SEBUAH mobil sedan berwarna silver berhenti tepat di depan Maysaroh. Maysaroh yang hampir saja tertabrak hanya mengucap Astaghfirullahaladzim sambil menyapu dadanya. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba seorang wanita berusia sekitar 25 tahun, wajahnya cantik dan tubuhnya tinggi, keluar dari mobil tersebut dan mendekati Maysaroh.
“Kamu yang bersama si Gatan semalam?” tanyanya dengan kasar.
“Benar, Mbak! Kalau boleh tau ada apa, ya?” balas Maysaroh heran. Wanita itu baru pertama kali dilihatnya namun langsung bicara kasar padanya.
“Oh…, jadi kamu wanita yang membuat si Gatan tergila-gila! Masih bau kencur rupanya?” kata wanita itu kembali sambil mengangguk-angguk dan tertawa sinis. Wanita itu memegang bahu Maysaroh dan memutar-mutar tubuh Maysaroh dengan kasar, sehingga membuat Maysaroh meringis kesakitan. “Hebat juga selera si Gatan, ya!” lanjutnya.
“Ada apa ini sebenarnya, Mbak! Saya tidak mengenal Anda, tapi Anda berlaku sekasar ini pada saya?”
“Siapa saya itu tidak penting, yang penting sekarang kamu jauhi Gatan. Kehadiran kamu telah membuat hubungan kami berantakan dan saya tak ingin sampai berlarut-larut.”
“Maksud, Mbak?” mtnya Maysaroh tak mengerti.
“Jadi cewek jangan terlalu lugu! Coba kamu pikir, orang seperti gatan yang punya segala-galanya yang sekarang udah menggantikan bokapnya di perusahaan sebesar itu hanya jatuh hati sama cewek seperti kamu. Pakai logika kamu, dia hanya pengen manfaatin kamu…”
“Manfaatin untuk apa?” tanya Maysaroh dengan nada tinggi.
“Eh, lo bego atau gimana, sih?” balas wanita itu. “lLo itu orang miskin, seharusnya lo mikir apa dan bagaimana sebenarnya dibalik kedekatan Gatan dengan keluarga lo. Kamu itu cantik dan menarik. Tubuh kamu seksi. Apa itu kurang cukup untuk seorang laki-laki seperti Gatan untuk memanfaatkan kamu sebagai pelampiasan nafsu binatangnya? Saya juga dulu begitu, dia mendekati keluarga saya seolah-olah dia itu seorang malaikat yang menolong keterpurukan keluarga kami. Namun budi baiknya harus kami bayar mahal, aku dan adikku berhasil digagahinya.” Kata wanita itu sambil meneteskan air mata. “Akhir-akhir ini ia berjanji mengawini saya, karena saya positif hamil karena perbuatannya. Aku harap kamu memikirkan hal itu, sebelum semua terlambat.” sambung wanita itu sambil menghapus air matanya dan masuk kembali ke dalam mobil.
“Siapa nama, Mbak?!” teriak Maysaroh.
Tapi percuma teriakan Maysaroh, suaranya tak mampu mengalahkan deru mesin mobil itu yang langsung melaju meninggalkannya dengan perasaan yang tak menentu. Air matanya menetes mengingat bagaimana baiknya seorang Gatan pada keluarganya. Memberikan abah dan uminya pekerjaan tetap, sehingga dia bisa mencapai prestasinya di sekolah tanpa memikirkan biaya lagi.
Dia melangkah tanpa semangat memasuki gang sempit menuju rumah orang tuanya. Air matanya segera dihapus dengan sapu tangan dan ia memastikan raut wajahnya kembali seperti biasa sebelum sampai di rumah agar abah dan uminya tidak mengetahui apa yang sedang berkecamuk dalam benaknya. Namun seperti apapun Maysaroh berusaha, tetap kesedihannya tak mampu disembunyikannya. Bahkan kesedihan itu semakin jelas.
Sampai di rumah, dia segera berlari menuju kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Tangisnya segera pecah di balik bantal yang dihimpitkannya dikepalanya. Uminya hanya memandang aneh pada perubahan sikap Maysaroh. Wanita paruh baya itu hanya berdiri di depan pintu kamar Maysaroh sambil mendengarkan tangis Maysaroh yang kian menjadi-jadi. Ketika hendak melangkah, lengan wanita paruh baya itu ditahan oleh suaminya untuk menguruungkan niatnya.
“Biarkan dulu Maysaroh melepaskan apa yang ia rasakan saat ini! Nanti pada saatnya dia juga akan cerita. Kita sudah cukup kenal bagaimana tabiat putri kita. Pada saat seperti ini, ia tidak ingin diganggu.” ucap suaminya setelah mereka menjauh dari depan kamar Maysaroh. Wanita paruh baya itu hanya membalas ucapan suaminya dengan anggukan.
Keduanya kembali melanjutkan pekerjaannya mempersiapkan bahan-bahan memasak masakan yang telah menjadi rutinitas mereka sehari-hari setelah Gatan memberi mereka pekerjaan tetap. Suaminya membersihkan alat-alat dapur yang telah direndam dari siang tadi sedangkan istrinya mempersiapkan bumbu-bumbu masakan.
Di dalam kamarnya, Maysaroh meratapi nasib yang menimpanya, ia tak menyang-ka orang seperti Gatan yang telah menarik semua simpatinya ternyata hanya seorang laki-laki bejat yang tak berprikemanusiaan. Dua kakak beradik telah dimanfaatkannya untuk melampiaskan kehewaniannya dan sekarang mengarahkan jeratnya pada Maysaroh. Dia hanya memperalat ketertarikannya kepada Islam untuk menarik simpatiku. Ya Rabb, mengapa Engkau biarkan hati hamba-Mu yang dhaif ini terperdaya oleh kemilau dunia. Bagaimana jika hambamu ini tidak pernah bertemu dengan wanita tadi? Akan seperti apakah nasib hamba-Mu yang dhaif ini? Segala puji bagi Engkau ya Allah, Engkau telah menyelamatkan hamba-Mu ini dari kehancuran. Engkau telah mengirim wanita tadi padaku!” bathin Maysaroh dengan lirih. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan segera bersyujud mengungkapkan rasa syukurnya yang sedalam-dalamnya.
Kumandang adzan Ashar memaksanya bangkit dari sujud syukur panjangnya dengan beribu lafaz Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Dia bergegas mengambil air wudhu’ dan menunaikan kewajibannya, memenuhi panggilan adzan untuk meng-hambakan diri. Setelah selesai shalat, ia tenggelamkan dirinya dalam dzikir yang dilanjutkan dengan do’a yang panjang pula.
Saat makan malam, kedua orang tua Maysaroh hanya diam dan tidak menanyakan apa-apa padanya tentang tadi siang. Maysaroh tau, kalau kedua orangtuanya tau ia menangis tadi siang, namun abah dan uminya hanya diam. Sehingga Maysaroh memutuskan untuk menceritakannya.
“Abah… Umi…”
“Nanti saja kalau mau cerita, sekarang makan dulu ya, Nak!” potong uminya sambil tersenyum. Maysaroh mengangguk membalas kata uminya.
Setelah selesai makan, Maysaroh akhirnya buka bicara sebelum diminta.
“Abah… Umi…, May tidak menyangka kalau… kalau… kalau Mas Gatan…” Maysaroh tidak mampu menahan kesedihannya dan air matanya langsung berurai. Ia begitu kecewa setelah tau Gatan ternyata orang bejat, tak bermoral dan segala predikat negatif di matanya.
“Ada apa dengan Nak Gatan, Nduk?” tanya uminya sambil meraih kepala putrinya ke dalam dekapannya.
“Dia ternyata tak lebih seorang laki-laki bejat yang tak bermoral!”
Abah dan uminya kaget mendengar kata-katanya. Merka saling berpandangan dengan sorot mata penuh tanda tanya. Uminya melepaskan dekapannya pada kepala putrinya dan menatap wajahnya dengan raut tanda tanya.
“Maysaroh, kowe dhemen karo dheweke, Nduk?” tanya uminya.
Maysaroh menundukkan kepalanya beberapa saat kemudian memandang wajah abahnya selanjutnya wajah uminya dan menunduk lagi.
“Abah mengerti dengan perasaanmu. Kamu mendengar sesuatu yang tidak baik tentangnya?” kata abahnya. “Masalah suka atau tidak, ya, itu preogratif masalah hatimu, abah dan umi tidak mau ikut campur. Tapi alangkah lebih baik kamu ceri-takan selengkapnya tanpa emosi begitu, biar kami bisa menimbang duduk masalah-nya.” lanjut abahnya.
