Skip to Content

KETAJAMAN INTUISI HUDAN HIDAYAT

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

KETAJAMAN INTUISI HUDAN HIDAYAT Hudan Hidayat

(sebuah catatan kecil atas Kata Pengantar

 

 

AWAL

 

Dua Kisah Laut

 

Puisi pertama Hakimi - ia membahasakan dirinya: "Kakek", "Buih Pada Gelombang", mengantar saya pada puisi Perenang Buta di buku puisi Jantung Lebah Ratu. Analisa adalah adalah soal kedua, kata Ignas Kleden, sebab pada mulanya bagaimana si puisi ini memikat hati. Jassin punya jawaban menarik di soal ini, bahwa ia bekerja dengan hatinya saat membaca puisi. Apakah mungkin andai si puisi tidak punya hati persinggungan seperti ini bisa terjadi? Dengan lain perkataan membaca Hakimi seolah kita membaca Nirwan, karena bukan analisa yang kita dahulukan tapi sesaat bahasa itu sampai: mereka sampai dengan menarik, sebelum kelak kita memikirkan artinya. Siapakah Hakimi? Pergaulan di Sastra Maya membawa kita kepadanya, ke permainan menarik dari suatu tingkatan-tingkatan benda-benda laut yaitu "buih" dan "gelombang", seperti pada Perenang Buta, tingkatan-tingkatan di mana benda-benda laut memperlihatkan dirinya.

Dunia fatal yang dibangun oleh Nirwan Dewanto di Perenang Buta, sebuah puisi yang mengawali buku Nirwan - Jantung Lebah Ratu. Tak ada yang fatal di Buih dan Gelombang kecuali kenangan, ingatannya dan ingatan ini bolehlah kita kembalikan ke nama buku ini - Menghitung Rindu. Bagaimana aku akan menghitung wajahmu, mungkin, dalam hati Hakimi, pikiran yang mendadak tiba-tiba saja andai "rindu" ini adalah si kamu, si dia-perempuan, dalam bayangan saya dan diri mulai terlibat dalam persoalan jenis kelamin si penyair. Sambil berpikir: apa jadinya kalau Hakimi menaikkan rindu ini bukan si dia tapi Allah, Tuhannya. Bisa saja, bukan? Sebab puisi itu adalah dunia tanda, dan tanda ini yang harus kita simak dari isi buku puisi.

Dua alinea di atas adalah cuplikan dari Kata Pengantar Prof Hudan Hidayat Gozali dalam buku kumpulan puisi

Hakimi Sarlan Rasyid

yang diberi label Menghitung Rindu,

Ada 2 puisi yang menjadi perhatian Hudan Hidayat, Saya akan menulis komentar atas komentar Hudan Hidayat tentang Buih Pada Gelombang lebih dahulu :

311 BUIH PADA GELOMBANG

buih adalah buih

dan gelombang adalah gelombang

dua-duanya menjadi kisah laut

sedih adalah sedih

dan senang adalah senang

dua-duanya adalah dua yang bertaut

menarilah buih cantik

jangan berbalik

menarilah gelombang senja

melukis pada kanvas jiwa dengan kuas cinta

meski lukisannya hanya akan menjadi bunga

dan bunganya hanya menjadi kenangan saja

jangan pernah bosan membaca kisahnya

dan biarlah rahasia tetap menjadi rahasia

 

 

Kotabaru_Karawang_140720170105

 

 

(2)

KETAJAMAN INTUISI HUDAN HIDAYAT  

(sebuah catatan kecil atas Kata Pengantar)

 

“Tak ada yang fatal di Buih dan Gelombang kecuali kenangan, ingatannya dan ingatan ini bolehlah kita kembalikan ke nama buku ini - Menghitung Rindu. Bagaimana aku akan menghitung wajahmu, mungkin, dalam hati Hakimi, pikiran yang mendadak tiba-tiba saja andai "rindu" ini adalah si kamu, si dia-perempuan, dalam bayangan saya dan diri mulai terlibat dalam persoalan jenis kelamin si penyair.”(HH)

 

Disini saya menangkap ketajaman intuisi Hudan Hidayat. Ketajaman intuisi yang saya maksud adalah “kejelian yang mendalam”. Dari banyak tulisannya saya bisa menangkap kesan religiusitas HH. Untuk seseorang kental sisi religiusitasnya adalah berat untuk menaruh sangka buruk terhadap orang lain. Namun untuk sebuah profesionalitas HH mengesampingkan –dengan kalimat lain HH menaruh titik imbang atau mensejajarkan “sangka baik”nya dengan “sangka buruk”. Sangka baiknya adalah Hakimi sungguh rindu “wajahNYA”, sedangkan sangka buruknya adalah HSR rindu “wajahnya”.

 

Sisi kemanusiaan HSR diperhitungkan oleh HH. Inilah yang saya maksud dengan “kejelian yang mendalam”.

HH memandang bukan tidak mungkin HSR bermain dengan “nya”, bukan dengan “NYA” – khususnya dalam Buih Pada Gelombang.

 

Saya akan salin 2 bait terakhir Buih Pada Gelombang –puisi saya yang ke 311 :

 

menarilah buih cantik

jangan berbalik

menarilah gelombang senja

melukis pada kanvas jiwa dengan kuas cinta

meski lukisannya hanya akan menjadi bunga

dan bunganya hanya menjadi kenangan saja

jangan pernah bosan membaca kisahnya

dan biarlah rahasia tetap menjadi rahasia

 

 

Mari kita buat pertanyaan pendek atas kalimat-kalimat pada puisi di atas :

*mengapa harus ada kata “cantik” mengikuti kata buih,

*mengapa harus ada kata “senja” mengikuti kata gelombang,

*mengapa lukisannya hanya akan menjadi bunga,

*kepada siapa pesan pada baris terakhir disampaikan.

Pada akhirnya apresiator mempunyai analisa masing-masing kemana gerangan angin bertiup bersama imajinasi sendiri-sendiri.

 

Puisi kedua yang tampaknya HH harus mengernyitkan kening untuk menyelaminya : APA LAGI,YA?

 

 

221 APA LAGI, YA

Lewat apa lagi aku bisa bercerita tentang rindu dan cinta

Tangkai kelopak tajuk benangsari dan putik telah kupetik

Langit bumi tanah air sungai daratan danau dan samudra

Hingga cerah bersinar mendung hujan lebat dan rintik-rintik

Apa lagi, ya

Api asap panas dahaga bebatuan padang pasir jadi ilham

Sinar mata lentik alis sungging senyum tersipu malu

Dini hari pagi siang tengah hari sore dan malam

Wajah dada pinggang pinggul paha betis telapak dan kuku

Apa lagi, ya

Detak jantung tulang sumsum desir darah otot kekar

Sayu sipit pejam melotot wajah indah muka sangar

Rambut panjang pendek keriting ikal dada kecil dada besar

Sunyi bukit riak air gelap gua kabut embun ramai pasar

Apa lagi, ya

Tunda dulu ah aku tunda puisiku di pilar jembatan saja

Barangkali saja hantu tuyul kuntilanak ikut membaca

Setelah itu datang berbondong-bondong mengetuk pintu

Dengan suara sengau berkata “jadikan kami ilhammu”

 

 

Kotabaru_Karawang_270720161153

 

(3) KETAJAMAN INTUISI HUDAN HIDAYAT

(sebuah catatan kecil atas Kata Pengantar)

 

Apa kata HH tentang puisi ini?

Oh alangkah malang nasibku ini. Hakimi tak bisa berbicara begitu dengan saya karena sejak awal kita telah memiuhkan "menghitung rindu" ke, "menghitung hakimi".

 

Ada rahasia yang dibina penyair - penyair ini menggemari misteri dan misteri salah satu rahasia terbesar puisi. Apa boleh buat Langit datang lagi: dari suatu tempatnya yang sangat misteri(us) Ia mengirimkan kita berpucuk-surat surat dari kanan dan surat dari kiri,. Kita penyair cukup berpuasa diri: merakit alam seperti gerak jemari Hakimi:

 

Lewat apa lagi aku bisa bercerita tentang rindu dan cinta

Tangkai kelopak tajuk benangsari dan putik telah kupetik

Langit bumi tanah air sungai daratan danau dan samudra

Hingga cerah bersinar mendung hujan lebat dan rintik-rintik

Kata Hakimi:

"Lewat apa lagi aku bisa bercerita tentang rindu dan cinta".

 

Itulah bagian yang tersuratnya dengan yang tersirat menempuh tingkatan-tingkatan, bahwa di yang tersurat itu, halus atau kasar sebagai bentuk, ada yang tersirat karena setiap kata pun, kata yang berdiri sendirian, ada arti serta maknanya - tersirat di tersuratnya kata "cinta" serta kata "rindu". Puisi dimulai saat kata terseleksi dan terkombinasi.

 

Tersirat karena dua keadaan ini selalu "menuntut" objek sasarannya, tapi di Apa Lagi, Ya, objek sasaran itu tak ada. Ia disebut "kuplet" karena kelompok pikiran, sehingga "Lewat apa lagi aku bisa bercerita tentang rindu dan cinta" mesti terhubung ke setiap benda-benda alam yang disebut penyair.

 

Puisi memasuki lapisannya, atau yang tersurat mulai menempuh tingkatan-tingkatan nasibnya tersurat sebagai baris puisi, menyiratkan perhubungan antara setiap alam yang disebut oleh Hakimi. "Tangkai kelopak tajuk benangsari dan putik telah kupetik", sebagai anasir dari puisi sebagai unsur, serta puisi sebagai dunia yang utuh, tak bisa melepaskan diri dari subjek di muka, subjek kedua ini.

 

Jadi ia bertali dengan subjek pertama, yaitu baris Hakimi yang memperlihatkan si aku, perasaan hatinya - si lirik. "Lewat apa lagi aku bisa bercerita tentang rindu dan cinta". dan kita masuk mencobakan makna yang tersirat, di sini, di perhubungan keadaan hati si aku dan keadaan alam yang ia lukiskan. Pada saat yang sama baris puisi nasibnya sendirian, merdeka dan mandiri, berkepak-kepak sebagai burung kata di bahasa - memamerkan bulu-bulunya yang indah. Artinya pembacaan bisa mengisolasikannya, untuk sementara sebelum ia diburaikan lagi ke keseluruhannya.

 

Saat bergerak seperti ini kita membaca betapa kata diberi pegas oleh hakimi, sehingga kuasa saling menekan, ke muka atau ke belakang. Efek yang ditimbulkannya adalah tenaga bahasa - daya baris-baris puisi Hakimi.

 

Kalau kita mencobakan makna yang tersirat dari baris awal maka tampak si penyair mengucapkan cinta dan rindunya kepada alam, kepada keadaan hidup yang ia ideal-idealkan, menjadi tanda bagi peristiwa nyata apa saja, sehingga letak si "Tangkai kelopak tajuk benangsari dan putik telah kupetik", bukan lagi sebagaimana maknanya yang tersurat tapi tersirat: dunia harapan, tapi harapan ini berupa tanda, untuk melayani cinta dan rindu si aku. Dunia wangi, tapi dunia cikal bakal kehidupan tumbuh, itulah dunia "bunga" yang menjadi simpulan tanda ucapan si aku.

 

. Dengan satu "kata" saja Hakimi mengikatnya, karena keberhasilan kata yang menjadi diksi ucapannya - apa lagi, ya, seolah-olah terbayang di depan mata kita akan seseorang yang telah mengalami banyak kejadian, peristiwa, tetapi dunia masih saja meluputkan diri darinya, sehingga si kita seakan tertegun, setelah menghitung-hitung.

 

Ia bertanya-tanya tentang kemungkinan yang terlupa, lewat apa lagi, ya, itu. Jadi dunia tak dirutuki dengan sumpah serapah, tapi diayun dengan lemah lembut lewat pertanyaan, yang bukan saja mengundang simpati tapi empati karena kita juga ikut memikirkannya. Iya ya, apa lagi ya yang masih ada dan belum sempat kita pikirkan.

 

 

Demikian HH untuk puisi Apa Lagi, Ya? Perlu saya terangkan bahwa komentar HH atas puisi ini merupakan cuplikan yang putus-putus. Tidak seperti aslinya. Banyak kalimat yang saya lepas. Jadi bisa terjadi ada kesenjangan antara kalimat yang satu dengan yang lainnya.

 

Pada komentarnya ini tampak oleh saya bahwa HH sosok yang paham “tanda” atau “tanda-tanda”. Barangkali salah satu sumber yang dipakai HH untuk memberi penekanan atas kata “tanda” ini ada “inna fi dzalika la ayati lli qawmii ya’qiluun” yang artinya (maaf jika salah) “Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.:

 

Sangat terlihat disini, HH –setelah saya membaca ulasannya atas puisi Apa Lagi Ya- paham bahwa “kemanapun menghadap disana wajah Allah”. Saya tidak meragukan itu tapi mari kita lihat tulisan lainnya tentang “tanda” dalam pikiran HH :

 

…..... mengirim NUR YANG LAIN ke Sastra Indonesia. Mungkin ia gerah karena kata di Puisi Indonesia bukanlah kata beriman tapi kata ingkar.

 

Lalu HH mencuplik ini :

 

Nur Yang Lain lalu mengirim Logos Yang Lain, dengan begitu burung kalbu manusia seketika menempuh susun bersusunnya keindahan, bentangan enigmatik yang belum kita ketahui, tetapi terberi kepada kaum Nabi. Logos bumi yang ingin sendiri punah sudah, pun saat di mana batu-batu jua berbicara karena iman kepadaNya.

 

----- Kuat kok, alasan kita mengatakan Chairil Anwar ini telah menyesatkan manusia dengan puisi-puisinya

Kita dengan begitu mulai mengalami bagian-bagian dari nilai-nilai al-Quran yakni bahasa yang baik; kematian itu kalah baik dengan kewafatan. Wafat lebih halus dari mati, seperti kelak, dalam karya sastra, atau komentar sastra, andai kata yang "kurang senonoh" itu diucapkan, ia kurang sopan dalam tata kehidupan manusia.

 

Kalimat pendek dan panjang dari tulisan HH menjadi bagian akhir dari tulisan ini. Tidak ada kesimpulan apapun pada tulisan ini. Kalau toh ada kesimpulan itu untuk saya sendiri. Anda yang membaca tulisan ini sebaiknya membaca juga tulisan HH jika anda belum/tidak kehilangan simpati.

Jika pintu surge telah terbuka mengapa harus mengetuk pintu neraka.

 

Ketajaman intuisi yang tak terkendali tanpa kita sadari bisa membelokkan jalan pikiran.

 

Ketajaman intuisi sangat dikendalikan oleh alasan untuk apa anda bicara.

 

 

Kotabaru_Karawang_280220181111

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler