OPAT [1])
RANI akhirnya beranjak dari tempatnya sambil menoleh pada Delito dan memutuskan pergi dari perpus setelah tak dapat berbuat apa-apa. Perasaannya tak menentu, benaknya berkecamuk antara maju mendekati Delito dengan berbagai resiko dan menolak mendekati Delito karena malu pada diri sendiri. Rani malu pada dirinya sendiri karena kejadian tadi malam yang tidak pernah diduganya sedikit pun. Orang yang telah dibayarnya memukuli Delito, semalam mencoba memperkosanya dan tidak disangka, Delitolah menyelamatkannya dari orang-orang bayarannya.
Kejadian semalam telah membuatnya tersadar dari semua kesombongannya yang selama ini menganggap orang sebelah mata. Ia merasa tidak kekurangan apapun, dirinya adalah pewaris tunggal dari seluruh kekayaan yang dimiliki orang tuanya.
Semalam ia sadar, kalau semua yang selama ini dibanggakannya, ternyata tidak mampu melindunginya, malah mengancam nyawanya. Ia baru terlindung karena kehadiran orang lain dan orang itu adalah Delito, orang miskin yang pernah ia lecehkan. Sekali lagi ia tersadar, kalau di atas langit masih ada langit.
Akhirnya ia memilih pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah kelaparan. Lagi-lagi ia tersadar, kalau perutnya belum diisi dengan apapun sejak tadi pagi, karena buru-buru ingin menemui Delito. Tapi setelah melihat Delito, nyalinya jadi ciut dan hanya bisa memandangi Delito dari kejauhan. Di kantin, ia malah menemukan Arby dan Eza. Padahal sudah sejak pagi ia mencarinya. Ingin sekali ia menceritakan hal yang terjadi semalam. Kejadian yang membuatnya merasa yakin tidak semua laki-laki seperti Ades, cowok tengil yang telah menorehkan lembar kelam dalam kehidupannya, yang telah menjadikannya taruhan dengan memperebutkan selembar uang lima puluh ribu.
“Hei..., Za. Dicariin dari pagi, eh..., nyatanya di sini kamu.” kata Rani mendekati Eza yang lagi ngobrol ama Arby. “Dari mana tadi, kok, gak masuk?”
“Cuman di sini.” jawab Eza. “Materinya apa tadi?”
“Sambungan materi yang lewat.”
Sementara Arby hanya cuek melihat kehadiran Rani yang seolah kehadiran Rani mengganggu acara mereka.
“Jadi cuman di sini, kalian gak masuk. Arby juga.”
“Heh..., apa sih urusan lo ama kuliah orang? Mau masuk kek, mau nggak kek, bukan urusan lo, kan?” Arby tersinggung mendengar perkataan Rani yang sepertinya ngurus dirinya dan Eza. “Urus aja urusan lo! Jangan ikut campur dengan urusan orang!”
“Kamu, kok, gitu sama Rani?”
“Kenapa? Salah? Dia juga yang sok ngatur. Emang aku siapanya dia?” Arby tambah ketus karena merasa di salahkan Eza.
“Ya, gak salahkan dia nanya gitu? Dia sobat aku. Jadi setidak-tidaknya dia juga bakal jadi sobat kamu.”
“Aku gak pernah sobatan ama dia. Yang jelas, aku malah gondok liat tampangnya. Udah sombong, belagunya minta ampun lagi. Sebenarnya kamu gak cocok ama dia. Seharusnya kamu jaga jarak ama dia.”
“Arby...! gak sepantasnya kamu ngomong gitu. Aku lebih kenal Rani ketimbang kamu. Jadi, kamu jangan nilai Rani sejelek itu di depan aku. Paham!”
“Terserah, Za. Yang aku tau, sobat kamu ini orang sombong dan faktanya emang gitu, kan?”
“Cukup, Ar...!”
“Gak papa, Za.” kata Rani akhirnya meredam emosi Eza yang sudah memuncak. “Aku emang sombong, Za, ama semua orang. Hanya kamu yang gak pernah tau itu. Mungkin aku yang terlalu maju nanyain soal yang agak pribadi.” kata Rani lagi.
“Emang...!” sambut Arby cepat.
“Aku tinggal, ya, Za. Acara kalian jadi berantakan gara-gara kehadiran aku.” kata Rani dan pergi nyari tempat lain.
“Lebih cepat lebih baik.” kata Arby lagi setengah mengusir. “Seharusnya lo gak nongol di sini tadi.” tambahnya kian sinis.
“Arby...! Cukup...!” bentak Eza akhirnya emosi melihat Arby yang memperlakukan Rani seperti itu.
“Kok, pergi, Ran? Tadi kami nyari aku. Ada apa?” Eza berusaha mencegah Rani pergi.
“Ntar aja. Selesaikan dulu acara kalian.” kata Rani menjauh.
Eza hanya bisa menatap kepergian Rani. Ia baru berpaling dari Rani ketika Rani duduk di sebuah kursi. Eza kemudian melirik Arby dan berpaling lagi. Ia menyesal dengan sikap Arby tadi. Ketidaksukaannya membuatnya malas bicara, ia hanya mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya. Dihembuskannya nafasnya dengan berat sebagai ekspresi kekecewaannya.
“Kamu kenapa, Za?”
Eza tidak menoleh dan tidak menjawab.
“Za...!” kata Arby sambil meraih jemari Eza.
Eza menepis tangan Arby.
“Kenapa, Za?”
“Aku sangat kecewa denganmu.” jawabnya pelan.
“Sebegitukah?”
“Lebih dari itu. Aku gak nyangka kalau kamu bakal bersikap kek anak-anak gitu. Dulu aku ngenal kamu dengan baik. Bicaramu sopan dan aku bahkan selalu cemburu melihat senyummu. Gak ada bedanya antara aku dengan cewek-cewek lain. Aku ngerasa gak diistimewain dari yang lain. Tapi aku berpikir, mencintai kamu bukan berarti aku bisa ngatur hidup kamu, mengubah kepribadian kamu menjadi kepribadian yang aku suka. Bukan berarti aku membatasi kebebasanmu. Itu mustahil dan itu bukan aku orangnya.” kata Eza menatap Arby dingin. “Tapi sekarang kamu gak kek dulu lagi. Kamu berubah, Ar.”
