Kabut air berkilau di perpulauan pariaman,
Sementara kita sedang mencumbu hujan.
Di rerintik hujan kau bercerita kerinduan nan di depan mata,
Aku bergumam "jangan bayangkan kematian menemaniku".
Kita kembali melempar pandang ke angsa dua dan termenung,
Pulau sebola mata, tapi berasa nyata.
Hujan semakin bertali memandikan atap pondok,
Dilain sisi kau menyembunyikan air mata disela jemari.
Aku berucap " Hanya Seminggu"
Kau, begitu juga hujan berpacu mengurai air.
Aku hanya butuh kepercayaan,
Serupa yang kau berikan pada agama.
Nan kau relakan kepada tuhan,
Bisa Juga sebentuk percaya akan jauh dari berubah.
Kembali kau membawa mata mengintip hujan,
Seraya berujar " Jangan tinggalkan keagamaanku".
Kau jadikan aku serupa agama yang kau peluk,
Maka tak akan ada keraguan pada hatiku.
Pariman, 12 Maret 2013
Pantai Rindu Pariaman
- 1722 dibaca
Komentar
Pasti lebih banyak lagi karya
Pasti lebih banyak lagi karya apik lainnya Bang??
Semangat terus berkarya...!!
Oke tika... salam bank
Oke tika... salam bank khai... :)
Rori Aroka Rusji
PENCITRAAN/PENGIMAJIAN...
puisi "PANTAI RINDU PARIAMAN" memberikan pencitraan/pengimajian yang tajam, ketika saya membaca rasanya saya turut merasakan bagaimana kata mempermainkan suasana sehingga ketajamannya menjadi begitu kontras didukung beberapa dialog semakin membuat puisi ini lebih kontras
kemudian pada bait ketiga larik kedua "Di lain sisi kau menyembunyikan air mata di sela jemari" memiliki metafor yang memberikan warna yang tak kalah pentingnya pada puisi ini, jika larik ini ditiadakan, maka puisi ini akan kehilangan 60% daya pikatnya.
larik tersebut di dukung sepenuhnya oleh larik keempat pada bait yang sama "Kau, begitu juga hujan berpacu mengurai air"
pada dua bait selanjutnya ada penyinggungan kata "agama", membuat saya teringat sepenggal perkataan Karl Marx, "Agama itu adalah candu, yang nikmat dan memabukkan", sama hal dengan cinta tapi ungkapan pemaknaan Karl Marx kita acu pada konsep tolak belakang, atau dengan jata lain ajakan untuk.....
http://www.jendelasastra.com/user/sastra-seratus-kilometer
=@Sihaloholistick=
LANJUTKAN...
.....memiliki agama karena ada kedamaian.
lebih mendasar, bait ke-4 dan 5 memberi penegasan pada bait ke-1, 2 dan 3 yang pada konsepnya terjalin secara logis dan terstruktur.
namun larik keempat bait keempat "bisa juga sebentuk percaya akan jauh dari berubah", sebenarnya tak memberikan sedikit pun makna apa-apa pada puisi tersebut dan jika ditiadakan malah menambah spirit puisi tersebut.
selamat berkarya, lanjutkan apa yang bisa sekarang dan tentunya dengan karya yang lebih kreatif dan beragam.
Salam kenal, titip salam untuk bumi SUMATERA BARAT, saya juga terlahir di bumi SUMATERA BARAT, tepatnya di Pasaman Barat.
le ba a kaba di Pariaman kini? hehe logatnyo dak le lai pas...
=@Sihaloholistick=
Maksih sanak.. ambo ndk
Maksih sanak.. ambo ndk pariaman do.. ambo payokumbuah.. ulasan yg ssangat menarik.. ini yang saya tungggu ketika mempost tulisan disini... pelajaran yg sangat berharga badi tulisan saya.. :)
Rori Aroka Rusji
MELANJUTKAN
orang Sumbar sudah terkenal dengan kepenyairannya dan telah jadi tokoh central di pusaran khazanah sastra Indonesia (Marah Rusli dan HAMKA),
waktu saya hijrah dari bumi Andalas ke tanah Batak, itu yang terpikir oleh saya, tapi bukan orang Sumbar-nya, melainkan kemauan berlatihnya yang benar
sekali lagi, titip salam buat bumi SUMBAR, ada kerinduan untuk kembali menyentuh bumi Sumbar, namun belum ada waktu
semoga dalam waktu dekat terwujud...
(sastra100Km)
=@Sihaloholistick=
Tulis komentar baru