolok Sanggul, yang mungkin pernah terdengar cerita dari sana, itu cuman gosip murahan. Aku gak pernah dengar itu di sana. Yang jelas, Rani berubah karena ada keinginan dan motivasinya cinta. Cinta membuat seseorang berubah dan perubahan itu dikarenakan sesuatu dari orang yang kita cintai.” kata Delito berfilosofi.
“Iya aku tau, To. Yang anehnya, kok bisa keinginan itu datang setelah ada kamu. Selama ini banyak kok yangngedekati Rani, yang lebih oke-oke malah, tapi bukan ngina. Udah berkali-kali dia pulang pergi ke Eropa. Kurang pa coba cowok-cowok Eropa sana? Apalagi Rani ini bola mania. Kebanyakan pesepak bola Eropa sana lumayan-lumayan, lho, kek Zlatan Ibrahimovich, kurang cakap apa coba?”
“Ya banyak, sih. Tapi waktu terakhir aku ke Eropa Cuma ketemu ama Didier Drogba, gak banget, lah.” kata Rani dengan nada mengejek.
“Kok, mulai lagi, Ran?” Delito menatap Rani. Mendengar itu Rani segera terdiam.
“Sorry, To, cuman bercanda, kok!”
“Awalnya emang gitu, tapi lama-lama bisa kambuh lagi, dong. Awas kalo dengar lagi, aku jitak beru kerasa kamu. Katanya pengen berubah, Didier Drogba itu jelek-jelek, lebih hebat dari kamu, terkenal lagi. Dia itu publik dunia.”
“To, maafin aku, ya!” kata Rani penuh harap.
“Jangan diulang lagi, ya.”
“Hm...mm...!” balas Rani. Ia tesenyum pada Delito.
Eza tambah heran melihat tingkah Rani, yang lebih heran lagi adal Arby. Matanya jadi terbuka melihat hal itu. Keduanya gak nyangka kalau perubahan Rani sedahsyat itu. Tapi, keduanya senyum dengan senang. Arby jadi kagum ama Delito yang bisa ngendaliin Rani.
“Ma kasih ya, to. Kamu udah buktiin cinta kamu ke aku.” tambah Rani.
Mendengar itu, keduanya tambah heran. (Bukti cinta? Bukti cinta, kok gitu?)
“Eh, Ran, maksud kamu bukti cinta apaan, sih?” Arby gak bisa menahan rasa penasarannya.
Kali ini, Delito dan Eza yang mendengar Arby buka bicara ama Rani dengan lembut. Selama ini Arby gak pernah bicara ama Rani kalau gak ketus. Delito tersenyum pada Eza ketika pandangan mereka beradu..
“Oh... soal itu. Itu emang udah permintaan aku pada Delito ketika ia nembak aku. Ada tiga syarat dan salah satunya, Delito harus marah ke aku kapanpun, dimanapun dan gimanapun, mestinya dia nampar aku kalau nyepelein orang lagi.”
“Jadi, kalo nggak?” serobot Arby makin penasaran.
“Kalo nggak, aku yang marah dan nampar dia. Tapi aku ngerti kenapa Delito gak nampar, karena ngormati kalian dan gak pengen ngerusak acara kita.”
“Wah...wah...wah. hebat, dong hubungan kalian kalian, gak nyangka, ya, Za.” Kata Arby mengeleng-geleng. “Tapi kenapa segitunya? Apa gak ada cara lain?”
“Itulah, Ar. Awalnya aku keberatan, tapi Rani malah ngotot. Alasannya pengen berubah dan katanya butuh aku, orang yang dicintainya untuk memotivasinya, membimbingnya untuk benar-benarberubah.”
“Apa udah pernah terjadi pembuktian itu?”
“Belum. Meskipun udah pernah tiga kali sebelum ini. aku gak suka kasar sama cewek apalagi secantik Rani. Aku gak pengen menyakiti Rani yang aku cintai. Lebih baik dia nampar aku sepuluh kali dari pada aku nampar dia sekali.”
“Trus dia nampar kamu?”
“Pernah sekali, seterusnya kapok yang ada malah tangannya yang sakit.”
“Trus....?” Eza ikut nimbrung.”
“Dia ngelanjutin nge-kiss aku sepuluh kali.”
