Skip to Content

Oktober 2009

FIRASAT BU LIK KOEM

 “Mengenang Almh. Bude Hastuti Soekirno”

 UNTUNG. Nama lelaki itu tak pernah benar-benar lenyap dari ingatannya. Lebih dari empat puluh tahun peristiwa itu telah berlalu. Namun kenangan bersamanya seringkali menyapa dari balik lemari masa silam.

SAJAK MHR-SENJA DI PUNDUH PEDADA

SAJAK M. HARYA RAMDHONI JULIZARSYAH

SAJAK MHR-SUATU MALAM YANG DINGIN DI LIWA

SAJAK M. HARYA RAMDHONI JULIZARSYAH


SUATU MALAM YANG DINGIN DI LIWA

nyanyian hujan menyapa
reranting pokok.
dinginnya suhu sibak betapa

Alina

Adalah Puisi “Perjalanan Kubur” Sutardji Calzoum Bachri berawal kisah ini :

Taman Rindu Tak Sampai

Dalam rintik hujan berangin pagi itu, Said yang lelah, lusuh dan tua terperangah di sudut utara taman itu. Jengah, pangling, miris, haru, pilu, ngilu, kecewa, rasa-rasa tak mungkin, rasa-rasa tak percaya bergolak-golak dalam dada, lalu melesat dan mendesing-desing di batok kepala Said.

Angin Mati

Konon pada suatu masa tergurat sebuah kisah tentang negeri tanpa angin. Begitu lengang dan kaku negeri itu; tak ada riak air di danau, tak ada lambai nyiur di pantai, tak ada tarian rumput dan kibasan pucuk cemara di bukit, tak ada terbangan debu di jalanan, juga tak ada desau angin dari desah dan dengus nafas. Celakanya lagi AC dan kipas angin semuanya mengulah kehilangan fungsi. Mereka jadi rongsokan yang sangat bohong. Angin mati sempurna dalam kematiannya!

Saksi Bisu

Akulah Saksi Bisu!
Di segala terang, di segala gelap, di segala gerak, di segala diam, di segala zuhud, di segala buruk dan caci-maki, hadir adaku hanyalah saksi bisu. Maka, kusaksikanlah berlaksa-laksa dengki dan tipu-tipu yang ditebar dari pesona yang dikemas dengan sungguh sangat mempesona.

Keranda Raya

Sudah 7 purnama Keranda Raya itu menganga di pelataran serambi istana. Sore hari nanti Keranda Raya akan ditutup, setelah sesak disumpal berjejal-jejal sampah daki dunia seluruh penghuni negeri itu. Sungguh buruk dan busuk isi itu keranda, ketika kucoba urug dan aduk-aduk adanya.

Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Cerpen : Saiful Bahri
Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Merah malu mukaku ketika kukisahkan lagi dongeng tentang beduk yang dulu ditabuh bertalu-talu disini, di kampung-kampung tua yang kini sudah bersalin rupa. Kuracuni imaji cucu-cucuku menjelang terkatupnya mata-mata polos yang tubuh-tubuh mungil itu berdesakan meringkuk dipangkuanku. Sungguh-sungguh mereka menatapku dan merekam kata-kata yang kucapkan, sambil berkedip-kedip mata membayang-bayangkan bagaimana indah merdunya suara beduk yang ditabuh bertalu-talu pada masa dongeng ini belum menjadi dongeng.

Hujan Emas

Cerpen : Saiful Bahri

Hujan Emas

Ahuuuiii….pada akhirnya hujan emas ketiban jua menyiram kampung kami, setelah lelah melapuk diganyang hujan badai, hujan pelor, hujan darah, hujan mayat, yang menderaikan linang pedih air mata bermasa-masa. Namun, pada ujung-ujungnya nikmat jua yang terdekap, hujan emas pula yang menyekap.



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler