Malam ini aku memandangi suasana malam di pelabuhan Batam. Dari atas anjungan. Kerlip lampu dari anjungan kapal yang bersandar di dermaga membuat pelabuhan internasional ini terlihat semarak. Dari arah pusat kota juga tak kalah ramai dengan kerlip cahaya yang lebih beragam. Hanya saja kerlip cahaya itu bukan dari anjungan kapal, tetapi dari lampu-lampu bar dan diskotik yang banyak tersebar di kota Batam. Tetapi kerlip yang lebih meriah ada di hatiku. Sejak dua bulan lalu aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia yang tengah melanda hatiku. Sebuah surat kilat dari kampung mengabarkan bahwa pihak keluarga telah melaksanakan adat marhusip (pelamaran) ke rumah pihak keluarga Damanik. Aku tak sabar ingin segera menghubungi si Boru Damanik itu setelah menerima kabar dari Amang Udaku, namun rasa hangat di hatiku akhirnya kunikmati sendiri. Minggu depan aku akan pulang ke kampung untuk pelaksanaan adat martuppol (pertunangan).
Aku mengenalnya secara tak sengaja ketika pulang ke kampung halaman dari Batam dua tahun lalu. Seturun dari pesawat yang membawaku ke Medan, aku buru-buru mencari taksi yang menuju ke Pematang Siantar. Udara panas kota Medan membuat kaos yang kupakai nyaris basah oleh keringat. Di stasiun, hanya tinggal satu taksi yang akan berangkat ke Pematang Siantar, itupun hanya tersisa satu kursi. Maklum suasana menjelang tahun baru. Banyak orang yang mudik. Padahal aku ingin menyewa sebuah taksi untuk diriku sendiri. Aku malas kalau harus satu taksi dengan orang lain. Privasiku agak terganggu karena harus berinteraksi dengan orang lain. Aku hanya ingin tidur di dalam taksi hingga sampai ke kampung halaman. Tetapi sekarang hanya ada satu kursi. Kuputuskan menerima tempat itu daripada harus bermalam di kota Medan.
“Taksi no 235 jurusan Pematang Siantar akan segera berangkat. Para penumpang diminta masuk ke dalam taksi.” Dari pengeras suara terdengar pengumuman. Aku berjalan menuju ke arah taksi berwarna merah hati itu. Setelah memasukkan barang bawaanku ke bagasi belakang, aku masuk ke dalam taksi. Di jok belakang telah duduk seorang gadis berkulit putih. Aku hanya bisa melihatnya dari samping karena dia duduk sambil memandang ke luar jendela. Ku hempaskan tubuh ke jok belakang sambil menghela nafas. Rupanya gerakanku telah menarik perhatian gadis itu. Dia menoleh sambil tersenyum. Aku menjadi salah tingkah dan serba salah.
“Maaf. Saya mengganggu ketenangan Anda,” ujarku menutupi kegugupan.
“Its okey,” jawabnya dengan suara samar, lalu kembali melihat ke luar jendela.
Dari penampilannya, aku yakin dia bukan gadis sembarangan. Dan caranya menjawabku tadi. Dengan bahasa Inggris. Walaupun di lingkungan kerja aku terbiasa menggunakan bahasa itu, tetapi merasa aneh juga mendengar orang sebangsaku berbahasa Inggris denganku.
Aku mengamati gadis itu diam-diam. Niatku semula untuk tidur sepanjang perjalanan ini ternyata jadi urung karena kehadirannya. Sikapnya yang tak acuh dan terlampau tenang mengusik rasa penasaranku. Kulitnya putih, brhidung bangir. Rambutnya di cat warna coklat kemerahan. Aku yakin tingginya lebih seratus enampuluh sentimeter. Tubuhnya lampai terkesan kurus karena pipi-pipinya tirus. Cantik, batinku. Aku masih mencuri-curi pandang ke arah gadis itu ketika suara-suara lain mendekat. Dan sepasang suami-istri berdiri di samping taksi.
“Hah, ini taksinya. Sudah ada penumpangnya. Suami istri juga,” hampir saja aku tercekik mendengar kata-kata si suami, sedangkan gadis itu cepat-cepat menoleh sambil mengerutkan keningnya.
“Kalau begitu, biarlah aku yang di depan dekat sopir. Ina si Reni di belakang. Kelihatannya ito ini masih pengantin baru,” si suami berkata begitu sambil membuka pintu depan lalu duduk di sebelah sopir yang sudah lebih dulu masuk. Tak lama kemudian istrinya menyusul masuk dan duduk di sampingku. Ternyata wanita itu membawa seorang bayi. Terpaksa aku duduk agak merapat ke gadis yang ada di sebelahku untuk memberi tempat lebih longgar bagi wanita itu dan bayinya.