“Ah..., kok buka rahasia, sih.” rengek Rani manja sambil mukul-mukul Delito. Tapi, Delito malah senyum, karena pukulan Rani hanya pukulan sayang.
“Malu? Kenapa mesti malu? Eza ama Arby pasti maklum. Kiss-kan ungkapan cinta paling mutakhir.”
“Kiss-nya di mana?” tanya Eza menggoda Rani.
“Awas kalo bilang!” ancam Rani dengan memasang cubitan yang udah siap siaga.
“Macam-macam.”
“Bibir pernah, nggak?””Paling sering.” balas Delito sambil memekik, karena Rani akhirnya nyubit dengan kuat.
“Eh, kok malah ngambek.” goda Delito meliat Rani diam. “Senyum, dong! Ayo, dong! Gitu aja, kok ngambek.”
“Biarin!” balas Rani dengan ketus.
“Duh, kalo udah ngambek tambah cantik, deh. Senyum, dong! Ayo! Pasti senyum, satu... dua... ti... ga....”
Rani akhirnya senyum juga dengan godaan Delito. Matanya berkaca-kaca dan akhirnya berair.
“Kok nangis, Ran?”
“Aku... aku... bahagia, To. Aku bahagia sekali. Kamu bisa membuat aku meneteskan air mata kebahagiaan. Aku sangat mencintaimu.” kata Rani menghapus air matanya.
“Ran, aku jminta maaf ama kamu. Selama ini aku udah berprasangka buruk, mengira kalau semua ini adalah satu-satunya carakamu ngencurin Delito. Ternyata aku salah.” kata Arby pada Rani dan menoleh pada Delito. “Maafin aku, To. Selama ini aku terus ngeracuni pikiran kamu.” kata Arby terus terang. “Ternyata ada juga hikmahnya kencan bareng.”
Mereka melanjutkan acara mereka dengan nyantap ikan yang udah pada matang.
* * *
DI KAMPUS, Delito melangkah dengan lemas keluar dari ruang administrasi. Usahanya untuk meyakinkan pihak tata usaha untuk menangguhkan uang kuliahnya dan mengikuti ujian mid semester, tidak membuahkan hasil apa-apa. Kepalanya mulai pusing memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang sesegera mungkin, padahal Minggu depan udah masuk ujian mid semester.
Di luar ruang administrasi, Arby segera menghadangnya dan menanyakan pada Delito gimana jadinya. Karena ia melihat wajah Delito kusut banget, kayak gak pernah disentuh setrika aja.
Delito hanya menjawab dengan suara lemah, seolah ada sebuah beban yang menghimpitnya. “Tiga bulan, Ar, uang kuliah aku belum dibayar. Biasanya kiriman udah datang, tapi sekarang belum ada juga. Mungkin mereka lagi ngadapi masalah.”
“Sorry, To. Aku gak bisa bantu kamu saat ini, uang saku aku lagi minus.”
“Udahlah, Ar. Palingan aku gak ikut ujian, jika gak dapat ditolerir.” balas Delito kian lemas mendengar jawaban Arby. Padahal ia berharap Arby bisa membantunya. Tapi, harapannya pupus.
“Eh, jangan gitu, dong. Meskipun ujian mid, kamu gak boleh ketinggalan, ntar nilai kamu anjlok dan IP kamu turun.”
“Abis mo gimana lagi, Ar? Tempat minjam juga gak ada.”
“Rani kan anak orang kaya.”
“Gak, Ar. Itu namanya ambil untung. Memanfaatkan orang lain.”
“Ambil untung gimana? Kan minjam, ntar juga dibaliki.”
“Kalau dia terima, sih, oke aja, Ar. Gimana kalo ia gak terima?”
“Abis udah kepepet, mo diapain lagi. Daripada gak ikut ujian, mana yang lebih mendingan?”
“Gak ada yang lebih mendingan. Ini berlebihan, kelewatan malah. Aku masih punya bokap nyokap, lagian dia juga masih dibiayai bokap nyokapnya.”
“Trus, gimana, dong? atau aku yang minjam ama Eza dulu.”
“Jangan, Ar. Rani ama Eza sama aja.”
“Atau nggak ama Pak Sihotang, kalau uang aku datang, biar aku yang bayar duluan.”
“Pak Sitohang lagi gak ada. Katanya ke Sibolga.”
