Kematian Mayat-Mayat*
(Oleh Hanson Hayon)
Adegan I
Setting: Panggung dalam keadaan gelap. Sebuah tanur api dan beberapa orang duduk mengelilinginya sambil mengucap kata-kata asing. Di samping kanan panggung terdapat sebuah ruangan tahanan mirip seperti penjara. Seorang pria bekas pejabat kepemerintahan sedang tergeletak di sana. Tertidur seperti seekor anjing. Buku dan balpoint tergeletak bisu di sampingnya. Bau kemenyan menusuk hidung. Beberapa mayat hidup bangkit dari kuburan, berjalan lambat mengitari tanur api. Sesekali berhenti dan kembali berjalan.
Pejabat: (Monolog). Besok, hari terindahmu, menghadapi duabelas regu pasukan tembak. Tulislah biografi hidupmu, biar semuanya jelas. Siapa tahu kau jadi figure yang fantastic bagi generasi mendatang? (tertawa lalu bangun secara perlahan, melihat sekitar. Melihat ke arah sumber suara. Mengambil buku dan bolpoint. Pesakitan/pejabat tertawa lepas. Bernyanyi-nyanyi riang. Seperti menuliskan sesuatu di dalam buku tersebut).
Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini. (Bangkit. Mencari puntung rokok dan menyalakannya. Memainkan asapnya. Tertawa)
Sejarah. Yap. Semua orang pada akhirnya sama; saling berebut tentang sejarah. Menuliskannya pada lembar demi lembar buku sejarah. Tanpa peduli ada yang membacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hanya dibaca oleh diri kita sendiri.
(Seperti mendengar suara)
Apa? Yap. Benar. Pendapat anda benar sekali? Bukankah di hadapan Sang Pencipta, yang kita sodorkan dan diperiksa adalah lembar demi lembar sejarah hidup dan kehidupan kita? Itulah fungsinya malaikat, sebagai asisten kita yang dianugrahkan dari Sang Pencipta.
(Hening sejenak. Tiba-tiba seperti mengamuk)
Asu. Bangsat. Apa peduliku dengan dogma-dogma? Ketika lonceng gereja berbunyi, tak ada lagi biara-biara suci. Tak adalagi nyanyian koor. Ketika gema adzan berkumandang, tak adalagi kiai yang membawa santri-santinya untuk berjamaah.
(Lantang Suaranya) Aggggggggggh,…(Emosinya Meninggi). Ibuku, baru saja satu hari meninggal, bapaku sudah kawin lagi. Aku dan adikku ditendangnya dari rumah. Agama. Apa yang aku dapat dari pemahaman nilai-nilai religious yang ditanam sejak kecil oleh ibu dan bapakku? Sementara kelakuan bapakku tak ubahnya anjing!
(Seperti mendengar orang berbicara. Lirik kanan lirik kiri. Kepala dan tubuhnya berputar-putar. Suara-suara itu semakin tajam menghujami pikiranya “kasih inspirasi musik”).
Diam! Tidak! Aku tidak sensitrif? Tapi aku bernbicara fakta. Jangan menghakimi aku begitu rupa? Ini urusan pribadiku. Apa hak kalian? Kalaulah ayah dan ibu tiriku Mati ditanganku, bukan semata-mata alasan klise, balas dendam. Tetapi ini murni sebagai bahasa nurani. Aku tidak bersekutu dengan setan! Kasihan dong iblis, jadi kambing hitam terus? Ini naluriku untuk bertindak
(Kepada penonton. Kepada orang-orang yang ada dalam imajinasinya).
Wah kacau rupanya kalian tidak hatam dengan doa? Doa itu perbuatan. Doa itu keinginan. Doa itu angan-angan. Doa itu harapan. Doa itu tingkah-laku kita. Itulah kemurahan Sang Pencipta, atas hidup kita?
(Seperti mendengar suara-suara yang menghujat. Menutupi telinga berputar-putar. Gelisah).
Stop. Stop. Kenapa kalian jadi membela bapak dan ibu tiriku? Tindakan dan keinginanku beda benar dengan perbuatan bapak dan ibu tiriku. Bapak dan ibu tiriku kawin, adalah keinginan setan bukan doa. Kalau aku barulah doa,....... Lho.... Lho kenapa kalian bergembira dengan mentertawakanku? Apa kata-ataku salah? Hak azasi dong? Prerogative dong? Kreatif dong? Inovatif dong? Ah,… kalian bisanya tertawa melulu, benci dech aku? Sebel dech aku, muak-muak, muaaaaaaak tahuuuu?
(Tiba-tiba dia menangis “suasana musik dan lampu ikut mengiringi kesedihan hatinya”).
