Ayi
“Menurutmu, kenapa Bagas sekarang jarang kumpul sama kita lagi?” tanya Risa tiba-tiba sore itu di kamarku.
“Nggak tahu deh, Ris, mungkin dia lagi sibuk sama ekskul basketnya itu,” jawabku sekenanya. Aku berpura-pura sibuk membolak-balik halaman majalah yang dibawa Risa dari rumahnya.
Kulirik Risa sekilas, dia sedang melamun di jendela kamarku, memandang ke kebunku yang lama tak kuurus itu. Aku tak tahu pasti apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku pun juga tak tahu apa yang ada di benakku saat ini. Pikiranku kosong melayang entah kemana. Tidak pada majalah yang masih kubolak-balik ini. Tidak juga pada keluhan Risa tentang Bagas beberapa menit lalu itu.
“Kalau dihitung-hitung, hampir sebulan Bagas nggak ngobrol lama dan keluar sama kita, biarpun sekadar nonton film,” Risa melanjutkan keluh kesahnya.
“Bukannya tiap istirahat dia kadang masih mampir ke kelas kita?” Aku mencoba menyanggah.
“Iya. Tapi itu kadang-kadang, Yi, nggak tiap hari. Lagipula seringnya dia malah nyari Lia. Pulang sekolah juga langsung menghilang dari kelas, pulang sendiri tanpa pamit ke kita dulu,”
“Iya juga, ya,” aku mengiyakan tanpa sadar.
Aku menghentikan kegiatanku membolak-balik majalah. Aku ikut-ikutan menuju jendela, duduk di sofa abu-abuku di bawah jendela. Ikut-ikutan memandang kebun malangku. Mau tak mau, aku ikut terpengaruh memikirkan tingkah Bagas akhir-akhir ini. Sebenarnya aku ingin sekali tidak memikirkan tentang dia. Entah kenapa.
Kami bertiga adalah sahabat yang tak pernah terpisahkan sejak kecil, sejak SD. Aku kecil kurus. Kata orang aku seperti orang cina. Padahal kedua orang tuaku asli pribumi. Bagas sering mengejekku aku terlalu imut menjadi anak SMA, cocoknya masih jadi anak SD. Risa, dia cantik. Badannya padat berisi. Dari SMP, dia sudah banyak yang naksir. Sayang, dia galak, banyak anak laki-laki yang mundur duluan sebelum mencoba mendekatinya. Bagas, dia bukan tipe laki-laki yang bisa disebut tampan. Tapi dia anak yang ramah, suka bergaul, dan karismatik menurutku. Postur tubuhnya pun biasa saja, tidak kurus kerontang, tinggi besar pun tidak. Ideal untuk ukuran remaja laki-laki.
Di bangku SMP kami bertiga masih selalu bersama. Tapi kenapa, sejak memasuki dunia putih abu ini Bagas berubah? Kenapa ia terkesan menjauhi kami berdua, aku dan Risa?
Ah, sepertinya aku mengerti. Bagas mulai mengenal lawan jenis, ia sudah mengalami masa pubertas layaknya remaja di usia-usia kami ini. Mungkin ia sedang mendekati seorang gadis dan ia tidak mau lagi bersahabat dengan perempuan, seperti kami, karena mungkin bersahabat dengan perempuan itu bisa menurunkan harga diri seorang laki-laki. Mungkin. Ya, ya, ya, hipotesis yang masuk akal.
Tunggu sebentar. Kenapa tiba-tiba ada rasa sebal yang menyusupi hatiku setelah aku membuat hipotesis itu? Rasanya aku tidak rela jika Bagas dekat dengan perempuan lain. Aku tidak rela jika Bagas jatuh cinta pada perempuan lain. Apa-apaan ini?! Kenapa aku jadi seperti ini? Harusnya aku senang dan mendukung sepenuh hati jika memang benar sahabatku sedang jatuh cinta pada seseorang. Tapi kenapa malah rasa sebal yang datang? Perasaan apa ini namanya?