“Tenangkan dirimu dulu!” pinta ibunya.
Maysaroh menarik nafasnya dalam-dalam. Diucapkannya lafaz istighfar beberapa kali. Air matanya di sapu dengan ujung kerudungnya.
“Sudah tenang?”
Maysaroh mengangguk.
“Ceritalah!”
“Maysaroh tidak menyangka kalau Mas Gatan ternyata laki-laki bejat yang sering mengumbar nafsu hewaniahnya ke pada banyak perempuan. May tidak habis pikir, ketertarikannya selama ini pada Islam hanya sebagai topeng untuk mengelabui kita, abah, umi dan May. Ternyata dengan kebaikannya itu, dua kakak beradik telah pernah dimanfaatkannya dan sekarang sang kakak telah hamil akibat perbuatannya. May sangat kecewa mendengarnya, umi… abah…!”
“Apa kamu sudah selidiki kebenaran itu?” tanya abahnya.
“Apa masih perlu, Bah? Sementara orang yang menjadi korban sendiri yang telah menceritakannya pada May.”
“Sikapilah semua masalah dengan bijaksana! Jangan menilai masalah dari satu sisi saja. Coba kamu tanyakan Nak Gatan, mungkin saja perempuan itu hanya memitnah.”
“Memitnah untuk apa, Bah?”
“Ya, mungkin saja suruhan orang untuk menjatuhkan Gatan. Entah itu saingan bisnis papanya.” Kata abahnya lagi. “Hidup di kota sebesar Jakarta ini susah, Nak. Kita harus pandai-pandai membawa diri dan menyikapi dengan bijaksana. Pintar saja tidak cukup, tapi harus bejo.”
Maysaroh terdiam sejenak dan berpikir keras tentang berita yang diterimanya dari wanita yang sebenarnya tidak dikenalinya. Ia terpengaruh dengan ucapan abahnya, namun hanya beberapa saat, kemudian ia kembali dihadapkan dengan kenyataan, seandainya itu benar? Hati Maysaroh semakin nyeri dan ngilu dalam dadanya. Rasa kecewanya semakin menjadi-jadi mengingat perasaannya yang telah simpatik pada Gatan. Ia benar-benar tidak menyangka.
Sesaat telinganya terasa berdengung dengan suara melengking tinggi, asupan oksigen kedalam aliran pernafasannya terasa semakin berkurang dan tersendat-sendat, dadanya kembang kempis jadinya. Matanya mulai mengabur dan sesaat kemudian ia terkulai lemas tak sadarkan diri di pangkuan uminya.
“Pak…! Pak…! Piye iki, Pak?” umi Maysaroh panik.
“Sabar, Bu!” balas suaminya tenang. “Ayo kita ankat ke kamar!” ajak suaminya.
Abah dan uminya mengangkat Maysaroh ke kamar dan membearingkannya di tempat tidur. Uminya segera ke dapur mengambil air dan handuk kecil untuk mengompres putrinya.
“Bagaimana ini, Pak?” tanya umi Maysaroh cemas.
“Tidak usah cemas, dia cuma shock saja. Ternyata dia telah sesimpatik itu pada Nak Gatan, sehingga berita itu tak bisa diterimanya tapi anehnya ia percaya begitu saja.”
Satu jam lebih Maysaroh tidak sadarkan diri, ketika siuman ia tidak bisa mengontrol dirinya dan kesedihannya kembali memuncak. Air matanya kembali berurai. Tubuhnya begitu lemah dan panas tinggi menyerangnya. Ia jadi mengingau tak tentu. Yang diucapkannya pun tak jelas.
Ibunya semakin sering mengompresnya dengan harapan panas putrinya segera turun. Keringat uminya telah bercucuran, lelah bercampur cemas. Ia khawatir terjadi sesuatu pada anaknya. Meskipun kompresnya sudah sering dig anti, namun panas putrinya tidak juga turun.
“Pak, apa kita tidak lebih baik memanggil dokter? Kasian Maysaroh!”
“Lha, kok jadi manggil dokter? Kan ia hanya shock!”
“Tapi panasnya tinggi begini, Pak!”
“Sudah, sini biar bapak yang ngompres, ibu buatin kopi bapak, ya!” balas suaminya sambil meminta istrinya berdiri dari tepi ranjang.
Istrinya bangkit dan segera ke daapur membuatkan suaminya kopi. Kopi diletakkan di meja belajar Maysaroh.
“Bagaimana, Pak?”
“Sudah agak kurang.” jawab suaminya. “Ambilkan rokok di meja luar, Bu!”
“Mas Gatan….!” terdengar suara dari bibir Maysaroh yang lemah, hingga hanya berupa erangan saja.
“Nak, kamu jangan ingat-ingat itu dulu. Istirahat saja.”
“Abah, kalau Gleztia datang jangan diceritakan ya apa yang trjadi sama Maysaroh.”
“Iya, Nak. Iya…” balas uminya yang tiba sambil meletakkan rokok dan asbak di meja belajar Maysaroh.
Maysaroh kembali memejamkan matanya. Ia masih tidak mampu mengusai dirinya. Mengingat apa yang sebenarnya dilakukan Gatan selama ini. Ia memang belum tau siapa Gatan sebenarnya. Yang ia tahu Gatan hanya seorang pemuda yang tertarik dengan Islam dan ingin memeluk Islam dengan seikhlas mungkin. Selebih itu, siapa Gatan, keluarganya, masa lalunya, ia sama sekali buta kan hal itu. malam itu Maysaroh tidak sedikit pun mampu memejamkan matanya. Benaknya terus terbayang pada Gatan.
Paginya, Gleztia datang dan mendapatkan Maysaroh sedang terbaring lemas di tempat tidurnya. Ia segera menginterogasi sahabatnya. Tidak puas dengan jawaban Maysaroh, Gleztia keluar dari kamar dan menuju dapur menginterogasi umi. Jawaban yang sama diperolehnya dari orangtua itu.
Ia pamit memanggil dokter dan dalam beberapa saat ia telah kembali dengan dokter yang biasa menangani keluarganya kalau sakit. Gleztia cukup kecewa karena Maysaroh tidak bisa hadir di acara besarnya. Besok Gleztia akan bersyahadat mengakui ke-Islamannya dan ia merasa Maysaroh adalah orang yang sangat penting bagi ke-Islamannya itu, namun ia juga tidak bisa memaksa Maysaroh bangun dari sakit yang dideritanya. Maysaroh terinfeksi thypus sesuai hasil diagnosa dokter yang dibawa oleh Gleztia siang itu.
Sebenarnya Maysaroh sudah ingin mengabaikan sakitnya dan hadir di acara sahabatnya yang sebentar lagi menjadi saudara se-aqidahnya, namun Gleztia terpaksa tidak mengizinkan Maysaroh bangkit mengingat pesan dokter yang begitu tegas meminta Maysaroh untuk beristirahat.
“Apa jaminan buat saya, kalau dik Maysaroh ini melaksanakan nasehat saya untuk istirahat total? Tidak menulis dulu, tidak ikut kegiatan apapun di luar dulu dan hanya berbaring di sini selama seminggu!” tegas dokter itu tadi setelah itu dia pergi sambil mengingatkan sekali lagi.
“May, sudahlah! Aku tidak apa-apa, kok. Yang penting kamu cepat sembuh. Besok setelah acara selesai aku akan kemari dan menampakkan penampilanku esok untuk pertama kalinya pada saudaraku yang cantik ini.” kata Gleztia sambil menjawil dagi Maysaroh.
Maysaroh akhirnya tersenyum sambil membentangkan kedua tangannya. Melihat itu, Gleztia segera memenuhi permintaan sahabatnya.
“Aku tak sanggup membalas anugerah yang maha dahsyat ini padamu, May!” ucap Gleztia lrih.
“Lho, apa-apaan kamu? Kamu pikir aku nabi, apa?” balas Maysaroh serius.
“Buatku, kamu itu adalah sahabat Rasulullah yang telah mengajarkan aku Islam lewat perbuatanmu selama ini padaku. Kamu tak mau menceramahiku panjang lebar sambil duduk berhadapan, tapi perbuatanmu melebihi segalanya. Kamu juga bilang, Islam itu agama perbuatan, bukan agama ucapan.”
“Kamu terlalu berlebihan, Gle!” balas Maysaroh.
Gleztia tersenyum mendengar ucapan Maysaroh. Di hatinya ia merasa bahagia sekali, esok ia akan jadi seorang muslimah dan akan meniru apapun yang selama ini dikenalnya pada Maysaroh – Muslimah Berhati Emas – itu.
***
Pagi itu, seorang uztadz Luthfi dan istrinya yang juga berperan sebagai uztadzah beserta beberapa orang tim kesehatan dari Rumah Sakit PKU serta sejumlah tetangga dan rekan kerja hadir di rumah orangtua Gatan dan Gleztia. Pagi itu mereka mengucapkan syahadat Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasuluh. Kelima berkeluarga itu Ayah, ibu, mama, Gatan, dan Gleztia resmi memeluk Islam dengan ucapan Alhamdulillahirabbil ‘alamin dari semua yang hadir secara bersamaan.
Uztadz Luthfi membuka pembicaraan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” ucap ustadz Luthfi dengan fasih dan dijawab oleh seluruh yang hadir. “Hari ini, kita yang beragama Islam telah kehadiran saudara baru, mereka yang baru saja bersyahadat adalah tanggung jawab kita bersama untuk member pelajaran tentang agama Islam, mulai dari shalat sebagai tiang agama yang didirikan lima waktu sehari semalam, yakni Shubuh sebanyak 2 rakaat yang dikerjakan pada pukul 5 pagi, shalat Dzuhur sebanyak 4 rakaat dikerjakan pada pukul tengah 1 siang, shalat Ashar sebanyak 4 rakaat dikerjakan pada pukul 4 sore, shalat Maghrib sebanyak 3 rakaat dikerjakan pada pukul setengah 7 malam, dan shalat Isya sebanyak 4 rakaat dikerjakan pukul 8 malam yang semuanya itu diawali oleh kumandang Azan di masjid, surau, musholla dan tempat-tempat ibadah umat Islam lainnya.” terang Uztadz Luthfi. “Kira-kira sanggup tidak, para saudara kami yang baru memeluk Islam?”
“Selanjutnya, saya beserta suami saya akan rutin datang kemari untuk mengajarkan shalat kepada bapak ibu beserta adik-adik kami, dan bagi saudara-saudara kami yang bersuka rela membantu kami dalam memberikan pelajaran kepada saudara kita yang mu’allaf, tentu kami akan sangat berterima kasih sekali.” balas uztadzah Farah.
“Alhamdulillah, dengan senang hati kiranya kami akan ikut membantu memberikan pelajaran-pelajaran bagi para saudara kami di rumah ini, dan sebagai tetangga juga pengurus masjid di lingkungan ini kami sangat berbangga sekali dengan kehadiran saudara-saudara kami yang baru dengan sebutan se-aqidah, se-iman ditengah-tengah jama’ah Masjid Taqwa yang kami pimpin.” balas Pak Yahya. “Kepada keluarga di rumah ini, jangan kiranya merasa canggung dan enggan untuk banyak bertanya kepada kami dan kami harap jangan terlalu memikirkan materi dari ilmu agama yang didapatkan dari kami, kami ikhlas membantu dan kami dengan tegas mengatakan tidak akan menerima imbalan apapun, maaf sebelumnya kepada Bapak dan Ibu di rumah ini. Kehadiran kalian di tengah-tengah jamaah Masjid Taqwa nantinya tidak diukur dari materi, kaya dan miskin akan kami anggap sebagai saudara kami.” sambung Pak Yahya.
Mereka yang mu’allaf mengangguk-angguk dengan rasa nyaman dan tenang.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…!” ucap Gatan dengan fasih pula. “Terima kasih kami yang tidak terhingga kepada Bapak uztadz dan ibu uztadzah, serta bapak-bapak jamaah Masjid Taqwa di lingkungan ini. Mungkin bapak dan ibu sekalian heran mendengar ucapan salam saya yang agaknya lumayan fasih, saya sudah lama belajar Islam dari teman-teman sekolah saya di Amerika dan saya juga telah melihat Baitullah di Makkah, dengan izin Allah lah semuanya ini terjadi, ketika saya menatap Baitullah tubuh saya bergetar hebat seluruh tulang belulang saya rasanya tanggal dari persendian dan akhirnya saya diangkat ke rumah teman saya dan saya menangis sejadi-jadinya, saat itu saya tidak berpikir ini hidayah dan tidak bersyahadat pada saat itu juga, terlebih teman-teman saya menganggap saya sakit biasa. Sekali lagi terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh yang berhadir telah dan akan membantu kami belajar Islam. Kami tidak mampu membalas semua ini, hanya Allah lah yang sanggup membalas semua ini. Kiranya bagi bapak ibu yang berhadir, semua ini akan menjamin surga-Nya kelak. Amin ya Rabb.” Gatan mengakhirinya.