“Za, maafin aku.” kata Arby mencoba menanggapi keseriusan Eza. Diraihnya tangan Eza.
Lagi-lagi Eza menolak tangannya digenggam Arby. Ia menarik tangannya. “Rasanya sangat sulit, Ar. Seharusnya kamu minta maaf pada Rani bukan padaku.”
“Kamu gak suka aku berbuat seperti tadi, ya?”
“Sudah jelas aku gak suka. Rani sahabat aku. Aku ngerasa, kamu gak ngargai aku di depannya.”
“Kalau gitu sama, Za. Aku juga gak pengen dia ngomong kasar ama Delito. Delito juga manusia,kan? Gak pantas dia ngelecehin Delito kek binatang di depan umum.”
Eza terdiam. “Ya, setidaknya kamu ngomong baik-baik ama dia di depan aku.”
“Trus, gimana sekarang?”
“Apanya?”
“Hubungan kita.”
“Maksud kamu?”
“Semuanya ada sama kamu, Za. Aku siap nerima apapun keputusanmu. Kalau kamu masih pengen aku ada bersamamu, aku akan tetap menjadi kekasihmu. Tapi, jika kamu pengen putus, aku juga gak bisa maksa kamu pertahanan semua ini. jujur, aku gak pengen putus ama kamu. Tapi, kalau kamu pengen itu, aku gak bisa ngapa-ngapain.”
Eza menatap Arby tidak mengerti.
“Kenapa, Za?”
“Kamu, kok, ngomong gitu? Apa kamu udah punya cewek lain hingga kamu pengen putus ama aku? Siapa, Ar? Shera? Alenta? Atau...?”
“Gak, Za. Aku gak pernah mikir pengen ganti kamu dengan siapapun. Aku emang dekat ama mereka, tapi bukan berarti aku mencintai mereka. Kamu cinta pertamaku. Aku gak bakal bisa ngelupain kamu begitu aja.” Arby meraih jemari Eza.
Kali ini Eza membiarkannya.
“Kalau kamu masih mencintaiku, tetaplah mencintaiku. Aku pikir kamu gak keliru, Za.” kata Arby lirih. “Maafkan sikapku tadi. Aku gak ngargai kamu di depan dia.”
“Bukan dia, Ar. Tapi, Rani.”
“Ya, Rani. Maharani Vitria Wiraningsih, itu kan?”
“Ya....”
“Tapi aku juga pengen dia ngomong baik-baik ama Delito. Delito emang salah, tapi dia udah nampar Delito. Aku rasa itu udah cukup. Delito bukan tembok, dia manusia kek kita yang punya perasaan. Semalam aja Delito keliatannya cemas banget ama dia.”
“Semalam?”
“Ya. Semalam Rani hampir diperkosa oleh orang yang pernah memukuli Delito. Untung aja kami ada di situ. Memang kebetulan lewat dan dengar suara teriakan. Sepertinya belum terjadi apa-apa, soalnya Rani masih berpakaian lengkap, cuman sedikit minim.”
“Okey. Aku bakal ngomong ama dia. Aku berharap kejadian semalam membuatnya berubah.” balas Eza. “Oo ya, Ar, udah tau belum, kalau cerpen Delito dimuat? Apa udah terima honornya?”
“Apa? Cerpen Delito di muat? Puisinya?”
“Kalau puisinya kayaknya gak ada.” kata Eza mengeluarkan koran dari tasnya.
“Kalau begitu, kita tanya aja ama dia. Mungkin dia lagi di perpus.” ajak Arby.
“Yuk....” balas Eza berdiri. Ia mendekati Rani dan mengajaknya ke perpus. Rani yang baru saja menikmati semangkok bakso, ikut berdiri setelah membayar. Selanjutnya mengikuti Eza dan Arby dari belakang.
Di perpus, Rani memilih tempat sendiri. Ia enggan bergabung dengan orang seperti Arby. Inilah hasil dari semua kesombongannya selama ini. selain Eza, ia tidak punya siapa-siapa lagi di kampus itu. Ia merasa hidup sendiri. Sementara Eza telah menomorduakannya.
Ia bisa saja bergabung dengan Eza. Tapi, ia merasa tidak nyaman bergabung dengan kedua cowok itu. Apalagi sampai rahasianya terbongkar. Kedua cowok itu pasti memojokkannya, terlebih Arby. Baru kali ini ia bertemu dengan cowok-cowok seperti itu. Cowok yang tidak sedikitpun menaruh hati pada kecantikannya. Di saat dia menghina cowok-cowok itu, mereka malah membalas dengan lebih sinis dan menilainya cewek gampangan. Tapi kejadian semalam terpaksa menghapus semua dendamnya dan memaafkan dengan rela pula.
Malah ia merasa berdosa telah menyuruh orang untuk memukuli Delito, karena kedua sahabat itu telah menjadi malaikat penolong baginya. Meskipun Arby mengatakan kalau kehadiran mereka hanya untuk balas dendam bukan untuk menolongnya. Tapi ia tahu sikap Delito, apalagi kekhawatiran Delito yang begitu keliatan ketika ia mengatakan kalau preman itu tidak sendiri. Terlebih bisikan Delito, benar-benar membuatnya merasa aman.
Untuk ke sekian kalinya ia sadar, bahwa kejadian semalam hampir saja ia kehilangan kehormatannya. Untunglah ada Delito. Ingin rasanya ia mengucapkan rasa terima kasihnya yang terdalam pada Delito. Tapi, rasa enggannya memaksanya tetap duduk di tempatnya. Ia juga merasa aneh dengan sikap Delito saat memandangnya. Pandangan mata itu menyiratkan sebuah keteduhan, kelembutan dan kehangatan. Tapi, ketika ia mulai memandang cowok itu, sikap cowok itu malah terkesan cuek.
