TOKOH-TOKOH
Clarisa : Gadis yang baru saja selesai SMA
Sunte : Mahasiswa jurusan sastra di salah satu universitas di Bandung
Easy : Sahabat karib Clarisa
Andi : Kekasih Easy
Ibu Tina : Ibunya Easy, pedagang di pasar
Laki-laki (Pak Hares) : Laki-laki setengah baya, menejer di restoran tempat Clarisa dan Easy bekerja
Pak Danar : Ayah Easy
Laki-laki 1 : Warga
Laki-laki 2 : Warga
Laki-laki 3 : Warga
Lisa : Warga teman kerja Easy
Drama Setelah SMA
(Iwan Muhammad R.)
Babak I
Int. Sebuah rumah sederhana. Nampak lemari, teve, sofa, mesin jahit.
Clarisa terduduk di sofa. Nampak lesu. Memakai pakaian tidur.TV menyala.
Clarisa : Gosipnya yang itu-itu juga. Perceraian seorang vokalis grup band. Pernikahan seorang model. Juga alibi seorang artis yang berpoto telanjang, menurutnya harus bisa membedakan mana pornografi mana art. Yang lebih parah lagi siaran berita, mana ada berita yang menggembirakan. Semuanya tentang kerusuhan. Kerusuhan Monas, kerusuhan antarras. Macam-macam sebabnya.
Demonstran. Tiap saat beraksi di jalan-jalan, di depan gedung-gedung pemerintah. Menentang kenaikan harga BBM. Katanya mencekik rakyat kecil sebab sembako ikut-ikutan naik. Memang kenyataan. Mahasiswa, mahasiswa. Bagaimana aku kalau jadi mahasiswa ya? Lakiku juga mahasiswa, tapi aneh gak pernah berambisi menjadi demonstran. Bilangnya, suara demonstran tak pernah didengar. Mereka hanya dianggap anjing-anjing lapar yang meraung-raung siang hari. Sebab mereka hanya menimbulkan kerusuhan, beraksi hanya dengan otot bukan dengan otak. Ah, menurutku mereka pintar-pintar. Lihat saja tulisan-tulisan yang dibawanya lewat spanduk. Dengarkan kata-kata yang dilontarkannya saat berorasi. Ah barang kali lakiku yang bodoh. (Kepada penonton) Ups! Jangan bilang-bilang. Dia juga pintar. Toh pernah berkata : “Aku menentang dengan diam, dengan kata-kata yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang mencintai kesunyian: oleh penyair, oleh dramawan, sekalipun tidak oleh para menteri atau presiden.” Ya itu sama saja dengan suara-suara demonstran.
Dia memang aneh. Dia malah mengeluarkan kata-kata bijak, katanya sebuah hadits. Begini : “Tidak akan ada jaman di masa depan lebih baik dari jaman sekarang atau masa lalu, maka hanya satu kata untuk menghadapinya : Isbiru. Bersabarlah![1]” Seperti mendengar ceramah di mesjid pengajian ibu-ibu. Aku kadang merasa berpacaran dengan seorang ulama atau seorang kiai. Tapi kiai yang aneh yang sukanya mengajakku ke tempat yang sepi, lalu berpuisi katanya. Berpuisi kok malah memelukku. Mengecupku. Jawabnya : “Puisi jiwa yang hanya dapat dirasa oleh jiwa yang saling berdekapan.” Ah ngaco.
(Berdiri. Berjalan mengambil hanphone yang tergeletak di atas tv. Kembali duduk di sofa) Kemarin dia berjanji akan datang pagi ini. Dia suka lupa kalau tidak diingatkan. Sekarang aku akan meneleponnya. (Meletakan telepon di telinganya) Halo, sudah berangkat.? Apa? Baru bangun? Bukannya janji sudah di rumah jam sembilan ini. (Mendengarkan) Oh. (Mengangguk) Ya sudah, yang jelas kau datang hari ini. GPL (Gak pake lama)!
Bicaranya saja yang bersahaja, sok alim. Jam sembilan baru bangun. Sholat subuh ketinggalan. Aneh lagi.
Clarisa masuk ke dalam. Beberapa saat keluar lagi mengenakan sweater. Mematikan tv, remot controlnya ditaruh di atas tv. Mengambil kunci rumah dari dalam lemari. Berjalan menuju pintu keluar. Seketika di ambang pintu bertemu dengan Sunte yang terlihat berpakaian rapi namun sedikit berkeringat.
Clarisa : Loh! Bukannya baru bangun, kok sudah di sini?
Sunte : (Tersenyum)
Clarisa membawa Sunte masuk dan mendudukannya di sofa.
Clarisa : Aku kira kau takkan datang secepat ini!
Sunte : Ketika kau menelepon aku sedang di jalan.
Clarisa : Ih, kebiasaan membohongiku.
Sunte : Surpise!
Clarisa : Kesal tahu! Naik angkot?
Sunte : Memang harus naik apa lagi? Helikopter?
Clarisa : Terserah maumu.
Sunte : Kenapa bertanya?
Clarisa : Biasanya angkot macet.
Sunte : Memang. Tapi aku membayarnya tiga kali lipat dari ongkos biasa.
Clarisa : Hah? Gak salah?
Sunte : Iya! Susah berbuat baik jika disengaja.
Clarisa : Dengan membayar tiga kali lipat itu bukannya disengaja?
Sunte : Justeru sebuah ketidaksengajaan. Sopir angkot tidak punya uang kembalian. Dari subuh belum mendapat penumpang sama sekali. Katanya orang-orang sekarang lebih memilih mengkredit motor dari pada naik angkutan umum. Setelah berkali-kali bahan bakar naik, ongkos mahal. Sepanjang jalan sopir itu menggerutu.
Clarisa : Dan kau mendengarkan ceritanya?
Sunte : Apa salahnya?
Clarisa : Ah, dasar orang aneh!
Sunte : Kenapa mau jadi pacara orang aneh?
Clarisa : Ngaco!
Sunte : Siapa?
Clarisa : Kamu!
Sunte : Oh, kamu. Kukira aku?
Clarisa : Ah...
Di luar terdengar suara mangkuk dibunyikan.
Clarisa : Sudah sarapan?
Sunte : Belum. Kamu sendiri?
Clarisa : (Menggelengkan kepala)
Sunte : Pesan bubur kacang, ya! Seporsi saja buat berdua. (Memberikan uang lima ribu rupiah)
Clarisa : Sebentar aku ambil mangkuk dulu. (Pergi ke dalam. Balik lagi) Aku gak tahu mangkuknya ditaruh di mana. (Menuju ambang pintu) Mang! Antosan![2] (Teriaknya. Lantas mengambil mug dari lemari) Pakai ini saja ya (kepada Sunte)
Clarisa keluar menghampiri tukang bubur tak lama kembali dengan se-mug bubur kacang di tangannya.
Clarisa : (Tersenyum dan menaruh mug yang dipegangnya di atas meja)
Sunte : Kenapa tersenyum?
Clarisa : Memangnya gak boleh?
Sunte : Cuma bertanya.
Clarisa : Gak penting! (Berjalan menuju ke dalam) Aku gak tahu juga dimana sendok disimpan.
Sunte : Tak apalah. Sebelum sendok diciptakan, manusia memakai tangan untuk makan.
Clarisa : Memang bisa bubur kacang dicomot[3] kayak nasi?
Sunte : Dibisakan saja!
Clarisa : Buktikan (Membawa garpu makan) Akan lebih banyak siapa yang mendapat kacangnya?
Sunte : Kalau ada garpu kenapa memakai tangan? Coba sini!
Clarisa : (Memberikan garpu) Syaratnya suapi aku!
Sunte : Sebelum aku menyuapimu, suapi aku dulu. (Memberikan mug dan garpunya)
Clarisa : Manja banget punya laki! Nih! (Menyuapi Sunte)
Sunte : (tertawa kecil) Mhh. Nikmat. Lebih nikmat dari rasa buburnya.
Clarisa : Giliranku!
Sunte : Oke! (Menyuapi Clarisa dengan perlahan dan sedikit mempermainkan)
Clarisa : Jangan main-main dong! (Merebut garpu dan mug) aku bisa makan sendiri.
Sunte : Ya sudah. Kutunggu giliranku.
Clarisa makan bubur sendiri tanpa menolah Sunte.
Sunte : Oh. Jadi begitu?
Clarisa : Sabar!
Beberapa saat Sunte hanya memeperhatikan Clarisa yang makan bubur kacang dengan garpu. Sedikit sekali yang berhasil dimakan
Sunte : Ngomong-ngomong bagaimana kerjamu?
Clarisa : Ya, begitu!
Sunte : Begitu bagaimana?
Clarisa : Capek. Ngantuk.
Sunte : Yang namanya bekerja tak ada yang enak. Kenikmatannya sesaat.
Clarisa : Maksudmu?
Sunte : Senang ketika berpoya-poya menghabiskan uang gaji. Itu juga khusus bagi yang masih lajang.
Clarisa : Memang pekerjaanku sedikit asyik.
Sunte : Kenapa?
Clarisa : Ya, bisa melihat kota Bandung malam hari.
Sunte : Dasar anak mamih. Makanya rumahnya pindah ke perkotaan sedikit biar mamahmu mengijinkan kau keluar malam.
Clarisa : Ah, biar saja. Orang yang berkepentingan padaku pasti mendatanginya. Kau contohnya!
Sunte : Baiklah. Kau menang!
Clarisa : Makanya jangan menghina. Kau saja datang dari mana?
Sunte : Ampun Baginda Ratu. Jangan biarkan orang lain mengetahui keberadaan hamba yang sebenarnya.
Clarisa : Stop! Jangan dilanjutkan. Aku tak mau mendengar kau mengeluarkan kata-kata yang tak dimengerti oleh manusia. Kau tahu sendiri aku sering dipusingkan oleh kata-katamu.
Sunte : Baik. Aku akan memilih diam dari pada kata-kataku menyerbu kepalamu.
Clarisa : Aku bilang berhenti!
Sunte : Iya! Aku tahu. Dan aku akan berhenti berkata. Biasanya aku yang selalu mengalah.
Clarisa : Mengalah? Apa tak salah dengar?
