Skip to Content

ROMAN PULO KEMARO

Foto Novhita Malihah

Roman Pulo Kemaro

 

            “Sel, kamu percaya dak sama kisah yang di Pulo Kemaro itu?.”

            “Idak, kenapa?. Emang ada kisah apa?.” Tanyanya namun masih begitu sibuk dengan persiapan packingnya.

            Anis yang merasa ceritanya akan begitu menarik bagi sahabatnya langsung membenarkan posisi duduknya. “Ya saman Sel, masak dak tau?. Kisah di Pulo Kemaro itu kan udah terkenal nian sampe ke pelosok negeri.” Katanya melebih-lebihkan.

            “Dak usah alay deh Nis, palingan kisah cintanya Siti Fatimah sama siapa tu nama pangerannya?.”

            “Tan Bun Ann.”

            “Nah, iya itu tu.”

            “Bukan yang itu Selaa...”

            “Truz?.” Dengan ekspresi yang masih biasa.

            “Masak dak tau sih Sel, itu loh cerita pohon cinta yang ada disitu tu.” Dengan bibir monyong kedepan.

            “Oh.”

            Meski tidak terlalu di perhatikan oleh sahabatnya yang masih saja sibuk dengan kegiatannya, Anis tetap setia meneruskan ceritanya itu.

            “Kata orang-orang ni ya Sel, kalo kita nulisin nama kita sama nama pasangan kita di pohon cinta itu, maka cinta kita sama pasangan kita itu akan abadi sampai akhir hayat nanti.” Katanya dengan senyum mengembang.

            “O..., cak itu ye..?”

            “Ya saman Sela, cuek nian si. Aku itu uda berbusa-busa jelasinnya dengan sedemikian menariknya. Tapi, kamu malah biasa banget tanggapannya.” Ucapnya, mulai kesal dengan sikap sahabatnya yang satu ini.

            “Ya emang aku harus cakmano?. Apa aku harus lompat-lompat kegirangan sambil makan pempek kapal selam campur cuka, trus ngomong pedes-pedes gitu?.”

            “Ya dak gitu juga sih.”

            “Ciyus?. Miapa?.”

            “Sela....”

            “Hahahaha.” Selapun terbahak-bahak melihat ekspresi Anis sahabatnya yang mulai kesal dengan sikap ceuknya.

            Tak lama dari itu pun akhirnya mereka tidur, untuk mempersiapkan fisik mereka agar tetap fit. Mengingat besok adalah hari pertama mereka resmi menjadi mahasiswa di IAIN Raden Fatah Palembang, tepatnya di Fakultas Adab dan Humaniora, jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. IAIN mereupakan sebuah kampus hijau yang cukup luas, memiliki lima buah fakultas yang terdiri dari fakultas Tarbiyah sebagai ibu kotanya, kemudian Syariah yang terkenal dengan hukum dan muamalahnya, fakultas Dakwah dengan Teknologi Informasinya, serta Fakutas Adab dan Humaniora yang eksis dengan julukan Fakultas Sastra Arab dan Kebudayannya. Begitu pula dengan Fakultas Ushuludin yang merupakan fakultas paling ragil disini.

¤¤¤

            Pagi-pagi buta, di Fakultas Adab sudah nampak begitu ramai. Terlihat para panitia yang sibuk kulu-kilir, bulak-balik, dari depan ke belakang. Nampak seperti belalang yang sibuk mencari-cari mangsanya.

            “Ben, gimana bisnya uda siap kan?.”

            “Beres Bro.”

            “San, snack sama makan siangnya gimana?.”

            “Sepz, ntar tinggal call aja langsung anter.”

            “Mon, data peserta sama pembicaranya uda beres kan?.”

            “Yo’i.”

            “Okey, kalo gitu. Semuanya uda siap. Dari pembicara, data peserta, bis, sampai masalah konsumsi juga uda beres. Sekarang saya harap kepada semuanya untuk bisa tetap bekerja sama dengan baik sampai berakhirnya jelajah sejarah kita nanti. Sepakat?.”

            “Sepakat.” Serentak semuanya menyetujui.

            “Prim, semua peserta sekarang udah siap dan mereka juga sekarang udah kumpul dilapangan. Tapi, ada kendala sedikit.” Tungkas Ramon yang mulai serius.

            “Masuknya?. Kendala apa?.”

            “Ada dua peserta lagi yang belum hadir.”

            “Okey, kalo gitu kita tunda keberangkatan kita sampai sepuluh menit. Kalo dalam selama sepuluh menit mereka belum hadir juga. Maka kita langsung aja berangkat.”

            “Okey.” Dengan secepat kilat, Ramon pun langsung menuju ke Beno selaku penanggung jawab perjalanan jelajah sejarah mereka. “Ben, perjalanan ditunda selama sepuluh menit.”

            “Sepz.” Jawab Beno.

            “Yaah..” Serentak kesah peserta yang telah siap mendaki kedalam bis.

            “Baiklah, adik-adik semuanya. Harap tenang, karena ada kesalahan sedikit sehingga perjalanan kita pagi ini harus di tunda sebentar.” Ujar Santi mencoba menenangkan peserta yang merupakan adik tingkatnya di Fakultas. Perlahan iapun mendekati Ramon yang dengan tiba-tiba meminta mereka menunda perjalanan mereka.

            “Mon, ada paan?. Kok tiba-tiba kamu bilang untuk di tunda?.”

            “Ya masalahnya, ada dua peserta yang belum dateng. Makanya ditunda, lagian ni juga perintah dari ketua langsung tu.” Jelasnya, yang tengah bersandar didinding sambil mendekap kedua tangannya.

¤¤¤

            “Nis, cepetan!. Kita uda telat ni.”

            “Iya bentar.”

            “Nis, ntar kita ketinggalan bis ni.”

            “Iya Sel, bentar lagi.”

            “Emang kamu lagi ngapoin sih?.” Karena kesal menunggu, Selapun akhirnya melangkah menghampiri Anis di kamar yang sedari tadi tak kunjung muncul-muncul juga.

            “Nyari ini Sel.” Ucapnya sambil menunjukan liontin yang dipegangnya.

            “Jadi dari tadi..?.”

            “Hehe, iya Sel dari tadi aku nyari kalung ini. Kalung ini kan hadiah pertama yang dikasiin Awang sama aku. Didalamnya juga ada foto aku sama dia.” Ujarnya dengan senyum.

            “Emangnya, mau kamu apain itu kalung?.”

            “Mau aku gantungin di pohon cinta di pulau kemaro ntar. Biar cintaku sama Awang abadi sampai akhir nanti.”

            “Istighfar Nis, syirik itu?. ingat Nis, kita ke pulo kemaro itu buat jelajah sejarah. Bukan buat ramal-ramalan, palagi cinta-cintaan.”

            “Iya Sel, aku tau. Tapi apa salahnya kan?. Ibarat pepatah bilang ni ya. Sekali tepuk dua, tiga pulao terlampoi.”

            “Maasi’ti lah Nis.” Iapun pergi meninggalkan Anis yang masih sibuk dengan kalungnya.

            “Eh Sel, tunggu aku.” Anis melesat dengan cepat menyusul Sela yang pergi duluan meninggalkannya.

¤¤¤

            “Uda sepuluh menit. Sekarang kita berangkat.” Ucap Prima.

            “Brumm.” Suara mesin mobil yang mulai menderu.

            “Tunggu..!.” terdengar teriakan dari arah selatan bis ketika berbelok keluar dari gerbang kampus.

            “Tunggu.., Ya Sel, cakmano nih?.”

            “Dak tau, pokoknya kita lari bae dulu.”

            Didalam bis.

            “Mon, Prim!.” Ucap Beno sembari menyodorkan jarinya sebagai tanda perintah melihat keluar.

            “Stop Pak!.” Ucap Prima secepat kilat.

            “Sheetttt...” secepat kilat pula mamang bis menginjak rem itu.

            “Aaaa.... aduuhhhh...” celoteh anak-anak di dalam bis yang tak setuju dengan keputusan mamang sopir yang secara tiba-tiba meng-rem.

            “Bisnya berhenti Sel.” Teriak Anis kegiraangan.

            “Iya, alhamdulillah.

            Perlahan-lahan, bis itu pun berjalan mundur kebelakang. Berhenti dan segera membukakan pintunya. Perasaan senang luar biasa sangat dirasakan oleh Sela dan Anis. Apalagi ketika yang membuka pintu itu merupakan seorang pria yang tinggi, tegap, dan tampan. Bagaikan Arjuna mengendarai kereta kencana yang membukakan pintu dan meminta sang Sinta untuk masuk dan duduk berdampingan dengannya. Namun,,

            “KALIAN INI, BENAR-BENAR MEREPOTKAN. KENAPA BISA TERLAMBAATT?.” Dup, seakan tersambar petir. Arjuna itu tiba-tiba berubah seperti Rahwana yang sangat menyeramkan.

            “Ka.. itu, anu, tadi, kami.”

            “Sudah, sekarang masuk kedalam. SEKARANG!.”

            “I..i.. iya..” Bless.., merekapun langsung melesat kedalam. Na’as, mata-mata itu seperti mata para pembajak yang siap menerkam mangsanya.

            “Assalammua’laikuuumm...” Ucap mereka berdua sambil mengumbar senyum kemana-mana. Berharap mata-mata itu akan bersahabat dan tak jadi memangsanya. Syukurlah, akhirnya merekapun tiba di tempat duduk yang empuk dan nyaman. Meskipun, saat menuju kesana seakan berjalan selama ribuan tahun lamanya. (Lebay).

            Tak terasa satu jam perjalanan telah berlalu. Akhirnya para penjelajah sejarah tiba di tempat. Eitzzz..., namun belum menuju ke tempat jelajah sesungguhnya. Sebab mereka harus mengarungi samudera laut musi dahulu untuk tiba kepulau yang terkenal dengan pulau cinta itu.

            “Ayo.. ayo.., semuanya satu-satu ya naik ke perahunya.” Perintah Beno dengan ramah.

            Satu persatu para penjelajahpun turun dengan hati-hati dan masuk kedalam perahu yang berbentuk rumah itu. Sebuah perahu yang ukurannya mencapai dua kali lima meter itupun berlayar menyisiri laut musi menuju tempat sejarah yang begitu dinanti-nantikan oleh para pesertanya.

            “Sel.” Sambil menarik-narik lengan Sela.

            “Apa?.”

            “Seel…”

            “Ada apa Anis sayang?.” Mulai menolehkan wajahnnya kea rah Anis.

            “Aku.., aku.., uweekk…” Belum selesai bicara, rasa muntah telah mendahuluinya.

            “Iiih…” Teriak mahasiswi lainnya yang sadar bila diantara mereka ada yang mengeluarkan bau yang tak sedap.

            “Astaghfirullah, Nis. Kamu mabuk laut ya?.

            “He’emm..” Ucapnya dengan nada lemas.

            “Ada apa, ada apa?. Tanya Ramon ingin tahu.

            “Ini kak ada yang mabuk laut.” Jelas seorang Mahasiswi.

            “Mabuk laut?. San!.” Panggilnya.

            “Kenapa?.”

            “Ada yang mabuk laut ni.”

            “Okey, biar aku yang urus.”

            “Nis, kamu dak apa-apa kan?.” Tanya Sela yang mulai panik.

            “Iya aku dak apa-apa, cuma pusing aja kok.” Jelasnya sembari setengah tersenyum.

            “Coba dik geser dulu, biar saya yang urus ya.” Perintah Santi.

            “Ba..baik mba.” Selapun mundur dengan wajah cemas.

            “Merepotkan sekali.” Gerutu Ramon dengan nada lirih.

            Mendengar kalimat singkat itu, serentak membuat ubun-ubun sela memanas. “Maksud kakak apa’an ngomong kayak gitu?.”