Sementara Delito asyik memperhatikan koran yang disodorkan Eza. Tidak bosan ia menatap karyanya yang di muat di koran. Karyanya yang pertama, yang dipersembahkannya pada Nelita. Ia berharap Nelita membacanya. Delito menyugingkan senyum. Di benaknya terbayang honor menulis, meski tidak seberapa.
Dihempaskannya koran itu dengan senyum. “Kok, teman kamu gak diajak gabung, Za?”
Mendengar pertanyaan Delito, Rani menoleh pada Delito. Tapi sesaat berpaling lagi ketika dilihatnya Delito melirik ke arahnya.
“Gara-gara Arby.”
“Emang kenapa?”
“Ini Arby tadi....” Eza menceritakan hal yang terjadi di kantin tadi.
“Kok, kamu sampe segitunya, Ar. Gak baek gitu, lho.” kata Delito melirik pada Rani dan mendapati Rani sedang melihatnya, namun segera membuang muka. “Kamu lupain aja, semua salah aku. Rasanya dia pantas nampar aku.”
“Tuh, kan? Kamu dengar sendiri, Delito aja udah maafin. Ini malah kamu yang sewot sama dia.”
“Ya, aku tau. Tapi, gak setiap ketemu kan dia maki Delito. Atau malah Delito naksir ama Rani.”
“Kalau naksir, emang napa? Gak salah kan?”
“Arby alasan aja kali, Za. Mungkin dia yang malah naksir. Dia cemburu ama aku yang bisa nyentuh gadis cantik seantero kampus. Ha...ha....” pecah Delito.
“Sompret kamu. Dibelain malah ngeledek.” balas Arby.
“Iya, kali, To. Mungkin dia emang suka ama Rani. Apa kamu pernah dilarang naksir ama Rani?”
“Mm... pernah. Arby bilang, kalo mo nyari cewek, cari yang kek kamu. Gak sombong, baik, perhatian, etc-etc banyaklah.”
“Kalau gitu gak salah lagi, To. Pantas dia tadi nyoal-nyoal putus ama aku. Rupanya dia punya rencana lain. Dia nyomblangin kamu ke aku, trus dia ngedekati Rani. Aku sependapat ama kamu, To. Sepertinya Arby emang naksir ama Rani.”
Mendengar perkataan Eza, Rani tidak begitu tertarik. Ia lebih tertarik mendengar perkataan Delito tadi yang mengatakannya cantik. Tidak disangkanya kalau Delito juga menilainya cantik. Jantungnya berdebar mendengar perkataan itu.
“Kok, ngomong gitu, Za?”
“Eh, sorry...sorry. Aku cuman bercanda, kok. Jangan sampai hubungan kalian berantakan. Aku gak punya maksud kek gitu. Arby emang pernah ngomong gitu. Tapi, aku yakin, Za, Arby gak punya maksud ke situ, kok.” kata Delito nyesal. “Za, ajak aja gabung, deh. Kasihan kan gak ada temannya ngobrol.”
“Mana mau!”
“Kok gak mauemang di sini ada kanibal apa?”
“Tuh kanibalnya.” kata Eza menunjuk Arby dengan ujung bibirnya. “Dia emang sering kecewa ama aku. Kami udah sejak SMA sobatan, tapi sejak jalan ama Arby dia ngerasa di nomorduain.”
“Kok, gitu?”
“Ntahlah. Nurut dia emang gitu. Padahal waktu SMA kami sering jalan bareng. Di SMA dia pernah pacaran, tapi sayang dia cuman dijadiin taruhan dan dari situlah semua bermula. Dia membenci semua laki-laki, karena menurutnya laki-laki cuman menjadikannya sebagai taruhan. Di matanya semua cowok sama, datang padanya dengan cinta palsu dan dibalik semua itu ada sandiwara yang sangat menyakitkan. Sebenarnya ia enak diajak ngobrol. Hanya saja ia terlanjur membenci yang namanya cowok, hingga ia terkesan kasar.”
* * *
MALAM Minggu, Delito jalan sendiri. Ia tidak bersama Arby. Arby lagi apel ke tempat Eza. Biasanya Delito hanya di rumah kalau malam Minggu, ngerjain sesuatu yang bisa dikerjakannya. Terkadang baca-baca buku atau Al Kitab, atau hanya sekedar nongkrong di warung depan sambil main gitar. Tapi kali ini ia keluar, teman nongkrongnya mungkin lagi apel atau lagi ada acara lain. Maklum, awal bulan sering begitu karena baru dapat kiriman. Di rumah juga gak ada kerjaan, hingga ia memilih jalan, meskipun sendiri.
Dari tadi ia hanya berjalan di atas trotoar sambil bersiul-siul kecil. Ia gak tau ke mana, namun ia masih melangkah tanpa tujuan. Kadang-kadang ia berhenti dan duduk di trotoar menyaksikan pasangan muda-mudi yang lalu lalang di depannya dan kenderaan yang kian lama kian memadati jalan raya. Di jarinya terselip sebatang rokok yang dari tadi dinikmatinya. Tidak berapa lama ia bangkit dan menelusuri trotoar lagi. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan jam sembilan, ia berpikir kalau Arby belum pulang karena setiap malam Minggu paling cepat pulang jam sebelas. Ia tidak tau apa saja yang dikerjakan Arby kalau apel ke tempat Eza dan ia gak pengen tau menahu. Pernah ia bertanya dan Arby menjawab kadang cuman ngobrol, kadang jalan-jalan, kadang nonton bioskop atau makan malam.
