***
Tak pernah kuduga, bila akulah yang terpilih mewakili perlombaan ini. Padahal aku tak pernah mengharapkan hal itu terjadi. karena aku amat miskin pengalaman dalam mengikuti sebuah lomba. Tapi entah mengapa, Bu Risma memilih aku daripada teman-temanku yang kukira jauh lebih pantas terpilih dibanding aku. Ia lebih mempercayai aku. Mengingat, ini adalah seleksi awal yang diadakan sekolahku untuk menentukan siapa yang berhak mewakili lomba, benakku seakan menggeliat penuh tanya atas apa yang menjadi kelebihan puisiku sampai-sampai mampu membuat Bu Risma tersanjung dan mengatakan; “puisimu bagus”.
Oh ya, dalam lomba ini aku masuk kategori berpasangan, cipta puisi dan baca puisi. Tapi aku hanya ditugaskan untuk mencipta puisi saja dan Wahyuni sebagai pembacanya. Wahyuni juga sama sepertiku, belum pernah mengenyam bangku perlombaan dan belum punya pengalaman sedikitpun akan itu. Tapi dia beda denganku, dia tampak lebih santai menanggapinya. Sedang aku bagai dikejar-kejar polisi karna tidak membawa helm. Super duper bingung, bimbang, entah campur aduk.
Seminggu Kemudian
Ada yang berbeda di pagi ini. Jika biasanya jam setengah lima pagi aku masih enak-enak “ngelegur” diatas kasur, jika biasanya jam segitu aku masih “mbeling” dengan guling. Kini seakan jadi cambuk buatku. Bergegas membuka mata dan cepat bangun. Tapi terbesit dalam lamunan akan lomba yang nanti kuhadapi. Aku masih bimbang dan ragu, seakan-akan aku tak percaya amanat seberat ini diembankan kapadaku, yang sama sekali tidak mempunyai alat untuk menopang beban itu. Seperti tergugah dalam tidur yang panjang disertai guyuran air ke muka. Tiba-tiba buyarlah lamunan, bimbang serta raguku. Berubah menjadi tekat kuat untuk bisa menjadi juara dalam perlombaan nanti. Kuguyur seluruh badanku hingga bermunajat kepada-Nya.
Hari “H” telah tiba, terlihat dengan jelas lawan-lawanku dalam perlombaan ini. Lagi-lagi aku masih tak percaya, kalau aku yang hanya siswa biasa, tidak tau apa-apa pun hanya siswa yang pas-pasan saja, bisa berdiri ditengah kerumunan siswa terpilih seluruh SMA di Jepara. Sungguh seperti mimpi aku disini.
Perlombaan telah dimulai, kata demi kata mulai kususun dan kurangkai. Dengan penuh keseriusan diri, aku bertengkar sengit dengan imajinasi. Diksi, majas, rima, judul jadi hal yang kuperebutkan dengannya. Akhirnya setajuk puisi telah berhasil tercipta. Tapi pertengkaranku dengan imajinasi belum selesai, karna aku belum menemu judul yang pas buat puisiku tadi. Ya, aku memang sedikit beda dengan teman-temanku. Jika mereka lebih mendahulukan judul daripada sajak. Aku tak sama. Aku lebih suka sebuah judul puisi itu dibuat pada akhir ketika sajak-sajak telah terangkai. Sebab dengan itu, aku bisa mengambil satu simpulan yang sanggup mewakili seluruh makna puisiku. Akhirnya kutemui judul yang kiranya pas. Kupilih “JARI TENGAH” untuk menjadi pedang tajam dari puisiku. Kenapa kusebut pedang?, Karna dalam puisiku berisi kritik sosial dan hal-hal yang kuanggap tabu di negeri ini.
Singkat waktu, saat-saat menengangkan hadir. Ketika pembacaan pemenang dimulai. Hatiku hanya bisa pasrah pada Tuhan, kala itu aku hanya meminta, “Tuhan ijinkan aku untuk membahagiakan orang-orang yang aku sayang, berilah kemenangan padaku Tuhan. Aku sangat inginkan itu”. Bagai jadi senjata jitu, do’aku ternyata terkabul. Aku menjadi juara I dan bisa mengalahkan lawan-lawan beratku. Tapi sayang, Wahyuni gagal mengikuti langkahku, dia tak juara dalam perlombaan ini.
Perjuangan tidak cukup berakhir disini saja. Aku masih harus berjuang lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Ya, dua minggu lagi aku akan berangkat ke boyolali demi mengikuti lomba tingkat kota se-Jawa Tengah. Sangat berbeda dari sebelumnya. Pada lomba ini bukan saja sekolah yang akan kubawa namun juga kota jepara. Beban berlipat-lipat membumbung tinggi di pundakku.
Dua minggu kemudian
Berbagai macam persiapan telah kulakukan, termasuk Si “JARI TENGAH” yang sepertinya pada perlombaan nanti aku masih memakainya. Ada yang berbeda sekarang, aku tidak lagi berpasangan dengan Wahyuni tapi dengan Pitry, siswa yang menjadi juara baca puisi pada perlombaan tingkat SMA dua minggu yang lalu.
Singkat waktu, kini tibalah aku di gedung yang megah, besar lagi luas; Takjub. Oh ternyata tempat ini, tempat yang biasa menjadi persinggahan sementara para calon haji sebelum berangkat ke tanah suci. Kubaca papan beranda gedung itu, bertuliskan “Wisma Haji Donohudan”. Bergetarlah hati, sungguh begitu terhormatnya aku berdiri disini. Hingga saat-saat lomba dimulai. Tak banyak berubah dari caraku merangkai saja. Masih sama, yaitu dengan santai dan penuh kehati-hatian. Pitry was-was menungguku, sebab ia yang nanti akan berjuang membacakan puisiku.
Hingga saat penentuan pemenang lomba tiba. Tapi sayang aku tak menang dalam lomba ini. Tapi puisiku mendapat juara III lewat kategori baca puisi oleh pitry. Namun meski tak juara. Aku sangat bahagia sekali. Merasa bangga, karna aku yang dulu hanya seorang siswa yang berlindung dibalik tembok. Aku yang dulu seorang siswa yang selalu melihat koin jatuh. Kini aku berubah menjadi individu yang lebih berarti. Prestiseku naik, dan semua warga sekolah mulai mengenalku, menghormatiku bahkan adik-adik kelasku banyak yang mengidolakanku sekarang. Aku bersyukur.
Aji Sutrisno
Komentar
Tulis komentar baru