Skip to Content

Hilang

Foto AL ARUDI
files/user/9950/WP_20181127_002.jpg
WP_20181127_002.jpg

HILANG

Aku dan dua orang temanku adalah pria penyuka tanaman anggrek . Temanku yang sehobby itu ialah Abid dan Bujai.   Kecintaan kami kepada tanaman anggrek bertujuan untuk melestarikan tanaman anggrek spesies yang akhir-akhir ini sudah hampir punah akibat banyaknya penebangan hutan yang bertujuan untuk membuat perkebunan kelapa sawit yang ada di daerahku. Kami bertiga masing-masing memiliki koleksi tanaman anggrek di atas lahan yang  sudah kami sediakan. Untuk mendapatkan bibit anggrek itu kami mengambilnya dari hutan yang belum jadi sasaran penebangan. Terkadang kami juga mendapatkannya dengan cara membeli online dari luar daerah kami. Kami juga terkadang menjual koleksi anggrek-anggrek kami jika ada orang yang tertarik untuk membeli, terutama sekali jenis anggrek hybrida yang kami peroleh dari membeli online. Sedangkan  untuk anggrek spesies yang kami peroleh dari hutan jarang sekali kami menjualnya, mengingat keberadaannya sudah langka

Aku dan Bujai serta Abid kerap pergi ke hutan untuk berburu anggrek pada saat hari libur kerja, khususnya pada hari Sabtu dan Minggu.  Sebab di hari-hari yang lain aku dan Abid disibukkan dengan urusan kantor sebagai pekerjaan pokok kami. Sedangkan Bujai tidak terlalu terikat, karena dia memang seorang pekerja serabutan.

Demikianlah, hari ini hari Minggu, sebagaimana biasa kami pergi ke hutan untuk berburu anggrek. Aku berangkat meninggalkan rumah dengan megendarai sepeda motor umtuk menuju ke rumah Bujai, tempat kami biasa berkempul sebelum berangkat menuju hutan. Jalanan belum terlalu ramai, mentari belum menunjukkan sinarnya yang garang, udara masih terasa sejuk menggigit kulitku,saat aku melajukan kendaraan roda duaku. Dari rumahku ke rumah Bujai berjarak kurang lebih lima belas kilometer. Bujai tinggal di kampung, sedangkan aku dan Abid tinggal di kota. Sepanjang jalan aku melirik ke kiri dan ke kanan, memandang hutan ataupun kebun yang kulalui. Sungguh menyejukkan hati, karena setiap hari kerja selalu berhadapan dengan monitor komputer yang melelahkan mata dan pikiran. Setelah kurang lebih setengah jam di perjalanan, akupun tiba di rumah Bujai, yang di lahan samping rumahnya ditembuhi bermacam-macam jenis tanaman anggrek

Rumah Bujai adalah rumah sederhana sebagaimana layaknya rumah-rumah yang ada di kampung. Dinndingnya setengah bata dan setengah papan. Namun walaupun demikian, rumah Bujai tanpakk asri karena adanya koleksi bermacam-macam jenis anggrek..Udara di sekitarnya masih terasa  sejuk , merupakan ciri khas udara di kampung. Di belakang rumahnya tampak juaga ada segerobolan ayam sedang  mematuk-matuk makanan yang disediakan oleh Bujai.

Kedatanganku disambut oleh Bujai dengan ramah, sebagimana layaknya seorang teman. Sebagimana biasa, aku duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu yang ada di halaman rumah Bujai,. Istri Bujai keluar sambil membawa tiga gelas kopi yang masih panas. Setelah dia mempersilahkan aku minum, dia kembali lagi ke dalam rumah.

Beberapa saat kemudian   Bujai datang menghampiriku, dia duduk di sebelahku. Dia sudah siap dengan pakaian yang biasa dia gunakan untuk pergi ke hutan,  sepatu karet , topi, dan baju kaos lengan panjang yang sudah tampak kumal. Sebenarnya pakaian itu dicuci oleh Bujai setiap pualang dari hutan, tapi karena sudah terlalu sering dibawa ke hutan jadi sulit mencucinya hingga bersih total. Bujai tampak ceria di wajahnya, karena dia menyukai berburu anggrek di hutan, untuk menyelamatkan spesies itu. Dia menemaniku menyeruput kopi panas yang ada di hadapan meja. Sambil menunggu Abid datang, aku dan Bujai bercerita sekitar masalah anggrek.

