Sudah berapa lama kita tinggalkan tempat ini. Kawan,
sepertinya tiang-tiang penyanggah itu tlah tiada
tempat kita bersandar. Sungguh!
tak terima keadaan ini
Bukan untuk tidak, tapi harus tetap ada
menginginkan tawa, tapi tak tertampak sedikirpun
Ulahnyalah yang menunjukan masa dimana kuncup dan tunas
Aku tidak menyalahkanmu malam ini
Tapi mohon jangan sakiti kami lagi, karena
petang tadi ku lihat kau tanpa kawan,
sedih atau mungkin juga kesepian
Bukan di tepi pantai aku berdiri
atau di puncak-puncak bebukitan bahkan
di gunung sameru yang sering di jumpai banyak orang
dengan keindahannya yang mempesona
Wahai adinda Disini kutermenung Merindu indah bayangmu Meski ku tersiksa akan hal itu Jikalau kau ingin tahu Bagaimana rinduku? Bagaikan tanah gersang merindui hujan..
Kobar riang merah putih
Di tiang tertinggi pertiwi
Hanyalah sebuah ilusi
Bayang kelam wajah-wajah keji
Berkedok nasionalis ulung
Pada-Nya
Besi berkarat pun bermunajat
Karena Dia pemilik makrifat
Hakikat melekat erat
Memadu padu dengan kalbu
Sedang di sini
Kala gejolak
Mencapai puncak
Hasrat pun bertindak
Paksa raga bergerak
Menemu ingin
Di gulita labirin
Kau hembus
Tarian lincah sumringah
Di tengah nganga luka
Jiwa-jiwa tega
Paksa wajah pasrah
Perih di ujung belati
Terkoyak mimpi-mimpi
Duka mengaung
Diam adalah senjata
Untuk meredam amarah
Diam ialah langkah sempurna
Guna luluhkan jiwa yang murka
Meski mengundang sejuta tanya
Komentar Terbaru