Ayun ayun
Timang lah timang
Anakku sayang
Janganlah menangis gaduh
Coba – coba saja engkau menyendiri
Di rimba sunyi sepi : hirup heningnya
Diantara ibu bumi dan anaknya; dimana ayahnya?
Ketika putih menjamah tanah
Kelana kah kelana?
Rimba pun rimba-rimba
Beranjak pergi, Mati!
Huma-Nya muka lah dunia
Menampar segala-gala :
Cengkonek
Basa-basi
Adinda : Terkasih?
Sudikah engkau jua?
Bagaimana dirimu, serta
Anak kita? Dalam buaian-Nya.
Adinda.
Telah tinggi waktu ku tergelincir,
Dulu… aku kini saat itu..
Kini… Engkau ketika bila ini..
Esok… Dia kemarin jika lah..
Lusa… mereka ruam ruam..
Nanti.. Aku, Engkau, Dia dan Mereka..
Lagi…
Logika ku pecah berhamburan,
Berpuing kertas putih bekas remas..
Lagi.. lagi..
Jemari ku terasa layu,
Tinta merah berkelambu…
Ba’da subuh di suatu warung kopi lalu Semerbak wanginya anyir ikan berbaur.
“Ini susu nya, pak lurah…”
ku tulis, atas rasa cinta dan prihatin kala sakitnya tanah Bangka Belitung karena penambangan timah liar oleh orang - orang tak bertanggung jawab...
Ketika kuntum cinta merekah,
Air telaga hati mengering.
Menguap keluar diri,
Mengembun menjadi kegalauan..
Aku….
Terlahir dari benih iblis,
Mematang di rahim dewa..
Menghisap daging ibu,
Lalu dibuang ke dunia…
Komentar Terbaru