Sunte : Ya seperti sekarang ini. Kau memintaku datang pagi-pagi, aku menurut. Tiga hari yang lalu kau ingin ikut Easy bekerja malam hari, dan aku mengijinkan.
Clarisa : O. Itu yang kau maksud mengalah.
Sunte : Lah iya. Sedang kau sendiri selalu memberi batasan.
Clarisa : Batasan apa?
Sunte : Kau tak menceritakan tentang pekerjaanmu sebelumnya. Itu sama dengan kau membatasi aku untuk tahu suatu hal.
Clarisa : Kau pernah menanyakan hal itu? Seingatku tidak? Memang kapan kau menanyakan pekerjaanku?
Sunte : Tadi.
Clarisa : Bukannya aku telah menjawabnya?
Sunte : Jawabanmu tidak tuntas. Tak ada yang menyangkut tentang aturan atau ketentuan-ketentuan selama kau bekerja.
Clarisa : Lah! Kau sendiri baru sekarang bertanya mengenai hal itu.
Sunte : Tidak. Semalam aku menanyakan itu padamu. Kau ingat ketika kita duduk di bawah tiang listrik, kau masih berpakaian seragam kerjamu. Aku berkata panjang lebar, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang baru saja aku ulangi.
Clarisa : Semalam? Semalam aku berada di tempat kerjaku dan pulang jam dua belas. Bukannya sebelum jam sebelas kau mengirim pesan dengan ucapan selamat tidur. Dalam pesan itu juga kau mengatakan akan menemuiku pagi-pagi.
Sunte : Tapi kau bersamaku. Lantas aku memeluk dan menciumimu seperti biasa. Hanya tempat yang tak biasa. Di bawah tiang listrik.
Clarisa : Di mana.
Sunte : Di perempatan jalan Burangrang.
Clarisa : Ah! Itu tempat aku kerja, sayang! Kau bermimpi. Aku tak menemuimu.
Sunte : Mimpi?
Clarisa : Kau selalu saja memimpikanku jika berjanji akan menemuimu. Pantas saja aku tak mengerti apa yang kau katakan.
Sunte : Tapi aku penasaran dengan apa yang aku pertanyakan. (Diam sesaat) Kau bekerja sebagai apa?
Clarisa : Waitress. Aku sudah bilang padamu.
Sunte : O, iya. Baru ingat. Aku bisa makan gratis.
Clarisa : Kalau restoran itu milik nenekmu.
Sunte : Memang milik siapa?
Clarisa : Yang jelas bukan milik nenekmu atau nenekku. Bukan milik kita. Tapi milik pengusaha asing yang menanamkan modalnya di negeri ini.
Sunte : Milik orang sipit?
Clarisa : Bule.
Sunte : Bule apa? Bule ketek?
Clarisa : Terserah maumu!
Sunte : (Diam sejenak) Apa nama restorannya?
Clarisa : Maunya apa?
Sunte : Loh, kok begitu?
Clarisa : Lah, iya. Tadi juga terserah maumu. Yang jelas nama salah satu kota mewah di negerinya.
Sunte : (Berpikir). California? Las Vegas, juga nama kota. Betul tidak? Tapi setahuku tak ada rumah makan yang bernama itu. Atau New York, atau juga San Fransisco? Nah, pasti betul.
Clarisa : Up to you!
Sunte : Kau dapat gaji berapa? Dibayar perhari apa perminggu?
Clarisa : Ih, ini cowok bawel amat!
Sunte : Bukannya dulu kau pernah berkata, apapun yang aku tanyakan akan kau jawab dengan hangat tanpa merasa terganggu.
Clarisa : Siapa yang terganggu?
Sunte : Loh! Tadi kau mengatakan aku bawel. Secara tidak langsung kau tak mau menjawabnya.
Clarisa : Baik Tuan Baginda, Kakang Prabu, hamba akan menjawab semua pertanyaan Tuan Baginda, Kakang Prabu : Hamba seorang Waitress yang mengabdi pada sebuah restoran milik negeri Paman Sam. Bekerja dari pukul 16.00 WIB sampai pukul 23.00 WIB. Untuk Sabtu malam dan Minggu malam, sampai pukul 00.00 atau tengah malam....
Sunte : (memotong) Buset....
Clarisa : Hamba belum selesai Baginda! Hamba masuk tiga hari dalam seminggu : Jum’at, Sabtu dan Minggu. Kadang tergantung permintaan. Hamba baru berstatus magang di restoran tersebut, jika saja pekerjaan hamba baik maka hamba dapat diterima dengan senang hati. Jika pekerjaan hamba tidak sesuai dengan apa yang yang diharapkan, hamba tidak diperkenankan masuk kerja lagi. Begitu Tuanku, Kakang Prabu!
Sunte : (Diam)
Clarisa : Kenapa diam?
Sunte : Betapa picik!
Clarisa : Maksudmu?
Sunte : Setelah semua orang tunduk di ujung telunjuknya, ia pun berkuasa menentukan nasib seseorang. Seperti Tuhan!
Clarisa : Jangan berkata bergitu, sayang. Ini sebuah awalan untuk aku melangkahkan kaki kedepannya. Kau ‘kan tahu, aku baru saja lulus SMEA, aku harus banyak memiliki pengalaman kerja. Kerja apapun itu. Selain itu Mama dan Papa mengijinkan.
Sunte : Bukannya kau mau melanjutkan studi?
Clarisa : Apa salahnya selama beberapa minggu ini sebelum pengumuman kelulusan test ujian masuk perguruan tinggi, aku meluangkan waktu untuk bekerja.
Sunte : (Terdiam lagi)
Ibu Tina datang mengucapkan salam. Di tangannya kresek hitam yang menyembunyikan sesuatu di dalamnya.
Ibu Tina : Salamu’alaikum! Eh ada tamu. Sudah lama? (Menyapa Sunte)
Sunte : Baru saja, Bu. Sekitar satu jam yang lalu.
Ibu Tina : Sudah lama atuh. Neng, kenapa belum dikasih minum?
Clarisa : Lupa, Bu!
Ibu Tina : Aduh, si Neng ini bagaimana sama pacar lupa ngasih minum. Lagi sosonoan meureun[4]. Hehe...(menuju dapur. Dan berkata dari dalam) Jang Sunte mau minum apa?
Sunte : Air putih saja, Bu!
Ibu Tina : Kopi juga ada, padahal! (Menghampiri)
Sunte : Agak mules, Bu!
Ibu Tina : Wah belum sarapan barang kali!
Sunte : Sudah, Bu, baru saja makan bubur kacang. Saya lupa tidak mengingatkan jangan pake santen.
Ibu Tina : Ya sudah, sarapan dulu saja. Kemana ya, Si Easy.
Clarisa : Masih tidur, Bu.
Ibu Tina : Masa Alloh. Belum bangun. Kecapean anak-anak teh Jang Sunte, pulangnya larut malam. Ibu bangunkan Easy dulu atuh! (Pergi ke kamar di mana Easy tidur. Dari dalam kamar Ibu Tina terdengar membangunkan Easy)
Clarisa : Kamu sakit perut? (mendekat) Kebiasaan sih.
Sunte : Kan aku lupa.
Clarisa : Iya, harusnya jangan sembarangan makan. Nanti mag-nya kambuh, mau bagaimana. Sini, aku pijit. (Duduk di belakang Sunte dan memijiti punggungnya). Minum air putih saja.
Sunte : Iya, kan mau ini juga. (Minum. Dan bersendawa beberapa kali)
Clarisa : Sudah agak mendingan?
Sunte : (Mengangguk)
Clarisa : Aku nggak mau kamu sakit. (Memeluk dari belakang)
Sunte : Siapa yang mau?
Dari luar Andi mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Clarisa yang tengah memeluk Sunte terkagetkan dengan ketukan Andi pada pintu dan ucapan salamnya.
Andi : Salamu’alaikum?
Sunte : Waalaikum salam. Andi. Apa kabar?
Andi : (Berjabat tangan dengan Sunte). Seperti yang kau lihat. Kabarmu?
Sunte : Seperti yang kau lihat juga.
Clarisa beranjak dari tempat duduknya.
Andi : Loh, kok pergi?
Clarisa : Mau mandi, terus ganti baju. Kita kan mau pergi ya, sayang!
Andi : Ya, pantas saja suasananya gerak banget, ada yang belum mandi toh.
Clarisa : Suka-suka aku dong. Tuh istrinya masih tidur. (Pergi ke belakang)
Andi : O, iya? (Menggelangkan kepala. Duduk. Menarik nafas) Kasihan mereka, Sun. Kecapean.
Sunte : (Mengangguk)
Andi : (Membuka jaketnya) Di luaran panas siang begini. Kau datang jam berapa?
Sunte : Belum lama. Habis dari mana kau?
Andi : Biasa. Belanja buat jualan. Persiapan nanti malam.
Sunte : Sekarang kau jualan.
Andi : Bantu-bantu paman. Lumayan cari buat sehari makan.
Sunte : Baguslah. Dari pada aku, kerjaannya hanya bisa merenung depan komputer.
Andi : Itu kan pekerjaan juga.
Sunte : Iya, tapi belum memberikan feed back apa-apa.
Andi : Memang apa saja yang kau tulis selama ini.
Sunte : Hanya berkutat di wilayah sastra. Itu pun belum ada yang diterima oleh media masa.
Andi : Belum memenuhi syarat barang kali. Setiap koran atau majalah punya karakter tulisan dan gaya masing-masing.
Sunte : Memang benar sih!
Andi : Atau kau coba menulis artikel atau karya ilmiah.
Sunte : Itulah jeleknya aku. Susah untuk menuliskan sesuatu yang mempunyai rujukan atau data ilmiah.
Andi : Loh, bukannya karya sastra juga harus memiliki fakta atau keterangan yang autentik?
Sunte : Tak salah. Hanya saja dalam fiksi, keterangan-keterangan itu bisa dikemas secara implisit, bisa diwakili tokoh juga tak meski terlalu detail. Yang pasti orang yang merenungkannya akan bisa menangkap arah pembicaraan pengarang.
Andi : Ah, kau. Kalau sudah ceramah tentang karya, selalu saja berapi-api.
Sunte : Memang apa lagi yang bisa aku bicarakan.
Andi : Tak masalah sih. Aku juga suka dengan cerpen atau novel. (Menaruh tas di bawah meja). Kau sudah KKN atau PKL?
Sunte : Belum. Aku akan PKP saja.
Andi : Seperti program Diploma. Memang kau akan PKP di mana.
Sunte : Paling di statsion TV lokal. Sekalian magang jadi skrip writer. Doakan saja!
Andi : Amin! Kenapa tak di Jakarta yang lebih menjanjikan.
Sunte : Aku tak tertarik dengan kota Jakarta. Gersang semua. Kesakitan negeri terkumpul disana, mulai dari orang-orang kelaparan, gelandangan, anak-anak terlantar, para koruptor, orang-orang dzolim yang berpura-pura mengayuh dzikir dan banyak lagi hal yang membuat pertiwi makin merintih.
Andi : Aku rasa hal itu tidak terjadi di ibu kota saja, hampir di seluruh tanah air.
Sunte : Memang (Menarik napas)
Ibu Tina datang membawa dua gelas kopi beserta ubi goreng yang masih terlihat mengepulkan asap panas.
Ibu Tina : Walah, suka nggak ngerti Ibu mah apa yang diomongkan kalau mahasiswa bertemu mahasiswa. (Meletakan nampan yang berisi makanan). Sok, mangga dileueut![5]
Sunte : Terima kasih, Bu.
Ibu Tina : Iya. Pantas yah mahasiswa mah berani berdemo kalau pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil teh. Ibu mah boro-boro.
Andi : Sudah kewajiban, Bu!
Ibu Tina : Iya, tah si Andi sering saja berdemo. Katanya dia merasa sebagai anak rakyat kecil. Punya tanggung jawab membela, katanya.
Sunte : (Diam saja merasa dirinya tidak pernah ikut berunjuk rasa turun ke jalan)
Ibu Tina : Katanya lagi, mahasiswa adalah anak bangsa. Mahasiswa adalah tulang punggung negara. Nasib sebuah negeri ada di tangan pemuda khususnya mahsiswa. Bukan begitu Andi.
Andi : Ah, ibu bisa saja. Saya hanya melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab. Jika mahasiswa diam saja, siapa yang akan mengingatkan para pemimpin kita. Mereka masih manusia, terkadang lalim. Bisa saja hatinya goyah jika telah berada dalam sebuah kursi jabatan.
Easy datang masih memakai daster. Sedikit terlihat kusut.
Easy : Sayaaang! Kenapa baru datang!
Ibu Tina : Kamu ini. Ibu yang membangunkan susah, kalau mendengar suara Andi pasti dengan sendirinya bangun. Cuci muka dulu sana!
Easy : Tak apalah. Andi lebih senang melihat aku bangun tidur. Iya kan?
Andi : (Tersenyum. Mengangguk) Iya.
Sunte : Lebih terlihat cantik tidaknya, Sy!
Easy : Nggak ada bedanya, mau bangun tidur atau belum tidur aku tetap cantik. Iya kan, cinta? (Duduk pada tangan sofa di samping Andi)
Ibu Tina : Maaf saja, Jang Sunte, si Easy memang kayak begitu ke Si Andi teh. Ibu mah malu. Dari pada melihat si Easy manja, mending masak di dapur. (Pergi. Di ambang pintu dapur bertemu Clarisa yang telah berpakaian rapi dan wangi). Euleuh, Neng Risa mau kemana sudah gaya begini?
Clarisa : Mau keluar dulu, Bu!
Ibu Tina : Sama Cep Sunte?
Clarisa : Iya!
Ibu Tina : Hati-hati, yah! (Masuk ke dapur)
Clarisa : Mau berangkat sekarang? (Pada Sunte)
Sunte : Terserah kamu!
Easy : Mau kemana, Sa?
Clarisa : Aku pulang dulu, Ah. Mumpung ada yang ngantar.
Easy : Jangan lama. Jam setengah empat harus disini lagi. Rumahmu kan jauh.
Clarisa : Tenang saja kita kan mau pinjam motor bapakmu.
Easy : Eh, enak saja. Kita juga mau ke Tugu Bandung Lautan Api nonton konser.
Clarisa : Ke Tugu Bandung Lautan Asmara kali. Lakimu bawa motor sendiri.
Easy : Benar? (Pada Andi)
Andi : (Mengangguk)
Easy : O, ya sudah. Tuh kuncinya di pinggir TV.
Clarisa : Motornya parkir di mana?
Easy : Ya di tempat biasa, depan rumah nenekku.
Clarisa : Ya sudah. Aku pergi sekarang, mumpung belum terlalu siang. (Mengambil kunci motor yang ditunjukan Easy)
Sunte : (Berdiri). Aku pergi dulu! (Pada Andi dan Easy)
Andi : Hati-hati, Sun!
Sunte dan Clarisa keluar.
Easy : Sayang, nanti malam jemput lagi ya! Aku gak mau dianter Pak Hares atau Pak Yono. Tuh si Risa juga gak mau. Suka menggoda begitu.
Andi : Iya. Aku jemput.
Easy : Tapi malam kemarin kamu nggak.
Andi : Itu kan ada urusan. Aku kan sudah minta maaf.
Easy : Aku juga sudah memaafkan. Tapi kamu harus ingat, aku ingin kamu selalu ada di saat aku butuh. Kalau bisa sih setiap saat.
Andi : Iya. Buktinya aku datang sekarang, bukannya kita mau nonton konser jam 11? Ayo mandi sana!
Easy : Iya. Aku mandi dulu ya! (Beranjak beberapa langkah) Pengen dimandiin!
Andi : Sudah dong, Sayang. Pergi mandi sana. Konsernya sebentar lagi mulai.
Easy : O, iya. Setengah jam lagi. Aku cuci muka doang ah! (Tergesa menuju kamar mandi yang terletak di belakang)
Andi : Begini pacaran sama anak SMA. Seperti mengasuh. Manja. Ingin ini, ingin itu. Kita dianggapnya pangeran atau Super Hero yang selalu siap menjadi pahlawan atau malaikat. Tapi ada untungnya, kebanyakan dari mereka penurut. Takut barang kali; takut ditinggalkan. Lebih lagi mereka bangga punya kekasih mahasiswa, tak sedikit dari mereka yang pacaran dengan mahasiswa berbangga diri di hadapan teman-temannya. Padahal mahasiswa selalu kere. Duit pemberian orang tua habis dipakai membuat tugas. Apa lagi yang malas mengerjakannya, tugas bisa dibeli dari teman atau kakak tingkat. Tapi itu bagi orang mampu. Mahasiswa seperti aku, Sunte, Marno, buat makan juga susah. Subsidi orang tua kadang tak cukup. Harus cari sendiri. Contohnya aku, tiap malam harus berada di pinggir jalan bersahabat dengan kompor gas, wajan, roda, mie, nasi goreng, kwetiaw. Ya, terserah orang memesan apa, nasi goreng, capcay atau mie goreng. Lumayan, semalam dapat dua puluh lima ribu perak juga.
Easy datang dengan sedikit segar.
Easy : Ngomong sendiri kayak yang sedang bermain drama. Ayo kita pergi!
Andi : Sebentar amat, mandi nggak?
Easy : Mandi nggak mandi aku tetap wangi dan cantik! Nanti juga keringetan. Kita jingkrak-jingkrak! Ayo! (Menarik tangan Andi)
Andi : Iya. Pamit dulu!
Easy : (Teriak) Mamah, kita pergi dulu!
Ibu Tina : (Dari dapur) Jangan lama!
Easy : Iya, Mah! Setengah empat sudah di sini lagi. Ayo! (menarik kembali tangan Andi menuju keluar)
Black out
Babak II
Setting tetap. Kejadian lima hari setelah Clarisa dan Easy bekerja sebagai waitress.
Sunte mengetuk pintu dari luar. Dari dalam, Clarisa yang masih memakai pakaian tidur
datang menghampiri
Clarisa : Sebentar! (Membukakan pintu). Wah, pagi betul kamu datang.
Sunte : Sengaja buat kamu.
Clarisa : Mhh. Silakan duduk. Mau minum apa?
Sunte : Kayak di rumah sendiri saja.
Clarisa : Belajar jauh dari orang tua.
Sunte : Tapi harus bisa bawa diri.
Clarisa : Iya. Kau tahu sendiri bagaimana aku?
Sunte : (Hanya tersenyum)
Clarisa : Tapi bagaimana pun nyaman dan bebasnya di rumah orang ada saja hal yang membuat aku ingin pulang.
Sunte : Memang kenapa?
Clarisa : Aku susah tidur kangen mama-papa.
Sunte : Baru saja nggak pulang beberapa hari.
Clarisa : Sudah tiga hari aku tak pulang.
Sunte : Katanya belajar jauh dari orang tua?
Clarisa : Memang. Tapi semalam ada kesalahpahaman antara aku dan Easy.
Sunte : Kenapa?
Clarisa : Easy alergi lagi. Kamu tahu dia anti makan sea food?
Sunte : (Mengangguk)
Clarisa : Sewaktu makan malam, aku memaksanya makan cumi-cumi. Dia juga mau tanpa aku paksa, namun setelah beberapa menit Easy menggaruk-garuk tubuhnya.
Sunte : (Menutup mulut menahan ketawa)
Clarisa : Ini sungguhan. Jangan ketawa!
Sunte : Dari mana kau dapatkan cumi-cumi itu?
Clarisa : Dikasih Pak Hares.
Sunte : Siapa dia?
Clarisa : Manager.
Sunte : Lalu Easy marah padamu?
Clarisa : Sepertinya iya. Sebab aku menertawakannya. Dan ketika pulang dia tak mau bicara denganku. Tapi Andi tahu hal ini, ia juga malah tertawa mendengarnya.
Sunte : Bukannya kalian telah tiga tahun bersahabat, kenapa bisa sampai tak saling menyapa?
Clarisa : Aku tak tahu.
Sunte : Sekarang bagaimana?
Clarisa : (Mengangkat bahu)
Sunte : Mintalah maaf padanya!
Clarisa : Sudah.
