BUNGA SARENDA PUTIH
Oleh : Rendy Ferdiansah
Cahaya jalan menerangi jalan malam ini
Bulan pun tak ingin kalah terangnya
Kardus yang berserakan seperti sampah
Tidak berguna dan tak berharga
Walau tak berkeriput sedikit pun di tubuh
Melihat meski tak bermata
Menyaksikan kesedihan walaupun tak memiliki terlinga
Binatang yang menyakiti sesamanya
Demi kepuasan menikam sementara
..
Andai saja aku punya tangan untuk membelai
Andaikan aku punya mulut untuk menghentikan tangisnya
Andai aku punya kaki untuk menghantarkannya pulang
Tentu saja aku lebih baik dari sampah
Dan lebih baik dari Binatang malam yang tak bermoral
Yang mengambil harga diri
Yang menghapus perawan paksa
Yang berdosa tanpa memikirkan
Gadis kecil tak dikenal
Hanya diam disudut dinding yang penuh dengan lalat
Tak bernafas dan tak merasa
Tak sakit saat tentara semut menyerang
..
Merah mengalir dari selangkangannya
Begitu segar air kental itu
Namun sayangnya
Tubuhnya tak dipertanggungjawabkan
Memar biru disinari bulan
Baringan yang sungguh tidak bersahabat
Bernafas terakhir bagaikan bunga layu
Pucat kering seperti serenda putih
Lelap dipelukan Tuhan
..
Pria baik mampu berpikir
Pria jahat mampu berpikir
Tidak ada pembeda
Yang baik akan berubah menjadi lebih jahat
Saat setan dikepala tak terusir
Dan gadis malang menjadi korban
Begitu pria dengan nafsunya
Komentar
Saya menilai dalam puisi
Saya menilai dalam puisi saudara, belum ada unsur pembaharuan dalam konteks puisi, puisi yang saudara tulis justru hanya menceritakan bagaimana makna itu berusaha memberi kekuatan pada pilihan kata yang saudara buat,saya pribadi memahami kalau puisi saudara hanya serupa balada yang pernah dipopulerkan oleh Almarhum WS. Rendra.
Pada bait ke-3 larik ke-8 tertulis "Pucat kering seperti serenda putih", agaknya larik ini kurang memberikan penguatan pada tema puisi yang saya nilai bertema kemanusiaan, bagaimana Saudara menyampaikan empati pada penderitaan yang dialami oleh si Gadis kecil yang tak dikenal.
Peristiwa kemanusiaan yang saudara tulis memang sangat miris, namun kurang mapannya saudara memilih kata saya nilai mengurangi maksud yang ingin saudara sampaikan, empati yang saudara sampaikan lewat puisi ini ternyata belum bisa saudara selesaikan sendiri. Hal ini terlihat pada bait ke-2 larik 1-3, terlihat saudara ternyata hanya bisa menyaksikan saja tanpa terlihat bagaimana empati saudara yang sebenarnya, hal inilah yang belum tersampaikan oleh maksud saudara ketika menulis puisi ini.
Tapi bagi saya, zaman sekarang ini belum ada yang mampu menulis puisi semenggugah mungkin, termasuk saya, saya bahkan sedang mencari jati diri dalam puisi-puisi yang saya tulis yang belum bisa saya temukan sampai sekarang. Menulis puisi bagi saya adalah kewajiban sebagai makhluk yang mampu berpikir, masih banyak orang yang kewalahan menulis puisi sementara dibenaknya sudah tersusun ide-ide cemerlang.
nah, ketika saya diberi kemampuan yang tak seberapa, jika saya tak menulis, rasanya saya begitu munafik untuk tidak menulis, alasan saya dalam menulis memang agak egois, "saya tak boleh hanya membaca dan menganalisis atau membicarakan atau bahkan mengaji karya orang lain, karya saya juga harus dibaca, dianalisis, dibicarakan atau bahkan dikaji orang lain" meski sampai saat ini belum ada yang ingin memperbincangkan karya saya, saya belum pernah menikmati royalti dari hasil kegiatan saya menulis, tapi setidaknya setelah menulis ada sesuatu yang terpuaskan dalam pikir dan hati saya.
Saya hanya merasa tertohok saja ketika saudara menulis ini: "Coba bagi siapa saja yang merasa sudah memahami sastra, coba kalian analisis dan kritik puisi-puisi saya." di ladang saya (saya menyebut halaman saya dengan ladang kata). Dalam menulis kita hanya membutuhkan kerendahan hati, jangan merasa tulisan kita lebih hebat dari tulisan orang lain.
Sastra itu elastis, statis, dan segala istilah yang maknanya tidak tetap.
Salam Kenal Saudaraku
Salam Sastra Indonesia
Salam dari Tanah Batak - Sumatera Utara
=@Sihaloholistick=
Terima Kasih
OH maaf sebelumnya kalau saya sedikit songong diawal, sebab menurut saya kalau tidak seperti itu maka tidak akan ada yang mau memahami tulisan saya. Maaf sebelumnya, saya kini mengerti apa maksud dari saudara. Semoga dapat bekerja sama dan saling bertukar pikiran dengan saudara demi meningkatkan kualitas tulisan kita. Terima kasih untuk perhatiannya.
Salam sastra Indonesia
"Sanak Palembang"
Rendy Ferdiansah
Salam sastra juga
Salam sastra juga sahabatku,
Sastra Indonesia masih membutuhkan sentuhan yang sangat serius dari para penulis, sastra Indonesia masih sebagai titik hitam dan gelap dalam sejarah sastra dunis, alasannya karena belum ada sastrawan Indonesia yang benar-benar menjadikan sastra itu sebagai jati diri masing-masing, para sastrawan Indonesia masih menjadikan sastra sebagai kerja sampingan di saat profesi mereka (guru/dosen/wartawan, dan jenis propesi lain sedang dalam masalah) mereka melarikan diri mereka ke jalur sastra entah itu mencari ketenangan, entah itu sebagai pelarian semata. Kita masih ingat bagaimana respon masyarakat pada "Ayat-Ayat Cinta"-nya Habiburrahman El Shirazy dan Tetralogi "Laskar Pelangi"-nya Andrea Hirata mengejutkan sastra Indonesia, lalu kemana mereka sekarang kok tiba-tiba menghilang, yang jelas mereka sedang asyik menekuni profesi mereka masing-masing.
Masih kita ingat juga Pak Mochtar Lubis yang telah beberapa kali mendapat penghargaan Sastra Asia Tenggara (yang kalau tak salah) diselenggarakan negara Thailand, sementara pernahkan pemerintah Indonesia memberikan penghargaan serupa pada sastrawan kita, (seingat saya belum pernah)
Nah, saya juga menunggu analisis saudara di Ladang Kata saya, tentang tulisan-tulisan yang saya buat. Kritik sastra itu tak pernah memperhatikan bagaimana hati penulisnya, mau tersinggung atau tidak, terserah si penulis mau mengambil hikmah apa, Kritik Sastra itu harus benar-benar menghakimi, harus benar-benar menghantam dan pedas.
Selamat berkarya saudaraku, kita adalah penerus pemikiran Chairil Anwar, W.S.Rendra, Taufiq Ismail, STA, dan yang lain
Salam sastra dari Tanah Batak
=@Sihaloholistick=
TAKUT SALAH PAHAM
Saya minta maaf sebelumnya, saat ini saya masih berkecimpung dalam pendidikan kritik sastra. Saya pikir setelah saya mampu menyelesaikan pendidikan ini saya akan singgah ke ladang saudara.
Rendy Ferdiansah
Tulis komentar baru