Berapa saat kemudian terdengar suara motor Honda bebek menuju ke halaman rumah Bujai. Abid sudah datang. Dia memarkirkan motornya tidak jauh dari tempat aku dan Bujai duduk. Diapun menghampiri aku dan Bujai, kemudian ikut menyeruput kopi yang sudah tersedia untuknya. Dengan wajah cerah dan gembira Abid juga ikut menimpali pembicaraan aku dan Bujai seputar masalah berburu anggrek.

“ Jadi tujuan kita ke hutan mana hari ini, Bro?” tanya Bujai setelah kami usai menghabiskan kopi di atas meja.

“ Kita ke hutan kampung Rasau saja. Karna di sana masih banyak anggrek yang belum kita ambil. Ada berita hutan itu akan di sodok dengan boldozer. Sayang  anggrek-anggrek di hutan itu jika nantinya hancur dan habis dihululantakkan oleh boldozer,” jawabku.

“Baiklah..ayo kita berangkat. Mumpung hari belum siang. Kalau sudah terlalu siang tidak enak lagi kita berburu,” ajak Bujai, smbil menghabiskan kopinya yang masih tersisa

Abid hanya menggut-manggut saja. Dia menurut saja dengan usul kami. Kemanapun dia suka.

Kami berangkat menuju hutan dengan sepeda motor. Kami membawa motor masing-masing.  Bujai berada di posisi paling depan, dia lebih duluan menancapkan gas motornya. Sepanjang jalan Bujai nampak bergembira sekali dan penuh semanagat, seperti anak muda umur dua puluhan tahun, padahal umurnya udah mendekati lima puluhan dan sudah memeiliki istri dan anak. Sedangkan aku dan Abid mengendarai kendaraan kami dengan kecepatan normal. Aku sendiri memang lebih suka pelan-pealan, biar lambat asal selamat.

Jalan yang kami lalaui di kiri kanan masih banyak hutan dan kebun, sedikit sekali ada rumah penduduk.hanya sesekali berpapasan dengan mobil atau pun sepeda motor yanglain.  Udara pagi terasa sejuk menerpa kulit kami. Angin yang meniup tubuh kami dalam perjalanan  benar-benar menyejukkan hati. Udara sepanjang perjalanan yang kami lalui masih jauh dari polusi.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang satu jam, kami tiba di sebuah pondok di tepi kebun yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Tanaman di sekitar kebun tampak tak terurus lagi, mungkin pemiliknya sudah tidak sempat lagi merawatnya, atau juga mungkin pemiliknya sudah meninggal dunia. Namun walaupaun tak terurus lagi pondok ini layak untuk kami jadikan tempat istirahat. Bujai tiba lebih dulu di pondok, saat aku dan Abid datang dia sudah duduk melojorkan kakinya di atas lantai pondok yang terbuat dari susunan kayu bulat itu.

Di pondok inilah kami menaruh sepeda motor kami, karena untuk menuju hutan harus berjalan kaki lagi dari pondok. Kendaraan tidak bisa dibawa ke dalam hutan. Usai  aku dan Abid memarkirkan motor kami, Bujai langgsung mengajak kami menuju hutan tujuan kami. Aku dan Abid tidak istirahat dulu di pondok, karena aku sendiri memang lebih suka langsung berangkat sambil menggerakkan kaki setelah satu jam lebih duduk di jok motor.Kami pun mengikuti ajakan Bujai. Kami berjalan menuju hutan, melalui kebun yang di sana sini masih terdapat tanaman lada yang tak terurus lagi, sebagian daunnya sudah menguning.  Rumput-rumput liar sudah menutupi kebun yang sangat luas ini.

Setelah melewati kebun , kami tiba di tepi hutan. Udara lembab dan sejuk yang merupakan ciri khas hutan menerpa tubuh kami. Nyanyian burung-burung dan jeritan serangga terdengar lebih merdu daripada nyayian artis ibukota yang sudah angkrab dengan telinga orang-orang kota. Gemercik suara air mengalir dari parit di tepi hutan melengkapi melengkapi keindahan suara alam di hutan yang akan kami masuki.

Kami menulusuri hutan yang masih ditutupi bermacam-macam tanaman tropis, serta pohon kayu yang besar-besar yang belum banyak terjamah oleh penebang liar. Setiap kami melangkah, tangan kami terpaksa harus memotong tumbuhan yang menghadang, karena memang tidak ada jalan . Kami juga harus berjalan di atas tanah lembut yang berair, sehinnga terkadang kaki kami terbenam ke dalam becek.