Tak ada yang lebih mulya dari hati seorang ibu. Ibu adalah tetimang kita di kala kita sedang dibenturkan masalah. Ibu adalah satu-satunya sorga dalam kehidupan dunia. (Hening). Aku pernah mukim di sebuah pondok, mendalami nilai-nilai religius. Dimana betapa mulya posisinya seorang ibu bagi kita. Kalian tahu? Hei,… (Kepada Penonton). Kalian tahu tidak? Kalau tidak tau, makanya dengarkan! Kalau sudah tau, seguru seilmu makanya jangan saling mengganggu ok? Sebab ini adalah sesuatu yang sakral, maka aku harus berdoa dulu.
(Mulutnya Berkomat Kamit Seperti Sedang Merajah, mengucapkan sesuatu yang aneh....Mirip sebuah bahasa mantra. Mayat-mayat hidup perlahan bangkit berjalan lagi. Kali ini menyeret pejabat itu ke luar panggung.) Ahhhh....aku mau dikemanakan? Tolong....(3X).
Adegan II
Setting: (panggung dalam keadaan gelap gulita. Perlahan sebuah cahaya disorotkan. Tiga orang mirip mayat hidup, berdiri mematung sebelah kiri dan kanan serta bagian belakang. Sedangkan seorang penyapu jalan sedang menyapu beberapa helai dedaunan yang berserakan. Bunyi gong dan gendang bersagut-sahutan, para penari masuk dan meragakan tarian hedung asal daerah Adonara).
Mayat: (Tiga orang Mayat bangkit dan berjalan setelah tarian adat hedung Adonara selesai digelar. Berjalan mengitari panggung dengan kedua tangan terangkat sambil menyerukan seruan aneh. Dari nada lambat makin lama makin cepat).
Penyapu Jalan: (Mendendangkan sebuah syair sedih menyaingi suara mayat-mayat. Musik instrumental dan bunyi-bunyi menyeramkan silih berganti). Sungguh aneh, warga kampung sebelah. (Mayat-mayat berhenti berjalan) Masa orang yang sudah meninggal kok dibilang akan bangkit kembali? Seandainya itu benar terjadi,,,ihhhh....menyeramkan. Dunia ini akan dipenuhi oleh mayat-mayat.
Satpam: (Masuk dan berjalan tegap penuh wibawa dengan berpakaian seragam. Sebuah pedang yang panjang mirip samurai terselip di balik ikat pinggangnya). Malam yang dingin. Bagaimana mungkin sekawanan kelelawar begitu menggandrungi si pencuri dan erangan jangkrik bak senandung kidung salomo?
Penyapu Jalan: (Kaget dan menoleh. Berusaha mengamat-amati Satpam dengan jelas) Syair yang mencekam, Saudara.
Satpam: Oh ya?
Penyapu Jalan: Iya. (hening) Sejak kapan Anda begitu tertarik dengan syair seperti itu?
Satpam: (duduk di tanah sambil mengeluarkan pedangnya) Sejak alam dan manusia saling bermusuhan. Dan Setan selalu menjadi kambing hitamnya.
Penyapu Jalan: (Mengambil dan mengamati pedang)Apakah kamu pernah membunuh?
Satpam: Pernah.
Penyapu Jalan: (Penasaran) Siapa yang kamu bunuh dan kapan itu terjadi?
Satpam: Suara Hatiku. Setiap Hari.
Penyapu Jalan: (Bingung) Masa pedang ini sanggup membunuh suara hati....Mungkinkah itu? (Mencoba mengeluarkan pedang itu dari sarungnya)
Satpam: Jangan!!!(mencegat tangan si penyapu jalan)Jangan keluarkan pedang itu dari sarungnya.
Penyapu Jalan: Kenapa?
Satpam: Jika kau lakukan itu maka di dunia ini tidak akan lagi ada suara musik dan tarian. Selain jeritan panjang para arwah dan mayat. (Seperti mendengar sebuah suara. Sesekali menoleh ke arah kiri dan kanan. Bunyi musik seram dan mencekam). Ssssttt...(jari diletakan pada bibirnya) Jangan berisik....
Penyapu jalan: Ada apa?
Satpam: Firasatku mengatakan bahwa akan ada yang lewat di sini.
Penyapu Jalan: Sekarang dia di mana?
Satpam: Siapa?
Penyapu jalan: Firasatmu itu
Satmpam: ????? Dasar orang gila.
Penyapu Jalan: Siapa yang gila?
Satpam: Dirimu.
Penyapu Jalan: Bagaimana mungkin engkau bisa tahu kalau aku gila?
Satpam: Ssssstttt....jangan berisik (marah). Aku tahu kamu gila karena kita punya banyak kesamaan.
Penyapu Jalan: Apakah itu?
Satpam: Mencoba memberi harga pada sesuatu yang dianggap sia-sia.
Penyapu Jalan: Misalnya?
Satpam: Mempercayai adanya firasat. (menarik lengan penyapu jalan ke arah samping dan duduk bersembunyi di balik rerumputan). Lihat....(menunjuk ke arah arak-arakan yang mengusung sebuah tandu. Seorang pejabat sedang tertidur sakit di atas sebuah tandu yang dipikul oleh empat orang berwajah seram. Mirip mayat-mayat hidup. Di belakang arak-arakan itu, seorang wanita berkerudung hitam berjalan tertatih mengikuti).
Penyapu Jalan: Bukankah itu,,,itu kepala kampung kita yang beberapa hari yang lalu mengadakan kampanye di kota.
Satpam: Iya, benar. Orang itu kini mendekam di penjara. (berpikir) Tapi mengapa ia ditandu seperti itu?
Penyapu Jalan: Mungkin akan dikuburkan.
Satpam: Ah...masa dia dikuburkan hidup-hidup begitu. Lihat (menunjuk ke arah wanita berkerudung hitam) Itu istrinya...yang tidak lain adalah saudari kandungnya.
Penyapu Jalan: Bagaimana bisa kau tahu?
Satpam: Aku pernah pacaran dengannya.
Penyapu Jalan: Berapa lama?
Satpam: Hingga saat ini.
Penyapu Jalan: (dalam hati) Dasar Tukang selingkuh!
Satpam: (menarik penyapu jalan). Ayo kita ikuti mereka (Rombongan itu berjalan mengelilingi panggung lalu ke luar. Penyapu jalan dan Satpam pun ikut ke luar).
Adegan III
Setting: (Ruangan Pengadilan. Di sebalah atas ruangan tertulis: Pengadilan Bungkam. Si Pejabat duduk di sebuah kursi dengan tangan terikat. Di dahinya terlilit sebuah kain bertuliskan Harapan yang dicoret. Sesekali ia batuk, lalu tertunduk lesuh. Di kakinya, tergeletak buku catatan harian dan balpoint tua miliknya. Tiga orang mayat berdiri mematung di sebelah kiri dan kanannya).
Raja Arwah: (masuk dan tertawa) Kerja yang bagus (menepuk bahu para mayat). Sebentar lagi dunia dan umat manusia yang lemah itu akan berada di bawah cengkeramanku. Hahahah...Hahaha (tertawa). Dan Kau (menatap si pesakitan), akan menjadi pengabdi setiaku.
(satpam dan penyapu jalan masuk. Mengendap dan bersembunyi di balik bebatuan)
Harapan: (masuk. Cahaya disorotkan padanya). Hai makhluk pembuat keributan. Tempatmu bukan di sini. Enyahlah dari muka bumi.
Raja Arwah: (tertawa). Bagaimana mungkin engkau mengatakan demikian sementara manusia selalu menghendakiku, ada? Betapa malang nasib pengikutmu itu. Bahkan keberadaanmu saja selalu dipertentangakan.
Harapan: Tidakah engkau tahu bahwa karena dirikulah, manusia masih memiliki iman?
Raja Arwah: Iman seperti apa yang manusia miliki? Lihatlah di sekelilingmu.
Gereja, masjid, pura, dan wihara, tempat nama Tuhan diseru-seru kini hanya sebuah pengasingan. Tempat menyedihkan di mana manusia mengagungkannya sebagai sebuah ilusi.
Harapan: Tidak!!! Bukan ilusi. Tetapi harapan.
(para penari tarian adat Flores Timur/Wedde masuk sambil meragakan sebuah tarian. Setelah berhenti, mereka mengelilingi Harapan)
Raja Arwah: Perhatikan dengan saksama bagaimana Orang-orang yang disebut primitif ini masih saja mempercayaiku (Menunjuk ke arah para penari setelah tarian mereka terhenti).
Harapan: Bagus...Itu pertanda baik. Mereka mempercayaimu oleh karena itu mereka juga mempercayai Tuhan.
Orang I: (Mendekati Harapan) Spertinya aku kenal orang ini.
Orang II: Dari mana?
Orang I: Ketika aku kehilangan pegangan hidup di saat istriku selingkuh dengan salah seorang tetangga rumahku.
Orang III: Bagaimana mungkin?
Orang I: Ia adalah anak sulungku. Ketika parang yang kugunakan untuk memisahkan kepala istriku dari tubuhnya, terlepas begitu saja dari genggamanku.