Risa
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat! Apa-apaan tadi itu?! Bagas sekarang ke sekolah membawa motor dan berani-beraninya memboncengkan Lia pulang sekolah tadi?! Keterlaluan! Jadi sekarang begitu? Dia berani mendekati gadis cantik, lalu aku dan Ayi dicampakkan begitu saja? Oke, mungkin aku dan Ayi memang hanya sekadar teman kecil baginya. Tapi, apakah pantas dia meninggalkan kami begitu saja tanpa alasan yang jelas selain karena perempuan itu?
Lagipula, apa Bagas tidak sadar kalau selama ini aku menyukainya? Aku sudah memendam perasaan ini sejak lama, bahkan sejak SMP. Ternyata dia tidak menyadarinya, aku memang tak lebih dari sekadar teman kecil baginya. Atau, bagaimana kalau kubuat dia sadar bahwa aku lebih dulu menyukainya dan bahwa selama ini aku telah ada untuknya kapan pun dia memerlukanku?
“Ris, nih majalahmu,” Ayi yang tiba-tiba datang membuka pintu kamarku mengagetkanku yang sedang menyusun rencana brilian. Kenapa sih, nggak ketuk pintu dulu? Ah ya, aku lupa, rumahku adalah rumah mereka, rumah mereka adalah rumahku. Sudah seperti itu sejak kami kecil. Kami bertiga bertetangga. Aku pun kerap tak mengetuk pintu kamar Ayi jika masuk kesana. Kamar Bagas adalah pengecualian tentunya.
“Oh, taruh aja di meja belajar situ,” sahutku malas-malasan.
“Kamu lagi ngapain, Ris? Ke rumah Bagas yuk, cari tahu sebenarnya selama ini dia lagi sibuk apa.”
“Males, Yi. Aku lagi nggak mau lihat wajahnya setelah apa yang dia lakukan selama ini ke kita,”
“Hah? Memangnya dia melakukan apa?”
“Emm, itu, dia kan udah lama lupa sama kita. Dia sendiri kan, yang memilih untuk menjauhi kita. Ya, kan?” Ayi mengerutkan keningnya. Aku tak tahu apakah harus kuceritakan kejadian yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri tadi siang sepulang sekolah.
“Makanya itu, kita cari tahu, kenapa dia jadi beda akhir-akhir ini. Ayo dong, Ris,” Ayi tetap membujukku dengan raut muka memohonnya yang membuatku tidak begitu suka. Ia terlalu imut dengan raut muka seperti itu.
“Sekali nggak tetep nggak, Yi. Jangan maksa dong, aku bener-bener nggak berada pada mood yang tepat untuk melihat tampang Bagas sekarang.” Ya, tidak tepat. Aku bisa meledak marah melihat wajah tidak berdosanya yang pura-pura tidak tahu bahwa selama ini aku menyukainya.
Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur. Membelakangi Ayi. “Pergi aja, Yi, kalau kamu emang mau tahu kenapa dia menjauhi kita,” ujarku pelan.
“Ya udah deh, Ris. Sampai besok.”
Aku mendengar suara pintu kamarku ditutup.
Ayi
“Bagas, Bagas,” ini sudah kali keenam aku memanggil Bagas dari teras rumahnya, tetapi tidak ada jawaban. Padahal pintu depan rumahnya terbuka, tanda di dalam ada orang.
“Eh, Ayi. Ayo sini masuk, Yi,” mama Bagas tiba-tiba muncul tergopoh-gopoh dari dapur.
Aku melepaskan sandalku lalu masuk ke dalam ruang tamu Bagas dan duduk di kursi tamunya.
“Apa kabar, sayang? Kok lama banget nggak main ke rumah? Risa juga,” mama Bagas bertanya ramah sambil melap tangannya yang basah dengan celemek di perutnya. Seharusnya aku yang menanyakan hal itu pada Bagas. Bagaimana kabarnya. Kenapa dia sudah lama tidak kumpul bersama sahabat-sahabatnya.
“Baik, kok, Tante. Ngomong-ngomong Bagas lagi ngapain, Tante, kok nggak kelihatan?” Aku bertanya tanpa basa-basi.