Setiap bagian hutan dan pohon beasar kami dekati untuk melihat apakah ada tanaman anggrek. Semakin dalam kami  memasuki hutan habitat anggrek mulai tampak. Kami pun mulai mengambil anggrek-angrek yang kami temui. Bermacam-macam jenis anggrek yang kami temui,ada phalaenopsis, dendrobium, chymbidium, yang terbanyak adalah jenis bulbophylum. Jenis bulbophylum adalah jenis anggrek yang paling banyak tumbuh di hutan di daerah kami. Anggrek –anggrek itu kami masukan ke dalam karung yang sudah kami bawa dari rumah masing-masing.

Aku mulai merasa lelah, napasku mulai ngos-ngosan setelah berjalan di tengah hutan yang penuh rintangan. Berjalan di tengah hutan bukan hanya berhadapan dengan tumbuhan yang masih rapat, terkdang harus melewati rintangan pohon besar yang sudah tumbang yang menghalangi jalan, sehingga kita harus melangkahinya ataupun menyuruk di bawah pohon tumbang itu. Karena tenaga sudah terkuras, aku mengajak Abid yang berjalan tidak jauh dariku untuk keluar hutan. Abid pun menyutujui ajakanku, aku berjalan duluan dan dia mengikuti dari belakang.

Namun sebelum melanjut kan perjalanan , aku dan Abid berhenti sejenak, sambil menyeru-nyeru memanggil Bujai. Tapi tak ada sahutan dari Bujai. Aku dan Abid terus memanggil tanpa henti. Baik aku maupun Abid tidak melihat kemana arah Bujai saat dia memisahkan diri dari kami. Kami masing-masing sibuk menjelajahi setiap pohon-pohon yang ditumbuhi tanaman anggrek. Bujai sendiri sudah terbiasa seperti itu, kalau sudah  masuk huatan dia memisahkan diri agak jauh dari kami, namun akhirnya kami tetap bertemu di tepi hutan. Karena sudah lama kami memanggil tak ada sahutan dari Bujai, aku dan Abid putuskan untuk keluar hutan lebih duluan. Dengan menyusuri jalan yang telah kami buat jejak dengan mematahkan pohon-pohon kecil saat kami memasuki hutan tadi. Tiba di tepi hutan aku dan Abid berirstirahat, sambil menunggu Bujai.  Aku dan Abid juga merapikan anggrek-angrek yang telah kami peroleh, membuang daun serta akar-akar yang sudah tidak bagus lagi pertumbuhannya, kemudian kami masukkan lagi ke dalam karung.

Setelah setengah jam aku dan Abid beristirahat, kami menyeru – nyeru Bujai lagi, namun lagi-lagi tak ada sahutan . Biasanya tak sampai lima belas menit Bujai sudah berkumpul kembali bersama kami di tepi hutan. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh  terjadi dengan Bujai, entah dari mana datangnya. Perasaan ganjil menyeruak ke dalam benakku. Tapi aku tidak menyampaikannya kepada Abid. Mudah-mudahan itu hanya perasaan ke sendiri karena suka nonton film misteri. Karena tidak kunjung ada sahutan aku mencoba mengambil ponsel untuk menelponnya, tapi akhirnya kuurungkan setelah teringat Bujai tak memiliki ponsel.

Setelah satu jam menunggu di tepi hutan, Bujai tak kunjung nongol, aku mengajak Abid menuju pondok tempat kami memarkir motor. Biarlah aku dan Abid menunggu Bujai di pondok saja, fikirku. Abid pun menyutujui saranku. Abid, temanku yang satu ini, memang tidak banyak omong. Kalau kami ke hutan, dia lebih banyak mengikut saja apa yang kami omong, selama itu menurutnya masih wajar dan benar. Akhirnya aku dan Abid berjalan menuju pondok menyusuri kebun yang tak terurus , yang kami lewati waktu berangkat tadi. Dalam perjalanan pulang menuju pondok, langkah kami terasa lebih berat daripada waktu berangkat tadi. Sebab ada beban sekarung tanaman anggrek yang harus kami bawa masing-masing. Ditambah lagi perasaan lelah sudah menyerang kami setelah beradu dengan segala rintangan  di tengah hutan tadi.

Tiba di pondok aku menaruh anggrek yang sedari tadi aku pikul di pundakku ke atas motor . Kuikat dengan tali karet di atas jok motorku,  di bagian belakang. Bahuku terasa ringan setelah memindahan  sekarung  anggrek itu ke atas motorku. Abid juga melakukan hal yang sama dengan seperti apa yang aku lakukan.

Aku dan Abid duduk di lantai pondok yang terbuat dari kayu bulat yang disusun rapi. Kami menikmati bekal yang kami bawa dari rumah masing-masing. Aku membawa roti, sedang Abid membawa kue-kue jajanan yang biasa dijual di pasar tradisional. Aku dan Abid saling berbagi bekal. Sungguh enak menikmati makanan di pondok kebun di tepi hutan, Angin sepoi-sepoi menerpa tubuh kami, semakin menambah nikmatnya kami  menikmati makanan dan minuman. Pandangan kami tertuju ke arah pepohonan yang ada di kejauhan. Sebuah pemandangan yang sangat indah dan bersih, yang tidak dijumpai di perkotaan. Hutan-hutan ini mungkin tidak akan aku saksikan lagi lima tahun ke depan karena akan disodok dengan boldozerr, akan dibangun perkebunan kelapa sawit atau tambang timah inkonvensional yang sedang marak di daerahku.

Sambil menikmati bekal yang kami bawa, aku dan Abid masih mengingat Bujai yang juga belum tanpak batang hidungnya. Entah kemana dia sekarang. Usai menikmati bekal yang aku bawa, aku berbaring di atas pondok, begitu juga dengan Abid. Aku dan Abid akan menunggu Bujai hingga petang menjelang malam. Jika sudah menjelang malam Bujai belum nampak juga, aku dan Abid memutuskan untuk pulang dan menyampaikan berita soal Bujai kepada istrinya di rumah.

Tanpa disadari aku dan Abid tertidur di pondok. Kurang lebih hampir dua jam aku dan Abid ketiduran karena kelelahan karena tiupan angin di sekitar pondok membuat mataku dan Abid terlena. Saat kami terjaga hari sudah sore.  Dan kami melihat ke sekitar, Bujai belum juga nampak. Dan akhirnya sesuai rencana semula,aku dan Abid

  putuskan untuk meninggalkan pondok.

Tiba di rumah Bujai, aku khabarkan berita tentang Bujai kepada istrinya. Wanita setengah baya itu memandang dengan wajah cemas dan khawatir. Aku berusaha menenangkannya, dengan kata-kata yang tidak membuat dia dilanda kecemasan. Aku berikan nomor ponselku kepada wanita itu. Dengan maksud jika Bujai sudah berhari-hari tidak kunjung pulang juga, bisa menghubungiku untuk menjadi petunjuk jalan ke arah hutan tempat Bujai terakhir kali aku lihat.

                                      *****

Tiga hari telah berlalu. Ponselku berdering. Aku lihat ada panggilan dari nomor yang tak kukenal. Biasanya aku tidak pernah mengangkat ponselku, jika yang nelepon nomor tak dikenal. Tapi karena aku ingat pernah memberi nomor ponsel kepada istri Bujai tiga hari yang lalu, aku angkat juga ponselku. Aku berfikir kalau-kalau itu dari istri Bujai ataupun orang yang mewakilinya, karena setahuku  Bujai dan istrinya tak punya ponsel.

“ Hallo!” kataku

“Hallo!”jawaban dari seberang, “ saya Kepala Desa Merbaung.  Ingin meminta bantuan Anda untuk jadi penunjuk jalan dalam pencarian sauadara Bujai. Menurut istrinya, Anda dan teman Anda adalah orang terakhir bersama Bujai saat pergi mencari annggrek ke hutan.

“ Baik,” kataku, “ Aku akan ke sana sekarang. Aku akan ke rumah Bujai, nanti kta berangkat sama-sama dari rumah Bujai.

“ Baiklah,” uajar kepala desa itu lagi.

Hari masih pagi juga saat aku menuju rumah Bujai. Mungkin mereka sengaja melakukan pencarian di pagi hari supaya waktunya lebih panjang, fikirku. Aku sudah menghubungi Abid, tapi dia berhalangan karena ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Ada saudaranya yang meninggal dunia. Cuma dia akan menunggu khabar dariku tentang hasil pencarian Bujai. Akhirnya aku pergi sendiri ke rumah Bujai

Di rumah Bujai, ternyata tidak hanya ada seorang kepala desa. Aku lihat ada dua orang berseragam polisi dan lima orang berseragam Basarnas. Di sisi lain rumah Bujai ada beberapa orang warga desa yang akan ikut juga ke hutan dalam rangka mencari Bujai. Aku pun berangkat menuju ke hutan bersama mereka  dengan mobil yang dibawa tim SAR dari BASARNAS. Aku di suruh duduk di depan dekat supir, karena aku menjadi penunjuk jalan. Sementara sepeda motorku kutitipkan di rumah Bujai.

