Tak ada kepak gagak di Compton yang selalu menguarkan bau sampah busuk, anggur murahan, dan bangkai manusia yang disembunyikan di ghettos atau rumah-rumah besar yang mengonggok tanpa lampu. Juga tak ada salju atau angin santer yang membekukan tiang listrik atau menggigilkan para negro yang sedang menari acakadut atau menyanyikan rap keras-keras di sembarang trotoar malam itu. Tetapi di kota yang seakan-akan tak pernah disentuh tangan Kristus itu, aku justru senantiasa mendengarkan jerit burung kematian memekik tak henti-henti sepanjang hari. Selalu terdengar berondongan peluru dan siapa pun menganggap letusan-letusan itu hanya sebagai derit mobil yang direm mendadak oleh pembalap kampungan. Selalu ada bisik-bisik transaksi kokain, morfin, ganja atau hasis, tetapi segala desis hanya terdengar sebagai siulan rahasia kanak-kanak untuk mengajak geng kecil mereka mengintip percumbuan sepasang kekasih di kegelapan taman.
Tentu pada Mei yang dipenuhi perkelahian-perkelahian sia-sia antara para petarung Meksiko dengan orang-orang negro, seharusnya aku tak perlu menggigil kedinginan, tetapi selalu saja kurasakan salju seperti membungkus tubuhku saat melakukan patroli di kawasan kumuh yang tak pernah dilewati mobil Paris Hilton atau jejak kaki Pamela Anderson ini. Dan musim semi yang tak menebarkan jutaan ulat juga kerap membuatku gatal saat aku mulai menyuruk-nyuruk ke gang-gang gelap penuh grafiti. Aku jadi mengidap psikosomatik akut dan setengah lumpuh sebelum menembakkan pistolku kepada siapa pun yang ingin mengacau keamanan dan ketertiban Los Angeles County.
Celakanya, sebagai deputy sheriff atau dulu saat masih menjadi polisi, aku tak mungkin menghindar dari jerat celaka kota tanpa malaikat ini. Andai saja Grace, kucing jelita bergaun biru yang kerap mencakar punggung saat bercinta denganku, tak tinggal di salah satu apartemen kumuh di pusat Compton, tak sudi aku menginjak neraka yang mengingatkan aku pada carut-marut pinggiran Jakarta yang dihuni ribuan zombi berwajah celeng atau babi. Juga andai kata J Morgan—raja geng berkulit hitam arang yang senantiasa mengejekku sebagai herder busuk—tak bersembunyi di labirin membingungkan yang bertebaran di sini, tak akan mau aku kelayapan malam-malam di tengah-tengah berondongan peluru, dengus orang mabuk, dan celometan orang-orang yang tak lagi menganggap sinar bulan di pucuk katedral sebagai aurora harapan.
“Ayolah, Grace, tinggalah di apartemenku. Keluarlah dari neraka busuk ini,” kataku setelah yakin hendak meminang perempuan blasteran Afrika-Meksiko itu tiga tahun lalu.
“O, Tito, Sayang, kota ini memang tak indah bagimu. Tapi di jalanannya yang riuh dengan rap dan gedebuk para penari, aku menulis grafiti jorok dan meneriakkan keinginan-keinginan kaumku yang melarat dan tak punya harapan,” desis Grace mirip para politikus saat berpidato.
Tak ingin mendebat omelan instruktur penari nudis yang kukenal di Sunset Boulevard itu, aku justru terkenang pada masa kecilku di Alas. Sampai seusia Sinchan, aku memang tinggal di kota kecil penuh sungai yang menghubungkan Semarang dan Solo itu. Di tengah-tengah hutan karet yang tak bisa kau lihat dalam peta Indonesia, aku bahkan pernah jadi gali kecil yang suka mencekik kucing di hadapan teman-temanku.
