Terik matahari menerpa Katemi yang sedang berjualan es duren. Ia menatap jalanan dengan kosong karena masih teringat kejadian semalam saat dirinya bertengkar dengan Pak Tarno, pemilik usaha es durennya. Pak Tarno begitu beringas hanya karena setoran tidak sesuai harapan. Lagipula di jaman ini ketika sesuap nasi seharga 1000 rupiah mencekik para pekerjanya, Pak Tarno seolah tidak mau tahu. Semua harus menyetor minimal 50ribu setiap hari.
Pemaksaan itu mau tak mau dijalani Katemi daripada tidak ada pekerjaan. Ia harus cari uang setelah setahun yang lalu ditinggalkan suaminya entah kemana. Risna, anak semata wayangnya, harus sekolah. Belum lagi urusan dapur.
«Bu, aku enggga usah jajan. Kasihan ibu panas-panasan terus nanti sakit….” Terngiang ucapan anaknya itu subuh tadi.
Nyatanya Katemi sendiri memaksakan untuk tetap bekerja karena tidak ada pemasukan uang sama sekali selain dengan bekerja di tempat Pak Tarno.
“Engga apa-apa, nak. Toh, ini juga demi kesejahteraan kita.»
Katemi duduk saja di dekat fly-over Surapati. Biasanya ada satu-dua pembeli di tempat itu. Setelah siang, ia pindah ke arah Dago Pakar.
“Punten, bu. Mau beli es durennya tiga, ya!» Kata seorang anak kecil yang daritadi memerhatikan Katemi di sudut jalan. Anak kecil itu membeli es durennya untuk dua teman yang lainnya.
Katemi pun memberikan tiga es duren kepada anak itu.
«Berapa, bu?»
«Satu es duren harganya lima ribu. Dikali tiga jadi lima belas ribu.”
Anak kecil itu menyodorkan uang dua puluh ribuan.
“Ini, nak. Kembaliannya…” Katemi memberikan selembar lima ribu rupiah.
Anak itu menyebrang sambil membawa tiga es duren dalam plastik. Belum sampai seberang, ada seorang laki-laki tua hendak beli es duren juga.
«Wah, es duren, bu? Saya mau beli satu, ya!” Katanya.
Katemi pun memberikan es duren itu.
«Sudah lama kerjanya, bu?»
«Baru satu tahun, Pak.»
Laki-laki itu memerhatikan Katemi dari atas sampai bawah kaki. Ia tergoda dengan dua gunung yang membusung di balik baju.
Wah, jelalatan nih...
Pikir Katemi.
Katemi merasa tidak nyaman berada dekat lelaki itu. Di kampungnya, ia memang seorang gadis yang paling cantik dengan kulit sawo matang. Banyak pria menyukai dirinya. Tapi, ia mulai tidak percaya terhadap laki-laki. Dekat kalau ada maunya saja seperti suaminya yang kabur itu. Kalau sudah bicara ekonomi, banyak lelaki yang tutup mata.
Katemi pun berdiri sambil menggendong dagangannya.
«Eh, mau kemana? Sudah disini saja sama saya.” Pinta lelaki itu yang mengenakan baju khas preman. Jeans bolong dan kaos katung.
“Maaf, Pak, saya harus pergi ke Dago Pakar karena ada pembeli yang sedang menunggu kedatangan saya.”
Lelaki itu mencegat Katemi. Tapi, Katemi langsung memanggil tukang ojek.
«Mang! Mang!» Katanya risih.
Tukang ojek pun datang. Katemi dengan cepat langsung menaiki ojek itu.
Sedangan lelaki preman yang tadi mengacungkan jari tengahnya kepada Katemi. Katemi cuek saja dan berlalu pergi dari hadapannya.
Sampai di Dago Pakar, Katemi jalan ke arah villa putih. Ternyata benar. Sudah ada yang menunggu kedatangannya.
“Kok lama sih, bu? Biasanya jam 1 sudah ada disini.”
“Maaf, neng. Tadi ada pembeli di daerah Surapati.”
“Iya, engga apa-apa, bu. Aku mesen es durennya sepuluh, ya!»
Kata perempuan berpita kuning itu sambil menunjuk ke arah teman-temannya di seberang villa yang sedang mengobrol.
Rupanya perempuan itu menraktir teman-temannya es duren. Dengan sigap Katemi membungkus sepuluh es duren dan memasukannya ke dalam plastik. Katemi senang karena target pembelian hari itu sudah lebih dari 50ribu. Dan ada uang lebih untuk diberikan kepada anaknya di rumah.
Malam menjelang, Katemi naik ojek pulang ke Cigondewah. Ia mendatangi rumah Pak Tarno. Ternyata Pak Tarno sudah menunggu daritadi.
“Ini, pak… Setorannya.” Katemi memberikan total 70ribu rupiah.
“Nah, gitu dong. Jadi kamu bisa ambil 20ribu.»
«Iya, pak. Saya mohon pamit pulang dulu. Besok seperti biasa saya akan datang jam 5 subuh.» Kata Katemi sambil menerima uang 20ribu. Dengan uang itu, Katemi bisa beli beras setengah kilo dan ikan asin untuk makan besok. Sisanya bisa untuk jajan Risna di sekolah.
Rumah Katemi hanya beda tiga blok dari rumah Pak Tarno. Setiap hari Katemi datang subuh-subuh untuk mengambil dagangan es duren.
«Alhamdulillah, bu, ada uang lebih...» Kata Risna yang sejak tadi sedang mengerjakan PR di rumah. Katemi cerita tentang pendapatannya hari itu.
Risna mengatakan kepada ibunya bahwa ia bisa menggantikan ibunya memasak. Tapi, Katemi mencegahnya karena menganggap Risna lebih baik dahulukan urusan sekolahnya.
«Engga usah. Biar sama ibu aja.»
Katemi bangun jam 3 subuh. Ia membersihkan rumah sendirian karena Risna masih tidur. Tidak lupa ia juga mengambil air di sumur untuk mandi. Ia masih ingat menyimpan mie instan untuk sarapan bersama Risna.
“Risna, bangun. Udah jam setengah 5 subuh,” Ujar Katemi.
Risna pun bangun dan bersiap untuk mandi. Katemi sudah masak mie instan dan menyimpannya di meja kecil dekat dapur. Mereka tidak punya meja makan. Hanya ada meja kecil untuk menyimpan piring, sendok dan gelas seadanya. Makan juga duduk di lantai.
Selesai makan, Katemi pamit pergi untuk dagang es duren lagi. Sampai di rumah Pak Tarno, ia melihat pedagang-pedagang lainnya juga sedang menunggu Pak Tarno menyiapkan dagangan.
«Katemi, ini bagianmu...» Pak Tarno menyodorkan keranjang berisi 30 es duren. Katemi pun berdiri dan menggendong keranjang es duren itu dan berangkat ke kota pakai ojek langganan.
Di perjalanan dia menangis karena pekerjaan dagang es duren terasa berat. Apalagi saat cuaca pagi masih dingin. Ia pun inisiatif dagang di lapangan olahraga Gasibu yang biasanya ada pembeli yang sedang olahraga lari. Itupun hanya laku dua es duren.
Sudah terjual dua, Katemi masih duduk di pinggir lapangan itu barangkali ada yang mau beli juga. Ditunggu sampai jam 10 tidak ada yang beli, ia pun hengkang darisana dan pergi ke Surapati lagi seperti kemarin.
Di Surapati sudah banyak orang lalu lalang dengan kendaraan maupun jalan kaki. Katemi duduk di sebuah kios kecil dekat belokan.
«Udah laku, bu?»
Laki-laki tua yang kemarin mengacungkan jari tengah itu muncul lagi.
«Eh, udah ada yang beli dua , pak.»
Lelaki tua itu tertawa.
“Sini saya beli lima, ya.” Kata lelaki tua itu sombong sambil memanggil teman-temannya yang lain.
Mereka mengganggu Katemi dengan candaan jorok tentang alat kelamin perempuan. Katemi kembali merasa risih tapi mau tak mau ia harus melayani pembeli. Dengan emosi dalam diam, ia memasukkan lima es duren kedalam plastik dan memberikannya kepada lelaki tua itu yang tak tahu sopan santun.
Setelah menerima es duren itu, lelaki tua itu kembali tertawa,
«Sudah kubilang seharusnya kau disini saja bersamaku...» Lelaki tua itu merangkul pinggang Katemi. Katemi spontan menolak rangkulan itu dan berdiri. Ia merasa tidak dihargai sebagai perempuan. Ia menggendong dagangannya dan pergi darisitu secepatnya.
Katemi kembali mengunjungi Dago Pakar dan tidak menemukan pelanggannya yang kemarin berpita kuning. Dalam hati ia menjerit. Kenapa dunia terasa tak adil.
Ia pun mencoba bersabar. Es duren sudah terjual tujuh.
Di kejauhan ada laki-laki yang memanggilnya.
Wah, pelanggan baru nih…
Pikirnya.
Saat mendekat secara cepat ada tangan yang membungkam mulutnya dari belakang. Katemi meronta dan mencabik-cabik tangan yang menutupi mulutnya itu. Sesaat kemudian ia pingsan. Ia dibius oleh seseorang. Ia tak sadarkan diri.
Malam menjelang, Katemi terbangun di sebuah gubuk reyot tanpa busana sama sekali. Ia merasa pusing di kepalanya dan sakit di bagian kemaluannya. Ia berusaha bangun dari posisi tidur tapi terasa lemas. Ia melihat darah mengucur dari kepalanya.
«Risna... Risna...»
Ucapnya lirih dan berat. Belum selesai bicara, ia sudah tak mampu lagi. Ia meninggal seketika itu juga. Dan tak ada seorangpun yang bisa menolongnya. Ia terbujur kaku di gubuk itu ditemani dinginnya malam yang mencekam.
Komentar
Tulis komentar baru