Dan dalam masa yang tak henti, sebuah sketsa tentangmu, terbit dengan mudahnya di segala sudut. Selepas ku terbangun. Memberatkan naluriku untuk membuka mata dalam ketegaran. Embun pagi ini, ikut melayar di pipi. Setelah sebentuk sketsa mampir senja tadi. Ya, tanpa sungkan lagi. Dia. Kamu. Itu bukan selanskap intermezo. Lebih.
Sekian lama, kita melakoni berdebu dan muramnya langkah kita masing-masing, meneruskan jejak yang tak pernah utuh karna mambayangnya takdir akan kebahagiaan di depanku. Menipu. Ku tertipu. Bisa saja. Setelah kian lama ku gantungkan wajah-wajah kenangan di letihnya perihku.
Sesal yang melangit. Lara yang ngelangut. Tangis yang tertahan. Lelah yang memanggil namamu. Jerit yang merinduimu. Pelukan yang haus sebaris cinta yang kau miliki selama ini. Ku tak berpikir apapun, hanya ketika hening memojokkanku, suara-suara penuh kegetiran, membisik-bisik dalam kebekuan , kau masih kekasihku, aku masih mendambamu. Kau masih kekasihku, aku masih mendambamu.
Membuncahnya kerinduan ini, ketika ku tak sanggup menopang matahari dan bulan untuk tetap berputar pada langitnya sendiri. Ku tersedu. Ketika ku tak mampu meniupkan lagi angin malam pada perahu-perahu yang menjangkar di tepian pantai. Ku tersedu. Ketika ku tak kuasa memancangkan sendi-sendi aroma kehidupanku atas namamu.
Nada ini meninggi. Perputarannya membingungkan.
Udara ini meninggi. Perpindahannya menjemukan.
Tanah ini meninggi. Munculnya menjatuhkan.
Segala meninggi. Penciptaannya mencekam.
Komentar
Tulis komentar baru