“Berapa lama?”
“Setengah bulan.”
“Aduh, ama siapa lagi, dong.” kata Arby menggarut kepalanya yang gak gatal.
“Udahlah, Ar. Kalau emang Tuhan ngasih aku izin sampai selesai, pasti Dia gak bakal mempersulit aku sampai di sini. Dia pasti kasih jalan dalam Minggu ini.” balas Arby pasrah.
Hari pertama mid semester akhirnya tiba juga. Ia segera menuju ruang tata usaha untuk minta izin masuk ujian dengan mengambil nomor ujian. Dengan ragu, ia masuk ke ruang tata usaha.
“Kebetulan saudara Delito datang.” kata petugas administrasi padanya setelah melihat Delito masuk dengan wajah yang kusut.
“Maaf, saya belum bisa menepati janji saya. Tapi saya mohon hal ini bisa ditolerir dan mengizinkan saya masuk mengikuti ujian. Saya akan segera membayar, jika kiriman datang.” kata Delito penuh harap.
“Saudara tidak perlu berharap seperti itu. Tentu saja saudara bisa mengikuti ujian, karena uang kuliah dan uang ujian saudara sudah lunas, bahkan....”
“Maksudnya?” potong Delito cepat dengan heran.
“Uang kuliah saudara sudah lunas sampai semester depan.”
“Kok, bisa? Memangnya siapa yang melunasinya?” buru Delito makin bingung.
“Kami tidak tau betul.”
“Trus?”
“Beberapa hari yang lalu, kami terima sebuah amplop yang berisi uang yang diantar oleh satpam, katanya ia menerima dari seorang tukang becak. Dalam amplop itu ada surat yang menguntukkan pembayaran uang kuliah saudara.”
“Bisa saya liat tulisan tangannya?”
“Suratnya diketik komputer.”
“Kira-kira tukang becaknya siapa?”
“Tukang becak di Medan ini beribu jumlahnya. Jika itu yang saudara tanyakan, saya rasa itu pertanyaan yang bodoh.” balas petugas itu sambil menyodorkan sebuah amplop pada Delito. “Ini milik saudara.”
“Apalagi ini?” tanya Delito makin bingung.
“Ini milik saudara. Sisa uang yang dititipkan orang misterius dan di dalamnya ada sepucuk surat. Agar lebih jelas silakan saudara baca!”
Delito hanya bisa melongo mendengar penjelasan wanita itu. “Makasih banyak. Saya permisi dulu.” kata Delito sambil meraih tanda peserta ujian yang disodorkan wanita itu.
“Gimana, To? Bisa nggak? Apa bisa ditolerir?” serang Arby ketika melihat Delito keluar.
“Aku heran!”
“Heran gimana? Dikasih izin nggak?” serobot Arby lagi merasa pertanyaannya gak terjawab.
“Nih,.....!” balas Delito menunjukkan apa yang dibawanya pada Arby dan pertanyaan Arby masih belum terjawab.
“Apa ini?”
“Kartu ujian dan sejumlah uang!” jawab Delito. “Ada seseorang yang menitipkan uang secara misterius untuk bayar uang kuliah aku dan ini sisanya.”
“Apa? Nitipin uang buat bayar uang kuliah kami dan masih ada sisanya?”
“Iya!”
“Siapa?”
“Nurut ceritanya dari tukang becak dititip sama satpam.”
“Gila! Zaman gini masih ada orang yang mau ngasih uang pake acara misterius-misteriusan, gitu. Siapa, sih, tukang becak itu?”
“Mtahlah. Tapi aku rasa tukang becaknya hanya perantara. Pasti ada seseorang yang berada di balik ini semua.” jawab Delito. “Gimana nurut kamu? Apa perlu kita cari tau, atau nggak?”
“Mm..., aku pikir gak perlu. Sepertinya dia ikhlas ngasih ke kamu dan dia gak pengen kamu tau siapa dia. Kamu anggap saja ini rezeki dari Tuhan. Ya, mungkin sebagai balasan atas tugas yang kamu anggap suci itu.”
“Tugas suci apaan?”
“Ngerubah life style-nya Rani, itukan tugas suci dari Tuhan. Jadi, biar pikiran kamu gak bercabang dan gak beranting, anggap saja semua pemberian dari-Nya. Gampang, kan?” kata Arby merangkul pundak Delito mengajaknya melangkah.
