Pagi menjelang siang, matahari mulai beranjak dari cakrawala, menuju ke atas kepala dan menjadi saksi mata berbagai cerita. Itulah mengapa ia disebut Mata-Hari.
Cuaca hari ini pun cerah, secerah wajah Zubaidah gadis kampung sebelah yang terkenal cantik rupawan, usai mendapatkan hadiah lomba di hari peringatan kemerdekaan pada agustusan bulan lalu.
Hari itu, sama sekali tak diduga oleh Diman, seorang gembel pinggiran kota, yang terkejut ketika namanya diberitakan secara bersama-sama oleh berbagai media massa. Namanya memang sudah dikenal di kota sejuta telaga itu, karena dirinya punya sebuah komunitas relawan yang aktiv membantu masyarakat yang dalam kesulitan. Bergerak di dunia sosial kemanusiaan, komunitas relawan itu menjadi yang terbesar dan mendapat banyak simpatik dari masyarakat.
Namun serombongan berita itu mendadak membuat nama Diman lebih dikenal lagi, bahkan sampai diluar kota itu. Deran, sahabat satu komunitas Diman, memberi kabar pada dirinya bahwa banyak berita menyudutkan dirinya karena merasa tersinggung dan melaporkan dirinya karena dianggap telah membuat pernyataan oknum wartawan pelindung koruptor’.
Serombongan berita itu benar-benar menghebohkan seisi kota, bahkan sampai terdengar ke Dewan Pers. Nama Diman mendadak jadi paling populer di kota itu, melebihi kekpopuleran nama Walikota. Tentu saja hal ini tidak membuat nyaman bagi pimpinan kota yang ingin terus manggung di kotanya sendiri.
“Di, banyak berita menulis tentang dirimu. Kau dianggap telah menuduh oknum wartawan melindungi koruptor,” ujar Deran pada Diman melalui telepon.
“Wah, perasaan aku tidak ngomong begitu, kok oknum itu merasa begitu?” ujar Diman menanggapi Deran.
“Ya entahlah, mungkin ada kaitan dengan kasus oknum pegawai Bawaslu yang menyimpangkan dana satu miliyar lebih, dana hibah yang sedang soroti pihak kejaksaan,” jawab Deran.
“Oh ya sudah, coba kirim link berita onlinenya biar saya baca,” ujar Diman.
Pagi menjelang siang, Diman belum mandi dan gosok gigi. Maklum saja, sebagai gembel pinggiran kota, dia memang lebih sering ngopi daripada mandi.
Zubaidah , gadis kampung sebelah yang bahenol dan berparas cantik rupawan, membaca berita-berita itu lewat Handphone-nya, dan mengamati beberapa berita tentang Diman itu kok isinya hampir sama semua. Hanya judul-judulnya saja yang dirubah-rubah. Apakah wartawan zaman sekarang senang ngetik bareng-bareng dengan kata-kata yang sama, satu berita ditulis bersama, atau hanya satu orang yang menulis yang lain tinggal ‘Copy Paste’?
Zubaidah tak mengerti kaidah berita. Dia hanya membaca judul-judulnya saja. Sebab beberapa berita setelah dibuka ternyata kata-katanya hampir sama persis. Dirinya hanya merasa miris membaca berita itu.
“Diman orang baik. Dia pernah menolong paman saya ketika sakit parah dan membantu membawa ke rumah sakit dan ditangani dengan cepat, meski paman saya tidak punya jaminan sosial. Kenapa Diman dipojokkan beramai-ramai seolah dirinya penjahat besar?” Zubaidah berbicara sendiri didepan cermin sambil memoles bibir. Zubaidah memang suka bersolek, meski dirinya sudah cantik walau pun tak bersolek.
Diman memang dikenal oleh masyarakat kota ini sebagai gembel kota yang baik hati. Sudah banyak masyarakat kota ini yang dibantu oleh dirinya bersama teman-teman komunitasnya. Dari mulai korban bencana alam, hingga warga miskin yang sakit tapi kesulitan berobat.
Komunitasnya menjadi komunitas terbesar dan paling interaktif, sehingga menjadi wadah komunikasi antar warga. Mereka sangat cepat dalam menggalang donasi untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.
***
Siang menjelang senja. Sebentar lagi si ‘mata-hari’, saksi abadi dari kisah-kisah kehidupan ini, akan berpamitan pergi semalaman.
“Gue udah baca semua berita itu. Menurut gue itu berita lucu dan sepertinya berita-berita itu justru akan mengungkap siapa diri oknum-oknum itu sendiri,” ujar Diman kepada teman-temannya dalam sebuah pertemuan kecil.
“Lalu bagaimana sikap kita, dan apa yang akan kita lakukan,” ujar Maldi, salah satu penggagas komunitas relawan kemanusiaan itu.
“Ah tenang saja kawan, saya tidak akan gentar sedikit pun dan tak akan mundur sejengkal centimeter pun. Ribuan relawan dan puluhan pengacara di kota ini sudah menyatakan dukungan pada kita, dan siap mengantarkan saya jika saya mendapat panggilan dari pihak kepolisian,” jawab Diman dengan santai sambil kakinya diangkat sebelah.
“Oke lah kalau begitu. Kita semua sepakat dan bertekad melawan oknum-oknum wartawan yang memanfaatkan profesinya untuk menakut-nakuti banyak pihak. Termasuk kita mau ditakut-takuti, kita kan gerakan sosial, kok mau ditakut-takuti. Kita lawan bersama-sama,” ujar Deran yang langsung menyeruput kopi dengan penuh semangat usai berbicara dirapat kecil.
Para relawan itu pun akhirnya saling berjabat tangan tanda sepakat, dan rapat pun berakhir. Gelas-gelas kopi dan puntung rokok di asbak memenuhi meja bundar. Senja pun perlahan berganti malam. Matahari, saksi abadi itu pun menghilang dari pandangan. Rembulan menawan bagai ratu malam, diiringi bintang-bintang selayak dayang-dayang. Para relawan kemanusiaan itu pun satu per satu pulang ke rumah masing-masing. Jarum panjang dan pendek jam di dinding secara bersamaan menuding ke angka dua belas. Pertanda hari akan segera berganti.
Esok hari, ketika matahari terbit kembali untukmenjadi saksi, Diman sudah berkumpul dengan puluhan pengacara. Menyiapkan pernyataan sikap untuk publik. ‘Katakan bernar jika itu benar. Dan katakan tidak benar jika itu tidak benar’, demikian penggalan isi dari pernyataan Diman ke pada masyarakat.
Setelah pernyataan itu terbit di beberapa media, masyarakat luas semakin banyak yang simpatik kepada Diman dan kawan-kawan. Tagar bertuliskan selamatkan Diman beredar luas di media sosial. Masyarakat juga menyatakan ‘mosi’ tidak percaya terhadap oknum-oknum wartawan yang dinilai menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi, dan dinilai telah melakukan penghakiman kepada seseorang melalui berita.
Gerakan sosial mulai digalang oleh orang-orang yang simpati pada Diman dan kawan-kawan. Deran mulai mencatat relawan-relawan baru yang bergabung dengan komunitas peduli kemanusiaan itu.
Zubaidah juara lomba baca puisi tingkat kampung, akhirnya juga ikutan bergabung. Dirinya sebenarnya tak suka berorganisasi, apalagi kalau organisasi itu harus mengikuiti kehendak kemauan pemimpinnya saja. Dirinya tak mau jadi alat, dia lebih senang membaca puisi dan menulis cerpen untuk dikirimkan ke media-media yang bisa memuatnya dan beberapa memberinya honor.
Tapi entah mengapa kali ini Zubaidah peduli dan menyatakan siap mendukung. Sebelum peristiwa marak pemberitaan Diman, dirinya sesekali saja membaca info tentang relawan ini. Tapi sekarang, Zubaidah setiap hari membaca dan menggali informasi aktivitas terdahulu yang pernah dilakukan oleh Diman si gembel pinggiran kota dan kawan-kawanya yang peduli tentang hak asasi manusia.
“Aku akan terus menulis banyak kisah, agar diriku tidak tenggelam dalam lautan sejarah,” ujar Zubaidah sambil menekan penanya ke selembar kertas untuk membuat tanda titik pada akhir ceritanya.
Matahari di atas kepala, perlahan menuju senja cakrawala. Manusia bisa berkuasa, tapi tetap tidak akan pernah sempurna. Bumi ini diciptakan untuk hidup bersama, bukan untuk satu atau sekelompok manusia saja . Dunia hanyalah sementara, sebab tak ada yang kekal kecuali Yang Maha Esa.
Diman duduk di pinggir telaga, menatap senja begitu lama, menghisap kretek lokal, asapnya mengepul menutupi awan putih kehitam-hitaman. "Saya tidak pernah sedikit pun takut, untuk bicara kebenaran dan kemanusiaan," ujar Diman perlahan, sambil mengepulkan kembali asap kreteknya.
***
(Selesai)
Komentar
Tulis komentar baru