Tiba di hutan, aku dan rombongan menyusuri seluruh  sisi –sisi hutan yang diduga tempat hilangnya Bujai. Lebatnya rimbunan pohon di hutan menjadi hambatan utama dalam usaha pencarian kami. Ditambah lagi harus melewati ceruk-ceruk yang berisi air dan lumpur yang sering kami jumpai di tengah hutan. Semua itu membuat tenaga kami cepat terkuras

Di tengah hutan kami pecah jadi dua kelompok. Kelompok satu terdiri dari Aku, polisi dari polsek dan tim SAR. Kelompok dua terdiri dari masyarakat Desa Merbaung yang dipimpin kepala desanya.  Kami terus mencari dengan segenap tenaga yang ada, menerabas rerimbunan pohon yang dibarengi oleh udara lembab di hutan yang belum banyak terjamah tangan manusia.  Mungkin aku terakhir kali bisa menyaksikan reribunan hutan ini, karena aku yakin beberapa tahun kedepan hutan ini akan berubah jadi perkebunan kelapa sawit atau tambang timah inkonvensioanal. Di antara rombongan masyarakat desa ada yang memukul-mukul kaleng dengan maksud makhluk halus berjoget-joget dan melupakan Bujai, yang akhirnya mereka akan melepaskan Bujai. Tapi itu hanya dugaan mereka sebagai masyarakat desa, belum tentu Bujai diculik makhluk halus. Mereka yakin Bujai tidak akan hialng jika tidak diculik makhluk halus. Karena sebagai orang lahir dan besar di kampung, Bujai sudah terbiasa keluar masuk hutan.

Karena hari sudah menjelang malam, aku dan rombongan sudah kelelahan, tidak mungkin lagi pencarian dilanjutkan. Akhirnya aku dan rombongan berkumpul kembali di tepi hutan. Dan atas persetujuan bersama, aku dan rombongan memutuskan untuk menghentikan pencarian. Untuk pencarian selanjutnya belum bisa dipastiakan kapan akan dilakukan.  Tanda –tanda keberadaan bujang di hutan itupun tak ditemukan sama sekali. Hasil penyelidikan polisi pun tidak ada dugaan Bujai hilang akibat perbuatan kriminalitas.

Iistri dan anak Bujai pun hanya bisa menanti dengan pasrah. Mereka siap menerima kemungkinan terburuk, walaupun didera perasaan sedih dan air mata berderai di pipi mereka.

Berhari- hari aku pun menunggu kalau-kalu ada panggilan telpon dari Kepala Desa Merbaung. Aku berharap ada khabar baru tentang pencarian Bujai. Tapi hingga satu bulan sejak pencarian itu, aku tidak menerima khabar apa-apa. Koran harian daerahpun yang aku baca setiap hari di perpustakaan tempat aku bekerja tidak memberitakan perihal hilangnya Bujai.

Musim hujan mulai melanda daerahku. Sebagaimana biasa, selama musim hujan aku, Abid dan Bujai memang tidak pernah ke hutan. Otomatis selama satu bulan sejak kehilangan Bujai, aku tidak melihat hutan lagi.

Hingga suatu hari aku mengajak Abid untuk pergi ke rumah Bujai. Kami ke rumah Abid membawa juga makanan ringan untuk anak -anak Bujai. Tiba di halaman rumah Bujai aku dan Abid Saling Pandang,Di bangku depan rumahnya, Bujai sedang duduk sendirian dengan pandangan kosong, rambutnya kusut awut-awutan, pakainnya kumal seperti tak terurus. Kumis yang tumbuh di atas bibirnya, yang biasanya selalu dicukurnya kalau panjang,,  tampak menjuntai menutupi bibirnya. Penampilannya seperti orang hilang ingatan

Aku dan Abid mendekati Bujai, sorot matanya tajam memandang kearah kami. Namun pandangan itu sepertinya kosong, tidak mengandung maksud apa-apa. Setiap kali aku berusaha mengajaknya bicara, dia hanya terdiam sambil menatap dengan pandangan kosong.  Memang ada dia membalas omonganku, namun ngelantur, tidak jelas apa yang dibicarakannya,. Tiba-tiba bujang berlari ke arah belakang rumahnya, dan duduk mengendap di sudut rumahnya. Melihat Bujai seperti itu, rasa haru menyelimuti hatiku dan Abid. Tanpa terasa ada benda bening yng mengalir di pipiku. Padahal terakhir benda itu tak pernah lagi mengalir di pipiku. Terakhir sekali saat orang tuaku meninggalkanku di kala aku masih kecil.

Sejak hari itu, sekali-sekali aku dan Abid pergi bertamu kerumah Bujai, sambil membawa makanan-makanan kecil dan sedikit uang untuk anak-anaknya*********

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler