PITU[1])
“TO... Delito...!”
Sebuah suara wanita menghentikan langkah Delito yang ingin keluar dari kantor redaksi. Delito berjalan bersama Benny. Ia menoleh ke arah suara, ternyata Eza yang memanggilnya dengan berlari-lari kecil menuju ke arahnya. Sedangkan Benny menjauh dari keduanya.
“Kamu, Za? Ada apa?” tanya delito ketika Eza sudah berada di hadapannya.
“Aku mau ngomong ama kamu.”
“Lama, nggak? Soalnya aku ada kerjaan, mau ngeliput acara yang ada di Teladan. Kalau emang gak terlalu penting, nanti malam aja. Kamu tunggu aku Medan Plaza.”
“Oke, gak masalah. Aku tunggu jam delapan malam. Awas kalo gak datang, ya.”
Mendengar jawaban Eza yang rada mengancam, Delito jadi tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia meninggalkan Eza dan menemui Benny. Keduanya segera meninggalkan tempat itu dengan sepeda motor.
Di Medan Plaza, Eza sudah menunggu setengah jam, namun Delito belum juga nongol. Jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan jam setengah sembilan. Berkali-kali ia mengumpat menumpahkan kekesalannya, tapi percuma, karena kekesalannya kian bertambah.
Sementara Delito baru aja keluar dari stadion setelah wawancara dengan Ketua Panitia acara.
“Anda yang bernama Delito?” sebuah suara laki-laki paruh baya menghentikan langkahnya. Suara yang pernah dikenalnya. Suara yang pernah menghinanya. Tapi, ia ragu karena kedengarannya bersahabat, hingga Delito menoleh ke arah suara, ternyata benar. Pemilik suara itu adalah Hadi Prawiro, pengusaha sukses yang pernah menghinanya.
“Ada apa?” tanya Delito menatap laki-laki paruh baya itu.
“Saya mau bicara dengan kamu.”
“Ternyata pengusaha sukses, terhormat, dan hebat masih mau ngomong dengan petani sayur miskin ini. tidak disangka. Ngomong apa?”
“Jangan terlalu memuji.” Balas laki-laki itu pongah sambil memperbaiki dasinya.
“Ho..., rupanya anda gila pada pujian, hingga antara mengejek dan memuji pun anda tak bisa bedakan. Dasar orang kaya.”
“Cukup! Jangan banyak bicara. saya hanya ingin kamu menjauhi putri saya, karena dia telah dijodohkan. Lagipula kamu tidak selevel dengan putriku. Dia orang senang, bukan orang susah seperti kamu. Saya harap kamu tau diri, wartawan murahan.”
“Ho..., kalau mau pamer kekayaan bukan di sini tempatnya.” Kata Delito tersenyum sinis. “Lagi pula saya nggak terlalu berniat mendekati putri anda. Putri anda saja yang bodoh, tak tau malu dan kegatalan. Sudah pun ditolak mentah-mentah, masih aja nekat. Dasar murahan!”
“Diam!”
“Tak usah membentak! Ini memang kenyataan. Saya sudah pindah kos, udah pindah kampus, masih aja nguber-nguber, malah nejkat mau ganti agama segala.” kata Delito memanas-manasi orang tua Rani.
Wajah laki-laki itu segera berubah merah padam, menahan marah.
“Kasihan putri anda, saya takut kalau nanti ia hamil di luar nikah gara-gara kenekatannya. Jaga putri anda baik-baik, bila perlu singkirkan dia ke Eropa sana, biar aman.” kata Delito melangkah.
“Bukan dia yang akan menyingkir, tapi kamulah yang akan mampus.” ancam laki-laki paruh baya itu.
Mendengar itu, Delito berhenti dan menoleh. “Oh, ya?” balasnya senyum sinis. “Pak Hadi Prawiro yang terhormat, sadarlah dari mimpi buruk anda. Ini Medan, Bung. Medan ini milik orang Batak. Preman manapun yang anda suruh menghabisi saya tak akan pernah berani. Dan satu lagi, ingat, nyawa putri anda ada di tangan saya, kalau saya mati maka putri anda yang akan binasa.” kata Delito melangkah pergi meninggalkan orang sombong itu.