“Kalau saja tidak diungsikan ke Los Angeles oleh Oma-mu, aku yakin kau juga tak akan meninggalkan kota kelahiranmu, Tito. Kau mungkin tak jadi polisi. Kau mungkin akan jadi penjahat paling busuk di kotamu.”
Meskipun segala yang dicelotehkan Grace setengah ngawur akibat martini yang ditenggak tak kunjung henti, sekali lagi aku tak berusaha mendebat. Pada saat-saat semacam itu Grace seperti menjelma cermin yang bisa memantulkan segala yang pernah kulakukan di sungai yang mengalir di belakang rumah. Aku ingat pada perahu-perahu kertas yang kuhanyutkan. Aku terkenang pada rakit-rakit pohon pisang yang meluncur tak keruan. Aku juga tak lupa pada setiap Sabtu sore dari berbagai lubang di sepanjang sungai muncul ular-ular yang melesat cepat ke gerojokan.
Tapi tak ada sungai ular di Los Angeles. Tak ada juga hutan karet di tengah-tengah gedung tinggi. Bahkan dari apartemen Oma, aku nyaris tidak pernah melihat bulan. Meskipun demikian, Oma berusaha memberikan segala yang kuinginkan lewat televisi. Di televisi, aku bisa melihat salju yang mulai meleleh di bukit-bukit atau bulan yang tampak sebagai tampah kecil di ujung langit. Di televisi pula aku bisa menyaksikan para polisi atau sheriff dihajar oleh para penjahat di Compton, tetapi selalu menang setelah bala bantuan dari markas besar muncul menggasak bandit-bandit yang kadang-kadang hanya bersenjata pisau berkarat atau pentungan.
Aha! Televisi pula yang menjadi ibu sejati yang selalu berbisik di telingaku menjelang tidur, “Ayo, Tito, jadilah polisi. Gasak setiap maling. Pukul kepala bodoh mereka dengan pentungan baseball. Tembak punggung mereka kalau terbirit-birit melarikan diri saat kau kejar.”
Tetapi Grace selalu tak membiarkan aku menerawang jauh ke kota kelahiran, tempat ayah dan ibuku diculik tentara pada 1979 yang perih hanya karena mereka dianggap bersekongkol dengan para pejuang prodemokrasi dan neokomunis yang sedang bergerilya di Jakarta. Selalu pada saat-saat aku begitu ingin menikmati kesunyian—yang celakanya hanya bisa kuciptakan di kepalaku—ia selalu memelukku dari belakang, memberi gigitan kecil di telinga yang memabukkan, dan membisikkan kata-kata cinta serupa mantera serupa doa Kristus sebelum serdadu menusukkan lembing di lambung ringkih, sebelum langit tersaput awan hitam.
“Ayolah, Sayang, tak usah kau paksa aku meninggalkan kota yang selalu kau bayangkan sebagai neraka ini. Anggap saja aku ini bidadari busuk atau kucing biru dari ghetto Compton. Anggap saja aku bulan yang kau rindukan di sela-sela kegelapan gedung-gedung rusak yang ditinggalkan oleh orang-orang kaya yang kini melesat ke mana-mana dengan limosine di jalanan Los Angeles yang serba tertib dan beku…. O, kenapa kau diam saja, Sayang? Bukankah kau menyusup ke kamarku hanya untuk bercinta sambil bersama-sama mengintip orang-orang yang berkasak-kusuk di gang-gang sempit dari jendela? Bukankah sambil menggasak telingaku, kau akan selalu mengatakan padaku salju akan turun di Compton saat kau meminangku? Mengapa kau menipuku, Tito? Mengapa tak kau pindahkan saja musim dan bukit-bukit di sekitar Danau Tahoe ke ghettos busukku agar kita benar-benar merasakan keindahan salju?”
Aku menyesal selalu tak menjawab berondongan pertanyaan Grace dengan baik atau sedikit serius. Selalu saja kurespons kalimat-kalimat yang kuanggap konyol itu dengan ciuman panjang dan bisikan-bisikan gombal tentang sepasang malaikat yang bakal hidup sepanjang zaman tanpa perlu katedral tanpa perlu nabi atau Tuhan.
