Tulisan Tak Berujung
1 Juni 2012
.........................dan biarlah kutulis apa-apa saja dalam kepala membatu tak berdaya ini, entah keluarnya apa, darah, nanah, tak mengertilah duka saja. Dalam malam yang selalu malam tapi berbintang jadi tak gelaplah kelam yang tadi. Kelelawar saja bernyanyi-nyanyi bersajak-sajak tanpa tahu tanpa peduli dia mengganggu dalam luka ku yang bernyanyi, melambai, hingga awan terlepas, padahal ku tak melihat awan tadi. Jika dalam langit ada mentari mengapa harus bergantung rembulan? Atau apalah macam itu yang benderang serukan perang di malam. Tak apa lah konsep kujauhkan dari dedaunan yang bersenandung kebencian biar mengalir seperti darah yang baru keluar dari sayatan. Atau mungkin aku tak peduli lagi, bukan mungkin sebenarnya, aku memang tak peduli, melangkah saja jariku kemana tak pernah kulihat, hanya keluar. Tapi berbaris-baris apa saja kalimat berderet itu tak mengertikah kalian, itulah duka yang menatap kembali ke bayang-bayang maya, padahal maya adalah bayang, dan benarlah adanya. Tuhan, siapa tak mengenal Tuhan, malam saja ada Dia aku juga ada sebenarnya, tapi Tuhan tetaplah Tuhan tapi bukan kita. Bertahanlah dalam mimpi ini, jangan kemana-mana lagi atau warna akan bertanya-tanya lagi apa? Mengapa? Atau apa-apalah itu tak mengerti jua aku. Apa? Kenapa ditanya apa? Sudah kubilang tak ada konsep, hanya kutulis semua yang keluar seperti darah, atau duka yang sebenaranya bertepi tapi sedikit orang yang tahu, tepi dimana itu? Kenapa jadi tanya lagi? Sudah ku bilang tak tahu aku, ini tak ada konsep, jadi diamlah, nikmati, atau ku hempaskan saja tubuh ini lagi kedalam sana, di sana, menerka apa yang ada di sana. Sepi langkah menerjal tak berliku, benar tak berliku? Tapi terjal berbatu kerikil tajam-tajam seperti apalah itu tak usah lagi ku jelaskan, yang ada hanya sakit, perih, luka, tangis lagi, dan keluarlah air mata sia-sia itu, kasihan. Tak peduli ada jiwa terjepit di balik pintu sengsara yang baru saja terbakar membara di api hitam, meronta-ronta, menjerit, siapa mendengar? Tak ada yang peduli, tapi Tuhan? Entahlah. Percaya saja ada yang melindungi kita, melihat kita, atau akan kita selalu berpikir pada logika-logika sesat membuat nyanyian atheis semakin merdu. Hey, hey, hey, aku memang tak mengerti banyak tapi aku bukan macam orang-orang yang berfikir entah apa yang membuat cahaya, yang kusebut cahaya itu. Jam berapa sekarang? Kenapa harus kau tanya lagi, pedulikah mereka tentang waktu, mati saja mereka pikir masih lama, masih pantaskah mereka bertanya waktu, jadi mengapa mereka, bukankah yang bertanya aku, ya aku juga mereka, bagian dari mereka yang tak mengenal waktu, yang berfikir matiku masih lama. Kapan mindset ini berubah? atau paling tidak melangkah sedikit saja dari kepalaku, hmm kalau tidak mau jua, biarlah angin yang meniup. Hey! Kamu pikir angin mampu menghilangkan itu? Angin tak berotak, tak berakal, tak bernafsu, hah iya? Memang tapi ku hanya percaya angin saja, Tuhan juga ku percaya, jadi bukan hanya angin, mengapa kau bilang hanya? Bukan kau tapi aku, mengapa aku tanya? Terserah lah, aku-aku jua yang menerka-nerka, dan aku jua lagi nanti bertanya-tanya sendiri. Bertanya pada siang yang ada di atas menempel cahaya benderang silau mata dan bikin buta, apa katanya, mengapa jadi bertanya? Aku kan malam, apakah pantas bertanya pada siang? Jadi siapa aku yang tulis kata-kata tak berujung ini seperti langit, dunia, yang juga tak berujung. Heh, masih ada ruh? Masih ada nyawa yang memanggil-manggil pada kelaparan batin? Jawabku kutanyakan saja pada bintang. Salahkah aku bertanya pada bintang yang mana yang bertabur itu? Atau tepi saja ku di sini. Pikir-pikir dapatkah berfikir dalam gelap tak bercahaya, karena gelap memang tak bercahaya, jadi cahaya hanya kuinginkan itu cahaya, berputar-putar berkelip-kelip redup, terang, redup, terang, dan ku harap tak berakhir gelap, jika cahaya sudah banyak menari-nari akhirnya kan aku mampu berfikir macam-macam yang membuat mimpi ini semakin mudah tuk dijangkau barang tersentuhlah sedikit saja. Tak menyinggungkah cinta? Sebenarnya cinta tak ada habis dalam terka seperti bila tadi, jika tadi, andai tadi, tahukah cinta hanyalah cinta tak perlu tangis itu bukan cinta. Siapa bilang cinta itu tangis? Aku, aku yang bilang, tapi itu benar, ya apalah harus ku bicara macam merah mawar seperti cinta itu. Lebih banyak lagi ku apakan tulisan ini, terus saja lah sampai darahku habis. Tapi apa? Darah sudah habis, mengapa kau katakan sampai darahku habis tadi, padahal dari tadi darahku sudah habis, jantungku berhenti berdetak, dan apa? Aku mati. Belum, aku belum mati, tapi ku di antara orang-orang mati, di dalam buaian cinta orang-orang mati dan tetes darahku mati, mengapa mati? Jangan kau tanya aku si penulis tak berkonsep ini, ini hanya keluar seperti macam lagu nyanyian klasik di pagi yang menetes embun tapi tersapu angin, dan hilang tanpa kata berpisah menyeruak. Aku biarkan saja tangan ku dialiri, seperti mengalir tapi bukan dialiri, merusak kata saja jika kau alirkan darah hitam di kertas, dan mawar merah menatap tajam dan lembut pada darah yang mengalir deras atau hanya imajinasi saja. Biarlah ini tulisanku saja, yang tak pantas dibaca, diterka, ditanya, tapi jangan juga kau maki aku, sudah lebih termaki aku dibanding tulisan ini, diamlah saja kalian, dan biarlah.........................
Komentar
Tulis komentar baru