Fikri mengetukkan bolpoint di tangannya ke ujung meja. Suara ujung bolpoint beradu dengan meja terdengar cukup keras hingga manarik perhatian Bang Salman yang duduk bersebelahan dengannya.
“Ada apa, Fik,” tanya Bang Salman. Fikri menoleh dengan agak terkejut. Dia tak menyangka Bang Salman masih berada di kantor. Gara-gara hanyut dalam pikiran sendiri dia tak sadar dengan sekeliling.
“Gak pa-pa, Bang. Bolpoint sekarang sering macet,” jawabnya sekenanya untuk menghindari tatapan Bang Salman. Di sekolah ini Bang Salman sudah dianggapnya sebagai saudara. Setiap ada masalah dia selalu bertukar pikiran dengan Bang Salman. Tetapi saat ini dia tak ingin Bang Salman tahu permasalahan yang dihadapinya. Tepatnya belum ingin bercerita.
Bang Salman hanya tersenyum menanggapi kata-kata Fikri tadi. Setelah megucapkan salam, beliau pamit untuk masuk ke dalam kelas. Sekarang tinggal Fikri sendiri di kantor guru. Jam mengajarnya sedang kosong. Jadi sekarang dia punya cukup waktu untuk merenungi masalah yang sedang dihadapinya.
Bulan Rabiul Awal yang lalu, Fikri baru saja menyempurnakan sebagian agamanya dengan menyunting Faradila Umar, seorang ukhti sahabat Mbak Nining, istri Bang Salman. Selama dua bulan memadu kasih dalam mahligai pernikahan, Fikri mulai mengenal segala sifat istrinya lahir batin. Fikri bersyukur karena Fara seorang wanita salihah yang benar-benar dambaan hatinya. Tetapi ada hal yang mengganggu kebahagiaannya. Dan dia khawatir telah menikahi gadis yang salah.
“Tolong ambilkan kitab di atas meja kerja, sayang,” ujar Fikri ketika Fara menyelesaikan qira’ah Al Qur’an-nya. Fara meletakkan Al Qur’an yang baru dibacanya. Mulutnya berkomat-kamit menggumamkan sesuatu. Mengambil kitab yang diminta Fikri. Berkomat-kamit lagi. Lalu berjalan ke arah suaminya dan sebelum menyerahkan kitab itu berkomat-kamit lagi.
“Kitab yang ini, sayang?” tanya Fara sambil menyodorkan kitab di tangannya.
“Hm, ya,” jawab Fikri dengan masygul. Ini untuk kesekian kali dia mengamati kebiasaan Fara. Setiap akan melakukan apa saja selalu mulutnya berkomat-kamit tak jelas. Ketika menyediakan makanan, meletakkan hidangan di meja, masuk ke kamar tidur, pokoknya setiap melakukan pergerakan. Saat mengerjakan pekerjaan di rumah ataupun berbicara, pasti Fara berkomat-kamit tak jelas. Bahkan ketika dia akan mendekati Fara di tempat tidur pun dia melihat bibir istrinya itu berkomat-kamit.
Mulanya Fikri mengira istrinya sedang bersungut-sungut dengan tugas-tugasnya di rumah. Tetapi mimik wajah Fara tetap jernih dan teduh. Tak ada indikasi kalau Fara sedang kesal atau jenuh. Hanya saja Fikri tak habis pikir mengapa Fara selalu berkomat-kamit tak jelas. Hingga suatu kali timbul sangkaan dalam hatinya. Jangan-jangan Fara sedang melafalkan mantra-mantra. Siapa tahu Fara tergolong orang yang percaya dengan takhyul.
“Kamu jangan su’udzan. Siapa tahu itu hanya perkiraan kamu saja. Lagipula apa kamu pernah melihat istrimu melakukan ritual yang aneh-aneh,” kata Mbak Dina waktu Fikri menceitakan hal itu lewat telepon. Iseng-iseng dia mengadukan masalahnya pada kakaknya semata wayang.
“Melakukaan hal-hal aneh, sih, tidak, Mbak. Tapi kalau selalu komat-kamit nggak jelas gitu apa juga tidak aneh,” Fikri balas bertanya.
“Kenapa tidak kamu tanyakan langsung pada Fara?” saran Mbak Dina.
