Skip to Content

LINGGANGAN

Foto Nurdin Yahya
files/user/611/copyDSC_7102.JPG
copyDSC_7102.JPG

LINGGANGAN 

 

 

Nurdin Yahya

 

LAMPU PANGGUNG TEMARAM, BERWARNA KUNING. TERDENGAR SUARA TEMBAKAN BERUNTUN DARI BERBAGAI JENIS SENJATA API, SUARA ORANG BERLARIAN DAN BERTERIAK KETAKUTAN. SEORANG LELAKI BERPAKAIAN KOTOR BERLARI MASUK PANGGUNG. DENGAN NAPAS TERENGAH-ENGAH, IA BERSANDAR DI TIANG BEKAS KASBOK YANG TAK TERPAKAI.

 

Untung aku cepat-cepat lari… Kalau tidak, ah… (menutup muka dengan kedua telapak tangan) aku tidak tahu akan bagaimana… Anak-istriku pasti akan lebih menderita. Kalau tak lari, aku pasti sudah digebuki habis-habisan. (Diam sejenak) Memang susah hidup di pendulangan ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua harus dijalani, walaupun harus selalu kucing-kucingan dengan aparat yang dapat menangkap kami. Mereka menuding kami sebagai penambang liar... (Geram) Ah, penambang liar, kata mereka! Mana mungkin kami bisa jadi penambang resmi, jika itu berarti harus punya izin, seperti perusahaan-perusahaan tambang besar yang dapat membeli izin itu!

Kami dituduh mencuri dan merusak alam... Padahal, merekalah perampok dan penghancur alam yang sesungguhnya! Perusahaan tambang besar, dengan dana besar, alat-alat besar, yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran yang lebih besar!

 

MASIH TERENGAH-ENGAH. MENGAMBIL PUNTUNG ROKOK KRETEK MURAHAN DARI DALAM TAS KRESEK DI SAKU BAJUNYA.

 

Bagaimana nasib kawan-kawan, ya…? (Menengok ke suatu tempat sesaat, menyulut rokok.) Kasihan juga kalau mereka sampai tertangkap. Mereka pasti tak bisa merokok lagi, meski cuma rokok murahan seperti ini. Bagaimana mau merokok, kalau mulut hancur kena tendang dan pukulan saat diinterogasi? Aku pernah mengalaminya! Jangankan menghisap rokok, mengerang saja sakitnya bukan main. Apalagi kalau makan minum... Di sana tak ada belas kasihan! Orang yang dituduh telah bersalah seolah boleh saja diperlakukan dengansemaunya!

 

           DARI KEJAUHAN MASIH TERDENGAR SUARA TEMBAKAN.

 

(Berlari ke belakang panggung.) Ayo, kawan-kawan! Selamatkan diri masing-masing! Kalau tidak, kalian akan menderita! Bukan hanya kalian, anak-istri di kampung  pun akan ikut merasakan! Di sini tidak ada belas kasihan! Hukum tak ada! Ayo, segeralah! Hukum hanya berlaku buat kita, orang-orang kecil, tapi tak berlaku untuk mereka yang mendapat uang keamanan dan uang lainnya dari para pengusaha!

Di sini, kehidupan amat keras. Lebih keras daripada di kota.(Terdengar lagi suara letusan.) Bunyi seperti itu sudah biasa di telinga kami. Selain bunyi senapan, teriakan orang yang tertimbun batu granit pun sudah sering kami dengar. Luka, patah kaki, atau kematian akibat kecelakan saat bekerja, bagi kami adalah risiko yang harus dihadapi. Belum lagi perkelahian karena berebut lahan, atau dirampok, itu bukan berita yang luar biasa. Orang-orang di atas sana tak peduli dengan kondisi kami. Setahu mereka, kami pencuri! Mereka tidak memikirkan bagaimana agar kami bisa hidup, makan, menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan lainnya, tanpa mencuri, seperti yang mereka tuduhkan. Kami juga tak mau hidup begini. Ini pilihan terakhir. Mau bekerja di perusahaan pertambangan, mustahil. Kami tak mampu bersaing, karena tak punya syarat keahlian dan pendidikan yang dibutuhkan. Bekerja di pemerintahan, apalagi. Kami tak punya ijazah, tak punya uang untuk menyogok, dan bukan keluarga pejabat. (Tercenung sejenak.) Panen yang gagal, akibat tanaman padi terendam air, mengharuskan kami meninggalkan kampung halaman untuk mencari pengharapan lain. Kami harus berpisah dengan keluarga, yang menaruh harapan agar kami bisa memberikan perbaikan bagi kehidupan mereka. Supaya anak-anak kami mendapat pendidikan yang layak, agar tidak menjadi bodoh. Itu saja.

 

            ANGIN BERTIUP LEMBUT. LELAKI ITU MEMBUKA BUNGKUSAN YANG DIBAWANYA, YANG BERISI LINGGANGAN, ALAT TAMBANG TRADISIONAL. DIGOSOKNYA LINGGANGAN ITU, DIPELUKNYA.

 

(Sambil berjalan.) Aku ingat keluarga di kampung. (Agak sedih.) Anak-anakku pasti sedang menunggu Abah-nya pulang. Aku telah berjanji kepada mereka, jika aku berhasil, aku akan memenuhi keinginan mereka naik kereta api dan melihat tugu Monas. Selama ini, kami hanya melihatnya lewat televisi tetangga. Bagaimana ya, bentuk aslinya? (Menerawang.)

Mengapa bangunan megah yang menjulang, jalanan mulus, fasilitas pendidikan dan kemudahan lainnya tidak ditempatkan di kampungku saja, ya? Kenapa cuma ada di kota besar? Coba kalau semua itu dibangun di kampungku, aku tak perlu susah-payah lagi bekerja di sini agar bisa mewujudkan keinginan anak-anakku.

Orang-orang seperti kami, mungkin, cuma berhak untuk bermimpi. Kewajiban kami adalah menanggung beban risiko dari keindahan yang mereka dapatkan. Indahnya kenyataan, cuma hak mereka. (Dikejutkan oleh bunyi tembakan.) Bunyi seperti itu cuma untuk kami. Kami yang datang dari pelosok-pelosok kampung. Kami yang terpaksa bekerja di sini, karena di tempat asal tak punya pekerjaan. Kami tak tahu bagaimana mengatasi masalah ini, karena memang tak pernah diberitahu. Mereka hanya diam, tak peduli, atau tak mau tahu, dengan persoalan yang kami hadapi dalam kenyataan hidup kami sehari-hari.          

Padahal mereka, dalam melakukan segala sesuatu, selalu mengatasnamakan rakyat. Katanya, ”Kami dari rakyat, untuk rakyat. Kami bekerja untuk rakyat, agar rakyat hidup makmur, sejahtera, dan aman sentosa...” Di pelosok kampung, banyak anak-anak kurang gizi dan tak bisa sekolah.               

Kami tidak pernah mendapatkan fasilitas dan kemudahan yang merka janjikan. Semua hanya untuk mereka sendiri dengan keluarga serta kerabatnya.

(Mengelus-elus linggangan.) Terimakasih, karena kamu telah membantuku. Tanpa kamu, tak mungkin aku mencari emas untuk membiayai hidup keluargaku. Meskipun kadang dapat, kadang tidak. Kamu lebih berjasa daripada mereka yang hanya bisa menguber-uber dan menuduh kami maling. Padahal mereka melakukan itu hanya untuk kepentingan kelompok tertentu saja, yang mempunyai sumber-sumber kekuasaan yang bersembunyi di balik kepentingan rakyat. Tempat kamu memang di sini, di pedalaman, di pinggiran hutan dan kesunyian...

 

Mari kita bangun kehidupan kita, karena memang sudah seharusnya begitu. Jangan harapkan pusat akan berbagi dengan kita. Mereka hanya berpikir untuk mengambil, bukan untuk berbagi. Kita hanya punya kewajiban, tapi tak punya hak. Kita wajib membayar mereka yang berusaha menangkap, dan mereka yang memerintahkan, untuk menangkapi kita.   

 Bertahanlah, agar dapat menolong kehidupan orang-orang yang tersingkir! Kamulah sandaran kami. Kami tak bisa menaruh harapan kepada mereka, sebab tak ada yang dapat diberikan kepada orang pinggiran agar, paling tidak, bisa mensejajarkan kehidupan mereka di lingkungan masyarakatnya.

 

TIBA-TIBA ORANG-ORANG BERPAKAIAN PREMAN MASUK KE PANGGUNG DAN BERUSAHA MENANGKAP LELAKI ITU. MESKIPUN MEMBERONTAK SEKUAT TENAGA, LELAKI ITU TAK BERDAYA.

 

Linggangan, tetaplah bertahan! Jangan harap mimpi akan jadi kenyataan! Pertahankan jiwamu, jangan tergusur buldozer yang akan menenggelamkanmu dalam kehancuran! Jangan menyerah pada kebohongan, yang dibuat atas nama kebenaran!

 

ORANG-ORANG BERPAKAIAN PREMAN ITU MENYERET SI LELAKI. SI LELAKI BERUSAHA MELEPASKAN DIRI. SALAH SEORANG DARI ORANG-ORANG BERPAKAIAN PREMAN ITU MENGHANCURKAN LINGGANGAN DENGAN CARA MENGINJAK-INJAKNYA. MELIHAT LINGGANGAN-NYA DIHANCURKAN, LELAKI ITU MAKIN KUAT MEMBERONTAK. NAMUN, USAHANYA SIA-SIA. TUBUHNYA DI SERET KE LUAR PANGGUNG.

 

Linggangaaaaaan...!

 

LAMPU MENYOROT LINGGANGAN. SESAAT KEMUDIAN, LAMPU PANGGUNG PADAM.     

 

 

Banjarmasin, Februari 2011

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler