Selama abad ke 19, praktek sastra dikuasai oleh kaum Romantik dan Ekspresionisme, yang mana perhatian utamanya terfokus pada pengarang sebagai penghasil sastra. Sejak abad ke 20 dengan munculnya kaum formalis di Rusia, disusul kemudian oleh kaum strukturalisme di Praha, dan dikukuhkan oleh kaum New Critism di Amerika, maka ilmu sastra memasuki babak baru, yakni otonomi sastra.
Kendatipun otonomi sastra telah berhasil menggeser kpnsep kaum Romantik dan ekspresionis, ternyata belum mampu menyajikan seluruh harapannya. Akhirnya otonomi sastra bergerak ke arah pembaca yang diberikan kebebasan relatif sampai dengan kebebasan absolut untuk mengkontruksi bahkan mendekontruksi teks sastra. Ini berarti teks sastra tidak lagi diklaim sebagai wilayah otonomi sastra yang mampu memenuhi dirinya sendiri. Pada tahun-tahunberikutnya bermunculan klaim-klaim baru. Sebagai akibatnya muncul berbagai pendekatan terhadap hasil cipta sastra.
2.1 Unsur-unsur Pendekatan Terhadap Cipta Sastra
Hasil cipta sastra sebagai peristiwa seni yang kreatif dapat memancarkan rasa estetis mengingat karya sastra iyu dibangun oleh unsur-unsurnya dan saran-sarana sastra lainnya. Unsur-unsur membangun karya sastra dari luar disebut unsur instrinsik dari dalam disebut unsur instrinsik. Sarana-sarana cipta sastra ada tiga yaitu:
- Unsur Intelektual
Cipta sastra menyuguhkan kepada pembaca atau pendengar berbagai permasalahan yang dihadapi manusia dengan segala suka duka. Selain itu karya cipta sastra disadari atau tidak akan dapat menambah sepengetahuannya tentang manusia dan krmanusiaan itu sendiri. Ini berarti kesusastraan mengajak kita memasuki kehidupan yang lebih mendalam, merenungi dan memecahkan persoalan kehidupan manusia yang mungkintidakdapat dikaji dari sudut ilmu pengetahuan yang ada. Dengan kata lain unsur intelektual ini merupakan hasil buah pikiran dan renungan yanh diungkapkan pengarang lewat karyanya sebagai hasil tanggapannya atas kepekaannya terhadap berbagai masalah hidup yang dicermatinya.
- Unsur imajinasi
Imajinasi mempunyai pengertian gambaran pikiran pengarang atau interprestasi pengarang terhadap sebuah objek yang dapay dilihat, diraba, dicium, didengar, dihayati maupun sesuatu yang dipikirkannya. Imajinasi itu adalah daya bayang atau gambaran pikiran pengarang dalam menginterprestasi hal-hal yang dikemukakan melalui hasil ciptaannya. Oleh karena itu karya sastra besifat imajinatif tidak harus dicocockkan dengan kenyataan, walaupun tidak harus irrasional.
- Unsur Emosional
Karya sastra bukan saja merupakan pengalaman, tetapi di dalamnya tersirat tanggapan-tanngapan pengarangnya. Selain itu, karya sastra sebagai hasil cipta seni dengan caranya sendiri, sanggup mengajak pembaca dan pendengarnya mengalami apa ang dirasakan atai dipikirkan pengarangnya.
Tiga unsur tersebut dijalin sedemikian rupa oleh pengarang, sehingga terwujudlah karya sastra. Dalam teori sastra, teks sastra tidak pernah menduduki posisi yang dan pasto sepanjang zaman. Hal ini disebabkan cipta sastra dalam sejarah perkembangannya selalu berubah-ubah. Ketidakmapanan teks sastra itu disebabkan oleh cara pandang dan interprestasi pengarang terhadap hidup kehidupan manusia berbeda-beda. Oleh karena itu identitas cipta sangat sulit diketahui secara pasti.
Selama abad ke 19, ketika praktek sastra dikuasai oleh kaum romantik dan ekspresionis, perhatian utama dari teori sastra dan study tentang sastra terfokus kepada pengarang selaku penghasil cipta sastra. Namun yang menjadi tolok ukur penilaian dan interprestasi cipta sastra adalah persoalan orisionalitas, kreatifitas, dan individualitas pengarang bukan terhadap cipta sastra sebagai teks. Jadi teks sastra tidak dianggap penting karena yang terpenting dan harus diutamakan adalah pengarang sendiri. Dalam hal ini, pengarang sebagai pribadi, jiwanya, daya ciptanya, intensitasnya, kreativitasnya dan imajinasinya. ( Gunatama, 2004:47)
Selanjutnya, pada abad 20 teks sastra yang semula diabaikan oleh kaum romantik dan kaum ekspresionisme, pada akhirnya mendapat posisi dan perhatian sewajarnya. Walaupun ada keyakinan bahwa otonomi sastra telah berhasil menggeser pemikiran kaum romantik dan ekspresionis, namun pada masa-masa selanutnya muncul kesadaran, ternyata bahasa sastra tidak mampu menyajikan seluruh harapan, pengalaman, kekecewaan manusia. Dengan demikian, orientasi pemikiran teori sastra bergerak dark otonom sastra ke arah pembaca yang diberikan kebebasan relatif sampai absolut untuk merekontruksi bahkan mendekontruksi teks sastra. Berikut dikemukakan beberapa tentang pendekata terhadap cipta sastra khususnya prosa fiksi. Pendekatan terhadap cipta sastra prosa fiksi yang diuraikan adalah intisarinya saja, berikut uraiannya :
- Teori romantik dan ekspresionis. Kedua teori ini mengutarakan pengarang sebagai penghasil cipta sastra, bukan hasil cipta sastranya. Jadi, yang menjadi tolak ukur ukur dan penilainan dan interprestasi karya sastra adalah persoalan orisinalitas, kreatuvitas, dan individualitas, bukan karya sastra sebagai teks
- Teori ekspresifisme. Teori ekspresifisme muncul bersamaan dengan perubahan perubahan sosial dan filsafat, yabg nenempatkan manusi sebagai makhluk otonom. Teori ini sering disebut pendekatan biografis. Sebab, tugas utama sebagai penelaah sastra adalah menginterpreatasikan dokumen, surat, laporan, ingatan, saksi mata ataupun pernyataan pernyataan otobiografis pengarang.
Komentar
Tulis komentar baru