Uang saku Arby memang selalu dicukupi orang tuanya, kadang malah berlebih. Memang pantas, Arby hanya punya satu orang saudara perempuan dan itu pun sudah menikah dan ikut suaminya ke Pekanbaru, hingga Arby jadi anak tunggal. Awalnya Arby tidak ingin kuliah dan ingin merantau ke Kalimantan. Tapi kedua orang tuanya melarang dan memintanya untuk kuliah saja dengan iming-iming uang saku yang berlebih. Hingga Arby tidak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya. Dengan terpaksa meskipun bukan karena iming-iming uang saku itu. Arby memang orang pintar dan penampilannya bisa saja. IP-nya pun cukup bagus.
Beda dengan Delito yang hanya menerima kiriman dua bulan sekali, hingga kebutuhannya sehari-hari pun kadang-kadang tak terpenuhi. Untunglah Arby mau berbagi rasa dengannya. Kadang ia kesal pada orang tuanya, tapi ia sadar dengan keadaan orang tuanya. Sudah berkali-kali ia memutuskan ingin out dari kampus. Tapi ia tidak ingin menghancurkan harapan kedua orang tuanya ditambah lagi motivasi dari Arby yang tahu betul keadaan keluarga Delito, karena pernah beberapa kali ke Dolok Sanggul.
Meski sudah begitu lama Delito tidak menerima kiriman uang saku dari orang tuanya, tapi malam ini ia lagi punya uang beberapa puluh ribu dari honornya menulis. Satu bulan sudah digelutinya dunia ini, sejak tulisan pertamanya dimuat. Minggu lalu ia menerima honor dari beberapa redaksi yang memuat tulisannya. Ia bersyukur dan berterima kasih pada Arby yang telah memotivasinya untuk mengirimkan tulisannya.
Dulu, Nelita telah menyuruhnya mengirimi naskah cerpennya, tapi Delito menolaknya, karena ia mengarang semata-mata karena Nelita, bukan untuk uang. Tapi, saat ini keyakinan itu sudah pudar, ia terpaksa mengirimi ceritanya satu persatu. Pasti atau tidak, yakin atau bimbang, sadar atau tidak, ia merasa Nelita telah jauh dari sisinya dan dalam hatinya, batangan Nelita telah memudar.
Beberapa kali telah dicobanya merenungkan hal itu, namun kenyataannya Nelita telah jauh. Telah diterimanya menerima kenyataan itu tapi ia merasa miris mengingat hal itu.
Delito terus saja menelusuri trotoar dengan pikiran-pikiran yang bersileweran tak tentu arah. “Ah, dari pada aku mikirin hal itu, mending aku ke toko buku.” katanya pada dirinya sendiri mencoba menenteramkan hatinya, dan langkahnya dipercepat setelah membuat sebuah tujuan.
“Tolong...! Hentikan..., saya mohon...!”
Delito mendengar suara seorang wanita minta tolong di seberang jalan, di areal parkir sebuah mini Market yang kelihatan agak sepi. Mendengar teriakan itu, Delito memperlambat langkahnya dan akhirnya berhenti.
Diperhatikannya arah suara itu, tidak seorang pun yang peduli dan berusaha menolong. Memang tempat itu agak sepi, dan Delito baru tersadar kalau ia sudah terlalu jauh. Lalu lintas sudah tidak seramai tadi. Sesaat ia berpikir, meskikah ia menolong orang yang minta tolong itu.
“Ah, untuk apa?” katanya bergumam sambil melangkahkan kakinya. Tapi, baru beberapa langkah, akhirnya berhenti lagi, ketika mendengar teriakan minta tolong itu terdengar lagi dan kali ini diiringi suara tangisan pilu.
Mendengar tangisan itu, Delito akhirnya berubah pikiran. Tanpa pikir panjang lagi dan tanpa memperhatikan sekelilingnya, Delito segera menyeberangi jalan dengan berlari. Derit ban mobil karena direm pengemudinya secara tiba-tiba mengejutkan Delito. Untung saja ia melompat dengan cepat ke depan, hingga ia tidak jadi tertabrak. Ia segera bangkit tanpa peduli luka terkelupas di sikunya dan makian sopir itu, ia terus saja berlari memasuki pelataran parkir. Suara tangis itu semakin jelas di telinganya, meskipun suara tangis itu semakin kecil. Meskipun suara tangis itu semakin kecil, tapi cukup bagi Delito untuk menjadi petunjuk di mana wanita itu berada.
Setelah begitu dekat, dilihatnya seorang laki-laki sedang berusaha memperkosa seorang wanita yang meronta-ronta sambil menendang-nendang paha laki-laki yang berusaha memperkosanya. Tapi tendangan itu tidak berarti apa-apa bagi laki-laki yang bertubuh besar sepertinya. Laki-laki itu malah kian beringas karenanya.
Melihat hal itu, darah Delito mendidih. Dipungutnya sebuah batu yang ada di rumpun bunga bonsai yang tumbuh di tepi pagar. Batu yang dipungutnya digenggamnya dengan erat.
Tubuh laki-laki yang berusaha memperkosa wanita yang ada di jok depan mobil itu ditariknya dengan kuat, hingga terhempas ke mobil yang ada di belakangnya. Tinjunya segera dilesatkan ke wajah laki-laki yang ternyata pernah memukulinya. Tinjunya kembali disarangkan di bagian ulu ati laki-laki itu.
Melihat hal itu, laki-laki yang ada di dalam mobil segera keluar dan berusaha membela temannya yang dipukuli Delito.
Perkelahian pun tidak bisa dihindarkan. Beberapa pukulan pun bersarang di wajah dan perut Delito. Delito merasa kewalahan menghadapi lawannya. Tapi kemarahannya, membuatnya tak peduli dan dengan beberapa pukulan balasan Delito yang mengenai tempat-tempat tertentu membuat lawannya tersungkur dan tidak kuat untuk bangkit lagi.
Delito terdorong beberapa langkah ke depan karena sebuah tendangan mengenai punggungnya. Perkelahian kembali terjadi dan kali ini jelas tidak seimbang, karena tubuh lawannya lebih besar dan ia juga telah lelah.
Berkali-kali Delito tersungkur dengan pukulan lawannya, dari bibirnya mengicur darah. Meski tidak merasa bertenaga lagi. Delito masih mencoba memberi perlawanan dan satu pukulannya mengenai selangkangan lawannya.
Meski pukulannya ringan, tapi karena yang menjadi sasaran adalah alat kelamin, laki-laki itu akhirnya tersungkur juga. Kesempatan itu tidak disia-siakan Delito. Batu yang tadi terlepas dari genggamannya kembali diraihnya. Didekatinya laki-laki yang mengerang kesakitan sambil memegangi alat kelaminnya.
Sebuah tinju segera dilayangkannya ke wajah laki-laki itu dan akhirnya tertelentang di lantai areal parkir. Tanpa menunggu lawannya memberi perlawanan, segera Delito memukuli dengan beruntun.
“Siapa nama kamu?” tanya Delito dengan nafas tak karuan karena letih.
“Ah...,A...a..., Arion!”
“Orang mana?”
“Si...Si...Siantar!”
“Orang Batak?”
“I...i...ya...!”
“Sekali lagi kamu melakukannya, aku kasih tau sama Bang Torang, biar kamu dicincang sama dia. Bikin malu orang Batak kamu.”
“Jangan...! Jangan kasih tau Bang Torang. Aku janji tidak akan melakukannya lagi.” katanya ketakutan mendengar nama Bang Torang.
“Awas kalau coba-coba!” ancam Delito.
Delito akhirnya melepaskan cengkeramannya yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Tapi, lawannya sudah tidak berdaya. Laki-laki itu akhirnya bangkit dengan bantuan temannya dan pergi setelah Delito menyuruhnya.
Dengan langkah terseok-seok, Delito mendekati mobil yang berwarna hitam itu sambil memegangi bibirnya yang berdarah. Betapa kagetnya Delito melihat Rani yang menangis sambil memeluk kedua lututnya. Pakaiannya sudah berantakan, apalagi Rani memakai pakaian yang agak terbuka, hingga membuat banyak orang yang tertarik padanya.
“Rani...!” katanya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tidak sedikit pun ia mengira kalau wanita yang coba diperkosa itu adalah Rani. Ini kali kedua setelah sebulan yang lalu Rani mengalami hal yang sama oleh orang yang sama. Delito semakin tak menduga kalau itu adalah Rani, karena Rani bisa dikenali dengan Mercedes Merah Murunnya, sedangkan kali ini hanya Kijang Capsul Hitam.
Mendengar suara yang dikenalnya, Rani segera mengangkat wajahnya. “Delito...!” pekiknya menghambur ke pelukan Delito. Tubuh Delito yang masih letih hampir saja jatuh terdorong, untung ia masih sempat meraih pintu mobil. Rani memecah tangisnya di sana. Sementara Delito tak atau harus berbuat apa.
“Heh, udah dong nangisnya.”
Rani tak peduli dengan perkataan Delito. Ia malah memperkeras tangisnya dalam dekapan Delito. Rani merasa ketakutan. Delito yang mengerti keadaan Rani, akhirnya membiarkan Rani menangis dalam pelukannya. Ia tau, Rani sedang shock, karena dua kali di coba diperkosa.
Delito akhirnya memberanikan diri untuk melingkarkan tangannya dan memeluk Rani. Ia tau, hal itulah yang diinginkan Rani saat itu. Rani ingin ketenangan dan perlindungan. Tangan kanannya mengelus-elus rambut Rani dan merapikannya. Sedang tangan kirinya mendekap erat tubuh Rani.
Tangis Rani akhirnya reda setelah Delito mempererat dekapannya. Delito menuntunnya duduk di jok mobil, dengan sungkan, Delito merapikan pakaian Rani. Rani tidak menolak, ia hanya menatap Delito dengan perasaan yang tidak menentu. Delito melepas jaketnya dan membalutkan pada tubuh Rani.
“Udah, kamu nggak usah nangis lagi. Kamu aman ama aku. Sekarang tenangin diri kamu. Kamu gak kenapa-napa, kan?” tanya Delito sambil memegangi bibirnya yang mulai terasa perih.
Rani hanya mengangguk. Delito menyodorkan sapu tangannya yang bersulam nama Nelita. Sapu tangan itu pemberian Nelita saat mereka berpisah. Delito tidak pernah membuka lipatan sapu tangan itu, hingga yang ia tau, sapu tangan itu hanya bersulamkan nama Nelita. Tapi saat Rani membuka lipatan itu, di situ juga tersulam namanya dan sebuah lipatan kertas lepas dari dalamnya. Lipatan kertas itu segera dipungutnya dan segera dibacanya.
.......................................................................................................................................................Ito ikkon marsirang do hape hita sadarion, alai unang dilupahon ho au na adong di hangoluanmi. Sai hu ingot do ho saleleng au mangolu, songoni muse, sai ingot ma au da hasian. Holan ho do na adong di rohangki, holan ho do na hu haholongi di bugasan ngolu-ngolu ki. Anggiat pe padao-dao hita padua, Ingot ma, To, anggiat pe marsirang hita, dang hu parbadai ho sian rohangki. Paima ma au di harorongki.
Haholongan na mangholongi ho
Nelita Fransisca Pasaribu..................[2])
.......................................................................................................................................................
Delito tertegun setelah membaca surat itu, ia tidak menyangka kalau Nelita sangat mencintainya dengan tulus. Ia tertunduk lesu. Ada seberkas penyesalan menelusup menjadi sebuah kekecewaan, kekecewaan pada dirinya sendiri. Kenapa ia tak pernah tau semua itu. Kenapa setelah sekian lama ia baru tau, kalau Nelita begitu mencintainya melebihi cintanya pada Nelita.
“Kenapa, To?” tanya Rani.
Mendengar pertanyaan Rani, Delito tersadar dari lamunannya.
“Ah... eh... anu, gak papa, kok.” balas Delito tergagap. Dilipatnya kertas itu dan dimasukkannya ke dalam saku celananya.