Sunte : Apa jawabnya?
Clarisa : Balik bertanya : maaf atas apa? Kataya.
Sunte : Tuh, kan. Ia tak menganggap kamu bersalah.
Clarisa : Tapi aku nggak enak hati. Selain itu, nanti malam kerja sampai jam dua belas malam. Seperti malam tadi.
Sunte : Hah! Nggak salah dengar? Tadi malam kau pulang jam dua belas?
Clarisa : (Mengangguk) Tapi kita pulang rame-rame. Andi tiap malam menjemput Easy. Berjalan kaki dengan Lisa, Mawar, Tante Merry.
Dari luar nampak Andi tengah menikmati alunan musik dari MP4. kali ini ia tak mengucapkan salam, ia langsung saja masuk.
Andi : (Pada Sunte) Kau sudah disini? (Duduk dan menikmati kembali apa yang didengarnya lewat headset)
Andi : (Melepaskan MP4-nya. Membuka jaket dan meletakkannya di tangan kursi. Tagannya merogoh remot control TV yang tergeletak di atas meja)
Easy : (Muncul dengan mengenakan daster. Duduk berdempetan dengan Andi) Ngantuk banget hari ini. (Menguap lantas merebahkan kepala di pundak Andi yang menonton tv)
Seketika semuanya terdiam membangun sunyi. Dari luar Ibu Tina datang. Easy melepaskan pelukannya.
Easy : Mau minum apa kalian?
Sunte : Apa sajalah.
Easy : Kopi saja ya! Kamu mau apa? (Pada Andi)
Andi : Kopi.
Ibu Tina datang dengan dua gelas kopi di tangannya.
Ibu Tina : Sebentar, gorengannya belum mateng!
Sunte : Tak usah merepotkan, Bu. Setiap kali kesini, Ibu selalu berlebihan menyuguhi kami.
Ibu Tina : Ah, tidak direpotkan. Sudah biasa. (Kembali kedalam)
Easy : Semua belum sarapan bukan? Mau makan apa? Kalau mau nasi uduk ambil saja di meja. Nasi goreng harus bikin dulu.
Andi : Jangan tanya, buatkan saja!
Easy : Tapi aku malas membikinya. Ngantuk. (Berdiri hendak pergi ke dapur).
Suasana hanya dibangun oleh gambar dan suara televisi yang menampilkan chanel yang terus berputar: musik, iklan, berita kerusuhan mahasiswa, gosip, iklan, iklan layanan masyarakat, jatuhnya pesawat terbang, iklan kampus perguruan tinggi, bandjir, iklan, oratorium calon gubernur. TV padam. (Audio visual ini bisa ditampulkan lewat slide multi media.)
Andi : Bingung aku kalau menyaksikan keadaan.
Easy : (datang dengan tiga piring nasi goreng. Memberikan pada Andi, Sunte dan Clarisa). Maaf yah aku makan terlebih dahulu dengan mamah di dapur.
Sunte dan Clarisa makan pada satu piring yang sama, piring yang disediakan untuk Clarissa disimpan.
Easy : Kenapa kalian makan berdua?
Sunte : Terlalu bayak satu piringnya.
Keadaan sepi kembali. Yang ada hanya susana makan.
Sunte : Kau biasa Shalat Jum’at dimana?
Andi : Di mesjid yang paling dekat (Menunjuk ke arah luar kiri)
Sunte : Aku hanya tahu mesjid yang di sebelah barat, saat awal kita masuk gang ini.
Andi : Terlalu jauh. Tapi boleh di sana juga.
Sunte : Aku ikut kau saja.
Andi : (Mengangguk) Masih lama ‘kan?
Sunte : Sepertinya sebentar lagi (melihat jam pada handphonenya. Ditaruhnya sendok yang dari tadi dipakai makan) Aku ke kamar mandi.
Clarisa : Makannya dihabiskan dulu!
Sunte : Sudah kenyang.
Clarisa : Pedas bukan?
Easy : Alah pedas sedikit saja sudah mengalah.
Sunte : (Senyum terpaksa lantas pergi)
Easy : Cowokomu nggak suka pedas yah?
Clarisa : Perutnya sensitif.
Easy : Harus sering-sering kau obati. Obat spesialis, begitu.
Clarisa : (Heran) Obat spsialis bagaimana?
Easy : Tidak mengerti?
Clarisa : Ah, kau pasti omez[6], iya ‘kan?
Easy : Kayak yang nggak suka saja!
Sunte : (Datang dengan wajah dan tangan yang basah)
Clarisa : Habis whudu?
Sunte : (Mengangguk kemudian duduk terpisah dari Clarisa)
Clarisa : Bantulah aku menghabiskan nasinya! (Mengasongkan nasi dalam piring)
Sunte : Habiskan sendiri saja! (Menerima)
Andi : Kalau sudah whudu nggak boleh makan banyak, whudunya batal.
Sunte : O, iya? Setahuku tidak.
Andi : Kalau sedikit tidak batal, jadi sedikit-sedikitlah kau makan.
Sunte : Ah, nggak lucu!
Dari luar terdengar suara adzan.
Sunte : Sudah adzan, Ndi. Jumatan sekarang?
Andi : Nanti saja, belum khutbah.
Easy : Setelah mendengar khutbah pasti bilang nanti saja belum komat[7]
Andi : Begitulah (Bergegas) Ayo! (pada Sunte)
Easy : Jangan lama ya, sayang!
Sunte dan Andi keluar. Easy dan Clarisa terdiam sesaat.
Easy : Kau jadi ikut SPMB?
Clarisa : Aku sebenarnya bingung melanjutkan kuliah. Kau tahu kan biayanya mahal? Aku kasihan pada Papaku.
Easy : Kok psimis begitu. Aku saja yang kau lihat sendiri keadaannya bersemangat melanjutkan kuliah. Bapakmu itu pegawai negeri, gampang punya duitnya.
Clarisa : Ah, masalah pegawai negeri atau bukan, urusan duit sama susahnya dan juga Papaku bukan pejabat negara. Menjadi sekretaris desa tak sama dengan sekretaris negara. Kau tahu adik Mamaku yang sekarang masuk SMA, Papaku yang membiayainya.
Easy : Sekalipun begitu kau tetap kuliah bukan.
Clarisa : Mau. Aku malu jika lakiku seorang mahasiswa dan aku hanya seorang waitress atau SPG. Apa lagi pengangguran.
Easy : Itu sama dengan pemaksaan. Pacarmu bilang begitu?
Clarisa : Nggak. Tapi aku yang bicara padanya.
Easy : Jawabnya apa?
Clarisa : Dia nggak mempermasalahkan itu. Dia tulus menyayangiku. Kalau toh aku nggak kuliah juga dia tak bakal mengubah niatnya menyayangiku sepanjang hidupnya.
Easy : (Kaget) Hah! Dia ngomong begitu? Kau akan dilamarnya, lantas kau akan dinikahinya. Wah, pesta pernikahan sudah dekat.
Clarisa : Enak saja ngomong. Kita punya rencana pacaran lama. Papaku nggak mau aku nikah terlalu cepat. Papaku pernah bicara saat dia di rumahku,...
Easy : Meminta menikahimu? (memotong)
Clarisa : Dengar dulu, aku belum selesai bicara! Papaku bilang ia ingin melihat aku banyak pengalaman dulu, kuliah dulu, kerja dulu sebelum menikah.
Easy : Tuh kan ujung-ujungnya kesana juga!
Ibu Tina datang dengan tersenyum
Ibu Tina : Walah lagi ngobrol apa kalian teh meni sumanget begitu?
Easy : Ini, Mah, Risa mau nikah!
Clarisa : Ya iya, maulah. Memangnya kamu mau terus-terusan sendiri. Iya kan, Mah?
Ibu Tina : Betul! Tapi ngomong-ngomong soal jodoh, apa kalian sudah pasti memilih pacar-pacar kalian untuk menjadi suami kelak?
Easy : Pertanyaan Mamah seperti yang mau menikahkan kita saja?
Clarisa : Loh, bukannya kau dan Andi sudah berjanji akan menikah?
Easy : Gosip dari mana itu?
Clarisa : Bukannya kau sendiri yang bilang pada anak-anak sewaktu makan-makan di rumahku?
Easy : (Meletakkan telunjuknya pada bibirnya) Ssssshtttttt! Jangan buka kartu dekat Mamah (Menarik Clarisa ke dekat pintu)
Clarisa : Memang kenapa?
Easy : Surprise buat Mamah!
Clarisa : Apa? Surprise.....
Ibu Tina : Hey, kalian teh jangan sembunyi-sembunyi kalau bicara. Jujur saja!
Easy : Ah, Mamah pengen tahu saja anak muda, rahasia dong, Mah!
Ibu Tina : Lah, Mamah juga dulu mah muda, sama seperti kalian yang kecentilan. Tapi Mamah mah nggak.
Clarisa : Nggak jauh beda, bu?
Ibu Tina : Ah Neng Risa mah suka pinter membalikan fakta.
Easy : Kalau nggak pinter, nggak akan pacaran sama mahasiswa sastra dong, Mah! Lihat saja suaminya begitu mahir merangkai kata-kata.
Ibu Tina : Iya kalian mah sudah hidup di jaman yang serba aneh, jadi banyak sesuatu yang Ibu nggak tahu. Kelakuannya aneh-aneh lagi. Toh kalian juga aneh.
Clarisa : Apanya yang aneh.
Ibu Tina : Aneh, bukannya kalian dijemput pacar-pacarnya, kenapa belum pada mandi?
Easy : Ah, nggak mandi juga cantik.
Ibu Tina : Tetap saja yang namanya belum mandi itu kayak domba.
Easy : Tenang dong, Mah, jangan dimasukkan ke dalam hati.
Clarisa : Kita juga mau mandi ya?
Easy : Iya, aku mau mandi sekarang (Bergegas menuju ke belakang)
Clarisa : Sy, tunggu! (Mengejar)
Ibu Tina : Begitu kelakuan anak jaman sekarang, sulit ditebak apa yang dalam pikirannya. Kelakuannya pun demikian. Gaya hidup mah sudah tidak usah diomongkan lagi, sudah karut-marut. Mulai dari penampilan ; pakaian yang serba ngatung, setiap bulan modelnya baru lagi. Sedangkan makanan, eh ikut-ikutan gaya orang-orang bule, makan urap atau sayur oncom mah, sudah nggak mau. Maunya spageti, burger, atau fried chicken. Sedikit-sedikit ke Mc-D, Hoka-hoka, KFC atau ke mana sajalah yang penting rame.