Delito bergegas ke Medan Plaza untuk menemui Eza. Di baru ingat, kalau Eza menunggunya di sana. Sedang Benny telah pulang duluan. Delito segera menghadang langkah Eza yang ingin meninggalkan tempat itu.
“Sorry, aku telat!”
“Dari mana aja, sih, kok baru nongol sekarang? Biasakan, dong, menghormati waktu.”
“Sorry banget, maklumlah wartawan.” balas Delito. “Okey, mau ngomong apa, sih, sampai nekat nunggu dua jam?”
“Aku mau ngomong soal....”
“Rani?” potong Delito. “Apa lagi?”
“kamu kejam banget, sih, jadi orang. Kamu pengecut, tau nggak.”
“Semua udah jelas, Za. Bukannya kejam. Jujur, aku masih sangat mencintainya, tapi aku tak berdaya menghadapi kenyatan ini dan udah jelas kami gak selevel.” kata Delito dengan wajah yang keruh. “Aku lagi dendam, Za. Dendam pada orang tua Rani, itulah sebabnya aku menghindarinya. Aku takut dendam ini melumatkan orang yang aku cinta karena aku gak bisa melukainya. Biarlah aku yang dilumatkan dendam ini. Jangan kamu pikir ini mudah bagiku. Sulit, Za. Sangat sulit.”
“Omong kosong! Ketidakberdayaanmu tidak beralasan. Asal kamu tau aja, saat ini ia sedang mengibarkan bendera permusuhan dengan orang tuanya demi cintanya ama kamu. Eh malah kamu mengibarkan bendera permusuhan pula dengannya. Lantas apa maksud kamu menulis cerita yang berjudul Di Hatimu Ku Ingin Berlabuh? Kamu sengajakan membeuat Rani terus menerus merasa bersalah, terus menerus merasa berdosa.”
“Maksud kamu?”
“Kamu sengaja membuat semua rumit, dengan sikap kamu yang seperti ini berarti kamu sengaja melimpahkan dendammu padang orang tuanya itu kepadanya. Kamu sengaja mengadu domba mereka hingga hubungan mereka jadi berantakan.”
“Aku gak pernah memintanya demikian, malah aku menyuruh dia menerima tawaran orang tuanya.”
“Kamu egois, To. Aku sungguh gak nyangka kalau kamu mau berbuat begini. Rasanya aku gak ngenal kamu yang dulu.”
“Terserah apa pandangan kamu, Za. Asal kamu tau aja, baru saja Hadi Prawiro brengsek itu ngancam pengen bunuh aku kalau aku coba-coba ngedekati Rani.” terang Delito. “Untunglah ini Medan.”
“Kalau Medan, kenapa?”
“Medan ini milik orang Batak, Za. Milik aku, kamu, dan orang Batak lainnya.” terang Delito lagi. “Aku hanya pengen kamu ngerti kek gimana posisi aku sekarang.”
“Posisi apa, To. Sudah jelas kamu gak pernah ngargai pengorbanan Rani.” kata Eza meninggalkan delito dalam kebingungan.
Delito hanya bisa menatap kepergian Eza dengan perasaan yang tak menentu. Perasaannya berkecamuk. Ia tak menyangka kalau Rani masih mencintainya, tapi iangin mempertahankan harga dirinya. Ia memilih kembali ke tempat kostnya di pemukiman gepeng yang kumuh.
Delito terus berjalan menelusuri trotoar, di tanggannya terselip sebatang rokok. Dari kejuhan, Eza mengikutinya sampai ia masuk gang dan masuk ke sebuah rumah sederhana.
Esoknya, Eza disuruh mamanya ke Bank untuk menyetor simpanan. Kebetulan hari itu Eza tidak ada kuliah pagi, jadi ia bisa ke Bank. Ia hanya naik becak, mobilnya lagi di bengkel dan sedang operasi.
