”Janganlah engkau bernasib satir sebagaimana Satir yang selalu dirundung sukar dari sebermula hingga seberakhir hayatnya. Tepiskan jauh-jauh rindu dendammu yang melilit-lilit di lingkar hati untuk sesekali rasakan satir seperti Satir. Cukup Satir saja yang satir, karena cuma Satir saja bertakdir satir!” Begitulah petuah turun-temurun yang dirasuk paksa ke inti akal kami oleh tetua-tetua kampung.
Kami-kami yang bocah, yang suka dilipur-lipur, yang lugu, ragu dan malu-malu kala itu cuma bisa tersipu-sipu mendendangkan syair-syair satir tentang Satir. Sungguh satir syair itu saat merunut serangkum kisah tentang si Satir.
Konon pada suatu masa dahulu kala, di sebuah dusun satir tepi sungai satir kering airnya, hiduplah seorang satir bernama Satir. Satir berpola hidup sangat sederhana. Tak ada dambanya untuk berelak jangan satir. Dari hari ke hari Satir menghabiskan waktunya hanya untuk bersatir-satir saja. Tak siang, tak malam Satir selalu bersibuk diri dengan beragam-ragam satir. Sungguh menyentuh satir-satir yang ditebarkan Satir, sehingga tak ada seorangpun merasa kalau ia sedang disatir-satirkan ketika itu. Padahal apabila orang-orang malang itu sadar kalau ia sedang disatir-satirkan sungguh celaka akan menimpa Satir.
Setelah sudah tak terhitung tahun yang entah keseribu berapa, pada suatu akhir malam terang bulan, tiba-tiba Satir jatuh sakit. Sakit yang dirasakan Satir tak tanggung-tanggung, karena menurut tabib yang menerawangnya, membisikkan bahwa itu sakit parah sepi darah. Tabib itu segera mempermaklumkan bahwa punca penyakit Satir adalah buah dari satir-satirnya sendiri yang tersatir etapi belum sempat tersatirkan. Ini jenis penyakit celaka! Taruhannya cuma nyawa! Ya, nyawa! Nyawa Satir sendiri!
Tak ada seorang pun yang peduli sudah entah berapa ribu tahun Satir menderita didera penyakit satir. Derita Satir Cuma satir sendiri yang menelannya. Tak ada seorang pun yang berbelas kasih pada Satir untuk mengumpanbalik secuil satir kepada Satir, sebagaimana Satir pernah bersuka rela menebar satir-satirnya ketika dahulu kala kepada mereka. Saat ini Satir bersendiri saja mengunyah sisa-siasa satir yang belum habis ia satirkan.
Menghabiskan sisa satir tidaklah mudah. Padahal kini Satir sudah tak tahan lagi menanggung satir. Satir tinggal menunggu saat berakhirnya hayat. Satir sudah dalam sekarat. Satir sudah lemah sekali. Matanya menatap kosong ke langit-langit kosong. Mulutnya komat-kamit bersuara kosong mendesahkan sisa satir-satir kosong. Satir pasrah! Satir melemah! Satir ingin menyepi! Satir mau segera mati!
”Jalanku jalan satir. Jalan satir beronak getir. Janganlah sesekali engkau ikuti jalan satir, karena jika engkau jadi satir, sukarlah engkau dijemput mati. Karena satir sukarkan mati, abaikanlah satir. Acuhkanlah satir. Biarkan Satir tetap satir!”desis Satir lirih sekali.
Kami-kami yang kini tak bocah lagi, yang tak suka dilipur-lipur lagi, yang tak lagi lugu, tak lagi ragu dan tak lagi malu-malu, hingga hari ini masih tekun mendendangkan syair-syair satir tentang Satir. Satir itu begitu sempurna menyatirkan kami, sehingga tak terduga, tak terasa, kami bersuka ria sepanjang umur rayakan satir. Kami-kami yang kini tak bocah lagi, yang tak suka dilipur-lipur lagi, yang tak lagi lugu, tak lagi ragu dan tak lagi malu-malu, telah menjadi Satir yang gemar satir-menyatir.
Padahal petuah tetua-tetua kampung sudah kami hafal betul jika sekarat Satir akan lama sekali. Matinya Satir sukar sekali. Kami acuh saja! Satir itu sungguh menggoda!
Banda Aceh - RS. Tengku Fakinah, 24 Januari 2009
Komentar
Sungguh, ini cerpen sudah
Sungguh, ini cerpen sudah sekian lama kucari. Teringat suatu siang kala menyapir ke Pustaka Unsyiah, kuambil koran berharikan minggu. Ini cerpen pertama di Serambi Indonesia yang kubaca. Ini cerpen yang sama sekali aku tak bisa lepas dari kesan bagusnya. Satir. Aku suka sekali cerpen ini.
Tulis komentar baru