“Walaupun pengantin baru tak perlu malu-malulah. Maklumnya kita,” canda si suami sambil menggamit lengan sopir. Ketiga orang itu tertawa berbarengan. Aku dan gadis itu jadi bertukar pandang.
“Maaf, Bang. Kami bukan suami-istri. Kami juga baru bertemu di taksi ini,” ujarku memberi penjelasan.
“Bah, salah terka rupanya kita, Mak Reni. Tapi sudah terlanjur aku duduk di dekat sopir. Lagipula kalau masih sama-sama lajang biarlah ito ini dekat-dekat. Siapa tahu berjodoh. Kan nanti jadi suami istri betul,” si suami yang kelihatan gemar bercanda tak juga kehabisan kata.
Aku hanya terdiam mendengar candaan lelaki itu. Sepanjang perjalanan entah sudah berapa celotehan yang diucapkannya. Gadis di sebelahku hanya menjawab dengan kata-kata seadanya bila lelaki itu bertanya kepadanya. Hampir dua jam kemudian lelaki itu terlihat mulai mengantuk. Istri dan bayinya sudah sejak tadi terlelap. Ketika akhirnya lelaki itu juga tertidur, suasana di dalam taksi jadi senyap. Hanya desisan mesin taksi yang terdengar ditingkahi suara klakson bila berpas-pasan dengan kendaraan lain.
Gadis di sebelahku mulai oleng kepalanya. Sekali waktu dia benar-benar bersandar di bahuku. Kutahan nafas untuk membatasi gerakan tubuh agar dia tak terganggu. Dari arah depan malintas truk dengan kecepatan tinggi sambil membunyikan klakson. Entah karena suara klakson atau gerakan bahuku menahan nafas, gadis itu terjaga. Dengan wajah kemalu-maluan dia mengangkat kepalanya.
“Maaf, saya ketiuran tadi,” ujarnya. Pipinya berona kemerahan menahan malu.
“Tidak apa-apa,” jawabku, “Saya Hotman,” ujarku sambil mengulurkan tangan. Sesaat dia ragu untuk menyambut uluran tanganku. Manik matanya seperti meneliti wajahku sedalam-dalamnya. Sebuah senyuman terukir di bibirnya mengiringi jabatan lembut.
“Emma,” jawabnya pendek. Sebuah suara mendehem membuat kami berdua tersadar. Emma buru-buru melepaskan genggaman tanganku. Ternyata si suami terjaga dan memergoki kami sedang berkenalan. Dasar tukang bercanda. Sebentar saja kami sudah jadi bulan-bulanannya sepanjang perjalanan itu.
Tetapi ketika istirahat di sebuah warung makan, aku sempat menanyakan nomor hp Emma. Sejak saat itu tak pernah dapat kuhitung berapa kali aku menghubunginya. Aku Hotmantius Purba, tak pernah mahir merayu gadis-gadis. Tetapi kali ini aku tak pernah dapat bersikap cuek lagi sejak bertemu dengannya.
Getaran hp menyadarkanku dari kenangan. Di layar monitor terlihat sebuah sms masuk.
“Mr.HP,don’t forget. We’ll dinner at paradiso resto. See u later.” DdB.
DdB, singkatan Dora de Bruin, sekretaris Mr. Singhalia, bos ku di perusahaan perakitan kapal ini, paling suka menyingkat namaku menjadi HP. Sore tadi sehabis rapat bulanan, dia sempat-sempatnya membisikkan padaku untuk datang ke resto Paradiso malam ini.
“Dinner with me, please!” ujarnya. Wajah wanita berkebangsaan Belgia itu begitu dekat ketika berbicara. Setiap berbicara denganku dia selalu harus membungkukkan tubuh sebab tingginya hampir dua jengkal di atasku. Suaranya manja. Bisa-bisanya bule ngajak aku kencan, pikirku.
Smsnya tak kubalas. Semoga saja miss DdB dapat memahami. Malam ini aku hanya ingin sendiri. Menikmati debaran nikmat didadaku. Minggu depan aku akan minta cuti untuk melangsungkan pernikahan dengan Emma. Biarlah saat ini aku sendirian di atas anjungan ini. Memandangi cahaya lampu dari kejauhan. Kerlipannya tidak sesemarak suasana hatiku saat ini. tapi cahayanya lebih indah dari hari-hari kemarin.
Kotapinang, 04 Agustus 2012, 20.30 wib.
Komentar
Alamak...tokoh yg ada
Alamak...tokoh yg ada dicerita sepertinya saya kenal haha
Tulis komentar baru