Setelah beberapa untaian nasehat dari uztadz Luthfi dan istrinya kepada para mu’allaf, tim kesehatan segera melaksanakan tugasnya untuk mengkhitan para mu’allaf. Ayah Gatan, Ibu, Mama dan Gleztia dikhitan oleh tim kesehatan dari Rumah Sakit PKU sedangkan Gatan hanya diperiksa karena mengaku telah berkhitan waktu liburan ke Arab Saudi bersama temannya.
Setelah Gleztia dikhitan ia meminta uztadzah Farah untuk mendandaninya dengan pakaian muslimah, hal ini dimintanya utuk segera memperlihatkan pada sahabatnya Maysaroh bahwa ia telah benar-benar jadi seorang muslimah seperti apa yang diimpikannya selama ini. Bukan karena disisihkan dari pergaulan tetapi karena merasa keringnya kehidupan ini baginya. Hidup tanpa tujuan selain secuil cita-cita masa depannya.
“Wah…, cantik sekali Nak Gleztia dengan dandanan seperti ini. Seperti bukan mu’allaf!” gumam Uztadzah Farah kagum.
“Terima kasih uztadzah!” balas Gleztia.
“Sama-sama, Nak.”
“Ma, Bu, Gle permisi dulu mau ke tempat Maysaroh!” Gleztia meminta izin pada orangtuanya.
“Hati-hati, ya, kan baru di khitan!”
“Iya, Bu!” balas Gleztia. “Ustadzah, ana permisi dulu mau ke tempat teman. Seharusnya dia hadir di sini, tapi dia sedang sakit, gejala thypus kata dokter.”
“Antum hati-hati, ya….!” balas Uztadzah Farah.
“Iya, Uztadzah. Assalamu ‘alaikum…!” lanjutnya.
“Eh…, kok tak tuntas! Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” koreksi uztadzah Farah.
“Maaf uztadzah!” balas Gleztia. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” ulang Gleztia.
“Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh!” balas mereka yang ada di situ sambil senyum.
“Gleztia ini begitu, uztadzah. Apa-apa selalu sahabatnya yang diingat. Dia merasa berhutang nyawa pada sahabatnya itu.” kata mamanya setelah Gleztia berlalu dengan mobilnya.
“Namanya anak muda, Bu. Kita orang tua ini tidak boleh teralalu mengekang, biarkan saja, kita hanya mengkoordinir saja.”
Di rumah Maysaroh, Gleztia langsung memamerkan dirinya yang sudah memakai kerudung pada Maysaroh dengan bangganya, begitu juga pada umi dan abah. Wajahnya begitu ayu dengan kerudung yang dipakainya. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan meminta umi memotretnya bersama Maysaroh.
“Gle, Islam itu bukan sekedar kebanggaan, ya. kamu sudah jadi seorang muslimah dan itu artinya kamu sekarang punya tanggung jawab yang besar. Menjadi seorang muslim itu tidah mudah meskipun caranya mudah. Untuk shalat kita tidak perlu mengeluarkan biaya, untuk puasa kita malah mengirit biaya pengeluaran.”
“May, tekad saya sudah bulat untuk jadi seorang muslim dan aku punya kamu untuk membantu aku mengenal Islam sampai sekecil-kecilnya. Kamu pasti akan bersedia mengajari aku, kan?”
“Tentulah…!” balas Maysaroh dengan lemah. “Kamu adalah tanggung jawab saya sebagai sahabat dan mengenalkan Islam adalah kewajiban kami bersama.” balas Maysaroh. “Kamu bantu aku berdiri ke kamar mandi, kita ambil wudhu’, waktu dzuhur udah masuk.”
Mereka shalat bersama yang diimami oleh abah. Maysaroh yang masih lemah hanya bisa shalat duduk hingga selesai. Sementara Gleztia hanya mengikuti gerakan shalat saja, hafalan shalat belum bisa dikuasainya. Maysaroh yakin, bagi Gleztia menghafal hafalan shalat bukanlah masalah yang terlalu berat, daya ingat saha-batnya untuk pelajaran menghafal telah teruji selama ini.
Seharian Maysaroh mengajari Gleztia hafalan shalat dan prakteknya. Perkem-bangan yang sangat pesat bagi Gleztia menurut penilaian Maysaroh, sahabatnya telah berhasil menguasai do’a iftitah dan surat Al-Fatiha. Setelah shalat Ashar, Gleztia pamit pulang.