Kau pun akhirnya tahu itulah dengus cinta terakhir Grace yang diucapkan padaku sebelum tubuhnya diberondong tembakan membabi buta oleh penembak misterius yang menganggap penari ringkihku itu sebagai mata-mata polisi. Rupa-rupanya para anggota geng yang kerap mengklaim sebagai juru selamat atau Robinhood bagi orang miskin tak bisa menerima warga Compton mana pun bercinta dengan polisi. Polisi—lebih-lebih berkulit bewarna—bagi mereka adalah iblis yang harus dilenyapkan dengan cara-cara yang paling tidak terhormat. Menurut mereka, di luar orang- orang kulit putih, seharusnya setiap orang bersaudara dan tak perlu saling mengancam. Dan dalam kasusku, karena dianggap sebagai pengkhianat, mereka menyiksaku dengan cara membunuh kekasihku terlebih dulu. Lebih brengsek lagi Grace tidak punya kesempatan mengungkapkan dying declaration saat aku bersama Gabriel Lee, rekan kerjaku, menyusup ke kamarnya yang berantakan oleh berondongan peluru. Dengan tubuh penuh kucuran darah, dia memang masih bisa merangkul dan menggerak-gerakkan jari jemarinya di punggungku, tetapi saat kutanya siapa yang melakukan perbuatan biadab itu, mulut Grace seperti terkunci.
“Ayo, katakan kepadaku, siapa yang menembakmu, Sayang?” teriakku setengah menangis.
“O, my God, please, jangan keburu melihat surga, Grace! Katakan pada kami siapa yang melukaimu?” pekik Lee—yang sering kuanggap sebagai malaikat pelindungku—kesetanan.
Tetap tak ada jawaban. Lima belas detik yang berharga lenyap begitu saja. Ya, dying declaration, ungkapan 15 detik Grace menjelang kematian yang bisa dipakai untuk menangkap atau melakukan penggeledahan tanpa warrant itu benar-benar hanya tersangkut di tenggorokan. Coba kalau saja ia mengatakan bahwa Morgan-lah yang menghabisi nyawanya, saat itu pula aku akan mengobrak-abrik setiap labirin Compton dan menangkap bajingan tengik itu dan menembak kepalanya berkali-kali. Tidak! Tidak! Mungkin lebih baik aku akan membawa bajingan tengik itu ke Penjara San Quentin agar dia bisa merasakan bagaimana membeku di sel yang sempit. Kalau perlu aku akan minta izin menyuntik mati atau memberlakukan kembali hukuman tabung gas kepada bandit busuk itu. O, ancaman death row, sel-sel dingin mematikan yang berjalur-jalur itu, pun rasanya kurang kejam untuk mengganjar perbuatan Morgan, belut sialan yang selalu lepas dari tembakan dan kejaran polisi itu.
Mendadak Lee terpekik. “Lihat, Tito, di punggungmu ada tulisan Jesus dari darah Grace. Tidakkah ini bisa kita gunakan sebagai dying declaration?”
Hmm…darah Yesus memang berguna untuk para pendosa. Tapi tulisan “Jesus” di punggungku mungkin hanyalah ungkapan sia-sia Grace untuk menghadapi maut yang mencengkeram. Hanyalah grafiti tanpa arti di pakaian yang tentu tak akan kukenakan lagi saat mengejar Morgan atau penjahat-penjahat kambuhan di jalan-jalan. Meski begitu, kau tahu, Yesus di punggungku, akhirnya lebih kumaknai sebagai salib yang harus kupanggul dengan langkah yang terseok-seok saat kususuri trotoar Compton yang tak pernah bersih meski musim semi hinggap di pohon-pohon anggur atau murbei.
