Skip to Content

Molotov Terakhir

peluru melesat. menerobos kulit yang asing. menembus dada berdetak tegas

pemilik langkah yang enggan mundur

walau udara memanas di dalam kepala

Dua Ratus Kalimat Cinta untuk Mey

Lantunan ayat-ayat cinta itu kembali hadir dalam kemarau hatiku yang kian gersang, dua ratus ayat cinta itu menggantikan sembilan puluh delapan harapan yang hanya menjadi kenangan yang kian menyesakkan. Kini seratus dua harapan baru telah menjemputku untuk menjadi wanita yang paling sempurna setelah jubah hitam sempat menyelimutiku saat aku merasa benar-benar rapuh.

Mungkin Aku Lupa

Aku mungkin lupa

dimana kusimpan aroma hujan

yang kauberi padaku waktu itu

Juga warna mata dan rona senyummu

 

KETIKA POLITISI BERPUISI

ketika politisi berpuisi

alih alih orasi

caci dan maki

Salman ImaduddinMolotov TerakhirHidayatul KhomariaDua Ratus Kalimat Cinta ...
Mega Dini SariMungkin Aku LupaombiKETIKA POLITISI BERPUISI

Karya Sastra

PELARIAN

I

Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

II

SUARA MALAM

Dunia badai dan topan -
Manusia mengingatkan: “Kebakaran di Hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja

HUKUM

Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu

TAMAN

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna

KUPU MALAM DAN BINIKU

Sambil berselisih lalu
mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah ternganga

PERHITUNGAN

Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda
caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya…
Sudah itu tempatku tak tentu di mana.

KENANGAN

untuk Karinah Moordjono

Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa

Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Cerpen : Saiful Bahri
Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Merah malu mukaku ketika kukisahkan lagi dongeng tentang beduk yang dulu ditabuh bertalu-talu disini, di kampung-kampung tua yang kini sudah bersalin rupa. Kuracuni imaji cucu-cucuku menjelang terkatupnya mata-mata polos yang tubuh-tubuh mungil itu berdesakan meringkuk dipangkuanku. Sungguh-sungguh mereka menatapku dan merekam kata-kata yang kucapkan, sambil berkedip-kedip mata membayang-bayangkan bagaimana indah merdunya suara beduk yang ditabuh bertalu-talu pada masa dongeng ini belum menjadi dongeng.

KORAN

Minggu pagi

Matahari baru saja turun dari petidurannya. Jalanan ramai, namun tidak padat seperti pada hari-hari kerja. Lapangan bundar di tengah empat persimpangan jalan itu mulai didatangi orang. Rumput basah sisa hujan semalaman diinjak beraneka ragam kaki. Ada yang kesana untuk berolah raga. Ada yang kesana untuk relaksasi. Ada yang kesana untuk mencari kenalan. Ada yang kesana untuk berkencan. Ada yang kesana untuk mengisi perut. Ada juga yang kesana untuk mencari peluang kenalan bisnis.

Labirin

“Mesjid raya pak?” tanyaku pada supir pete-pete yang hanya dibalas anggukan sekedarnya.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler