Kala tangis belum mereda,
Kala dahaga membanjiri kota,
Kala jerit hati penuh duka,
Kala darah mereka menyatu bersama tanah.
Wajah merek lusuh,
Mencari simpati di setiap langkah angkuh,
Puisinya yang hilang,
Terbawa terbang diujung peluru yang menantang.
Belum sempat kalimat terucap,
Malah nyawa lenyap tertancap diujung tombak,
Puing-puing istana yang mengharu,
Tempat berteduh kala peluru menderu.
Beribu nyawa tertembak mati,
Menangis......!
Menjerit.......!
Penuh dendam.
Mereka mati belumlah tenang,
Melihat anjing-anjing penjilat haram,
Mencabik....!
Mencakar.....!
Memangsa jiwa yang ‘tak berdosa.
Pertiwi yang merintih,
Tertembak.....!
Tertombak....!
Terkoyak....!
Terancam....!
Namun terdiam.
Anak-anak negeri keropos,
Termakan rayap,
Menjadi tumbal peperangan.
Anak negeri yang mungil,
Tertimpa baja tertindih besi.
Keindahan dunianya,
Terampas oleh dentuman menggelegar,
Bagai hancurnya bumi kala kiamat terdengar.
Walau darah membanjiri seluruh tubuh,
Walau luka penuh sayatan yang terlabuh,
Dengan mulut yang mulai kerontang,
Mencoba alunkan kidung kenangan,
Tebarkan senyum walau kelukaan,
Dikala mata mulai redup,
Seredup lembayung senja,
Menyambut maut yang melambai.
Komentar
puisi sederhana
sederhana
Tulis komentar baru