Kita pancung kalimat sepuas mau. Terpenggal jadi kata-kata mencari induk semang
dalam pikiran kita merenung, menyimpan diri sendiri. Inilah kita, kau, dan juga aku
mengasah pedang untuk bertikai. Saling melukai dan mengingkari rambu-rambu. Jalan
padat semata oleh serapah dan tak peduli. Kukenang Iwan Simatupang dalam jejak puisi
sarat oleh keindahan yang lindap. Khairil yang cerdas. Taufik peka pada permainan masa
lalu dalam bingkisannya kita menjadi musuh dalam selimut. Menghujatnya tak tahu diri.
Aku terkapar malu. Tak pelak sakit hati dan menjadi prematur di bawah bayang mereka
tanpa taring. Pintu itu telah dibuka. Berlomba kita bersolek kata begitu ekstrem. Tak jejap
sedikit pun kita tak berkaca melintas koridor sastra mumpuni. Reformasi mengutil, meruntuhkan
batas kriteria kata-kata bersayap. Gamblang semau gue. Inilah wajah kita. Kerut dan kecut
tanpa wibawa. Di negeri Taufik malu (aku) menjadi orang Indonesia, sastra lahir serupa bayi
tanpa ayah. Bercokol tak tahu diri. Kaidah dan etikanya dibenam ke dalam tanah lapis tujuh.
Komentar
Tulis komentar baru