Panggung Sastra Indonesia Pendhapa kembali mengumandang di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), malam ini, Kamis (22/3), pukul 20.00 WIB. Pentas bertema Dongeng tentang Batu ini akan dimeriahkan 14 penyair lintas kota.
Dipaparkan pengampu kegiatan sastra TBS, Wijang, pentas ke-13 Panggung Sastra itu akan diikuti penyair seperti Alfiyan Harfi (Majenang), Asyari Muhammad (Jepara), Bahrul Ulum (Kendal), Budiawan Dwi S (Sukoharjo), Deska Setia Perdana (Pati), Gendut Pujiyanto (Solo), Habib A Abdullah (Ungaran), Ilham Akbar (Cilacap), J Btara Kawi (Cilacap), Khanif R (Batang), Purnawan Andra (Magelang) Syaiful M (Jepara), Widyanuri Eko P (Semarang) dan Yudhie Dusone Y (Rembang),
“Pentas tersebut diikuti diskusi sastra bertema ‘Perkembangan Kepenyairan Indonesia Mutakhir’ oleh Raudal Tanjung Banua dan Tjahjono Widianto,” ujarnya kepada solopos.com, Kamis (22/3/2012).
Wijang menambahkan, acara tersebut diharapkan dapat menstimulasi kerja kreatif para penyair serta memperkaya khazanah pustaka sastra Indonesia. “Selain itu, kami ingin meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap sastra yang kini masih minim.”
Komentar
Panggung Sastra: 14 Penyair Meriahkan Dongeng Tentang Batu
Saya sudah lama baca program tahunan Taman Budaya Surakarta (TBS) ini, apalagi disebutkan kali ini sudah "pentas ke-13". Tapi, karena sudah rutin, apa TBS tidak memandang ada yang "aneh"? Saya memandang agenda itu "aneh", sebab namanya "Panggung Sastra Indonesia Pendhapa", tapi yang diundang "hanya" kalangan sastra di wilayah Jawa Tengah. Kalau begitu, ganti dong namanya jadi "Panggung Sastra Indonesia Jawa Tengah" -- apalagi yang dibicarakan "Perkembangan Kepenyairan Indonesia Mutakhir". Kenapa tidak mengundang penyair luar Jawa? Saat Murtidjono kepala TBKS, almarhum mengadakan "Refleksi Setengah Abad Indonesia" (1995), yang melibatkan sastrawan dan seniman seni pertunjukan seluruh Nusantara, dan terbukti sukses. Kapan TBS mengadakan acara serupa? Ataukah, seperti halnya sebagian besar Taman Budaya di Indonesia kini (di era Otonomi Daerah), kondisinya bagai kerakap tumbuh di batu: hidup segan mati tak mau? Atau, Solo memang sudah tak lagi punya orang dengan integritas sekelas Murtidjono?
xxxx
Tulis komentar baru