Selonjoran di Beranda
Mamakku duduk-duduk saja dengan santainya di beranda rumah. Sebut-sebut asma Tuhan. Bersajak dengan dzikir. Tasbih sibuk berpusing-pusing dalam genggam mamakku.
Udara menghangat disini. Jarum-jarum suhu tiada terasa membius kulit. Mamakku selonjoran di lantai beranda. Komat-kamit sambillah di sampingnya macam warna jajanan. Kue lapis, kucur, lupis, dan kencur. Hah? Lupakan saja jajanan terakhir itu.
Tak selang, kakakku datang berdua dengan anaknya. Menggotong-nggotong cerita darimana-mana. Kakakku berkobar-kobar mendongeng akan kematian saudara tetangga di luar kota. “Bu Anu, mamaknya meninggal, ada jauh rumahnya itu, ibu-ibu jamikyah PKK rela kesana jauh-jauh,”
Mamakku mengambil kucur sembari meringis geli. “Ah,kau pula tak ngerti-ngerti tingkah orang-orang sini. Ingat kabar budemu yang meninggal? Mana mau mereka repot-repot melayat. Lumrah saja, toh budemu juga sosial dengan kampung kita.”
Kakakku memberangut. Matanya pedas, di gosok-gosok pakai tangannya. Coba usir kantuk.
Adikku memberondong soal-soal bahasa Arab. Sibuk membuat coretan di lembar-lembar kertasnya.
“Kapan itu keponakan jadi ngerti? Jam malam sudah Nampak, masih saja bocah perempuan itu susahkan saudara-saudara saja bisanya. Barangkali, dirasa bebas,”
Mamakku senyum-senyum lagi. Dengan ekspresi seperti menenangkan kakakku. “ Nah, kau suruh saja mamakmu awasi dia. Di biar-biarkan, menggila bocah itu, bisa jadi kan?! Kau tentu telah paham lah . . . “
Adikku menyenggol tanganku, berbisik tentang bagaimana cara nyontek yang efektif. Ku pelototi wajahnya. Dasar Bengal!
“Mak, itu, rumahnya jadi laku berapa? Kan, ku bilang kemarin, lumayan pula kalau terjual lebih tinggi.”
“Tenang sajalah, beberapa orang sudah telpon-telpon aku. Mencari kabar harga-harga. Ku tawar tinggi-tinggi pada mereka. Toh, kalau tak hasrat, juga tak di ambil itu harga yang ku maksudkan.”
Bulan ikut-ikut membayang di jendela rumah. Gemintang menari-nari dalam cahayanya.
“Dik, kau tak perlu lah itu namanya bikin hal tentang mencontek. Cukup kau selonjoran denganku disini. Tuh, dengar mamak-mamakmu ngobrol. Tak sepi juga beranda rumah kakakmu ini.”
Bapakku muncul dari dalam rumah. Memakai jaket baru rupanya.
“Hei Lan, kau tahu harga jaketku? Murah, Lan! Lima ribu di rombengan pagi. Tengok lah mereknya! Tulisan cina! Bukan main, kan? Kau bayangkan saja, lima ribu, produk cina, masih gress juga. Kurang beruntung apa coba?” Bapakku mengayunkan jaketnya kesana kemari di depan kakakku, tersungging senyum bangga.
“Nah, bapak iming-iming aku bukan? Kemarin aku mampir barang semenit dua menit buat menengok pasar rombeng. Kosong lah, Pak. Tak ada penjual-penjual macam itu.”
“Kua tak datang pagi, mungkin. Jangan berangkat kesana siang-siang. Tentulah itu penjual sudah bubar.”
Pintu rumahku berderit. Angin malam lamat-lamat memanjakan rambutku. Bergerak-gerak indah. Haha, sudah pasti. . .
“Malas juga ku bersidekap disini. Seharian malah. Cobalah aku bersepeda. Mungkin lampu-lampu jalan mampu usir malasku.”
Bapak berlalu. Bersama sepeda tentunya. Ngeloyor begitu saja.
“Lan, kapan hari, aku ketemu adik Mak Mar, ah, aku tak sengaja temuinya waktu asyik marung di warung Pak Gus. Duh lah, adiknya Mak Mar itu, kau coba tebak? Cerita-cerita perihal rumah tangga Mak Mar. Yang kurang uang belanja lah, pongkang-pongkang sana sini lah, merajuk-merajuk lah, di kata kerja segampang ngupil? Dungu betul. Lan, adiknya Mak Mar juga sebut-sebut namaku, mungkin saja, maksudnya adalah, kali lain aku mau menambah-nambah urutan ocehannya. Mana bisa? Ku angguk-angguk saja kepalaku, dia nyanyi pasal rumah tangga orang, aku malah sudah kenyang mengganyang pecel sepiring, dua kerupuk, juga es teh. Damai nian . . .”
Kakakku menggeleng. Tak puas.
“Tapi Mak, itu memang, Mak Mar tak pernah mau susah. Maunya bahagia terus. Enak terus. Ya, dia kira, hidiup itu tak susah apa? Lihat itu suaminya pontang-panting bikin dan ngurus percetakan. Adiknya di suruh setrika baju-baju penghuni rumah oleh Mak Mar. Mesin cuci tinggal pencet. Mamaknya Mak Mar masak ini itu. Sayur banyak rupa lah. Tak ingat kah bakal tua Mak Mar itu?”
Adikku membuka toples kripik di depannya. Mengambil beberapa, ditutupnya kembali toples itu. Keripik ia kunyah ringan-ringan. Mamaknya melotot tanda tak senang. Perut adikku memang sudah kalahkan perutku. Ah, memang . . .
“Mak, aku ingin es campur. Malam-malam begini, ada tidak, ya, yang jual? Ayolah Mak, haus macam di padang gurun tenggorokan anakmu ini. Ya? Ya, Mak?” Ekspresiku kubuat memelas. Semoga Mamak kasihan padaku. Tak risau lagi kalau aku jadi ngidam es campur macam orang hamil. Malam-malam begini.
“Hei Fat, tengok ini jam berapa?”
“Setengah sembilan, Mak. Jadi ‘kan kalau Mamak mau membelikan aku es? Ini, Dik Yati juga mau, iya kah, Dik?” Ku lirik adikku dengan pandangan mengancam. Adikku mengangguk ragu.
“Kau tak juga buta ini hari sudah pukul berapa, Fat. Sudah. Itu nafsumu saja. Kau mau turut-turutkan, hah?! Tak baik, Fat! Ke belakang saja lah. Sana kau minum air putih di botol besar. Sama segarnya. Sama airnya. Buka begitu, Fat?”
Aku diam. Lebih tepatnya, skakmat.
Bulan mulai muram. Tertutup awan-awan pekat. Begitupun bintang-bintang.
Dan, ya, tak lupa, adikku kembali mengunyah-ngunyah lagi kripik yang tadi sempat tertunda masuk ke dalam mulut kecilnya.
Komentar
Tulis komentar baru