Terkadang bahagia tidak bisa dilihat dari segi materi saja. Kebersamaan dalam suka dan duka lebih bermakna seperti pelangi yang tak pernah pamrih membuat koordinasi dan konspirasi warna-warni yang saling berpadu indah membuat cerita sendiri, tentu saja karena hujan :)
Sayup-sayup suara kokok ayam terdengar parau di antara adzan subuh Minggu pagi, dengan malas kubuka mata mengerjap-ngerjap mencoba segera menghalau kantuk yang masih melekat. Kubuka jendela, terlihat matahari yang mulai meninggi dengan sinar meredup tertutup mendung langit yang murung. Namun tidak dengan hatiku, dengan sigap aku berdiri dan menghirup udara pagi kurasakan sensasi kesegaran memasuki garba penciumanku, menyenangkan.
Tiba-tiba aku langsung teringat dengan cucian bajuku kemarin yang belum dijemur, dengan semangat 45 aku berlari menuju loteng rumahku menjejer semua jemuran dengan rapi lalu bergegas kembali dan memenuhi janji dengan temanku untuk jogging di jalan sekitar komplek tetapi melihat cuaca dan langit yang semakin kelabu kita putuskan untuk bersepeda saja. Akhirnya aku dan Lely temanku bersepeda keliling komplek lalu tiba-tiba.
“Eh Za aku pengen susu sapi hangat dipasar dulu.” Kata Lely mupeng.
“Ehmm aku pengen juga sih.” Ujarku.
“Beli deh.” Rajuknya.
“Okelah, let’s go.” Kataku mengiyakan.
Dan kita pun berangkat ke pasar untuk membeli susu sapi murni hangat yang kelezatannya sudah terbayang dalam pikiran dan tenggorokan apalagi diminum di pagi-pagi dingin begini. Tetapi di tengah perjalanan tiba-tiba langit mulai menghitam, kelam, gelap, petang burung-burung pun terlihat berterbangan tanpa formasi melakukan imigrasi ke tempat yang dianggap lebih aman. Aku dan Lely saling berkejaran dengan mendung sampai akhirnya kita pun kalah dan tetes-tetes hujan berjatuhan yang perlahan pasti membasahiku dan Lely. Langit menangis disertai hembusan angin keras yang mengusik keseimbangan kita dalam mengayuh sepeda, pedal terus berputar mengikuti acuan kedua kaki tapi tetap kekuatan angin yang lebih berat membelit tenaga yang terus terkuras. Akhirnya sampai juga diujung pertigaan jalan setelah perjuangan yang sangat mencengangkan, tetapi hujan semakin deras dan tetesan-tetesannya semakin besar keras menghantam tubuh yang berusaha terus meringkuk dari dingin.
“Gimana nih makin deres ujannya udah deh balik aja.” Teriakku.
“Iya deh takut gak reda-reda.” Ujar Lely.
Kembali kita mengayuh sepeda dengan penuh perjuangan menghalau arah air hujan yang berlawanan dengan arah kita bersepeda. Lalu tiba-tiba kita tertawa menemukan kesenangan tersendiri karena memang kita jarang bermain hujan dan saat sampai didepan gerbang rumah ternyata pikiran kita berkesimpulan untuk terus melanjutkan perjalanan saja karena sebenarnya kita juga berencana mencari bubur ayam.
Saat sampai di jembatan kembali kita diklat harus mengayuh sepeda dengan perjuangan tapi kita tetap senang dan semangat meskipun hujan terus mengguyur semakin deras. Sesampai di kios bubur ayam aku langsung memesan 2 porsi bubur ayam karena kita semakin kedinginan. Setelah menerima 2 mangkuk bubur ayam yang panas tanpa ragu kita langsung menyantap dengan lahap, rasa panas yang tadinya mengepulkan asap perlahan menguap memenuhi rongga mulut dan menghangatkan setiap partikel-partikel bagian tubuh yang basah kuyup oleh hujan.
Karena hujan memberi kesan, perjalanan pun berlanjut setelahnya perlahan mereda. Kita kembali menyusuri jalan yang memang sudah disiapkan untuk mengantarkan langkah roda sepeda yang berputar dengan banyak cerita “acta est fabula” apa yang terjadi adalah sebuah cerita J. Dan seperti rencana awal mencari susu sapi murni hangat di pasar, sesampai didepan pasar ternyata kita harus menelan ludah karena kios susunya tutup mungkin memang karena hujan yang lebat jadinya banyak orang yang memutuskan untuk berdiam dan menghangatkan diri di dalam rumah. Tapi tidak untuk kita, dengan memikirkan barang komplementer yang dapat membantu menghangatkan roda sepeda terus melaju menuruti kedua kaki yang tak kenal lelah dan saat kedua mata kita berhenti pada tulisan di spanduk besar kedai kecil, terpampang sebuah tulisan “Sedia : Kopi” yang begitu menarik hati dengan kesepakatan tanpa direncanakan kita segera menekan rem dan berhenti. Setelah memilah-milah variant berbagai macam bentuk kopi instant akhirnya pilihan kita jatuh pada Capuchino with coffe granule sambil menunggu pesanan datang kita berbincang-bincang tentang perjalanan hari ini.
“Gila ya WoW pake banget tau nggak seruuuuuu.” Antusiasku.
“Iya kapan-kapan diulang lagi ya wkwkwkwk.” Ujar Lely.
“Harus, kapan lagi coba bisa kaya’ gini ya nggak.” Imbuhku.
“Oyi jarang-jarang bisa kaya’ gini.” Kata Lely.
Tak lama Capuchino pun datang, dengan asap lembut yang mengitari sekitar putaran diameter cangkir kuhirup aromanya lamat-lamat, gurih, harum, memenuhi rongga-rongga penciumanku yang hampir beku oleh dingin dan kuhirup perlahan sruput sruuut sruut…. Choco granulenya yang lembut, bertabrakan tajam dengan rasa kopinya yang tidak terlalu kuat menciptakan kenikmatan dan sensasi tersendiri. Ah….. rasanya seperti melayang dibuai kehangatan, damai, indah. Aku senang J.
Setelah selesai mampir di kedai kopi perjalanan masih belum terhenti tiba-tiba Lely ingin sebuah jajanan unik yang sepertinya ada di pasar Minggu sekitar komplek. Belum puas dan belum putus asa kita kembali mengayuh sepeda menuju komplek perumahan yang pertama kalinya tadi kita lewati dari kejauhan sudah terlihat hiruk pikuk orang-orang yang mencari berbagai penganan yang menjadi keinginan sebagian nafsu makan mereka. Kulihat ada baso asap, creps cracker, batagor, arum manis, sosis goreng, sate ayam, dan pukis goreng yups, ketemu namanya pukis goreng adonan tepung cair yang disiramkan ke loyang panas dengan taburan coklat meses dan susu kental coklat dibungkus dengan wadah yang dibentuk kerucut kesan pertama adalah unik.
Dan kita pun bergegas menuju basecamp sebuah bangku lebar yang disusun dari beberapa kayu panjang yang terletak dibawah pohon trembesi rindang yang masih basah oleh hujan. Dengan duduk-duduk melepas lelah kita pun menyantap pukis goreng dengan rasa bahagia yang tak terkira, sesekali air hujan yang tertinggal di antara dahan dan daun trembesi menetes jatuh membuat kesegaran tersendiri diantara ruam-ruam senyum di wajah yang tak lagi dapat menyembunyikan kebahagiaan, karena hujan memberi kesan.
Komentar
:)
Rain...
An Ordinary
Tulis komentar baru