BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan jauh sebelum masyarakat mengenal tulisan. Sebelum mengenal tulisan sastra bersifat lisan. Keberadaan pengaranya tidak diketahui atau anonym, karena saat itu sastra disampaikan dari mulut ke mulut. Seiringnya waktu sastra di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak tokoh yang mulai menyampaikan pendapatnya mengenai sejarah sastra Indonesia. contohnya seperti H.B.Jassin, Taufik Ismail, Sanusi Pane, Sultan Takdir Alisyahbana dan lain-lain.
Suatu karya sastra dianggap ideal apabila mencakup setidaknya lima aspek. Yang pertama adalah waktu. Waktu yang dimaksud adalah periodisasi atau angkatan yang menggolongkan karya sastra tersebut. Baik angkatan 1920-an, 1933, 1942, 1945, 1953, 1966 dan seterusnya. Yang kedua adalah wilayah. Karya sastra tersebut harus berada di territorial Indonesia yaitu dari sabang sampai merauke. Yang ketiga dalah bahasa. Sastra Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Yang keempat adalah bangsa. Satra Indonesia yang ideal harus dikarang oleh orang berkebangsaan Indonesia. yang kelima adalah isi karya. Isi karya sastra Indonesia yang ideal adalah bercerita tentang bangsa maupun kehidupan orang Indonesia itu sendiri. Walaupun pengarang karya tersebut adalah orang Indonesia, namun karyanya tidak menggunakan bahasa Indonesia tidak dapat disebut sastra Indonesia yang ideal. Jika karya itu sudah diterjemahkan menggunakan bahasa Indonesia disebut sastra terjemahan.
Seiring berjalannya waktu, sejarah sastra Indonesia mengikuti perkembangan jamannya. Begitu pula pada karya sastra angkatan 66. Pada periode ini, lebih bersifat mengkritik pemerintahan maupun politik. Pada angkatan ini, sastrawan sudah mulai mengkritisi keadaan pemerintah maupun politik yang ada pada jaman itu. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih detail mengenai “Sastra Angkatan 66.”
1.2 Rumusan Masalah
- Apa latarbelakang saastra angkatan 66?
- Bagaimana ciri-ciri sastra angkatan 66?
- Siapa saja sastrawan angkatan 66?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui latarbelakang lahirnya sastra angkatan 66.
- Untuk mengetahui ciri-ciri sastra angkatan 66.
- Untuk mengetahui siapa saja sastrawan angkatan 66.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Lahirnya Sastra Angkatan 66.
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia, para pengarang sudah menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik. Nama angkatan 66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin. dalam angkatan 66:Prosa dan Puisi. Dalam buku ini pertama kali H.B.Jassin menyampaikan penolakannya terhadap angkatan 50 dengan mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1960. H.B.Jassin mengkritisi semua konsepsi-konsepsi angkatan 50 dan angkatan terbarunya Ajip Rosidi dengan nada emosional dan keras. Alasan utama penafsiran angkatan 50 dan angkatan terbaru adasah kedekatn massa dengan angkatan sebelumnya yaitu angkatan 45 sehingga tidak ada konsep yang berlainan dengan angkatan sebelumnya tersebut (Jassin, 2013: 17-8).
Sebelum munculnya nama sastra angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya dari Yogya pernah mengumumkan nama sastra angkatan 50 pada akhir 1953. Nama ini tidak popular dan kemudian dilupakan orang. Secara politis lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh pergolakan politik dalam masyarakat dan penyelewengan-penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki moral, agama, dan rasa keadilan demi kepentingan pribadi dan golongan. Penyelewengan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 45 dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja melanggar sila pertama. Selain itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat menderita. Akhirnya, dengan semangat kebangkitan angkatan 66 masyarakat menolak kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Peristiwa politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada masa tersebut. Terdapat dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman penandatangan manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media dalam metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah Hamka.
Maka pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan seniman lainnya untuk membahas manifest kebudayaan. Manifest kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan dan sastrawan akibat tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau menyelewengkan negara. Hasil rumusan itu dibawa kedalam siding lengkap pada tanggan 24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut siding memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut.
- Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.
- Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector kebudayaan yang lain. stiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
- Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
- Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Berita Republik (Jakarta). Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang menandatanganinya. Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.
Terbitan yang menjadi tempat menulis dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang didirikan H.B.Jassin. Angkatan 66 dalam sastra Indonesia mencakup kurun waktu tahun 1963-1970-an. Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya bercirikan protes sosial, politik, ekonomi melainkan juga bercirikan agama. Hal ini dimaksud pengarang untuk membedakan dirinya dari pengarang lekra yang cenderung ateis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya Taufik Ismail, yang semula menulis puisi demontrasi, kemudian menulis puisi-puisi yang bersumber dari Tarikh dan Hadith.
2.2 Ciri-ciri Sastra Angkatan 66
Ciri-ciri sastra angkatan 66 dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu:
- Kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra yang bernaung di bawah panji-panji PKI. Sastrawan yang bersebrangan dengan PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest kebudayaan yang menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
- Kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an. Masa ini didominasi oleh karya-karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi, konsepsinya adalah pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan dengan berapi-api dan retorikanya sangat kuat beralih kecurahan hati dan perasaan lega pengarang yang sekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama menjadi warnanya.
Ciri-ciri lain sastra angkatan 66 disebutkan sebagai berikut:
- Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada)
- Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita.
- Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan.
- Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik pemerintahan lebih banyak mengemuka.
- Banyak terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi.
- Muncul puisi mantra dan prosa surealisme (absurd) pada awal tahun 1970-an yang banyak berisi tentang kritik sosial dan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah.
Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang menulis prosa dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
- Taufik Ismail. Lahir di Bukit Tinggi tahun 1937. Profesinya adalah seorang dokter hewan, juga dikenal sebagai seorang penyair yang handal. Sajak-sajaknya penuh dengan protes-protes terhadap ketidakadilan dan penyelewengan.
- Gunawan Muhammad, lahir 29 Juli 1941 di Batang, Pekalongan. Tulisannya, baik puisi maupun esai-esainya banyak dimuat dalam harian “abadi”, majalah “Sastra” seperti Horison dan Basis.
- Saini. Lahir di Sumedang tahun 1938. Beliau menulis beberapa prosa, seperti novel, cerpen, puisi termasuk drama. Disamping itu ada juga karyanya seperti kritik dan esai. Sajak-sajaknya yang terkenal diterbitkan dalam kumpulan sajak yang diberi judul “Nyanyian Tanah Air”
- Sapardi Djoko Damono, lahir 23 Maret 1940 di Solo, beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada.
- Gerson Poyk, lahir 16 Juni 1931 di Pulau Roti. Karyanya yang terkenal adalah “Hari-hari Pertama” bersifat religious, Mutiara di Tengah Sawah.
- Tocty Heraty, lahir 27 November 1933 di Bandung. Beliau adalah lulusan Fakultas Psikologi di UI dan sebagai dosen di Almamaternya.
- Andrea Alexandre Leo, lahir 19 Agustus 1935 di Sumatra Selatan. Pernah masuk Perguruan Tinggi Jurnalistik, Akademi Teater Nasional (1955-1956) di Jakarta. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah-majalah, seperti Jembatan Tertutup, Nusantara dan lain-lainnya.
Masih banyak pengarang dan penyair angkatan 66 lainnya yang mempunyai andil besar dalam mempertahankan Pancasila antara lain : Taha Mochtar, Arifin C. Noer, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Ayip Rosidi, W.S.Rendra, NH.Dhini, Iswi Sawitri, Abdul Wahid, Situmcang, Satyagraha Hocrip, Masnur Samin, Subagio Sastro Wardoyo, dan lain-lainnya. beliau ini dapat di golongkan ke angkatan pejuang dalam membela Negara untuk tetap tegaknya Pancasila dan UUD 45.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia, para pengarang sudah menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik. Nama angkatan 66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin. dalam angkatan 66:Prosa dan Puisi.
pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut siding memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut.
- Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.
- Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector kebudayaan yang lain. stiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
- Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
- Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.
Ciri-ciri sastra angkatan 66 dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu:
- Kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra yang bernaung di bawah panji-panji PKI. Sastrawan yang bersebrangan dengan PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest kebudayaan yang menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
- Kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an. Masa ini didominasi oleh karya-karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi, konsepsinya adalah pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan dengan berapi-api dan retorikanya sangat kuat beralih kecurahan hati dan perasaan lega pengarang yang sekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama menjadi warnanya.
Ciri-ciri lain sastra angkatan 66 disebutkan sebagai berikut:
- Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada)
- Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita.
- Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan.
10. Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik pemerintahan lebih banyak mengemuka.
11. Banyak terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi.
12. Muncul puisi mantra dan prosa surealisme (absurd) pada awal tahun 1970-an yang banyak berisi tentang kritik sosial dan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah.
Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang menulis prosa dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
- Taufik Ismail
- Gunawan Muhamad
- Saini
- Sapardi Djoko Damono
- Gerson Pyok
- Toety Heraty
- Andrea Alexandre Leo
- Dll.
DAFTRA PUSTAKA
Sutresna, Ida Bagus. 2006. Sejarah sastra Indonesia. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Komentar
Tulis komentar baru