“Apa tulisan kertas itu?”
“Oh, cuman surat berbahasa Batak dari teman aku. Telah sekian lama dalam lipatan sapu tangan itu, tapi baru kali ini aku tau.”
“Dari pacar kamu, ya?”
“Ya, gitulah. Tapi hubungan kami gak pernah terungkap secara lisan, tapi perasaan kami saling terpaut. Ada sebuah rasa yang menyatu di antara kami dan kami menyebutnya cinta.”
“Oo...!” balasnya melongo sambil mengangguk. “Tapi, pasti kalian begitu dekat.” selidik Rani lebih jauh.
“Kami memang begitu dekat, bahkan begitu dekat. Hampir ke mana saja kami selalu bersama. Ke sekolah, ke ladang, ke kaki gunung di tepi jurang, bahkan ke Gereja kami pun selalu bersama-sama, kecuali mandi dan tidur.” cerita Delito terus terang.
“Ke Gereja?” tanya Rani heran.
“Ya. Ke Gereja. Emang kenapa?” tanya Delito sedikit tersinggung.
“Oh, gak papa, kok. Cuman aku kira kamu Muslim.” balas Rani mendengar suara Delito yang tersinggung.
“Kalau bukan Muslim, emang kenapa? Gak suka, ya?”
“Kok, nanya gitu? Kan banyak orang yang beragama Kristen.” balas Rani merasa bersalah. “Sapu tangan kamu!” kata Rani lagi sambil menyodorkannya pada Delito. Delito menerimanya. Dipandanginya sulaman pada sapu tangan itu, ditengah-tengah tulisan itu ada tulisan Haholongan na hu haholongi di bugasan hangoluan hu.[3]).
“To, kamu mau ke mana tadi?” tanya Rani setelah sekian lama membisu memandangi tingkah Delito. Berkali-kali ia membaca sulaman yang ada pada sapu tangan itu. Hanya tulisan Delito yang mampu diterjemahkannya, sedangkan tulisan Nelita ia tidak mengerti apa maksudnya. Apakah itu nama orang atau hanya sebuah kiasan. Terlebih tulisan Haholongan na hu haholongi di bugasan hangoluan hu, membacanya saja ia tak mau fasih, apalagi menerjemahkannya. Namun, untuk menanyakannya ia enggan. Hingga, hanya pertanyaan tadi yang keluar.
“Rencana tadi mau ke toko buku, habis gak ada kerjaan. Tapi aku mendengar suara jeritan di sini. Awalnya aku udah gak peduli melihat gak seorang pun yang peduli. Ketika aku mau melangkah, aku dengar lagi suara jeritan itu diiringi suara jerit tangis memohon belas kasihan. Tanpa pikir panjang, aku lari nyebrang, hampir saja aku tertabrak, untung masih sempat melompat dan siku aku terkelupas meski udah pake jaket. Sopir itu sempat memaki, tapi aku pikir ada yang lebih penting untuk dilakukan dari sekedar mendengar makian sopir itu, hingga akhirnya aku nyampe di sini. Untung belum telat.”
Rani hanya mengangguk. Diraihnya tisu yang ada di sebelah kiri setir dan didekatinya Delito. Dibersihkannya luka Delito dengan perlahan dan hati-hati, mencoba menampakkan siapa ia sebenarnya, yang sebenarnya ia gadis yang lembut dan pengasih.
“Aku gak tau mesti ngucapin apa sama kamu. Dua kali kamu nyelamatin aku.” katanya sambil membersihkan wajah Delito.
“Gak usah dipikiri. Sesama manusia harus saling menolong. Itu sebagai tanda kita punya rasa sosial.”
“Kamu benar. Tapi jika aku ingat gimana perlakuan aku ke kamu waktu pertama sekali, aku sungguh merasa malu.”
“Sudahlah. Aku juga salah, kan?”
“Tapi....”
“Au...!” pekik Delito ketika merasa lukanya terasa sakit.
“Ah..., eh..., maaf..., maaf..., aku gak sengaja.” kata Rani tidak karuan karena gugup oleh pekik Delito.
“Gak papa.” balas Delito senyum dalam hati melihat kegugupan Rani.
“Sekarang mau ke mana?” tanya Rani sambil kembali meraih tisu dan membersihkan luka Delito yang lain.
Delito melihat jam tangannya. Pukul 22.25.
“Sepertinya pulang saja, takut kesiangan dan telat ke Gereja.”
“Emang ke Gereja-nya jam berapa?”
“Sebelas!”
“Bisa kita ngobrol sebentar? Palingan sampai jam sebelas. Ntar aku antar pulang.”
“Soal apa?”
“Sesuatu.”
“Boleh!”
“Tapi, kayaknya jangan di sini, gak enak.”
“Maunya ke mana?”
“Gimana kalau sambil makan?”
“Mm...!” balas Delito ragu, karena ia hanya punya uang beberapa puluh ribu saja, sedang ia ikut Rani yang biasanya makan makanan mahal.
“Ya, udah. Kamu masuk lewat situ.” kata Rani melihat kebimbangan Delito. Jaket Delito yang membalut tubuhnya dirapikan dan ia pun menyalakan mobil.
Mobil segera keluar dari areal parkir dan melaju di jalan beraspal menuju sebuah tempat yang tidak diketahui Delito.
“Kamu kok bisa di teror orang tadi? Emang ada perselisihan? Sampai kamu yang biasa dikenal dengan mercedes merah murun itu masih bisa dilacak mereka ketika kamu pake mobil ini. sepertinya mereka sedang mengintai kamu. Baru sebulan yang lalu mereka berusaha melakukan hal yang sama.” Delito memecah kebisuan antara mereka.
“Inilah yang pengen aku omongi nama kamu. Tapi, kayaknya nanti aja, biar kamu ngerti semua, biar semua jelas.” balas Rani.
Delito diam menuruti kata-kata Rani, meskipun ia tak mengerti ke arah mana pembicaraan Rani. Biar semua jelas..., jelas apanya? Kata Delito dalam hatinya, tapi ia tetap diam.