“Ya....” balas Delito ikut melangkah. Tapi rasa penasarannya belum hilang.
Selesai ujian, Arby dan Delito ke perpus menemui Rani dan Eza yang duluan ke perpus.
“Kok, kusut buanget yayang aku!” kata Rani menggoda Delito yang udah dekat.
“Iya, nih, lagi bingung.” balas Delito mengulurkan tangan kirinya pada Rani. Rani menyambutnya dengan tersenyum dan memberi tempat duduk pada Delito di sampingnya. Sedang Arby duduk di samping Eza.
“Kok, bingung? Ujiannya susah?” tanya Rani dengan senyum sambil mengusap rambut Delito.
“Bukan. Aku bingung soal uang ini....” kata Delito sambil mengeluarkan uang yang ada di dalam amplop dari saku celananya.
“Uang apaan?”
“Ini titipan dari seseorang yang udah bayarin uang kuliah aku tahun ini dan ini sisanya.” terang Delito.
“Apa?” pekik Eza. “Ada orang misterius yang bayarin uang kuliah kamu? Gimana ceritanya?”
“Satpam menerima titipan dari seorang tukang becak.”
“Trus, apa satpam mengenal siapa tukang becak itu?”
“Sepertinya nggak. Tukang becak di Medan ini ribuan, jadi mustahil. Nurut kalian siapa kira-kira orang misterius itu?”
“Kalau cuman ngira-ngira, sih, gak bakal ketebak. Tukang becaknya aja gak dikenal apalagi orang yang berada di balik ini semua.” kata Rani. “Tapi, nurut aku, orangnya pasti dekat ama Delito. Kalau nggak, mana mungkin tau masalah Delito.”
“Betul, Ran. Apa kamu gak bisa ngebayangin siapa kira-kira orangnya, To? Misalnya di antara dosen yang dekat ama kamu atau yang gimana apa gitu?” sambut Eza.
“Rasanya gak ada. Palingan cuman Pak Sihaloho, itu pun karena semarga. Tapi mustahillah kalau dia. Kita kan tau gimana kehidupan keluarganya.”
“Emang berapa bulan, sih?” tanya Rani.
“Cuman tiga bulan, kok!” jawab Arby.
“Lagian kamu juga, sih, To. Kenapa gak kasih tau kita, kan bisa dikasih pinjam nunggu kiriman kamu datang.” kata Eza.
“Aku udah kasih saran, Za. Tapi, Delito takut kalau kalian gak nerima gantinya itu kalau dibaliki.” cerita Arby.
“Ya, itu namanya rezeki, dong.”
“Ma kasih, Za. Tapi kayaknya gak etis banget kalau kalian yang bayarin uang kuliah aku. Aku masih punya orang tua, sedang kalian juga masih dibiayai orang tua kalian.”
“Kamu selalu aja gitu kalau dibantu. Kita kan teman kamu.”
“Bukan nolak, Za. Aku pengen kalian ngerti. Uang kuliah itu masalahnya terlalu individu. Orang yang udah kuliah, dinilai udah matang soal biaya.” kata Delito. “Jadi apa pun resikonya aku harus tanggung itu.”
“Gimana kalau kamu tau siapa orang misterius itu?” tanya Rani.
“Ya, tergantung tujuannya. Mo ngina atau gimana?”
“Tapi nurut aku, kamu gak usah cari tau siapa dia. Sepertinya dia memang ikhlas mo ngebantu kamu. Kamu berdo’a aja semoga semua yang diberikan dibalas ama Tuhan. Itu lebih baik daripada kamu nyari tau maksudnya.”
“Nurut aku juga gitu.” balas Eza.
“Ya, udah. Terserah kalian aja.” kata Delito. “Kami cabut dulu, ya.” lanjut Delito ngajak Rani.
“Ke mana?”
“Gak ke mana-mana. Tempat biasa.”
“Ikut, deh. Yuk, Ar!” kata Eza ngajak Arby.
Keempatnya keluar dari perpus. Rani ngajak ke kantin dulu untuk ngisi perut. Karena cacingnya udah pada demo nuntut makan. Tadi pagi ia gak sempat sarapan.
***
[1] Tu dia: Ke mana
Komentar
Tulis komentar baru