Si Easy itu. Maunya begitu. Kalau tidak digugu[8], wah pundungnya minta ampun sampai-sampai mogok makan. Dia terpengaruh oleh teman-temannya yang pergaulannya mewah. Untung Si Andi mah sabar, kalau si Easy manyun teh, dia malah menggodanya. Atau merayu. Pokonya dengan banyak cara biar Easy nggak cemberut. Dasar mahasiswa mah banyak akal. Pintar mengambil hati, apalagi seusia Si Easy sama Neng Risa. Apapun keinginannya selalu dipenuhi. Setiap waktu selalu ada menemani. Begitulah anak-anak sekarang, nggak seperti saya dulu. Bertemu dengan calon suami itu sebulan sekali, paling sering dua minggu sekali. Itu pun laki-laki yang datang kerumah. Sudah di rumah ngobrol bersama keluarga, tanya ini itu. Kalau sekarang, ngobrol sama keluarga nggak ada yang betah. Maunya cuma berduaan saja di tempat-tempat yang sepi, atau sekalian di tempat rame : di Mall, Bioskop, atau tempat hiburan. Saya mah boro-boro ke tempat seperti itu, hidup segini juga sudah bersyukur. Sudah untung bisa mendapat penghasilan sedikit dari hasil penjualan nasi uduk dan gorengan.
Andi datang terlebih dahulu.
Ibu Tina : Sudah beres sholat Jum’atnya?
Andi : Sudah, bu.
Ibu Tina : Jang Sunte mana? Kenapa tidak pulang bareng?
Andi : Masih di mesjid. Katanya mau ngobrol dulu dengan Imam Sholat Juma’at. Ada yang mau didiskusikan.
Ibu Tina : Syukurlah kalau memang itu benar. Tapi kalian tidak saling bermusuhan bukan?
Andi : Memangnya kenapa, bu?
Ibu Tina : Ya,...
Sunte datang dan mengucapkan salam. Ia duduk disofa depan Andi.
Andi : Tidak jadi ngobrol dengan Imam tadi?
Sunte : (Mengangkat bahu) Lain kali saja katanya.
Keduanya mematung.
Ibu Tina : Kalian berdua jangan saling bermusuhan. Jangan saling membenci! Tidak baik. Mereka mah cuma salah paham. Maklum anak-anak.
Sunte : Saya tidak mengerti apa yang ibu katakan?
Ibu Tina : Semalam Easy dan Neng Risa tidak saling tanya gara-gara Neng Risa memaksa Easy makan sea food dan bikin Easy gatal-gatal. Biarkan saja yah, da mereka mah sudah biasa. Jangan jadi pikiran.
Andi : Kita tidak sedang memikirkan itu, Bu.
Sunte : (Mengangguk) Kita sudah besar, bukan anak kecil yang mudah perang dingin.
Ibu Tina : Lalu apa yang kalian sedang pikirkan? Mau cepat-cepat kawin?
Andi : Jika diijinkan.
Ibu Tina : Tapi perlu kailan tahu, kawin itu bukan saja menyatukan dua anak laki-laki dan perempuan, tetapi menyatukan dua keluarga yang harus saling menjaga kehormatan dan nama baiknya. Kawin itu tidak gampang seperti yang kalian bayangkan.
Andi : Kata siapa sulit, Bu. Tinggal kawin saja.
Sunte : Tanpa nikah?
Ibu Tina : His! Itu mah pamali.
Andi : Kata Ibu juga kawin, bukan nikah.
Ibu Tina : Ah, kalian bikin Ibu pusing saja. Jangan disamakan dengan teman-teman kalian kalau bicara dengan Ibu. Nggak mengerti.
Sunte terlihat melamun. Sementara Andi mempermainkan hand phone-nya.
Ibu Tina : Kalau tidak sedang memikirkan pernikahan, kalian memikirkan apa?
Sunte : Clarisa.
Ibu Tina : Tuh kan, memikirkan Neng Risa.
Sunte : Saya khawatir dengan pekerjaan malamnya, Bu.
Ibu Tina : Loh, kenapa khawatir?
Sunte : Rumahnya jauh.
Ibu Tina : Iya, tapi Ibu senang Neng Risa berada di sini. Anggap saja ini rumah kalian. Sudahlah, Jang Sunte, jangan terlalu dipikirkan. Ibu sudah menganggapnya anak sendiri. Toh Easy juga senang Neng Risa di sini. Kalau soal bekerja malam, Bandung masih aman, nggak seperti di Jakarta yang sering diberitakan kejadian yang tidak diharapkan. Tenang saja, Neng Risa tidak sendiri, ada Easy, ada Lisa anaknya Pak Jonata, Merry keponakan Ibu, nih Si Andi sering jemput malam-malam. Biarkan mereka mencari pengalaman. Dan lagi tempat bekerja mereka dekat dari sini.
Andi : (Pada Sunte) Seperti seorang ibu saja yang mencemaskan anaknya yang jauh dari rumah.
Sunte : (Manggut) Aku terima kata-katamu. Biarkan kecemasanku melindunginya.
Andi : Tapi suatu saat dirimu yang harus melindunginya, bukan saja kecemasan dan kekhawatiran.
Sunte : Ya. Itu pasti.
Andi : Sekarang bersiaplah untuk mengantar mereka berangkat.
Sunte : Ya!
Black out
Babak III
Setting tetap. Pagi hari. Peristiwa tujuh hari setelah Clarisa dan Easy bekerja. Di sofa nampak Andi duduk sendiri membuka-buka majalah yang tergeletak di bawah meja. Tak lama Easy muncul dari dalam dengan secangkir teh di tangannya.
Andi : Kamu belum bersiap, katanya masuk jam sembilan pagi ini?
Easy : Ya. Aku menunggu Clarisa bangun.
Andi : Kenapa ditunggu? Bangunkan saja!
Easy : Dia baru bisa tidur jam empat pagi. Kasihan.
Andi : Kenapa? Bukannya dia pulang dijemput Sunte?
Easy : Justeru karena itu. Semalam mereka bertengkar.
Andi : Berebut apa mereka?
Easy : Berebut waktu. Dari awal memang Sunte kurang setuju dengan pekerjaan Clarisa yang menyita waktu istirahatnya.
Andi : Aku tahu. Lalu?
Easy : Semalam, kita pulang pukul dua pagi. Dan Sunte menunggu dari jam sebelas seperti yang dijanjikan Clarisa sebelumnya. Sunte paling tidak suka menunggu.
Andi : Menurutku wajar Sunte menunggu Clarisa sampai larut malam. Aku tak percaya hanya karena soal itu mereka bertengkar. Aku tahu bagaimana sayangnya Sunte pada Clarisa.
Easy : Memang ada hal lain.
Andi : Apa?
Easy : Entahlah, barang kali pekerjaan Sunte jadi terbengkalai. Dari jam dua belas malam sampai menjelang subuh biasanya ia bekerja, semalam ia harus menunggu Clarisa sampai jam dua.
Andi : Artinya pagi ini Sunte tidak akan menjemput Clarisa?
Easy : Kira-kira begitu.
Andi : Seperti anak kecil saja.
Easy : (Diam beberapa saat) Aku mau mandi dan membangunkan Clarisa.
Andi : (Mengangguk)
Easy pergi. Beberapa saat hening. Suara musik mengalun dari luar. Seseorang masuk. Musik berhenti setelah orang itu berdiri di pintu.
Laki-laki : Permisi!
Andi : (Menoleh) Siapa?
Laki-laki : (Tanpa dipersilakan ia masuk) Selamat pagi! Salam kenal. Saya Hares.
Andi : Saya tidak kenal Bapak.
Laki-laki : Jangan panggil saya Bapak. Panggil nama saja.
Andi : Silakan duduk! Saya Andi.
Laki-laki : (Duduk) Saya pertama kalinya datang ke sini, bersyukur bisa ketemu.
Andi : Bapak mencari siapa?
Laki-laki : Sudah saya bilang jangan memanggil Bapak. Panggil nama saja supaya lebih akrab. (Melihat-lihat kesekeliling) Ini rumah Easy?
Andi : Betul.
Laki-laki : Juga Clarisa.
Andi : Clarisa biasa pulang ke sini.
Laki-laki : (Manggut-manggut) Saya sengaja menjempunya. Semalam saya meminta mengantar pulang tapi Clarisa tidak mau. Ada yang menjemput katanya. Saya meminta menjemput pagi-pagi saja dari rumah.
Andi : (Diam. Beberapa saat hanya terdengar sunyi)
Laki-laki : Enak di sini, ya! Sepi.
Andi : Begitulah.
Laki-laki : Saya lebih suka punya rumah di gang. Kenal dengan tetangga. Tidak seperti di komplek atau perumahan. Satu dan yang lainnya jarang bertatap muka apa lagi saling menyapa. (Melihat-lihat sekeliling) Ini rumah saudara?
Andi : Katakanlah begitu!
Laki-laki : (Manggut-manggut) Saudara kakaknya Easy?
Andi : Seperti yang anda lihat!
Laki-laki : (Tertawa kecil) Tidak terlalu mirip. Tapi tak mengapa. Laki-laki dan perempuan sering tidak mirip jika bersaudara. (Jeda) Saudara kerja di mana?
Andi : Saya hanya tukang ayam goreng di Jalan Burangrang.
Laki-laki : Sebelah mana? Restoran saya juga di jalan itu.
Andi : (Diam)
Laki-laki : Dekat persimpangan bukan. Di situ banyak pedagang kaki lima. Beberapa meter ke arah utara.
Andi : Saya tahu.
Laki-laki : Saudara tiap malam jualan di sana?
Andi : (Manggut)
Laki-laki : Sudah lama?
Andi : (Agak kesal) Setahun.
Laki-laki : Saudara lulus SMA tahun berapa?