            Ramon yang menyandarkan dirinya di badan kapal, sejenak merubah posisinya kala mendengar pertanyaan ketus dari adik tingkatnya itu. Tubuhnya yang tinggi sedikit menunduk ke arah Sela yang cukup jauh lebih rendah darinya. “Kenapa?, kamu gak suka?.” Tanyanya dengan nada datar.

            “Iya dong.” Mulai salah tingkah sendiri. “Dengar ya, seharusnya kakak itu selaku panitia yang bertanggung jawab atas pesertanya itu turut khawatir melihat kondisi persertanya seperti itu. Bukannya malah menggerutu gak karuan gitu.”

            Ramon hanya menatapnya tajam. “Bawel.” Jawabnya singkat.

            “A..apa?.”

            “Anak kecil kayak kamu taunya apa?. Telat aja bisanya, mau sok-sokan nasehatin orang dewasa.”

            “Ka..kamu..” Sela semakin kesal.

            “Ehem..” Prima berdehem melihat sikap keduanya. Matanya menatap Ramon dan Sela, tanpa berkata sepata katapun, seakan pandangan itu telah mewakili ucapannya.

            “Okey, aku mau periksa perjalanan dulu. Berapa lama lagi kita akan sampai ketujuan.” Ujar Ramon, yang mengerti arti dari pandangan itu.

            Tak lamapun, Prima turut menyusul Ramon meninggalkan Sela yang terpaku sendiri dalam diamnya. Nafas panjangpun ia tarik, mulai merasakan dan berprasangka bahwa petualangannya hari ini tak akan semulus bayangannya. Sebab telah ada Rahwana dengan sikap menyebalkannya, serta Pangeran es dengan sikapnya yang begitu dingin.

            Tak lama kemudian Puncak Pagoda telah nampak, dengan warna khas merah dan orensnya menjulang tinggi kelangit. Kapal pun menyandarkan dirinya kebadan pelabuhan, secara bergiliran para pesertapun turun dengan hati-hati.

            “Kamu dak apo-apo kan Nis?’

            “Iyo Sel, aku lah baek-baek be.” Ujarnya sembari tersenyum.

            Selapun membalas senyuman itu,  sembari tetap membantu membopong tubuh temannya yang masih lemas itu.

            “Baiklah adik-adik, silahkan dirapikan barisannya dulu. Karena sebentar lagi penjelajahan kita akan segera di mulai. Namun sebelumnya mari kita dengarkan dahulu wejangan dari ketua kita, yakni saudara Prima Widya Kusuma.” Jelas Beno.

            “Assalammu’alaikum waroh matullahi wa bararokatu. Baiklah, sebelumnya saya ucapkan selamat datang di dalam keluarga besar Fakultas Adab dan Humaniora,...” semua peserta mendengarkan dengan khidmat wejangan dari Prima, seakan Soekrno, singa podium yang menghanyutkan para pendengarnya kala mendengarkan kata demi kata hingga kalimat yang tersusun dengan rapi nan indah. Hingga di satu sudut seorang gadis yang begitu memperhatikan setiap gerak bibir dan suara yang keluar dari kerongkongan itu.

            Tanpa di sadarinya Sela begitu terkesima dengan sebuah kepribadian di balik sikap dingin itu. Belum pernah ia temui sosok seperti ini. Hingga wejangan selesaipun ia tetap hanyut dalam lamunannya.

            “Hei.” Suara itu membuatnya tersentak kaget. Di cari-carinya asal suara itu. Hingga menujukan matanya pada sosok yang tak asing lagi baginya. “Mau sampai kapan kamu berdiri terus disini?.” Tanya Ramon.

            “Suka-suka dong.” Jawabnya ketus, sebab rasa kesal masih mengembang di dadanya.

            “Dasar anak kecil, masih ngambek toh rupanya.?”

            “A..apa..?.”

            “Sudah cepat sana, nanti kamu bisa-bisa ketinggalan materi lagi. Ingat yah, hasil penilitian hari ini akan langsung di presentasikan sebelum pulang nanti. Kamu mau kena hukuman karena gak bisa jawabnya.” Ucapnya dan langsung melangkahkan kaki meninggalkan Sela. Dia masih bingung dengan orang yang berada di depannya ini, begitu misterius. Sebentar-bentar begitu menyebalkan, dan sebentar kemudin jadi perhatian.

            “Adik kecil, bisa gak untuk gak ngelamun di tempat ini. Ingat kan pesan penjaganya tadi?.”

            “Oh, i..iya kak.” Yah, Sela hampir lupa bahwa setelah wejangan Prima ada pula wejangan dari penjaga atau kerennya juru kunci dari tempat ini untuk tidak melamun, dan melukakan hal-hal yang sembarangan disini. Meski ia tak mempercayainya, namun Sela harus tetap mematuhi peraturan itu. Tampa di sadarinya pula, ternyata Anis teman karibnya itu telah tak nampak lagi disisinya.

            “Waduh, hampir lupa. Anis tadi kemana ya?. Jangan-jangan...” seakan ia begitu mengerti apa yang hendak di lakukan temanya yang satu ini.

¤¤¤

            “Ya Allah satukan lah aku dengan Awang. Kata orang, kalo nama sepasang kekasih di ukur di pohon cinta ini, maka cintanya akan abadi. Makanya sekarang aku mau ngelatakin kalung aku sama dia disini. Agar nantinya cinta kami bisa tetap hidup dan abadi sampai akhir nanti.” Perlahan ia melepaskan kalung yang melingkar di lehernya

            “Anis..” teriak Sela.

            “Kamu ngapain sih?. Aku kan lah ngomong, ini tu syirik. Dosa besar.”

            “Sela nak ngapo sih, kok jadi kamu yang sewot?. Atau jangan-jangan kamu cemburu dan iri samo aku. Soalnya aku pnyo cowok sedang kau itu idak.”

            “ANIS.” Bentak Sela. “Dak nyangka yo, tega kamu ngomong cak itu.”

            “Yo kalo idak cak itu, terus cak mano...?”

            “Denger yo Nis, aku dak pernah malu apo lagi cemburu samo kamu. Aku jugo bangga dengan diriku dewek. Sebab aku masih bisa menjaga diri, hati, dan perasaan ku untuk orang yang belum halal untuk ku. Dan aku juga bersyukur, sebab Allah menjaga keyakinan ku hingga aku dak akan terjerumus kedalam dosa besar, yanag bisa membuat dia jadi marah dan melaknat aku. Karena aku uda percaya sama hal-hal syirik cak ini.

            “Sela..,”

            “Nis,” suaranya mulai serak, “Aku sayang kamu Nis, bukan hanya karena seorang teman. Aku sayang dan cinta kamu karena Allah, kayak saudara aku dewek. Aku dak galak, kamu sampai terjerumus dalam hal-hal cak ini. Kalo cuma alasan supaya cinta mu sama Awang di restui dan bisa samo-samo terus. Idak harus cak ini Nis. Cinta sejati dan abadi itu hanya milik Allah, dan hanya kepada-Nyalah kita minta semua itu, bukan ke selain Dia Nis.” Ujarnya dengan cucuran air mata.

            “Asstagfirullah. Kamu benar Sel, aku salah. Maafin aku, dak seharusnyo aku cak ini.”

Selapun memeluk sahabatnya yang kalut itu. Serentak tepukan tangan menghujani mereka, tanpa sadar ternyata sedari tadi telah banyak pasang mata yang memperhatikan mereka.

            “Sela benar, Cinta hadir karena, ada, dan hanya untuk Allah. Dasar atau landasan dari segala cinta yang ada di muka bumi ini adalah Cinta karena Allah, jadi jika kita ingin mendapatkan cinta suci dan sejati, maka cintailah dulu Allah, Tuhan kita. Benar begitukan dik kecil.” Ucap Ramon dengan senyum mengembang.

            “Ee.., iya kak.” Iapun membalas senyuman itu dengan muka malu-malu.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler