Searian gerimis tuntas ciptakan kaca di sepanjang lorongkue
Sedari pagi pedagang kaki lima pahlawanku, tetap memeras keringat mulia
Meski ia tahu dimana jam malam akan berlaku, dimana-mana
Mereka ngerti tak boleh ada kerumunan apalagi antrean panjang pelanggan
Namun jika tak yakin, setidaknya manisan-manisannya akan ada yang beli
Mereka tak paham harus dengan cara bagaimana
Supaya sejumlah lambung di rumahnya tak ikut-ikutan jaga jarak
Acuh pada penyakit bernama pasrah
Bernama ketergantungan atas nama BLT dan lain sebagainya
Sabtu malam lorongku mulai digenangi kenangan
Direnung nasib di samping trotoar-trotoar itu
Pelapak itu bersih seperti janji calon pengelola umpeti negeri
Kutemui salah seorang yang juga bersiap gulung terpal angkringannya
“Pada kemana pak? “
“Jam malam mas, apa boleh buat ketimbang di segel terus dilarang jualan esoknya!”
Perihal kabar pandemi dan jam malam tadi
Aku sempat beberapakali adakan tanya pada puisi
[ atas nama kemanusiaan bagaimana yang boleh
korbankan kepentingan manuisa lainnya
atas nama kebebasan bagaimana yang perbolehkan
mengganggu kebebasan-kebebasan pihak lainnya
atas nama prioritas ekonomi linier bagaimana
yang tak masalah merenggut kegiatan ekonomi lainnya ]
Kepada jiwa pengisi lorong-lorong waktu yang mulai bosan dan menggumpal
Bolehlah, pernah geram terhadap gincu ungu peramal-peramal yang sempat viral
Bolehlah, misoh pada penyelundup dana bantuan beserta penyelenggara cashback
Bolehlah, bingung terhadap beberapa petimbangan kebijakan-kebijakan pusat dan daerah
Jika semua demi kebaikan bersama
Ijinkan sekali lagi aku menuliskan tanya
Pada isi puisi yang bebas diartikan entah
Kepada kabar pandemi, benarkah kau tiada akhir?
LorongRaje, Februari 2021
Komentar
Tulis komentar baru