***
SUARA salam di depan pintu depan memaksa umi bangkit dari duduknya sambil menjawab salam. Ketika pintu terbuka ia melihat sosok Gatan berdiri di depan pintu. Gatan mengulas senyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan umi.
“Maysaroh ada, Mi?” tanya Gatan.
“Ada. Di kamar! Sudah beberapa hari ini ia hanya berbaring.” jawab umi sambil mempersilakan pada Gatan masuk.
“Maysaroh sakit, Mi?” wajah Gatan menunjukkan kegelisahan dan kecemasan. “Sakit apa, Mi?” lanjut Gatan sambil duduk di sebuah kursi.
“Diagnosa dokter mengatakan dia terkena gejala thypus. Tubuhnya begitu lemah dan dokter memintanya untuk istirahat total. Menghentikan segala aktivitas menulis dan aktivitas di luar rumah.”
“Kenapa tidak di rawat di rumah sakit saja, Mi?” tanya Gatan tambah khawatir.
“Maysaroh menolak, katanya ia ingin dirawat di sini saja dan member jaminan kepada dokter kalau ia akan istirahat total dan menghentikan segala aktivitasnya untuk sementara waktu ini.”
“Boleh saya melihatnya ke dalam, Mi?” pinta Gatan dengan harap.
“Boleh…! Silakan!” jawab umi.
Gatan bangkit dari duduknya setelah diizinkan masuk ke dalam kamar Maysaroh. Gatan terkagum melihat keadaan kamar Maysaroh. Ini baru pertama kali ia masuk ke dalam kamar Maysaroh, kamar yang sederhana tapi tertata dengan baik, rapi, dan apik. Kesederhanaan itu hilang dengan tataan yang baik, rapid an apik tadi sehingga menimbulkan kesan mewah. Di samping tempat tidur Maysaroh terletak sebuah meja belajar dengan dua kursi. Sejumlah buku tulis tertata di sebelah kiri jendela.
Di samping meja belajar itu ada sebuah rak buku ukuran kecil dan berisi beragam buku mulai dari pendidikan, sastra, agama dan berbagai majalah. Penataan rak buku tersebut juga terkesan mewah, menandakan bahwa pemiliknya yang memiliki jiwa seni yang tinggi dan seorang yang telaten. Berhadapan dengan rak buku di sisi dinding yang lain ada sebuah lemari. Di dinding beragam kaligrafi di susun dengan baik. Beberapa poster sastrawan juga tertempel di dinding. Mulai dari Khalil Gibran, Abdul Kadir Munsyi, Edgar Allan Poe, Chairil Anwar sampai pada poster Hamzah Al-Fansyuri dan Buya Hamka.
Gatan menatap Maysaroh yang terbaring di atas tempat tidur. Tubuhnya keliatan agak kurus dan wajahnya pucat. Ada segurat rasa kasihan di wajah gatan melihat keadaan Maysaroh. Selama ini ia mengenal Maysaroh sebagai wanita yang energik, ceria dan selalu senyum. Kini ia melihat sangat berbeda dengan keadaan Maysaroh. Di wajah Maysaroh ia menemukan segurat kesedihan, tapi ia tidak mampu menembus gurat kesedihan yang dilihatnya. Namun di wajah Maysaroh yang pucat masih dilihatnya senyum yang mengembang dengan tulus.
Maysaroh menggeliat dan membuka matanya merasa ada orang aneh di dalam kamarnya. Matanya menatap ke arah Gatan dengan tajam dan sorot mata tidak suka. Mendapat tatapan seperti itu, Gatan merasa aneh. Tak pernah ia mendapat pan-dangan seperti itu dari Maysaroh. Dialihkannya pandangannya pada umi namun ia tak mampu mendapatkan keterangan apapun di balik pandangan tajam Maysaroh.
“Ada apa May?” tanya Gatan tak mampu menerjemahkan segala perlakuan Maysaroh padanya.
“Aku tidak menyangka Mas, ternyata ketertarikanmu pada agama kami hanya sebagai kedok semata.” balas Maysaroh sinis dan memalingkan mukanya.
“Apa maksud kamu, May? Aku bisa bawa uztadz Luthfi dan uztadzah Farah kemari sebagai saksi sebagai saranmu untuk membantu kami bersyahadat.” balas Gatan bingung. Ia tak mengerti ke arah mana maksud pembicaraan kamu.
“Sebelum kamu membuat kebohongan baru yang hanya akan membuatmu menyesal seumur hidupmu, lebih baik kamu tinggalkan rumah ini. Kami tidak butuh belas kasihanmu. Segala kebaikanmu selama ini akan kami ganti rugi dan mulai besok kami tidak akan menyediakan jasa catering lagi untuk kantormu.” balas Maysaroh tanpa menoleh sedikitpun pada Gatan.
Gatan berjalan menuju arah pandangan Maysaroh. “Lihat mataku, May, apakah ada kebusukan kau temukan di sana? Ayo lihat!”
Maysaroh mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kenapa kau tak berani menatap mataku, May?” tanya Gatan sambil meletakkan kedua tangannya di sisi ranjang Maysaroh untuk menopang berat tubuhnya. “Aku… aku sangat mencintaimu, May. Sejak mengenalmu aku menemui kebenaran, kedamaian hidup, dan segala tujuan hidupku semakin nyata, meskipun aku telah melihatnya jauh sebelum aku mengenalmu. Tapi sebelum mengenalmu aku masih diamuk kebimbangan jalan mana yang aku tuju. Sejak aku mendengarmu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an ketika di rumah sakit itu aku semakin ingin me-nyempurnakan metamorfosisku sebagai manusia yang menghambakan diri pada penciptanya. Aku tak pernah meminta dilahirkan di lingkungan keluarga yang tidak mengenal eksistensi penciptaan dirinya sebagai hamba. Jika bisa, aku akan meminta hidup pada zaman Rasulullah, May. Tapi jika rasa cintaku kau anggap salah tidak apa. Tapi keputusanku memilih Islam jangan pernah kau anggap sebagai topeng. Kini aku telah menjadi mujahid Islam yang siap meneteskan darah demi tegaknya kalimatullah Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh. Maafkan jika caraku mencintaimu selama ini salah. Aku memang tak pernah mencintai seseorang setulus ini.”
“Simpan saja cintamu, Mas!” balas Maysaroh merasakan perih yang menyayat ulu hatinya.
“Ya. Seharusnya aku memang akan menyimpan rasa cintaku padamu sampai aku menghembuskan nafasku.” balas Gatan. “Sebelum aku pergi, maukah kau memaaf-kanku?” tanya Gatan.
“Urusan maaf memaafkan itu masalah mudah, Mas!” jawab Maysaroh melirik Gatan dengan ekor matanya.
“Tapi aku ingin mendengarnya sekarang! Apapun yang kau ketahui tentang masa laluku dan dari siapapun sumbernya itu hakmu untuk merahasiakannya. Sekali lagi aku tanya, maukah kau memaafkanku?” tegas nada suara Gatan.
“Ya, aku memaafkanmu dan sekarang pergilah!” balas Maysaroh dengan nada yang sama tegasnya.
“Terima kasih!” balas Gatan memutar tubuhnya dan meninggalkan kamar Maysaroh dengan hati yang terluka.
Dengan gerak yang lesu dan muka yang tidak bersemangat ia meninggalkan rumah itu. Sesaat dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah rumah itu dengan rokok yang terselip di bibirnya. Tak berapa lama ia kembali berbalik dengan rasa kecewa yang mengiris hatinya.
Dalam kamarnya, Maysaroh menangis sejadi-jadinya. Ia merasakan ada yang sesuatu yang terlepas dari hatinya dengan terpaksa sementara sesuatu itu ingin benar-benar digenggamnya di masa depannya. Rasa perih seolah menyayat-nyayat hatinya dan ketidakberdayaannya semakin tak mampu melepaskan sesuatu itu dalam hatinya.
“Semoga kau menemukan tambatan hatimu, Mas. Wanita yang mampu menerimamu tanpa memperdulikan siapa kau di masa lalumu.” pekik Maysaroh dalam hatinya dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
-----ooooOoooo-----
SELESAI
Bagaimanakah kisah Maysaroh, Gatan dan Gleztia selanjutnya….?
Nantikan kisahnya di Akulah Maysaroh: Mekarnya Bunga di Musim Semi.
Andam Dewi.
Rabu, 31 Juli 2013
Pukul 03.50 WIB
Komentar
Tulis komentar baru