Bertanya pada Fara? Itu hampir dilakukannya. Tetapi dia takut menyinggung perasaan isrinya itu. Sebenarnya dia juga ingin menceritakan hal itu pada Bang Salman, tetapi mengingat Bang Salman yang telah memperkenalkannya dengan Fara, dia merasa tidak enak hati. Jadilah masalah itu tetap dipendamnya hingga saat ini.
Sore ini Fikri sedang leyeh-leyeh di halaman depan. Sebuah bangku panjang di bawah pohon mangga cukup memberi tempat sejuk untuk beristirahat. Udara panas siang tadi mulai redup ketika matahari bergeser ke ufuk barat. Fikri memandangi bunga-bunga mangga yang mulai bersemi di pucuk-pucuk dahan. Dilatari langit jernih dengan gumpalan-gumpalan awan, bunga-bunga mangga itu terlihat seperti ukiran di tengah kanvas biru. Fikri menoleh ketika mendengar suara sandal bergerak pelan. Fara dengan gamis putih berbunga kecil-kecil datang membawa segelas minuman dingin. Jilbab panjangnya yang berwarna merah muda berkibar ditiup angin sore. Minuman dingin itu diletakkan Fara di meja rendah dekat suaminya yang sedang tiduran menikmati udara sejuk sore itu. Seperti biasa bibirnya berkomat-kamit lagi.
“Silakan diminum, sayang,” ujarnya lembut.
Beberapa saat Fikri hanya memandangi gelas berisi minuman dingin di atas meja. Hatinya ragu dengan kehalalannya. Bukan minuman itu, tapi niat pembuatnya. Bacaan apa yang dilafalkan Fara ketika membuat minuman itu untuknya. Jangan-jangan dia menyebut nama selain Allah. Kuduk Fikri meremang.
“Lho, kok malah diam aja,” ujar Fara menyadarkan Fikri. Gelas itu telah disodorkan Fara kepada Fikri begitu dia bangkit. Dengan sangat terpaksa Fikri menerima gelas itu. Sempat-sempatnya Fikri membaca ta’awuzd sebelum basmalah lalu meneguk isinya pelan-pelan.
Azan ashar berkumandang dari masjid di ujung jalan. Fikri bergegas masuk ke rumah. Sebentar kemudian dia telah berganti pakaian salat dan bersiap-siap menuju masjid. Di depan pintu Fara telah menyiapkan sandal dan sajadah. Istrinya itu berdiri di sana seperti biasa, mengantarkannya pergi ke masjid. Senyumnya tetap manis dan lembut.
“Saya pergi dulu,” ujar Fikri tanpa menyebut “sayang” seperti biasa. Dia baru saja akan berlalu ketika Fara mengambil tangannya dan menciumnya dengan takzim. Hal itu biasa dilakukan Fara selama mereka berumah tangga. Tetapi tetap saja bibirnya berkomat-kamit. Untuk pertama kalinya Fikri jengah diperlakukan demikian oleh istrinya. Tanpa bicara lagi Fikri berjalan menuju masjid. Langkahnya tergesa seolah ada yang mengejarnya.
Awal Ramadhan, sekolah tempat Fikri mengajar diliburkan. Hal itu sudah ditunggu-tunggu Fikri sejak beberapa bulan lalu. Dia punya rencana yang masih dirahasiakannya pada siapapun, termasuk Fara. Malam ini dia akan pamit pada Fara dengan alasan untuk i’tiqaf menyambut Ramadhan.
“Selagi libur awal Ramadhan saya berencana ikut jaulah dari masjid ke masjid,” ujar Fikri, “nanti saya minta puteri Bang Salman yang tertua, si Riri, menemani Dik Fara di rumah, boleh,” lanjutnya. Fara tersenyum sebelum menjawab kata-kata suaminya. Seperti biasa berkomat-kamit lagi sebelum menjawab.
“Tentu saja boleh, sayang. Bukankah kita harus selalu memanfaatkan waktu untuk tetap berjuang di jalan Allah. Nanti biar Fara yang bilang pada Mbak Nining, agar Riri diizinkan menginap disini,” jawabnya lembut dan tanpa prasangka. Jawaban Fara membuat Fikri tenang. Sekarang dia dapat melaksanakan niatnya tanpa takut dicurigai istrinya.
Keesokan harinya Fikri sudah berada dalam bus yang membawanya ke kampung halaman Fara. Ya, dia akan pergi ke sana untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya Fara. Benarkah dia percaya pada hal-hal berbau takhyul. Mantra-mantra apa yang selalu dilafalkannya setiap saat. Kalau memang benar Fara percaya dengan klenik dan sebagainya itu, Fikri merasa perlu mempertimbangkan kelanjutan rumah tangga mereka.