Dan tiga tahun setelah penembakan itu, tentu aku belum mampu melupakan malam-malam indah di Compton. Okelah aku memang berkali-kali memutar film komedi A Night in Compton, tetapi setelah itu aku justru teringat tawa renyah Grace saat mengguyur tubuhnya di shower. Aku justru teringat gerakan-gerakan tarian baru yang ia ciptakan menjelang kematiannya yang bagai kucing dicincang itu.
Saat meratapi kematian Grace, aku kadang-kadang memang menyimpulkan telah mencari cinta di tempat yang salah. Jika saja aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan memberi tajuk teks itu Looking for Love in the Wrong Place. Tapi aku polisi dan tak suka puisi. Jadi, caraku mengenang Grace cukuplah memutar No Woman No Cry keras-keras dan kuucapkan janji-janji untuk tak mati-mati sebelum bisa membunuh penembak misterius yang kini menghilang dari labirin Compton yang telah kususuri inci demi inci.
Anehnya, setelah melewati malam-malam panjang melelahkan dan setiap saat menjalani pekerjaan menjenuhkan sebagai pengantar para penjahat yang akan dieksekusi mati di Penjara San Quentin, aku kian yakin salju tetap akan turun di Compton sekali waktu. Meskipun demikian, semua berjalan seperti biasa. Cuap-cuap rap terus mengalir. Bisik-bisik mesum terus menguar. Berondongan peluru tetap ngawur dilesatkan di sembarang mobil polisi yang melintas pelan-pelan.
Ternyata aku keliru. Dari pesawat radio di mobil kudengar pemberitahuan terjadi kejar-kejaran antara polisi dengan geng Morgan di sepanjang jalan. Aku dan Lee yang baru saja membereskan urusan pembunuhan mutilasi tak jauh dari apartemen Grace, pasti mudah menangkap musuh bebuyutan para polisi dan sheriff itu. Dan benar iring-iringan mobil yang menderu itu mengarah ke jalan yang telah kukuasai. Aku dan Lee tak akan kesulitan menembak ban mobil bobrok Morgan, setelah itu setan gila dan para anak buahnya dengan tubuh bersimbah darah tak mungkin tidak merangkak-rangkak memohon ampun dengan bahasa aneh tak keruan.
Edan! Khayalan tinggal khayalan. Mobil sableng—yang astaga jelas-jelas dilukisi gambar pria dari Nazareth dan tulisan Jesus itu—berhasil meloloskan diri dari kejaran dan menyerempet mobil kami setelah berhasil menghindar dari tembakan-tembakan Lee maupun berondongan peluruku.
Menatap grafiti itu ingatanku melenting-lenting ke tulisan berdarah Grace di pakaianku. Itu membuatku kesetanan meloncat ke mobil dan segera mengejar sedan penuh warna itu. Ya, percayalah tak lama lagi aku akan berhasil memborgol Jesus yang memberondong tubuh Grace tiga tahun lalu. Tak lama lagi aku akan memenjara atau menyalib dia di San Quentin atau jika perlu menembak jidatnya dengan beberapa peluru. Setelah itu, aku berharap salju akan turun di Compton dalam warna serba biru. Serba biru, ya, serba biru. Apakah kau masih tetap mengatakan salju tak akan pernah turun di Compton sepanjang waktu, kucing jelitaku?
Grace tentu tak bisa menjawab pertanyaanku. Dalam riuh desing peluru, setelah menabrak patung malaikat di kelokan jalan, lewat mikrofon kemrusek Morgan justru menirukan gonggong herder menyerupai Pangeran Srigala yang tak bisa dibunuh dengan sepuluh atau seratus peluru. Apakah salju benar-benar tak akan pernah turun di Compton, kekasihku?
Tetap tak ada jawaban. Kini kurasakan labirin jalanan melahap mobil kami dan sedan Morgan yang terus-menerus meraung-raung membelah malam.
Los Angeles-San Francisco, 2007
Tulis komentar baru