Sampai di tempat yang dimaksud Rani, Delito mengiukuti Rani keluar dan terus ke dalam sebuah restoran yang lumayan elit. Keduanya terus berjalan sampai ke belakang dan ternyata di tepi laut yang di dam. Keduanya segera menuju tempat kosong. Setelah mereka duduk, Rani menyalakan sebuah korek gas sambil mengangkat ke atas. Seorang pelayan datang menghampiri mereka.
“Pesan apa Mas, Mbak?” tanya pelayan itu ramah.
“Pesan biasa aja, Mas.” jawab Rani. “Kamu pesan apa, To.”
“Terserah kamu aja.” jawab Delito yang tidak tau harus memesan apa.
“Ya, udah kalo gitu, Mas, pesan yang biasa dua porsi, minumannya sama. Tambah teh kosong yang angat segelas.”
Pelayan itu menangguk dan segera pergi.
“Kamu sering ke sini, ya?”
“Ya...!” balas Rani mengangguk sambil senyum.
“Oh, ya, mau ngomongin apa tadi?”
“Mm..., tapi kamu gak marahkan kalau aku cerita apa adanya?”
“Kenapa mesti marah? Kalau itu memang apa adanya Katakanlah sejujurnya walau pun pahit, itu kan kata orang bijak?”
“Ya. Tapi sebelumnya aku pengen minta maaf banget ama kamu dan ngucapin ma kasih banget ama pertolongan kamu.”
“Kalau ucapan terima kasih aku terima, meskipun aku gak gitu mengharapkannya. Aku juga senang bisa bantu orang lain. Apalagi cewek cantik kek kamu.”
Jantung Rani berdetak kencang mendengar kata-kata delito yang mengatakan padanya langsung kalau ia cantik. Kata-kata yang ditunggunya akhirnya keluar juga dari mulut Delito.
“Lagian aku datang bukan spesial mo nolongin kamu. Ya, cuman panggilan naluriah semata.”
“Jadi...?”
“Ya, aku kan gak tau kalau itu kamu. Yang aku tau seseorang sedang butuh pertolongan aku.”
“Kalau tau aku?”
“Pertanyaan bodoh!” kata Delito sambil senyum.
“Kenapa?”
“Aku bukan orang kolot, bukan pendendam. Jadi, ya, tetap tolong. Kalau soal maaf, lebih baik dilupai saja.”
“Ya. Tapi, ada sesuatu yang lebih serius di balik itu semua.”
“Maksud kamu?”
“Masalah di tempat parkir tadi. Orang-orang kurang ajar itu.”
“Oh..., maafi teman aku tadi!”
“Dia teman kamu?” tanya Rani heran.
“Secara tidak langsung. Aku orang Batak, mereka juga. Sesama orang Batak mempunyai ikatan lain yang tidak kalah eratnya dari sekedar ikatan batin dan darah, yakni marga. Siapa tau dia semarga dengan aku. Kalau semarga, berarti dia saudara aku layaknya saudara kandung.”
“Oo...!” kata Rani melongo dan mengangguk. Padahal ia tidak mengerti. “Tapi sebenarnya bukan soal itu, sesuatu di balik ini semua. Kamukan pernah dipukuli oleh mereka sampai babak belur?”
“Kok tau?”
“Karena akulah yang nyuruh mereka dan bayar mereka untuk mukuli kamu.”
“Apa...?!?”
Rani tidak menjawab. Ia melihat pelayan tadi telah datang membawa pesanan. Pelayan itu meletakkan pesanan itu di atas meja.
Rani menggeser tempat duduknya ke dekat Delito. Air hangat itu diraihnya dan dikeluarkannya sapu tangannya. Sapu tangan itu dibasahkan ke dalam gelas itu dan dibersihkannya luka di wajah Delito.
“Iya, To. Akulah yang membayar mereka untuk mukuli kamu. Tapi, tiba-tiba mereka malah neror aku. Dulu aku pikir, dengan harta yang dimiliki orang tua aku, aku bisa selesaikan semua dengan uang. Ternyata nggak. Malah uang itu membuat aku diteror. Bahkan bukan hanya uang yang mereka ingini, tapi aku juga. Sekarang aku nyadar, gak semua orang bisa dirayu pake uang.” kata Rani sambil membersihkan uang.
Delito membiarkannya, ia menatap Rani dengan hati berdebar.
“Syukurlah! Kamu udah nyadari semua itu. Tapi kamu gak usah takut, aku jamin kamu gak diteror lagi. Mereka pasti takut ama Bang Torang yang terkenal bengis, tapi baik. Dia emang preman, tapi soal toleransi dia patut dikasih jempol. Siapa saja yang berani mencoreng nama baik orang Batak, dia akan hajar itu. Terlebih orang Batak itu sendiri yang mencorengnya.”
“Jadi kamu...?” tanya Rani menatap Delito.
“Udah, lupain aja.”
“Ma kasih, ya, To. Aku jadi malu ama kamu.”
“Kok, malu?”
“Gimana gak malu, coba? Aku nyuruh preman mukuli kamu. Giliran aku yang diteror, kamu yang nolong aku, kamu yang melindungi aku.”
“Udah, lupain aja.” balas Delito sambil memegang tangan Rani dengan lembut. Ditariknya tangan Rani yang dari tadi membersihkan lukanya. Sebuah senyum disugingkannya pada Rani.
“Makan, yuk!”
Delito mengikuti ajakan Rani. Selesai makan, mereka pergi dari situ. Rani membayar semua pesanannya. Meski ditolak, Rani tetap ingin mengantar Delito ke tempat kost sebagai ucapan terima kasih dan permohonan maafnya pada Delito. Delitopun tak mampu menolaknya lagi.