Orang IV: Lihat sinar matanya! Teduh. Belum pernah kusaksikan sinar mata seteduh ini.
Orang II: (Memagut-magut dagunya)Hemmm....Aku tahu sekarang. Apakah Anda seorang malaikat, jin, dedemit, kuntilanak atau sebangsa makhluk gaib?
Harapan: Betapa mudahnya kalian mempercayai ketiadaan. Karena itulah, alasannya mengapa kalian bisa hidup saat ini.
Orang I: Jadi menurutmu kami sudah mati, begitu? Lihat (menunjukkan tangan dan kakinya) aku masih bisa merasakan sakit, panas, lapar yang tidak sanggup dirasakan oleh orang mati.
Harapan: (Menunjuk ke arah raja arwah) Orang itulah yang membuat kalian kelihatan sungguh mati sebelum meninggal. Sekarang, bebaskanlah dirimu saudaraku,,,,,
Raja Arwah: Hei Kalian...Pengikutku yang setia. Kemarilah.(Para penari menoleh penuh kebencian dan menyerang raja arwah. Musik ribut terdengar keras. Bersamaan dengan rebahnya raja arwah ke tanah, para mayat pun jatuh memeluk bumi).
Harapan: Saudaraku. Kalian telah membuat sebuah keputusan yang benar. Karena itu, mari dan bergabunglah bersamaku di kebahagiaan (Para penari bersama Harapan keluar diiringi tarian. Gong dan Gendang bertalu-talu).
(Satpam dan penyapu jalan keluar dari persembunyiannya. Ketika wanita itu melihat Satpam, mereka saling menatap. Begitu Lama. Seperti terhinoptis, Satpam berjalan ke arah wanita dengan tangan seakan bersambut. Mayat-mayat bergetar)
Penyapu Jalan: (berteriak) Jangan sentuh tangan wanita itu. (Satpam itu tak menggubris teriakkan. Mayat-mayat semakin bergetar hendak bangkit ketika tangan keduanya nyaris bersentuhan). Jangan!!!!(teriak penyapu jalan sambil berlari dan menubruk tubuh satpam. Keduanya terjatuh. Mayat-mayat kembali diam tak bergeming).
Satpam: Bangun dan menggosok matanya. Apakah aku sedang bermimpi?
Penyapu Jalan: Tidak saudara. Wanita itulah yang membuatmu bermimpi.
Satpam: Matanya. (menunjuk ke arah wanita itu).
Penyapu Jalan: Jangan tatap itu.
Satpam: Mengapa?
Penyapu Jalan: Jika kau sentuh wanita itu, maka tak akan ada lagi musik dan tarian. (menunjuk ke arah pesakitan yang duduk di kursi pengadilan) Kau lihat Pria itu? Dia tak lagi sanggup membedakan makna antara musik dan ratapan Yeremia. Antara tarian dan gerak gerik tanpa arti. Antara hidup dan kematian. Antara jasad, mayat dan arwah. Antara diri dan kepribadiannya.
Satpam: Kalau begitu, wanita itu harus dibunuh secepat mungkin agar jangan lagi ada korban sesudah kita.
Penyapu Jalan: Tidak! Sekali saja kau lakukan itu, dunia akan lenyap. Bukankah Tuhan itu Mahakuasa baik itu ketika Ia marah, bahkan ketika Ia bingung, nelangsa, takut, bimbang dan kelihatan menyedihkan?
Satpam: Dari mana engkau tahu Tuhan demikian adanya?
Penyapu Jalan: Dari dalam dirimu. (mengambil sapu dan menyapu)Beberapa helai dedaunan sedang belajar mencium bumi. Entahlah...apakah itu kecupan hasrat setia ataukah ciuman pengkhianatan. Hanya para arwah dan mayat-mayat inilah yang tahu (menatap mayat-mayat yang berdiri mematung).
Satpam: Jika demikian, marilah kita tinggalkan tempat ini.
Penyapu Jalan: Akan tiba saatnya, di mana semua manusia akan bebas. Di mana perbudakan dan dosa tidak lagi sanggup menguasai keberadaanya.
Satpam: Kapankah itu?
Penyapu Jalan: Sekarang!
(Bunyi gong dan gendang bertalu-talu. Satpam kelihatan sangat takut dan bersembunyi di balik tubuh penyapu jalan. Beberapa penari tarian adat masuk. Musik gegap gempita bersuara. Dan cahaya kembali terang benderang. Tulisan Pengadilan Bungkam diganti dengan Harapan)
Komentar
Tulis komentar baru