“Lho, dia nggak cerita sama kalian? Dia sering main ke rumah temen perempuannya akhir-akhir ini. Namanya Lia, kalau nggak salah,”
“Bagas nggak pernah cerita, Tante,” suaraku hampir terdengar seperti desisan saking pelannya.
“Oh, ya? Tante kira dia mainnya sama kamu sama Risa juga, Yi,”
“Enggak, Tan. Kita... jarang ketemu, kok, sekarang,”
“Wah, keterlaluan Bagas. Kalau gitu biar Tante kasih tahu nanti itu anak,”
“Eh, nggak usah Tante. Nggak apa-apa, biar kita berdua aja nanti yang ngomong langsung sama Bagas. Kalau gitu, saya permisi dulu aja, Tante,”
“Kok buru-buru, Yi? Nggak mau nyobain sop buntut bikinan Tante dulu? Kebetulan udah mateng lho, tadi,”
“Ah, nggak bantuin masak kok ikut bantuan ngabisin sih, Tan, hehe. Kapan-kapan aja ya Tante, kalau Bagas lagi ada di rumah. Saya pamit, Tante,” aku menolak tawaran mama Bagas dan bergegas pulang setelah mencium punggung tangan mama Bagas.
“Ya sudah. Nanti Tante bilang ke Bagas, kalau kamu tadi kesini ya, Yi,”
“Oke, Tante,”
Bagas
Huh, aku sudah membuat lima puisi tapi tak satu pun yang hasilnya mendekati sempurna. Pusing aku! Padahal waktuku tinggal seminggu lagi. Kata-kataku terlalu lugas, sama sekali tidak kristal. Sebernarnya darimana sih, para penyair itu mendapatkan diksi-diksi yang indah seperti itu? Hah!
Hei! Siapa itu yang datang kemari? Risa! Tidak. Tidak. Dia tidak boleh tahu kalau aku sedang berusaha keras membuat puisi. Buku-buku ini. Kertas-kertas ini. Aku merasa sangat menyenangkan sekali jika aku adalah Ganesa yang memiliki banyak tangan—sebenarnya hanya empat—sehingga aku bisa membereskan barang-barangku dengan cepat saat ini.
“Hai, Gas.” Ya Tuhan, Risa ini punya jurus yang bisa membuat dirinya menghilang dan tiba di tempat yang ditujunya dengan cepat, ya?
“Eh, Risa, hehe. Tumben ke perpus?” Aku bertanya basa-basi. Masih sambil membereskan barang-barangku, hati-hati supaya tidak menarik perhatian Risa.
“Nggak apa-apa. Cari suasana baru. Bosen ke kantin terus, bisa tambah gendut aku nanti, haha,” Risa tertawa seperti dipaksakan, “mana Lia?” Aku merasa aneh pada nada bicara dan ekspresi muka Risa. Seperti menunjukkan rasa sinis.
“Ha? Lia? Mana aku tahu, Ris. Di kelasnya, kali,” jawabku asal.
“Oh. Nggak kamu ajak makan bareng?” Aura sinis Risa semakin keluar.
“Kenapa harus? Kamu kenapa sih, Ris?”
“Kamu yang kenapa! Sebulan terakhir ini kamu kemana aja? Mentang-mentang udah punya pacar baru, lupa sama temen lama, ya? Ha?”
“Terserah, Ris. Aku pergi dulu. Ada urusan.” Aku meninggalkan Risa sendirian. Aku malas berhadapan dengan Risa jika dia mulai marah-marah seperti itu. Memang, dia tadi tidak bisa dibilang marah. Tapi sindirannya itu membuatku semakin pusing. Puisi ini saja sudah membuatku pusing, apalagi ditambah si Risa Galak.
Ah, aku tahu siapa lagi yang akan kutemui untuk konsultasi masalah puisi ini.
Risa
Oke. Apalagi sekarang? Bagas mendekati Lia. Bagas secara terang-terangan menjauhi dan menghindari aku saat di perpustakaan sekolah tanpa membantah bahwa dia memang sudah memacari Lia. Kemudian, Bagas mendekati Ayi dan mengajaknya makan di bakso Bang Somad tadi pulang sekolah, tanpa mengajakku? Lelucon macam apa ini?
Ayi. Kenapa dia tega meninggalkan aku dan pergi hanya berdua saja dengan Bagas? Selama ini tak pernah aku pergi berdua dengan Bagas. Selalu bertiga. Pengkhianat. Kenapa semuanya jahat padaku? Aku benci Bagas. Aku benci Lia. Aku benci Ayi.
Tidak bisa dibiarkan. Ini semua tidak bisa dibiarkan. Bagas harus tahu kalau aku sebenarnya menyukainya. Secepatnya. Aku sudah tidak bisa memendam perasaan ini lebih lama lagi. Dan Ayi. Dia harus kuperingatkan agar tidak terlalu genit dan ganjen di depan Bagas.
Mulai sekarang, tidak lagi ada kata ‘sahabat’!
Ayi
Oh, jadi sekarang Bagas naik motor, ya? Kenapa aku baru tahu. Seharusnya tadi kutanyakan padanya, sejak kapan dia naik motor ke sekolah. Rasanya aneh sekali, sudah lama aku tidak bicara pada Bagas, lalu tiba-tiba dia mengajakku pulang bareng ditambah acara menraktirku makan bakso Bang Somad.
Walaupun dia tadi memang ada misi terselubung. Mengajakku makan dan ngobrol untuk membicarakan masalah puisi. Kenapa puisi? Kenapa bukan masalah Lia?
Ya, ampun, kenapa tidak terpikirkan sejak tadi? Dia menanyakan masalah puisi. Dia menginginkanku menilai puisi yang telah dia buat. Hanya untuk memberikan puisi yang sempurna untuk seorang Lia. Ya. Tidak salah lagi perkiraanku kali ini. Ini bulan Februari. Dia pasti ingin menyiapkan segala sesuatu yang terbaik untuk Lia.
Kenapa semua terlihat begitu menyedihkan bagiku? Aku benar-benar tidak rela. Apakah wajar perasaan ini dialami seorang sahabat? Aku tidak mau. Benar-benar tidak mau terjebak dalam perasaan seperti ini. Apalagi pada sahabatku sendiri.
Tuhan, lenyapkanlah perasaan ini. Sesegera mungkin.
Bagas
Bel masuk dari istirahat berbunyi dan aku baru saja tiba dari kantin saat aku menemukan sebuah amplop surat di laciku. Aku tak tahu itu dari siapa, hanya tertera namaku di nama penerimanya, tidak ada nama pengirimnya sama sekali. Surat kaleng.
Aku memperhatikan amplop itu sekilas. Hanya amplop putih seperti surat izin biasa. Aku menanyakan pada Irfan, teman sebangkuku, tapi dia tidak tahu siapa yang menaruh surat itu di laciku.
Sebenarnya aku ingin membuka surat itu pada saat ini juga tapi aku malu kalau ternyata itu adalah surat cinta. Haha, ternyata aku punya penggemar di sekolah ini (biarlah sesekali menyanjung diri sendiri). Tapi kalau itu adalah surat teror yang isinya ancaman untukku bagaimana?
Ah, biarlah. Kuputuskan untuk membaca surat itu di rumah saja.
Aku tertegun membaca surat itu. Aku segera melipat rapi surat itu dan segera memasukkannya ke dalam amplop kembali. Aku benar-benar tak percaya aku mendapatkan surat seperti ini. Singkat. Namun sungguh di luar jangkauan pikiranku.
Dear Bagas,
Aku tahu kita sudah lama bersahabat. Aku juga tahu tak seharusnya aku melakukan hal semacam ini. Namun aku sudah tak mampu menahan perasaan ini, Gas. Aku merasakan hal yang aku tak tahu pasti apa namanya, entah rindu entah kangen, sejak kamu menjauh akhir-akhir ini. Aku juga tak bisa melihatmu dekat dengan perempuan lain, terutama Lia.
Akhirnya kini aku menyadari sesuatu, Gas. AKU SAYANG KAMU.
R-B-A
R-B-A. Itu singkatan inisial nama kami bertiga. Risa, Bagas, Ayi.
Ayi
Siang ini aku diajak Bagas pulang bareng lagi, ingin konsultasi masalah puisi untuk yang terakhir kali katanya. Ya, ini hari Sabtu. Valentine dua hari lagi. Tentu saja dia ingin berkonsultasi yang terakhir kali sebelum diberikannya pada Lia. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan ajakannya.
Di bakso Bang Somad, aku membaca puisi-puisi yang telah dia buat. Sungguh, aku tak menyangka ternyata dia memiliki bakat terpendam menulis puisi. Puisi-puisinya sangat indah. Lia tidak mungkin tidak tersentuh mendapat puisi seperti ini
“Yi, aku ingin menanyakan sesuatu,” tanya Bagas setelah menyesap es jeruknya.
“Apa? Tentang Lia, ya?” tanyaku berusaha santai. Bagas langsung terbatuk. Matanya terlihat bingung dan kaget.
“Bukan,”
“Terus?”
“Kamu yang ngirim surat putih ke aku, ya, tempo hari?” Raut muka Bagas berubah serius.
“Jadi selama ini kalian berkhianat di belakangku, ha?! Sahabat macam apa kalian?!” Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya sampai Risa bisa tiba-tiba muncul di hadapanku dan Bagas. Padahal aku sendiri belum sepenuhnya mencerna pertanyaan Bagas dengan baik.
“Kamu ngomong apa, Ris?” Aku bertanya polos. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudnya.
“Kalian udah jadian? Apa masih tahap pedekate? Kalau kamu emang suka sama Bagas nggak gini caranya, Yi!” Risa terus melancarkan serangannya.
“Kita nggak ada apa-apa, Ris. Kita cuma ngomongin masalah puisi,” Bagas mencoba menerangkan.
“Kamu juga, Gas! Nggak malu apa, udah deketin Lia, masih juga main belakang sama sahabat sendiri! Aku udah ngamatin kalian berdua beberapa hari terakhir ini. Kamu tahu nggak, kamu udah nyakitin aku? Kamu udah baca suratku belum, sih?!
Dan kamu, Yi, aku ingetin ya, aku nggak suka kamu pergi berduaan sama Bagas! Aku suka, Yi, sama Bagas! Suka! Kalau kamu tetep kayak gini, jangan pernah panggil aku sahabat lagi!”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini semua seperti tidak nyata. Pernyataan Risa sangat menohok perasaanku.
“Jadi kamu, Ris, yang kirim surat itu?”
“Iya, Gas. Kenapa? Apa aku salah kalau aku suka kamu? Apa salah, kalau seseorang menyukai sahabatnya sendiri?”
Aku diam saja mendengarkan perdebatan mereka. Aku tidak tahu surat apa yang dimaksud mereka berdua.
“Nggak, Ris. Kamu nggak salah punya perasaan kayak gitu. Cuma, kamu salah kalau kamu sampai mengorbankan persahabatan kita hanya untuk kepentingan perasaanmu aja,”
“Oh, ya? Emangnya kamu nggak ngorbanin persahabatan ini untuk kepentingan perasaanmu aja? Lihat aja tingkahmu belakangan ini! Udah nggak pernah inget sama aku lagi! Entahlah pada Ayi,” Risa menatap tajam mataku. Aku tak berani membalas tatapannya. “aku nggak tahu bagaimana tingkah kalian di belakangku! Kamu sering pulang bareng Lia juga! Astaga, sekarang kamu sudah dewasa ternyata, Gas? Sudah memilih jalan hidup sebagai buaya darat, ha?”
Aku benar-benar tak tahan lagi dengan semua ini. Aku mengambil tasku. Aku keluar dari warung Bang Somad. Berlari pulang ke rumahku yang aman dari manusia-manusia penuh tipu daya di luar sana.
Risa
Haha, aku puas! Sangat puas. Ayi akhirnya mengerti bahwa dia memang tak seharusnya bersikap seperti itu jika tidak ingin persahabatan ini berakhir. Bagas? Setidaknya dia bisa mempertimbangkan bahwa aku disini menunggunya. Menunggunya untuk menghampiriku dan menyatakan bahwa dia memiliki perasaan yang sama padaku. Bahwa aku telah berada di sampingnya sekian lama menemaninya apapun keadaannya.
“Ris, ada telpoon!” Mamaku berteriak dari ruang tengah.
“Siapa, Ma?” tanyaku sambil melongokkan kepala dari pintu kamarku.
“Mama Ayi,”
Aduh, ngapain sih jam segini telpon. Nggak tahu apa ini udah jam 8 malam? Lagipula aku masih malas sebenarnya berhubungan dengan Ayi dan segala tetek bengeknya.
“Halo,” sapaku malas.
“Halo, Risa? Ris, kamu tahu nggak ya, Ayi dimana? Jam segini kok belum pulang? Kata mama kamu dia nggak ada disitu, ya? Aduh, mana handphone-nya mati Ris, nggak bisa dihubungi,” Mama Risa bertanya cepat sekali dan terselip nada khawatir dalam suaranya. Aku sedikit terkejut. Aku kira dari warung Bang Somad tadi dia langsung pulang.
“Sudah telpon Bagas, Tante?”
“Udah, Ris. Dia juga nggak tahu Ayi sekarang dimana. Katanya mereka terakhir ketemu jam 3 sore tadi sepulang sekolah,”
“Emm, kalau gitu saya nyoba nyari Ayi sama Bagas, ya, Tante,” ucapku tulus.
“Iya, Ris. Tolong bantu Tante, ya,” Mama Ayi menutup sambungan telponnya.
Tuhan, aku benar-benar keterlaluan. Kenapa bisa sampai jadi begini akhirnya? Kenapa aku jahat sekali pada Ayi? Dia temanku sejak kecil. Kami sudah seperti saudara. Tapi kenapa hanya karena masalah seperti ini saja aku sampai menyakiti hati Ayi? Ampuni aku, Ya Tuhan.
“Ayo kita cari Ayi, Ris,” suara Bagas tiba-tiba muncul dari ruang tamu. Aku menoleh, Bagas memang sudah berdiri disitu. Aku pun mengangguk sambil mengusap setitik air di ujung mataku.
Bagas
Aku tak tahu harus kemana lagi. Aku sudah mencari ke sekolah, bahkan menanyai Pak Tono, penjaga sekolah, apa dia melihat Ayi kembali ke sekolah sejak jam 3 sore tadi. Dia bilang dia tidak melihat Ayi. Aku juga sudah menanyakan pada Bang Somad, siapa tahu Ayi kembali kesana seusai perdebatanku dan Risa sore tadi. Tapi Bang Somad juga mengaku tidak melihat Ayi lagi sejak dia kabur tadi.
Aku benar-benar bingung. Aku merasa bersalah pada Ayi. Gara-gara aku, dia harus bertengkar dengan Risa dan sekarang tidak pulang ke rumahnya. Aku khawatir jika terjadi apa-apa pada sahabat mungilku yang satu itu. Bagaimana jika dia kecelakaan? Bagaimana jika dia diculik para penjual anak di bawah umur? Amit-amit! Jangan sampai terjadi, Ya Tuhan, lindungi Ayi.
“Aku sepertinya tahu, Gas, Ayi sekarang ada dimana,” Risa yang dari tadi diam saja sibuk menangisi kejadian ini tiba-tiba bersuara.
“Dimana?”
“Di taman belakang SD kita. Tempat favorit kita waktu kecil dulu. Entahlah, perasaanku bilang dia ada disitu,”
Aku tak berusaha menanggapi pendapat Risa. Tapi aku tetap mengarahkan motorku ke tempat taman itu berada.
Sesampainya di taman, aku menghentikan motorku dan memarkirkannya di bawah pohon palem. Risa berjalan duluan tanpa menungguku. Aku mengikutinya dari belakang. Ternyata memang benar, Ayi ada disitu, di bawah pohon akasia, markas kami waktu kecil, sedang menangis. Aku iba sekali melihatnya.
“Yi, maafin aku,” Risa berkata lembut sambil menyodorkan sebungkus tisu pada Ayi.
“Nggak, Ris... Aku yang harusnya minta maaf... Aku nggak tahu diri... Aku salah, Ris... Aku salah... Aku memang menyukainya, Ris... Maafin aku... Tapi, aku udah niat untuk melupakan perasaan itu, Ris, beneran...” Kata-kata Ayi, walaupun terbata-bata, aku bisa mendengarnya dengan jelas dan aku harus menerima kejutan dua kali lagi sekarang. Oke. Aku disukai sahabat-sahabatku sendiri.
“Nggak apa-apa, Yi. Kamu nggak salah. Aku juga nggak salah karena perasaan itu. Bener kata Bagas, kita salah kalau karena perasaan itu persahabatan kita jadi berantakan kayak gini. Udah ya, jangan nangis lagi, maafin aku. Kita bersahabat lagi, ya,” Risa mengacungkan jari kelingkingnya pada Ayi. Ayi mengusap seluruh airmata yang ada membasahi pipinya, kemudian menautkan kelingkingnya pada kelingking Risa.
“Horee, kita sahabatan lagi! Hehehe,” seruanku membuat mereka menoleh padaku.
“Kamu nggak, sebelum kamu minta maaf kenapa sekarang kamu jadi buaya darat, Gas,” Risa memelototiku, tapi aku tahu dia sedang bercanda. Ayi hanya tersenyum mendengar pernyataan Risa.
“Tenang, nona-nona. Kalian ini salah paham semua. Aku sama Lia nggak ada apa-apa, tahu,” ujarku sambil menjulurkan lidah.
“Terus?” tanya Risa dan Ayi bebarengan.
“Aku sama dia itu cuma konsultasi puisi. Dia sudah pernah menjuarai lomba puisi tingkat provinsi waktu SMP,”
“Jadi kamu bukan bikin puisi buat dia?” Ayi bertanya dengan suaranya yang kecil sambil sesenggukan. Aku menggeleng menjawab pertanyaan Ayi.
“Aku mau ikut lomba puisi antarsekolah, teman-teman. Karyanya harus dikumpulkan tanggal 14 Februari, besok Senin. Makanya aku juga sering konsultasi ke kamu, Yi. Kamu dulu SMP juga juara satu nulis puisi, kan, di sekolah?”
Ayi tersenyum lalu mengangguk malu.
“Jadi?” Risa memancingku membuat kesimpulan.
“Jadi, aku sedang tidak mendekati gadis manapun. Aku sudah memiliki prinsip tidak akan pacaran sebelum lulus sekolah, hehe,” aku menyimpulkan sambil cengengesan.
“Terus kenapa kamu nggak pernah cerita sama kita, sih?” Risa tampaknya masih belum puas.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Aku malu ketahuan sama kalian, kalau mau ikut lomba nulis puisi, hehe... Maaf ya, teman-teman.”
Ayi
Aku sedang tergelak di meja kantin bersama Risa membicarakan gosip yang sedang hangat di sekolah, bahwa kakak kelas kami yang paling tampan itu belum punya pacar karena alergi pada perempuan. Benar-benar konyol. Lalu Bagas menghampiri kami dengan mukanya yang lesu dan kusut.
“Gimana, Gas, hasil pengumuman pemenang lomba nulis puisinya?” tanya Risa bersemangat. Bagas hanya menggeleng sambil menyeruput teh botolku.
“Kamu menang, kan?” tanyaku menambahkan. Dia menggelengkan kepalanya lagi.
“Aku kalah... Kalah dari juara satunya... dan aku juara dua, horeee!” Bagas tiba-tiba berseru senang. Akting rupanya.
“Asyiiik, bakso Bang Somad dua porsi ya, Gas, pulang sekolah!” Risa ikut berseru.
“Aku tiga porsi, ya!” Aku tak mau kalah meminta jatah dari Bagas.
Entah kenapa, siang hari itu terasa cerah dan menyenangkan sekali bagiku.
Komentar
Perdana
karya perdana, semangat..
Tulis komentar baru