Sejak saat itu, mereka mulai akrab, sering ngobrol di perpus. Kalau mereka berdua sangat akrab, tapi di depan Arby dan Eza mereka biasa aja. Sikap Rani berubah drastis. Gadis yang selama ini sombong dan tinggi hati kini berubah jadi gadis ramah, sopan, ceria dan perhatiannya dicurahkan pada Delito.
Delito menyadari, kehadiran Rani telah mengikis bayangan Nelita dalam angannya. Ia belum tau, apakah ia bisa menjadikan Rani sebagai pengganti Nelita. Ia juga masih ragu, bisakah Rani seperti Nelita yang mau mengerti segala keadaannya yang apa adanya. Bisakah Rani menerima, andai ia bercerita siapa ia sebenarnya, hanya anak petani sayur dan miskin.
Akhirnya Delito mengungkapkan perasaannya dengan ragu dan bimbang sambil menggenggam jemari Rani.
“Ran, aku tau, mestinya aku tau diri siapa aku, tapi aku gak tau apa arti semua ini. aku takut mencintai kamu. Tapi, aku lebih gak berani ngelupain kamu.” kata Delito ragu.
“To, kenapa mesti takut? Aku yang seharusnya takut jika cintaku bertepuk sebelah tangan. Kehadiranmu merobah segalanya dalam hidupku dan aku senang itu. To, aku udah ngerasain hal ini sejak pertama, sejak kamu nyentuh pipi aku dengan lembut dan di situ aku tau, kalau orang yang selama ini aku butuhi untuk ngisi jiwa aku yang kosong, kering dan bagai gak berpenghuni ini adalah kamu. Hatiku miris bila ingat kamu udah punya pacar. Bila ingat sikap aku ketika pertama kali kita ketemu, udah ada kesan ketidakcocokan. Aku juga ingat gimana sikap aku ama semua orang, yang mungkin tidak kamu sukai. Hingga sebuah keputusan pun aku ambil dengan seketika. Berubah. Ya, berubah.... Berubah mungkin jalan satu-satunya agar kamu bisa merhatiin aku. Ketika bertemu kamu ada sesuatu yang berubah jadi sempurna. Aku gak tau sampai kapan aku mesti nunggu saat itu. Aku hanya pengen berubah, entah dengan alasan apa, sentuhanmu atau cinta. Mungkin cinta yang telah mengubahku lewat sentuhanmu yang lembut.” ungkap Rani dengan terus terang.
“Tanganku kasar, Ran.” seloroh Delito.
“Aku gak sedang bercanda, To. Aku gak nyangka, kalau hari ini akhirnya aku ngedengar ucapan cinta darimu. Hari ini akhir dari semua penantianku dan jawaban dari semua usahaku untuk berubah. Wajahmu memalingkan duniaku. Tapi, aku punya syarat atas pernyataan cinta kamu, To.”
“Apa itu, Ran?”
“Nggak perlu cemas, To! Aku cuman pengen kamu bisa ngeyakinin diri kamu, hidup kamu, dan cinta kamu untuk benar-benar mencintai aku meski dengan keadaan keluarga kamu. Buat aku semua itu gak bakal jadi penghalang. Itu gak mesti kamu ragukan, buat aku itu sebuah yang cukup membanggakan. Bisa jugakah kamu melewati semua cobaan yang bakal menghalangi cinta kita. Bisa jugakah kamu membenciku, menghinaku atau menamparku ketika kamu dengar kau menghina orang lain lagi.”
“Yang pertama dan kedua, aku sanggupi, tapi yang ketiga kenapa mesti....”
“To...!” potong Rani. “...aku pengen berubah, aku pengen ada seseorang yang mau bantu aku, dan aku pengen seseorang itu adalah kamu, karena setelah kehadiran kamulah keinginan untuk berubah itu ada. Aku harap kamu mau, To.” kata Rani sambil menggenggam tangan Delito dengan erat. Ia mencoba meyakinkan Delito yang masih ragu.
“Ran...,” kata Delito membvalas genggaman tangan Rani. “... kalau kamu emang pengen berubah, percayalah..., kamu pasti bisa. Aku siap bantu kamu, tapi jangan dengan terpaksa. Aku gak pengen nampar kamu, karena aku sayang ama kamu. Tapi, satu hal, hanya cinta yang aku punya, bila ada yang kamu pinta, aku bukan peri yang turun dari langit yang bisa mengabulkan semua keinginan kamu.”
“Ma kasih, To. Aku gak minta apa-apa dari kamu, selain cinta, karena itu yang sangat aku butuhkan.” balas Rani dengan penuh keyakinannya. “Aku terima cinta kamu dan aku mau jadi pacar kamu, To.” kata Rani bergelayut manja di bahu Delito. Rani merasa telah menemukan kebahagiaannya dalam cinta.
***
[1] Opat: Empat
[2] Ito ikkon marsirang do hape hita sadarion, alai unang dilupahon ho au na adong di hangoluanmi. Sai hu ingot do ho saleleng au mangolu, songoni muse, sai ingot ma au da hasian. Holan ho do na adong di rohangki, holan ho do na hu haholongi di bugasan ngolu-ngolu ki. Anggiat pe padao-dao hita padua, Ingot ma, To, anggiat pe marsirang hita, dang hu parbadai ho sian rohangki. Paima ma au di harorongki.. Haholongan na mangholongi ho. (Nelita Fransisca Pasaribu): Kasih, harus berpisah rupanya kita hari ini, tapi jangan lupakan aku yang ada dalam hidupmu. Akan ku ingat kau selama hidupku, begitupun, ingatlah selalu padaku kasih. Hanya kamu yang ada dalam hatiku, hanya kamu yang kusayangi di dalam hidupku. Walaupun kita berjauhan, ingatlah, To, walaupun kita berpisah, aku tak membuangmu dari hatiku. Tunggulah kehadiranku. Kekasih yang mengasihimu. (Nelita Fransisca Pasaribu).
[3] Haholongan na hu haholongi di bugasan hangoluan hu: Kekasih yang ku kasihi di dalam hidupku.
Komentar
Tulis komentar baru