Di areal parkir Bank, Eza melihat mobil Mercedes Merah Murun milik Rani, tapi ia gak percaya kalau itu milik Rani. Untuk apa Rani ke Bank yang punya kartu kredit.
Perlahan didekatinya pintu masuk dan memperhatikan orang-orang yang berada di dalam segera ia mengenal Rani yang sedang asyik bicara dengan pegawai Bank.
Setelah dekat pada Rani, Eza mendengar Rani sedang mentransfer sejumlah uang ke sebuah kampus dan herannya Eza, kampus itu tempatnya Delito kuliah sekarang. Untuk apa? Pikir Eza taki mengerti.
Eza segera menyambar sehelai kertas bukti transfer yang disodorkan oleh pegawai bank itu pada Rani. Rani yang tidak mengetahui keberadaan Eza bukan main kagetnya dan setelah itu ia hanya menatap pada Eza.
“Untuk apa uang ini, Ran?”
“Eh..., eng..., anu...?” balas Rani tak tau harus menjawab apa.
“Untuk biaya kuliah Delito Ananda Sihaloho.” kata Eza membaca kertas itu. “What,s?” pekiknya keras, membuat orang-orang yang berada di situ menoleh padanya.
“Kamu ini kanapa, sih, kok pake ngejerit segala? Liatin orang-orang tau.”
“Ah, peduli amat, amat aja gak peduli. Ini apa-apaan, sih? Jadi, selama ini kamu yang bayar uang kulaih Delito secara misterius itu, ya?”
“Iya. Emang napa?”
“Untuk apa? Cowok egois itu kenapa mesti diurus-urus, dia aja gak peduli ama kamu.”
“Ah, biarin aja, Za. Aku gak peduli, yang aku tau cinta itu jika tanpa pengorbanan akan sia-sia.”
“Iya, sih. Tapi, dia udah ngorbanin apa ama kamu, dihina dikit aja udah mau mampus rasanya.”
“Aku bisa ngerti posisinya sekarang. Tapi kamu jangan bilang ama dia, kalau aku yang bayar uang kuliahnya, ntar dia malah merasa terhina atau ngaggap nyogok perhatiannya untuk dicintai ama dia. Aku ikhlas mau bantu dia terlepas dari segala perasaan yang aku rasakan ke dia. Aku ikhlas.”
“Jadi GN-OTA[2]) gitu, ya? Ya udah, terserah kamu.” balas Eza.
“Kamu mau ngapain ke sini?”
“Nyetor simpanan nyokap. Tungguin, ya, kebetulan aku gak bawa mobil. Lagi masuk UGD.”
“UGD? Maksudnya?”
“Telmi banget, sih, bengkel tau.” kata Eza mendekati seorang petugas.
Setelah selesai, keduanya akhirnya keluar dari bank menuju parkir mobil.
“Oh, ya, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Ntar kamu tau juga.” balas Eza membuka pintu mobil Rani. Tak berapa lama mobilpun melaju dengan kecepatan sedang. Di depan sebuah gang kecil, Rani menghentikan laju mobil dengan perintah Eza. Gang itu hanya setengah meter luasnya, hanya bisa dilewati oleh kenderaan roda dua. Di gagng itulah Eza melihat Delito semalam. Eza mengajak Rani turun dari dalam mobil, Rani hanya menurut dengan penuh tanda tanya.
“Kita kemana, sih?” Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Rani.
“Ya, ke dalam. Ayo, ngapain bengong!” ajak Eza melihat Rani masih berdiri di tempatnya.
“Ngapain, sih, ke dalam? Mana jorok lagi.”
“Udah ikut aja, bawel banget, sih.”
Dengan setengah hati, Rani akhirnya mengikuti langkah Eza yang santai, seolah tempat itu biasa aja baginya. Padahal tempat ituluar bisa joroknya. Air-ayang tergenang di sana-sini dibiarkan begitu saja. Masyarakat sekitar tak menyadari kalau itu merupakan sumber penyakit berbahaya.
Eza berhenti berjalan di depan sebuah rumah sederhana. Dari penampilannya, rumah itu cukup bersih dan tertata. Pastilah orangnya adalah orang yang sadar akan kebersihan lingkungan. Rumah sederhana itu, tidak cocok tinggal di pemukiman yang serba kotor.
“Lihat rumah sederhana itu!” kata Eza.
“Ya, kenapa dengan rumah itu? Sepertinya tidak ada yang istimewa, hanya saja agak bersih namun tetap tak ada artinya karena lingkungannya tetap kotor, belum bisa menjamin selamat dari berbagai penyakit.” jawab Rani.
“Masalahnya bukan itu, tapi penghuninya.”
“Ya, orangnya pastilah yang memiliki kesadaran lingkungan agak beda dan terpelajar dari yang lain, tapi tetap akan tertular penyakit juga.”
“Iya, kamu benar. Tapi, kamu tau nggak siapa penghuninya?”
“Ya, mana aku tau, aku kan baru kali ini kemari. Lagian apa pentingnya buat aku?”
“Kalau kamu tau, mungkin penting. Bahkan sangat penting.”
“Emang siapa, sih?”
“Delito!”
“Apa?”
“Ya, di sinilah Delito tinggal. Semalam, abis ketemu ama dia, tanpa sepengetahuannya aku ikuti dia. Ternyata rasa sakit hatinya oleh hinaan Om Hadi telah membuatnya tersingkir ke tempat ini. kasihan dia, dia satu-satunya harapan orang tuanya.” kata Eza dengan suara bergetar.
Rani menoleh pada Eza, dilihatnya mata Eza berkaca-kaca.
“Kamu nangis, Za?”
“Ya, Ran. Ini untuk pertama kalinya aku menangis untuknya. Aku tau, dia sangat mencintaimu, namun ia mengorbankan dirinya untuk memendamnya. Sinar matanya yang dulu berapi-api kini meredup. Harapannya pupus dan semuanya melebur, mencair bahkan meleleh. Tubuhnya, jiwanya, dan prinsipnya kini mengerdil. Aku ingin kamu mengembalikan semuanya. Jangan biarkan orang yang kita cintai lemah karena suatu sebab yang berhubungan dengan kita. Meskinya semua itu: diri kita, cinta kita, bahkan kekurangan kita sekalipun, bisa membakar semangat orang yang kita cintai itu. Jadikan diri kita begitu berharga untuknya, jadikan diri kita nyata dalam semua sisi kehidupannya, bahkan nyata dalam khayalnya. Mungkin hanya kamu yang bisa mengembalikan semuanya, karena hanya kamulah yang merampasnya.” terang Eza.
“Kok, kamu bilang gitu. Maksudnya gimana, sih?” tanya Rani.
“Ran, kita udah dewasa, tanpa dijelaskan satu persatu pun kita mesti ngerti, mau tak mau itu harus. Cinta, kadang lebih mudah dari sekedar membalikkan tangan, tapi terkadang lebih rumit dari rumus reaksi kimia. Aku ingin kamu meyakinkannya, kalau ini bukanlah akhir dari segalanya dan bukan pula jalan yang terbaik. Jalan terbaik itu, baik untuknya dan baik untukmu, bukan seperti ini, kamu tersiksa dan dia juga tersiksa.” kata Eza mengusap kedua belah matanya dengan sapu tangan yang diambilnya dalam tasnya.
“Tapi, dengan apa aku harus ngeyakinin dia, Za?”
“Ran, kamu mencintainya, kan?”
“Sangat. Sangat mencuntainya. Bahkan aku ingin menjadi pendamping hidupnya kelak..”
“kalau begitu, kamu pasti tau apa yang mesti kamu lakukan untuk meyakinkannya.”
“Kalau begitu, aku akan berbuat sekuat tenaga.” kata Rani melangkah.
“Eh, mau kemana kamu?”
“Menemuinya?” jawab Rani polos.
“Kalau siang dia tak ada. Dia hanya tinggal di sini gak lebih dari lima jam, selebihnya ia melakukan aktivitasnya sebagai wartawan.
“Trus?”
“Ntar malam kamu ke sini, tapi kamu sendiri, agar ia jangan mengira semua ini adalah inisiatif aku. Tunjukin kalau kamu emang tulus mencintainya, kalo kamu masih butuh dia dan jangan sekali-kali kamu bilang kalau kamu tau tempat ini dari aku.”
“Okey. Makasih banyak, Za. Kamu memang sahabat aku yang terbaik dan yang pernah ada.”
“Gak usah muji aku kek gitu, Ran. Aku hanya pengen kalian bahagia.” kata Eza menatap dalam ke wajah Eza. “Sekarang kita ke kampus.”
Keduanya meninggalkan tempat itu. Hati Rani terasa lega setelah ia tahu tempat tinggal delito yang baru.
Malam harinya, Rani udah ada di depan rumah sederhana itu. Setelah tadi menanti Delito dari mobil bokapnya. Saat ia melihat Delito udah masuk gang kecil itu, hatinya jadi bimbang untuik menemui Delito.
Lebih dari satu jam ia berdiam diri dalam mobil itu, akhirnya dibulatkan tekadnya untuk menemui Delito. Di depan rumah yang sederhana itu ia bertemu dengan seorang gadis remaja.
“Deg...!” sapanya ramah.
“Ya, Kak....”
“Numpang nanya, apa benar ini rumahnya Kak Delito?”
“Kak Delito yang wartawan itu?” gadis itu meyakinkan.
“Betul sekali.”
Iya, Kak. Kebetulan Kak Delito udah pulang. Biasanya jam 12 malam baru pulang. Ini tumben cepat.”
“Oo...!” Rani mengangguk. “Ma kasih ya, Dek!”
“Sama-sama, Kak.” balas gadis itu berlalu.
Rani akhirnya melangkah memasuki pekarangan rumah yang tidak dipagar itu. Diketuknya pintu dengan perlahan, tak berapa lama muncul seorang laki-laki di pintu yang lebih dulu terbuka, tapi bukan Delito, Benny. Dia berdiri di depan pintu itu.
“Cari siapa dan keperluan apa?”
“Delitonya ada?”
“Ada. Anda siapa?”
“Temannya dan pengen bicara dengannya sebentar.”
“Temannya? Rasanya saya gak pernah lihat Delito bareng ama anda.”
“Sekarang emang jarang, bahkan boleh dibilang gak pernah. Sebelum dia tinggal di sini, masih di rumah Pak Sitohang, sebelum dia jadi wartawan, dan sebelum dia pindah kampus, kamu sering bareng, kok, bahkan hampir setiap hari.”
“Kalau begitu tunggu sebentar.” kata Benny meninggalkan Rani di depan pintu tanpa menyuruh Rani duduk di bangku poanjang yang ada di teras atau masuk.
“Oh, ya, nama anda siapa?” Benny berbalik setelah melangkah beberapa langkah.
“Rani!”
“Rani? Mantan pacarnya, ya?” kata Benny sambil menatap Rani dari ujung kaki sampai ujung rambut. Benny memang belum kenal dengan Rani, namun nama itu sering didengarnya. “Cantik juga!” gumam Benny meninggalkan Rani. Tak berapa lama Benny kembali tapi tanpa Delito.
“Delito mana?”
“Kalau Dek rani mau menunggu sebentar, dia kan datang, pekerjannya tanggung. Tapi kalau tidak mau datang besok malam aja.” jawab Benny. “Maaf, Delito emang gitu, kalau lagi bekerja, apalagi ngetik, ia gak bakalan peduli apa-apa, meski makan sekali pun. Ia gak mau meninggalkannya terbengkalai.” tambahnya.
“Gak papa!” balas Rani kecewa.
“Oh... ya, silakan duduk, Dek Rani. Tapi di sini aja, di dalam berantakan, maklum kost-kostan cowok, apalagi tempatnya begini, gak seperti yang dulu.”
Rani tidak membalas, ia hanya mendekat pada kursi panjang yang ada di teras. Suasana teras memang remang, hanya diterangi lampu pijar 15W.
“Kenapa, sih, kalian milih kost di tempat yang seperti ini? Padahal di tempat yang dulu lebih baik. Air, listrik, dan segala fasilitas lebih baik dan lengkap.” kata Rani duduk di kursi panjang itu.
“Dek Rani benar, fasilitasnya memang lengkap, hanya satu yang gak ada di sana, fasilitas ide. Menurut kami di sini banyak sumber ide yang membuat mood menulis kami lebih hidup karena beragam masalah hidup banyak kami temui di sini. Sementara di sana sebisingan kota Medan yang udah merubah diri jadi kota Metropolitan sudah tidak mendukung kami lebih kreatif. Tapi buat Delito, di samping apa yang saya katakan tadi, ia ingin mencari ketenangan dan melupakan masalahnya dengan seorang cewek. Apa cewek itu Dek Rani?”
“Ya, sebenarnya masalah ini gak perlu diperpanjang, tapi dia..., ah entahlah, aku juga gak ngerti.”
“Sebenarnya ada masalah apa antara kalian?”
“Apa yang diketik Delito?” tanya Rani mengalihkan pembicaraan. Ia gak pengen menceritakan masalahnya dengan Delito, karena semua orang akan membenarkan sikap Delito. Sementara baginya bukan masalah benar atau salah yang dicari.
“Cerpen!”
“Judulnya?”
“Andai Kita Harus Berpisah... jalan akhir sebuah hubungan.”
Rani tercenung mendengar judul cerpen yang sedang dibuat Delito. Ada seberkas kesedihan yang tak bisa diungkapkannya dengan perasaan. Rani tau, akhirnya Delito memasrahkan segalanya pada semua yang telah terjadi. Kenapa? Mana kesanggupannya yang dulu diucapkannya untuk menghadapi masalah yang terjadi? Kenapa ia biarkan aku tersiksa? Batin Rani merintih. Air matanya mengalir dari kedua sudut matanya. Bibirnya bagian bawah digigit keras pertanda ia merasa tidak mampu menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ia dibiarkan berjuang menahan ganasnya getaran cintanya.
“Dek Rani kenapa, kok, sedih gitu?”
“Gak! Aku gak kenapa-napa, kok!” balas Rani sambil mengusap kedua belah matanya yang lembab.
“Delito emang kelewatan, dia membuat orang yang mencintainya menangis. Andai aku ada di posisinya, aku gak akan membiarkannya. Apapun masalahnya.” kata Benny memancing rani bercerita dan usahanya berhasil karena Rani segera bercerita masalah mereka, masalahnya dengan Delito.
“Jadi masalahnya hanya begitu?”
“Iya, Mas!”
“Kalau begitu, mudah aja, Dek.”
“Maksud Mas?”
“Dek Rani, sepertinya ia minder dengan keadaannya. Artinya ia lagi talik ulur, buktinya setiap ceritanya selalu berharap pada cinta Dek Rani. Delito butuh bukti cinta untuk meyakinkan hatinya sebagai pegangan kokoh untuk dirinya. Jadi kalau Dek Rani masih berharap, buktikanlah kalau Dek Rani emang tulus.”
“Maksud Mas, aku mesti ngelakuin sesuatu yang bisa membuatnya semakin yakin dengan cinta aku, kalau aku memilih dia ketimbang orang tua aku?”
“Persis!”
“Makasih atas solusinya, Mas! Boleh nggak aku menemuinya ke dalam?”
“Pergilah!” kata Benny penuh persahabatan.
“Ma kasih, Mas!” balas Rani bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Segera terlihat olehnya Delito yang sedang asyik mematut-matut mesin tik.
“Kamu udah gak mau menemui aku lagi, ya?” tanya Rani lirih ketika ia telah berada di samping Delito.
Delito menoleh sejenak menghentikan jari-jarinya, tapi hanya menoleh namun tak mengeluarkan suara apapun, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.
Mendapat perlakuan seperti itu, kesedihan Rani pecah, dadanya sesak dan air matanya tak mampu dibendungnya lagi. Ia berlari keluar sambil menangis.
Benny menyaksikan kejadian itu segera bangkit dan mendekati Rani. Benny mencoba menenangkan Rani dan mengajaknya kembali duduk.
“Maafkan aku, aku...” kata Delito muncul di depan pintu dan memegang pundak Rani dengan pelan, tapi Rani segera menepisnya.
“To, kamu memang egois, sedikitpun kamu gak ngargai wanita setulus Rani.”
“Ben, kamu gak perlu sok nasehatin aku, aku tau apa yang terbaik untukaku lakuin, lagian kamu gak perlu ikut campur.”
“Aku bukan pengen ikut campur, aku cuma kasihan ama Rani.” jawab Benny. “Sebaiknya kamu mikir pake otak. Masak kamu bilang ini yang terbaik.”
Ego Delito jadi naik mendengar perkataan Benny, hingga ia beranjak meninggalkan keduanya. Tak berapa lama, suara mesin tik kembali terdengar dihentak-hentak, tapi suara hentakan itu penuh dengan kekesalan. Berselang sepuluh menit, terdengar suara meja berdebam karena ditinju dengan dikuti jerit tertahan. “ au..., ah...!”
Rasa khawatir Rani memaksanya masuk ke dalam dan melihat Delito memegangi tangannya yang berdarah sambil menghembus-hembusnya.
Rani mendekati Delito, tapi baru beberapa langkah...
“Berhenti! Jangan mendekat! Aku gak butuh belas kasihan orang-orang kaya. Aku mampu mengatasi masalahku sendiri.” kata Delito.
“To, berhentilah memojokkan aku seperti itu. Aku merasa tidak lebih hebat dari kamu, semua itu milik orang tuaku bukan hasil keringatku.” balas Rani sambil terisak.
“Semua milik orang tuamu adalah milikmu juga, jangan biarkan orang licik sepertiku memperalatmu untuk mengusai semua harta orang tuamu, karena mereka akan tersingkir ke panti jompo dan kamu akan ku perbudak. Sekali-kali jangan biarkan itu terjadi.”
“Aku pikir kamu sanggup menghadapi semua badai yang menghancurkan hubungan kita, ternyata....”
“Cukup Rani!” bentak Delito. “Jangan pernah ungkit-ungkit hal itu lagi!”
“Kenapa? Kamu takut dianggap orang yang munafik?”
“Terserah! Terserah kamu mau mengatakan apa, aku tak peduli lagi. Yang penting sekarang, tinggalkan tempat ini dan lupakan juga aku.”
“Kamu dendam ama papa, tapi kenapa semua ini kau timpakan ke aku. Kenapa?”
“Aku gak sedang balas dendam. Aku nyuruh kamu lupain aku. Lupain aku, kataku!” teriak Delito.
“Rani..!” kata Benny dari pintu. “...lebih baik kamu pulang saja dulu. Percuma melawan orang yang lagi emosi. Biar aku yang urus lukanya nanti.”
Rani tak menjawab, hanya menoleh pada Benny sambil mengangguk dan melangkah keluar pergi meninggalkan tempat itu.
Meskipun kehadiran Rani gak pernah disambut hangat oleh Delito, namun Rani selalu menemui Delito untuk meyakinkan kalau ia tulus mencintai Delito.
Tak jarang Delito nmemilih diam dan terus saja mengetik. Hanya Benny yang sering mengajaknya ngobrol, itu pun kalau Benny ada, kalau tidak mereka hanya membisu dengan perasaan masing-masing. Terkadang Rani malah rela menunggui Delito sampai larut malam. Jika rasa kantuknya sudah tak mampu dibendungnya, ia meninggalkan tempat itu sambil pamit meskipun tak ada balasan dari Delito.
***
[1] Pitu: Tujuh
[2] GN-OTA: Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (Program kesejahteraan siswa tidak mampu masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie)
Komentar
Tulis komentar baru