Andi : Empat tahun yang lalu.
Laki-laki : (Menggut-manggut) Kelihatan masih muda. Saudara asli orang sini?
Andi : Pendatang.
Laki-laki : Lah, saudara ini. Tadi mengatakan ini rumah saudara. Apa keluarga saudara imigran?
Andi : Bapak ini bertanya atau menghina?
Laki-laki : (Tertawa) Maaf. Kebiasaan saya kalau bertemu orang yang baru kenal. Ya, supaya cepat akrab. Saya juga lahirkan di Lampung, di sebuah desa. Kemudian merantau ke Bandung setelah lulus SMA. Melanjutkan sekolah. Sampai tiga tahun, maklum saya mengambil program diploma supaya cepat lulus dan mendapat pekerjaan. Seperti sekarang ini. Saya memegang posisi menejer di sebuah restoran luar negeri. Saya sudah satu tahun bekerja. Saya masih terlihat muda bukan? Maaf saya senang bercanda. (Tertawa) Saudara mau ikut bekerja dengan saya? Lulusan SMA bisa menjadi waiter. Penampilan saudara cukup menarik. Bagaimana?
Andi : Tidak. Terima kasih.
Laki-laki : Sekarang mencari pekerjaan itu sulit. Kalau saudara mau, saya akan mengusahakannya.
Andi : Saya cukup senang melayani orang-orang yang hanya memiliki uang lima ribu perak untuk makan malam.
Laki-laki : Terlalu bijak berpikir seperti itu. Saudara harus memikirkan kehidupan saudara. Kecukupannya semisal.
Easy dan Clarisa muncul dengan berpakaian seragam rapi.
Andi : (Berdiri) Mau berangkat sekarang?
Laki-laki : Wah kalian sudah siap berangkat.
Easy : Eh, Pak Hares. Kapan datang Pak?
Laki-laki : Belum lama. Walah kalau baru mandi kalian cantik-cantik.
Easy : Pak Hares bisa saja.
Laki-laki : Saya mengatakan apa yang saya lihat saja. (Tersenyum) Mobil saya sudah menunggu di luar sana dekat pos keamanan.
Easy : Terima kasih sekali. Tapi saya mau berangkat sama Andi.
Laki-laki : (Tertawa kecil) Saya juga tidak menjemput Easy. Saya sengaja menjemput Clarisa. Betul?
Clarisa : Maaf, Pak. Saya tidak merasa meminta Bapak menjemput saya.
Laki-laki : Loh, bukankah semalam Risa memperbolehkan saya menjemput pagi-pagi. Toh tadi malam saya tidak diperbolehkan mengantar pulang.
Clarisa : Pak Hares ngarang. Saya akan berangkat dengan Easy dan Andi naik motor.
Laki-laki : Naik motor bertiga? Saya hawatir keserepet angkot.
Easy : Pak Hares jangan mendoakan yang tidak baik.
Laki-laki : Bukan mendoakan. Ini adalah kecemasan saya pada kalian.
Easy : Kita sudah biasa kok, Pak.
Clarisa : Kalau Easy mau berdua saja dengan Andi, saya juga bisa naik angkot atau jalan kaki. Dekat bukan.
Laki-laki : Aduh kamu ini. Lebih baik dan lebih aman bersama saya.
Clarisa : Tidak usah merepotkan.
Laki-laki : Tidak merepotkan. Saya senang jika kamu berangkat bersama saya. Saya ini kan masih muda, masih pantas duduk di mobil bersamamu.
Clarisa : Pak Hares selalu saja begitu. Nanti isteri Pak Hares marah.
Laki-laki : Isteri saya ‘kan di rumah. Atau kamu sengaja tidak pernah mau saya antar atau jemput.
Clarisa : Bukan maksud saya begitu, Pak. (Berbisik pada Easy. Tangannya menyubit lama pada tangan Easy yang berdiri di sampingnya) Bantu aku bicara, Sy!
Easy : Maksud Clarisa tidak mau merepotkan Pak Hares yang sibuk setiap hari. Pak Hares ini kan atasan kami, tak pantas direpotkan oleh bawahannya.
Clarisa : Begitu maksud saya.
Lak-laki : Tidak ada posisi itu bagi saya pada Clarisa. Saya merasa setara dengan Clarisa. Kamu tidak merasa demikian?
Clarisa : Tidak begitu, Pak......
Laki-laki : Kenapa kamu selalu saja menolak penawaran jasa saya. Maksud saya baik.
Clarisa : (Gugup)
Easy : Begini, Pak Hares. Risa ini sering salah tingkah jika berduaan dengan laki-laki. Apalagi seorang atasan seperti Bapak. Kalau bersama teman-teman pasti mau. Kita masih merasa anak-anak SMA, Pak.
Laki-laki : Begitu? Kalau benar demikian kenapa Risa tidak mengatakannya pada saya? Saya tidak keberatan kalau teman-teman Risa ikut di belakang. (Tertawa)
Clarisa : (Kesal)
Easy : (Menghampiri Andi yang terduduk di sopa) Ndi, tak masalah bukan jika aku menemani Clarisa di mobil Pak Hares? Aku kasihan pada Risa dirayu terus supaya ikut di mobilnya. Aku nggak enak juga pada Pak Hares.
Andi : Cuma kamu dan Clarisa di dalam mobilnya?
Easy : Nggak, sayang. Aku akan ajak Lisa dan Tante Merry. Bagaimana?
Andi : Pergilah!
Easy : Jangan marah begitu. Tidak baik.
Andi : Tidak ada yang marah. Aku hanya tidak senang dengan laki-laki cabul itu.
Easy : Sssst! Jangan begitu! Aku hanya menghargai posisi. Please, ya?
Easy menghampiri laki-laki yang masih merayu Clarisa.
Easy : Pak Hares, boleh kan kalau Lisa dan Tante Merry ikut bersama? Mereka biasa berangkat dari sini. Sekarang mereka sedang di jalan menuju kemari.
Lak-laki : (Sedikit kaget) O.... oke!
Tak lama dua orang yang beranam Lisa dan Tante Merry datang dengan pakaian sama dengan yang dipakai Easy dan Clarisa. Mereka berangkat bersama laki-laki yang dipanggil Pak Hares. Sedang Andi terduduk di sopa sampai kelima orang pergi.
Black out
Babak IV
Setting tetap. Malam hari sekitar pukul 11 malam. Peristiwa delapan hari setelah Clarisa dan Easy bekerja.
Sunte : (Dari luar) Salamlikum?
Pak Danar : (Dari dalam) Walikum salam. (Membukakan pintu) Eh, Ayi[9] Sunte. Silakan masuk.!
Sunte : Terima kasih (Masuk. Duduk di sopa). Ngeronda, Pak?
Pak Danar : Iya. Tapi saya menunggu teman-teman yang menjemput. Biasanya saya yang terakhir dijemput. Seang mereka disini. Suka ada opieun[10] kata mereka. (mengeluarkan sebungkus rokok kretek) Mau rokok?
Sunte : Terima kasih. Saya tidak merokok.
Pak Danar : Bagus! Merokok itu dapat menghabiskan uang. Saya sudah kena candu. Kalau tidak merokok mulut terasa masam. (Teriak) Bu, sediakan kopi dan yang lainnya, ada Ayi Sunte. (Kepada Sunte) Yi Sunte suka kopi bukan?
Sunte : Boleh, Pak.
Pak Danar : Saya suka kopi sekalipun dilarang dokter. Apalagi saat ronda malam, kopi bisa membuat kita melek terus. Kalau tidur, kecolongan.
Sunte : Disini banyak maling, Pak?
Pak Danar : Ya, begitulah malam. Kadang maling datang saat kita lengah. Namanya juga ronda malam selalu saja kesal kalau tidak main kartu atau nonton bola. Dan saat-saat itulah maling mengendap-endap di balik perumahan.
Sunte : Memang dimana-mana juga maling ada. Kasihan sebenarnya nasib mereka.
Pak Danar : Kasihan bagaimana?
Sunte : Ya, karena sulit lapangan kerja mereka memilih jalan itu. Jika kepergok warga langsung dikeroyok samapai babak belur bahkan sampai meninggal, padahal barang yang dicurinya tidak seberapa jika dibanding harta negara yang digerogoti.
Pak Danar : Kok Yi Sunte berpikiran seperti itu?
Sunte : Kenyataan.
Pak Danar : Tapi kalau barang yang dicuri adalah milik peribadi. Jelas pemiliknya dan warga menyaksikan sendiri kejadiannya, pasti begitu. Sedangkan apa yang dikatakan Yi Sunte tadi belum jelas kepemilikannya.
Sunte : Jelas milik negara itu, Pak.
Ibu Tina datang membawa dua gelas kopi disimpan di atas meja.
Ibu Tina : Membicarakan apa Jang Sunte teh, bersemangat pisan?
Pak Danar : Kita berdiskusi tentang maling, Bu.
Ibu Tina : Maling kok didiskusikan? Tangkap saja!
Sunte : Kalau ada pasti ditangkap, Bu!
Ibu Tina : Malingnya tidak ada? Kenapa dibicarakan?
Sunte : Supaya ada dan mendengarkan pembicaraan kita, Bu.
Ibu Tina : Ah, Jang Sunte mah suka aneh kalau ngomong teh.
Pak Danar : (Tertawa) Ibu saja yang tidak mengerti.
Di luar terdengar suara beberapa orang laki-laki memanggil Pak Danar dan mengatakan sapaan permisi
Suara 1 : Punten! Salamlikum?
Suara 2 : Pak Danar!
Suara 3 : Salamlikum Pak Danar!
Pak Danar : (Berdiri) Walaikum salam. (Berjalan menuju pintu dan membukanya) Eh, Pak Jonata. Mari masuk. Masuk !
Laki-laki 1 : Ada tamu, Pak Danar?
Pak Danar : Bukan. Yi Sunte menjemput pacarnya yang kerja dengan anak saya, dengan Lisa juga Pak Jonata.
Laki-laki 2 : O, Teman kerja anak saya.
Pak Danar : Iya. Silahkan duduk. Ini Yi Sunte! (Menunjuk pada Sunte)
Sunte : (Bersalaman dengan ketiga laki-laki itu) Sunte.
Pak Danar : Bu, buatkan lagi kopi!
Ibu Tina : Iya, Pak (pergi ke dalam).
Laki-laki 3 : Nggak usah repot-repot, Bu.
Ibu Tina : Tidak merepotkan. Biasa.
Pak Danar : Jang Dayat ini, bukannya senang kalau datang kesini sebelum ngeronda?
Laki-laki 3 : (Sedikit malu-malu) Ah, Pak Danar suka buka kartu.
Laki-laki 1 : Bilang saja, Day, mau ngopi!
Laki-laki 3 : Sst! Kang Entis mah suka bikin malu.
Pak Danar : Sudah. Anggap saja rumah semuanya. Biar tidak merasa sungkan.
Laki-laki 2 : Begini, Pak Danar. Kita semua tidak akan lama-lama, barusan ada anak laki-laki yang berkelahi di warung kopi. Maklumlah berebut anak SMA.
Pak Danar : Siapa, Pak Jonata?
Laki-laki 2 : Saya tidak tahu namanya.
Laki-laki 3 : Si Bagas yang kost-nya di rumah kost H. Abas. Katanya pacarnya selingkuh dengan anak SMA lagi.
Pak Danar : Sekarang mereka bagaimana?
Laki-laki 3 : Sedang diurus di kantor RT. Maka dari itu Pak Danar diminta untuk segera kesana.
Pak Danar : Begitu?
Laki-laki 3 : Iya. Tapi saya nyusul. Mau ngopi dulu di sini.
Laki-laki 1 : Lain kali saja Dayat! Sekarang lebih baik ke kantor RT dulu.
Pak Danar : Iya. Ayo! (Menengok Sunte) Yi Sunte, katakan pada Ibu kami pergi sekarang!
Sunte : Baik Pak!
Semuanya keluar dari rumah. Sedang Ibu Tina datang.
Ibu Tina : Lah, pada pergi semuanya. Kopinya sudah Ibu buatkan!
Sunte : Ada urusan penting katanya, Bu!
Ibu Tina : Ya, sudah buat Jang Sunte saja gorengannya. Biar kopinya nanti, mereka suka kemari larut malam. Silahkan dimakan, Jang Sunte!
Sunte : Terima kasih, Bu!
Ibu Tina : Ada apa katanya?
Sunte : Berkelahi.
Ibu Tina : Siapa?
Sunte : Anak-anak berebut pacar.
Ibu Tina : Lah, pacar saja diperebutkan. Aya-aya wae. Sudah biasa anak-anak muda mah begitu. Untung saja bukan Si Easy yang diperebutkannya.
Sunte : Memang kenapa, Bu?
Ibu Tina : Jelek di mata orang kalau anak perempuan diperebutkan laki-laki, apa lagi sampai berkelahi.
Sunte : (Diam)
Ibu Tina : Masih mending anak kita anak perempuannya, kalau anak laki-laki lebih memalukan memperebutkan perawan.
Sunte : Saya jadi ingat cerita Clarisa, Bu.
Ibu Tina : Kenapa?
Sunte : Clarisa pernah menjadi rebutan laki-laki di kampungnya.
Ibu Tina : Bagaimana kejadiannya?
Sunte : Saya hanya tahu dari Clarisa. Clarisa pun tahu dari ayahnya yang menyaksikan. Namun Clarisa pura-pura tidak kenal pada kedua laki-laki itu. Sekarang saya jadi hawatir kejadian itu terulang.
Ibu Tina : Ah jangan berpikiran begitu Jang Sunte. Neng Risa mah sudah teang punya pacar Jang Sunte. Toh kedua orang tuanyapun sudah percaya pada Jang Sunte bukan?
Sunte : Iya, Bu. Maka dari itu sekarang saya sengaja menjemputnya atas permintaan ibu dan bapaknya.
Ibu Tina : Menjemput? Pulang?
Sunte : Ibunya hawatir terus kerja malam.
Ibu Tina : Ibunya kan tahu Neng Risa suka nginap disini. Tidurnya pun sekamar dengan Si Easy.
Sunte : Namanya juga orang tua, Bu! Saya juga merasa begitu. Mereka pulang jam berapa, ya Bu?
Ibu Tina : (Melihat jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam) Harusnya jam segini sudah di rumah. Masih di jalan barangkali.
Di luar terdengar suara orang-orang berbicara.
Ibu Tina : Nah, itu mereka datang.
Easy : (Membuka pintu)
Andi masuk bersama Easy. Sementara Clarisa terlihat murung sebab disampingnya seorang laki-laki yang mereka panggil Pak Hares ikut mengantarkan. Easy masuk ke ruang dalam, sedang Andi duduk di samping Sunte. Laki-laki duduk di kursi yang menghadap Sunte, Clarisa mengikuti Easy.
Ibu Tina : Aduh, siapa Encep[11] ini? (pada Laki-laki) Teman kerja Easy dan Neng Risa? Siapa namanya?
Laki-laki : Perkenalkan saya Hares. (Bersalaman pada Ibu Tina dan Sunte)
Ibu Tina : Sepertinya bos ya? Silahkan duduk dan kopinya diminum. Tadi ibu siapkan buat teman-teman ronda Si Bapa, tapi keburu pergi. Masih hangat. Atau mau minum yang lain, Cep?
Laki-laki : Tidak usah merepotkan, Saya sudah senang bisa kemari.
Ibu Tina : Walah, Encep ini bisa saja. Memang kenapa? Rumah ibu mah jelek.
Laki-laki : Saya senang bisa mengantar Clarisa.
Sunte : (Kaget)
Laki-laki : Karyawan saya paling baik.
Ibu Tina : Memang baik Neng Risa mah.
Laki-laki : Sudah cantik, baik. Jujur pula. Ia tidak merasa penasaran dengan setiap menu yang ia antarkan. Tidak seperti pelayan lain yang selalu ingin mencoba ini itu. (Menarik nafas) Kalau ada pengunjung yang memberi uang kembalian, ia terus terang. Saya mengamatinya setiap jam kerja.
Sunte : (Gemetar)
Ibu Tina : Memang tak salah Jang Sunte memilih pacar teh. Selain cantik, baik dan jujur, Neng Risa mah penyayang. Tidak manja. Coba saja tanyakan pada pacarnya kalau tidak percaya (Menunjuk pada Sunt).
Laki-laki : (Tak berkutik)
Ibu Tina : Kenapa, cep?
Laki-laki : Tidak apa-apa. Boleh saya minum kopinya? (Melihat pada Sunte yang makin berapi)
Ibu Tina : Silahkan. Sekalian dengan ubi gorengnya. Obat masuk angin. Atau mau dibuatkan teh manis? Air putih?
Laki-laki : Sudah cukup, Bu. Saya mau langsung saja.
Ibu Tina : Langsung saja apa?
Laki-laki : Pulang maksud saya.
Ibu Tina : Kok terburu-buru?
Laki-laki : Masih ada yang perlu diselesaikan.
Ibu Tina : Aduh. Sibuk atuh ya! Jangan kapok mampir ke sini. Ibu tunggu kedatangannya lain waktu.
Laki-laki : (Berdiri) Iya, Bu. Mari! Semuanya, saya duluan!
Ibu Tina mengantar sampai pintu. Sunte melirik pada Andi yang melepas lelah.
Sunte : Ada perlu apa dia mengantar Clarisa?
Andi : Seperti yang kau saksikan.
Sunte : (Masih menahan amarah) Andai yang terjadi adalah di ruamhku atau rumah Clarisa, takkan kubiarkan dia pulang dengan tubuh yang utuh. Aku tak peduli ia adalah seorang atasan sebuah perusahaan.
Andi : Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus melihat hati kekasihmu. Toh bukan dia yang meminta.
Sunte : Tapi kecemuruan itu tak bisa ditolak datangnya dan selalu membawa sakit. Andai saja tak ada mertuamu...
Andi : Kau harus lebih bersabar.
Sunte : (Agak teriak) Clarisa, kemari.
Tidak ada jawaban
Sunte : (Berdiri) Aku minta ijin masuk, Di. (Masuk ke dalam. Tak lama keluar menarik tangan Clarisa) Kita pulang. Aku diminta Mama menjemputmu.
Clarisa : Tapi Mamah tidak memberi tahu aku.
Sunte : (Mendudukan Clarisa di sofa) Aku tak tahu yang terjadi di pekerjaanmu sampai laki-laki cabul itu membuntutimu.
Clarisa : Aku tak melakukan apa-apa.
Sunte : Lalu kenapa dia begitu memujamu.
Clarisa : Aku tak tahu. Kau tanyakan saja padanya.
Sunte : Sudah berkali-kali aku memintamu untuk jujur, kau masih saja menyembunyikan sesuatu dariku.
Andi : Sudahlah Sunte. Kasihan dia capek!
Sunte : Ini urusanku dengan Clarisa.
Andi : Aku hanya ingin meluruskan kalian.
Clarisa : Apa? Meluruskan? Seharusnya kau yang lebih meluruskan hubungan dengan Easy! Kau urus kecemburuanmu pada Pak Yono.
Andi : (Diam)
Clarisa : Kenapa kau diam? Lihat Easy di kamar sana! Apa yang akan ia lakukan?
Sunte : Kau jangan mengalihkan pembicaraan, Clarisa! Sekarang jawab dengan baik, ada apa antara kau dan laki-laki cabul tadi?
Clarisa : Kau kan tahu dia hanya seorang manajer dari restoran itu.
Sunte : Ada yang lain dibalik status kerja itu.
Andi : (Pergi menghampiri Easy di dalam kamarnya)
Clarisa : Itu hanya kecemburuanmu saja.
Easy : (Dari dalam kamar) Aku tidak mau memaafkanmu. Keluar! Biar saja aku mati bunuh diri.
Andi : (Dari dalam kamar) Aku sudah bilang, aku terlalu curiga. Turunlah!
Easy : Jangan halangi aku.
Ibu Tina : (Muncul dari pintu keluar) Aduh! Ada apa ini malam-malam ribut. (Menuju kamar Easy) Kamu teh kenapa Easy, marah-marah sama Andi. Masya Alloh, jangan begitu. Pamali. Turunkan dia, Andi! (Keluar menuntun Easy) Easy kamu teh tidak boleh begitu. Sabar. Ada apa ini sampai mau gantung diri? Istigfar!
Easy : Mamah diam! Mamah tidak punya urusan di sini. Ini urusan saya dengan si Pencemburu ini!
Ibu Tina : Mamah harus tahu!
Easy : (Memuncak) Mamah enak tidak kalau dituduh selingkuh sama orang yang tak kita sukai. Difitnah.
Ibu Tina : Siapa yang memfitnah kamu?
Easy : Menantu Mamah yang tidak tahu diri.
Ibu Tina : Jangan begitu. Dia sangat sayang padamu.
Easy : Mamah jangan membela dia! Siapa sebenarnya anak Mamah, aku atau dia? Mamah tak mengerti apa yang aku rasakan.
Ibu Tina : (Menangis)
Pak Danar dan kawannya yang kebetulan melintas ke depan rumahnya mendengar keributan ini. Mereka masuk.
Pak Danar : Ada apa kalian tengah malam begini ribut-ribut? Tidak malu apa sama tetangga?
Semua : (Diam)
Pak Danar : Kenapa kamu marah-marah Easy? Lihat mamahmu sampai menangis!
Easy : Tanya saja dia! (Menunjuk pada Andi) Dia yang membuat masalah.
Pak Danar : (Menengok ke Andi) Kenapa, Ndi?
Andi : Tidak ada apa-apa, Pa. Cuma kekeliruan saja, saya bisa menyelesaikannya.
Pak Danar : Bersabarlah!
Sunte : (Pada clarisa) Sekarang kemas pakaianmu!
Clarisa : Aku memang mau pulang sekarang. Aku juga berani pulang sendiri.
Pak Danar : (Menoleh) Kenapa lagi yang berdua ini. Saya tidak mengerti dengan anak-anak muda sekarang. Di luar saja bertengkar memperebutkan perawan. Di sini bertengkar entah soal apa.
Sunte : Mamah meminta aku menjemputmu. Lihat ini! (Mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya)
Clarisa : Kunci motor Papa?
Sunte : Aku dari rumahmu. Aku meminta kedua orang tuamu untuk tidak mengijinkan kau bekerja malam hari dan mereka setuju sebab alasanku masuk akal.
Clarisa : Apa yang kau katakan pada mereka?
Sunte : Tidak perlu kau tahu, yang jelas ini adalah kekhawatiranku dan menjadi kekhawatiran kedua orang tuamu juga.
Clarisa : Kau fitnah kedua orang tuaku dengan hal yang bukan-bukan?
Sunte : Aku hanya mengatakan apa yang aku tahu. Kau selalu pulang malam. Tidurmu hampir pagi. Kapan waktumu untuk istirahat. Aku menakutkan kau sakit. Kau tahu, kakak perempuanku yang meninggal dalam usia dua puluh tahun, karena ia tak pernah tidur malam. Bekerja.
Clarisa : Kenapa kau selalu menghubung-hubungkan sesuatu dengan hal yang lain? Sepulang kerja aku tidur sampai pagi. Kau tahu itu.
Sunte : Ya! Tapi aku tak menginginkan kau....
Clarisa : (Memotong) Mati!
Sunte : Kau jangan sompral![12] Maksudku, aku tak mengharap kau sakit karena kurang istirahat.
Pak Danar : Astagfirullah! Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian semua selama masuk kerja? Katakan pada Bapak, apa yang kalian alami.
Semua : (Diam)
Pak Danar : Tidak ada yang mau bilang pada saya?
Easy : Katakan saja, Risa! Aku tak sudi menceritakan apapun. Aku muak. Hanya akan mengundang amarah saja.
Clarisa : Lebih pantas kamu yang bercerita!
Laki-laki 1 : Bagaimana kalau ditanyakan saja pada Neng Lisa saja?
Laki-laki 2 : Panggil saja anak saya jika perlu. Biarkan saya yang memanggilnya.
Clarisa : Tidak perlu. Saya tidak mau mengganggu istirahat Lisa. Dan saya akan mengatakan apa yang saya alami. Tapi ini bersifat pribadi.
Laki-laki 2 : Saya faham. Tapi alangkah lebih baik kita selesaikan bersama.
Easy : Risa itu disukai oleh Pak Hares...
Clarisa : Aku tidak mau. (Marah) Jangan kau beberkan masalahku. Apa kau sendiri tak punya masalah yang sama, Andi memergokimu saat Pak Yono menggodamu.
Easy : Kau bicara apa, Risa?
Pak Danar : Sudah! Kalian malah bertengkar. Jelaskan satu-satu pada Bapak!
Laki-laki 2 pergi diikuti laki-laki 3. easy dan Clarisa diam saja
Sunte : Lebih baik kita pulang sekarang!
Clarisa : Oke! (Pergi ke dalam)
Ibu Tina : (Sambil menangis) Neng Risa, jangan pulang ini sudah malam. Ibu khawatir ada apa-apa di jalan.
Sunte : Tenang saja, Bu. Saya yang bertanggung jawab.
Ibu Tina : Jang Sunte, sekarang banyak Geng Motor.
Clarisa : (Muncul membawa tas)
Laki-laki 2 muncul dengan seorang perempuan hampir sebaya dengan Easy dan Clarisa.
Laki-laki 1 : Nah, Neng Lisa sudah datang.
Lisa : Ada masalah apa saya dipanggil ke sini?
Laki-laki 2 : Saya harap kedatangan anak saya tidak untuk mengadili, melainkan bisa memecahkan masalah.
Pak Danar : (Pada Lisa) Silahkan duduk, Neng!
Clarisa : Saya tidak mau permasalahan ini dibesar-besarkan di sini. Saya akan pulang sekarang.
Pak Danar : Bapak harap Neng Risa berbesar hati untuk tidak pergi dulu. Ini bukan semata persoalan pribadi Neng Risa. Anak saya juga terkait dan ini berarti keluarga Bapak punya persoalan. Sama sekali saya tidak menghakimi Neng Risa atau siapa saja. (Pada Lisa) Begini, Neng. Bapak tidak tahu apa yang dialami Neng Risa dan anak Bapak di tempat kerjanya. Bapak binging tiba-tiba saja mereka merebutkan sesuatu.
Easy : Bukan sesuatu hal yang diperebutkan, tapi harga diri.
Pak Danar : Tenang dulu, biarkan Neng Lisa yang menjelaskannya.
Easy : Semua sudah jelas, Pa. Saya difitnah berpacaran dengan bapak-bapak.
Andi : Bukan saya memfitnah, saya melihatnya sendiri.
Lisa : Maaf boleh saya bicara!
Pak Danar : Iya, silakan!
Lisa : Setahu saya, Easy dibawa bercanda oleh Pak Yono. Memang begitu sifat Pak Yono. Saya juga sempat dipuji dengan kata-kata seperti itu. Saya tidak tahu maksudnya apa. Tapi setelah lama bekerja, saya jadi terbiasa.
Sunte : Terbiasa bagaimana?
Lisa : Pak Yono atau Pak Hares senang dengan candaan-candaan demikian. Mereka sering memberikan perhatian seperti pada isterinya pada siapa saja untuk lebih mengakrabkan katanya. Tidak bermasalah. Jangan ditanggapi saja!
Andi : Tidak bermasalah bagaimana. Jelas-jelas maslaha bagi orang lain.
Lisa : Memang bagi orang yang belum tahu pasti sakit hati.
Sunte : Saya tidak menerima dengan perlakuan seperti itu. Mulai saat ini saya tidak mengijinkan Clarisa bekerja di tempat itu lagi. Saya harap tidak ada yang menghalangi saya untuk pulang ke rumah Clarisa, sebab kedua orang tuanya sedang menunggu. Permisi! (Menarik tangan Clarisa. keluar)
Semua hanya diam kecuali Ibu Tina yang mengejar sambil menangis. Sunte dan Clarisa telah jauh untuk dikejar. Terdengar sura motor menjauh.
Ibu Tina : Semuanya kejam. Kenapa Neng Risa dibiarkan pulang begitu saja. Saya tidak tahu harus bagaimana jika bertemu Ibunya. Easy! Mamah tidak mau kamu juga bekerja kalau sampai memecah belah persaudaraan. Biar saja kau menjadi pengangguran beberapa saat. Buat apa bekerja kalau diperlakukan dengan hina. Mamah lebih setuju sama Jang Sunte yang mengambil keputusan memberhentikan Neng Risa. Saya tidak menyangka dengan kelakuan-kelakuan penguasa. (Menangis) Neng Risa maafkan Ibu!
Black out.
Selesai ,
Bandung, 21 Juli 2008
[1] Salah satu hadits Nabi Muhammad Saw. yang disampaikan pada Ali R.A.
[2] Kalimat permintaan untuk menunggu, biasa ditujukan pada pedagang asongan.
[3] Cara makan dengan tangan.
[4] Sosonaoan meureun : melepas rindu
[5] Mempersilakan untuk mencicipi makanan
[6] Kata omez sering digunakan oleh sebagian besar anak-anak SMA untuk membicarakan hal yang sedikit nakal dalam berpacaran. Omez adalah perubahan dari Omes : Otak Mesum.
[7] Komat asal kata dari iqomat artinya panggilan pemberitahuan bahwa sholat berjamaat akan segera dilaksanakan.
[8] disanggupi
[9] Ayi : asal kata dari Rayi dalam bahasa Sunda sepadan dengan Adik atau Dik dalam bahasa Indonesia.
[10] Opieun : Asal kata dari kopi dalam bahasa Sunda yang artinya makanan-makanan kecil yang biasa disantap saat santai.
[11] Encep, perubahan dari Acep atau Asep, dipakai untuk menyapa orang terhormat.
[12] Sompral = gegabah dalam kata-kata, sesuatu yang dikatakan biasanya fatal diucapkan.
Komentar
naskah dramanya cukup bagus
naskah dramanya cukup
bagus dan menghibur oke
Koleksi Naskah Drama
Salam budaya,
jika berkenan, silakan menengok koleksi naskah drama kami.
Terima kasih atas
Terima kasih atas silaturahminya...
Tulis komentar baru