Menjelang Maghrib bus memasuki wilayah Aek Kanopan. Sebentar lagi dia akan sampai. Fikri bersiap-siap turun begitu bus berhenti di simpang Marbau. Azan Maghrib berkumandang dari masjid di simpang itu. Fikri turun dan langsung menuju masjid untuk salat. Lama dia tafakur mengadukan halnya pada Sang Khaliq. Fikri mohon agar apa yang dilakukannya ini adalah benar. Dia tak bermaksud mencari-cari aib istrinya. Hanya saja ketentraman batinnya terganggu oleh keanehan sikap Fara.
Perjalanan ke rumah orangtua Fara harus dilanjutkan dengan naik ojek. Setelah tawar-menawar dengan tukang ojek, Fikri naik ke boncengan.
“Ke rumah Pak Umar yang jenggotnya panjang ya, Bang?” tanya tukang ojek begitu Fikri menyebutkan tujuannya.
“Ya,” jawab Fikri pendek. Dia hanya terdiam selama perjalanan. Sembilan kilometer ke rumah mertuanya terasa sangat lama. Sepanjang jalan hanya melewati perkebunan karet milik penduduk di selingi beberapa rumah dengan cahaya lampu yang redup. Serangga-serangga kecil beterbangan di sekitar lampu sepeda motor, sesekali terlempar ke kaca helm yang dikenakannya. Pengemudi ojek memacu kendaraan dengan cukup lihai, sehingga walaupun gelap dan jalanan rusak bergelombang, Fikri dapat tenang di boncengan.
“Sudah sampai, Bang,” suara tukang ojek menyadarkan Fikri. Ojek sudah berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan teras di depannya. Lampu depan masih belum dinyalakan. Suara lantunan ayat suci terdengar lamat-lamat dari dalam rumah. Kak Mira, kakak Fara sedang mengajari anak-anaknya mengaji.
Fikri segera membayar ongkos ojek. Tukang ojek itu berlalu setelah mengucapkan terimakasih melihat sejumlah uang yang dibayarkan Fikri melebihi ongkos biasa. Lama Fikri berdiri di depan rumah. Keluarga Fara tentu heran melihat dia datang sendiri. Saat sedang merancang jawaban yang akan diberikan, Fikri mendengar suara Nanda, keponakan Fara.
“Mi, Unde Fara koq selalu mengingatkan kita bismillah. Tadi siang waktu Unde Fara nelpon Nanda, juga bilang begitu. Memangnya kenapa sih, Mi?” tanya Nanda pada ibunya, “memangnya nggak cukup kalau bismillah waktu mau makan saja?” tambahnya lagi.
“Betul, Mi. Kemarin juga Unde Fara bilang begitu sama Iqbal. Jangan lupa bismillah, Bal. Setiap pekerjaan harus selalu menyebut nama Allah, gitu katanya,” Iqbal, si bungsu menimpali.
“Hus, jangan ngomomgin Unde Fara terus. Unde kalian itu memang tak pernah lepas mengucapkan bismillah setiap melakukan apa saja. Mau bejalan, makan, tidur, bahkan tersenyum pun diawali bismillah. Itu sudah kebiasaannya sejak kecil. Makanya Unde Fara sering terlihat berkomat-kamit terus. Dia lagi melafalkan mantra. Mantranya ya bismillah itu,” terang Kak Mira.
Deg! Ada yang bergetar di hati Fikri. Dia telah berburuk sangka pada istrinya. Selama ini dia telah mencurigai Fara karena selalu komat-kamit sendiri. Terbayang wajah Fara yang teduh dan senyumnya yang selalu ikhlas. Tak pernah sekali pun Fara menunjukkan wajah kesal walau akhir-akhir ini Fikri sering bersikap acuh karena kecurigaannya. Tanpa sadar setetes air bening mengalir di pipinya. Dia telah bersikap tidak adil dengan berprasangka buruk pada Fara. Tanpa suara Fikri keluar dari halaman. Dia ingin segera pulang. Akan dirangkainya sejuta kata maaf pada Fara. Ingin direguknya semua kasih sayang istrinya dengan mantra-mantra dari bibirnya. Mantra Fara, Bismillah.
Komentar
Tulis komentar baru