Aku melompat dari meja dagangan Nainggolan. Hampir saja batang sapu yang dilemparkannya melanda kepalaku. Sambil bersungut-sungut aku lari ke bawah meja di depan toko yang masih belum dibuka. Kulihat si Batik baru saja keluar dari warung Mak Aseh. Tangannya menenteng sebuah bungkusan. Pasti dia mau sarapan. Sekarang dia duduk di meja tempat aku sembunyi.
Melihat ini, hanya akan membuatku sedih. Lebih baik kubakar ini dan kulumatkan dengan air dan hanyutkan saja. Tidak ada yang berarti. Toh sekarang aku tak menjadi apa-apa. Semua yang kulakukan dahulu seperti angin yang berhembus yang pada mulanya itu terasa sejuk tapi itu hilang seketika. Angin tersebut hilang entah kemana.
Seekor angsa bertanya kepada langit,
mana yang lebih putih, bulu-buluku atau awan-awanmu?
Tetapi tak perlu lagi jawaban karena hari jadi mendung
Awan berubah kelabu dan langit menjadi gelap.
Tidak ada sepotong awan putihpun bertengger di atas sana.
Semuanya menghitam dan kemudian tercurah ke bumi
dalam tirai hujan yang berkepanjangan.
Aku tidak berkata, tidak pula berbahasa dalam tiga masa. Sudah hujan pula malam tanpa nama dina, aku sama. Angan berkisah pada kenangan, tapi tak tersampaikan.
Pagi yang cerah, matahari terbit menyinari, burung-burung berkicau seraya bernyanyi, menari bersama embun pagi,,, warnai hari sepi-sunyi mengisi kejenuhan ini, burung-burung terbang melayang se
Komentar Terbaru