Skip to Content

PHANTASMAGORIA

Foto oanwutun

                                PHANTASMAGORIA    

Para Pelakon:

  • Seorang pria dewasa sebagai............              Aku        : Suami Maya; bernama Al
  • Seorang wanita dewasa sebagai....... Istriku : Istri Al; bernama Maya

Maya    : Istri di dalam mimpi Al; ilusi dalam benak Al

Phantasmagoria

Adegan 01

Instrument         :(Romance d’Amour)

Aku        :(menatap dua cangkir teh di hadapanku. Salah satu cangkir berisi teh tanpa gula, sedangkan yang lain kosong. Di antara kedua cangkir teh itu ada sebuah poci berisi teh tanpa gula serta sebutir obat tidur)

Pernahkah engkau bermimpi?   

Em..., maksudku bermimpi tentang sesuatu yang sungguh indah; tentang sesuatu yang sung...guh engkau harapkan?

 Misalnya saja..., tentang perjalananmu ke bulan; atau surga mungkin? Di sana engkau menemukan sekuntum bunga; bunga yang terindah yang pernah kau lihat. Lebih menakjubkan lagi, kau yang punya kesempatan untuk memetik bunga itu.       

Pernahkah?

                ....

Apa pernah mimpi yang indah itu sekonyong-konyong berubah menjadi kenyataan?

                ....

                Kalau begitu..., bagaimana jika malam ini, ketika engkau tidur, engkau bermimpi tentang sesuatu yang indah itu. Dan esok ketika engkau terjaga, hal yang pertama engkau lihat bukanlah mentari, tetapi relita bahwa mimpimu telah menjadi kenyataan.

 

 Bagaimana jika demikian yang terjadi?

                ....

                Bahagia...?

                ....

                Indah...?

                ....

                Gembira...?

                ....

Dapatkah kau membantu aku...?

....

Adakah pisau yang sedemikian tajam,

yang mampu menyayat-pisahkan mimpi indah ini dari kenyataanku?

....

Inilah kisahku. Kuawali dengan mimpi. Mimpi yang indah.

 

Aku        :(menangisi  diriku)

Phantasmagoria

Adegan 02

 

Instrument         :(piano)

Maya    :(membawaku masuk ke ruangan dengan mata tertutup sapu tangan)

Aku        :(mengikuti tuntunan Maya sambil terus bertanya-tanya)

Maya    :(menempelkan jari telunjuknya di bibirku; mengisyaratkan agar aku bersabar mengikuti tuntunannya)

Aku        :(mengikuti isyarat Maya)

Maya    :(melepaskan ikatan sapu tangan yang menutupi mataku)

Aku        :(mengusap mataku; mencoba menyesuaikan mataku dengan pijaran cahaya sebatang lilin kecil)

Maya    :(tersenyum padaku)

Aku        :(terdiam tak percaya dengan ‘candle light dinner’ yang begitu romantis, yang disiapkan            Maya    malam itu)

 

Maya    :(mendekatikudan merangkul pundakku)

Aku        :(tak mampu mengekspresikan rasa dalam hatiku)

Maya    :(lembut membelai wajahku)

Aku        :(merangkul Maya dalam dekapanku)

Kami      :(saling beradu pandang. Ada rasa yang tak terucapkan)

 

Instrument         :(lembut mengalun mengisi ruang)

 

Aku        :(bermaksud mencium Maya)

Maya    :(mengisyaratkanku untuk tidak menciumnya saat itu)

Aku        :(tersenyum mengikuti isyarat Maya)

 

Maya    :(mengajak aku duduk di meja makan yang telah tertata begitu romantis)

Maya    :(menyiapkan makanan dan minuman perjamuan malam itu)

Aku        :(masih tersanjung dengan apa yang telah disiapkan Maya)

Maya    :(mengisyaratiku agar memulai perjamuan malam itu)

Kami      :(bersulang)

Maya    :(tampak tersipu-sipu)

 

(dalam remang pijar lilin dan musik yang mengalun lembut, perjamuan malam berlangsung begitu romantis)

 

Aku        :(bermaksud mencium Maya)

Maya    :(tersenyum padaku kemudian meniup lilin yang berpijar)

 (lilin pun padam dan ruangan menjadi begitu gelap)

Instrument         :Kupu-kupu kertas-Ebiet G. Ade

 

Phantasmagoria

Adegan 03

(Di ruang keluarga)

 

Aku        :(menatap wajahku di dalam cermin)

                :Mimpi hanyalah mimpi, semanis apapun mimpi itu.  

Dan..., kenyataan tetaplah  kenyataan sepahit apapun kenyataan itu.

 

Aku        :(terdiam di hadapan cermin.

Kuacungkan jari telunjukku pada bayanganku di dalam cermin)

Bayanganku      :( pun mengacungkan jari telunjuk padaku tepat seperti apa yang kulakukan.)

 

Aku        :Ingat! Mimpi itu tak lebih dari gelembung sabun yang rapuh. Yang ada padanya tak pernah lebih dari yang hampa.

 Dengan harapan yang hampa engkau hembuskan nafasmu. Gelembung itu mengembang begitu indah. Betapa hatimu akan berbahagia karena itu. Itu membuatmu percaya bahwa sungguh harapanlah yang dikandung gelembung itu.

                Wuuuzzzz...,

Aku        :(merasakan angin berhembus)

                :angin berhembus sepoi-sepoi. Gelembung itu terbang.

Mulanya rendah, tetapi kemudian semakin tinggi..., sema...kin tinggi..., dan semaaaa.....kin tinggi.                                                                

Aku        :(membayangkan gelembung-gelembung sabun beterbangan di hadapanku)

                : Indah. Namun....

Aku        :(segera menyadari lamunanku dan dengan tegas memperingati bayanganku di dalam cermin)

                :Tidak! Gelembung itu hanyalah kehampaan. Tidak lebih. Lihatlah! Dalam hitungan beberapa detik gelembung itu pecah. Hilang tak berbekas. Ia pecah dan meninggalkan dirimu sendirian dalam kesedihan.

Aku        :(menggurui bayanganku di dalam cermin)

                :Tak lebih dari kehampaan. Itulah mimpi. Kenyataan tetaplah kenyataan. Sepahit apapun itu, harus kuhadapi.

                Mimpi hanyalah mimpi.... Walau..., mimpi itu begitu....

Aku        :(tak menyadari kalau Maya, istriku masuk ke dalam ruang keluarga)

Istriku   :(menyingkirkan aku dari hadapan cermin)

Aku        :(hanya bisa diam; berusaha mengerti sikap istriku tersebut)

                :Inilah kenyataannya....

 Jauh berbeda dengan mimpi-mimpiku....

Istriku   :( berdandan)

Aku        :(terdiam sejenak memperhatikan istriku, kemudian coba meyakinkan diriku sendiri)

                :Titik air akan menghancurkan wadas yang keras.

Kesabaranku akan menghancurkan hatinya yang membatu.

Aku        :(coba membangun komunikasi dengan istriku)

Aku        :Maya..., semalam aku bermimpi.

Istriku   :(tak menghiraukan aku)

Aku        :(tidak menyerah)

Istriku   :(telah selesai berdandan dan segera memeriksa tumpukan berkas di atas meja)

Aku        :Maya..., tadi malam aku bermimpi. Begini ceritanya.

 Em..., ak....

 

(Ponsel istriku berdering)

 

Aku        :(terdiam)

Istriku   :Halo.... Selamat pagi....

...            :....

Istriku   :O..., ya, ada apa?

...            :....

Istriku   : Hari ini ya...? Maafkan aku, aku hampir lupa. Tetapi baiklah. Semuanya telah kusiapkan.

...            :....

Istriku   :Jam berapa?

...            :....

Istriku   :OK.

...            :....

Istriku   :OK. Jam Sembilan.

Bisa..., aku akan segera ke kantor.

...            :....

Istriku   :Bye...!

Istriku   :(meletakkan kembali ponselnya dan mulai memeriksa tumpukan berkas tadi)

Aku        :Maya..., aku mau cerita tentang mimpiku tadi malam. Mungkin terdengar begitu sepele, tetapi kupikir ini penting untuk kau ketahui. Aku minta waktumu untuk mendengarkanku kali ini... saja.

 Aku minta waktumu biar hanya lima menit.

Kami     :(sama-sama melihat jam di dinding)

 

(Pukul 08.39)

 

Istriku   :(tersenyum padaku)

Aku        :(tak mengerti arti senyum itu)

Istriku   :(mendekatiku; mencium keningku; memberiku isyarat dengan menunjukkan jam tangannya kepadaku lalu terburu-buru pergi membawa semua berkas di atas meja)

Aku        :(menatapnya pergi; terdiam bagai membeku)

                :Tak selamanya diam itu emas. Nyatanya hari ini...,

diam itu bagai mimpi buruk di siang hari....

Diam bahkan bisa jadi lebih kejam dari .... Ahk..., entahlah.

Yang pasti aku masih mencintainya.

 

Aku        :(hempaskan tubuhku ke kursi)

                :Aku pun masih yakin kalau ia mencintaiku.... Tapi....

                Bagaimana mestinya membuatnya mengerti semua ini?

Instrument         :Haruskah kumati-Ada Band

Phantasmagoria

Adegan 04

(Di ruang keluarga)

 

Aku        :(menatap wajahku di dalam cermin)

:Mimpi hanyalah mimpi, semanis apapun mimpi itu. Dan..., kenyataan tetaplah  kenyataan sepahit apapun kenyataan itu.

 

Aku        :(terdiam di hadapan cermin.

Kuacungkan jari telunjukku kepada bayanganku di dalam cermin)

 Bayanganku     :( pun mengacungkan jari telunjuk padaku tepat seperti apa yang kulakukan.)

 

Aku        :Ingat! Mimpi itu tak lebih dari gelembung sabun yang rapuh. Yang ada padanya tak pernah lebih dari yang hampa. Dengan harapan yang hampa engkau hembuskan nafasmu. Gelembung itu mengembang begitu indah. Betapa hatimu akan berbahagia karena itu. Itu membuatmu percaya bahwa sungguh harapanlah yang dikandung gelembung itu.

                Wuuuzzzz....,

Aku        :(merasakan angin berhembus)

                :angin berhembus sepoi-sepoi. Gelembung itu terbang.

Mulanya rendah, tetapi kemudian semakin tinggi..., sema....kin tinggi, dan semaaa...kin tinggi....                                                               

Aku        :(membayangkan gelembung-gelembung sabun beterbangan di hadapanku)

                :Indah. Namun....

Aku        :(segera menyadari lamunanku dan dengan tegas memperingati bayanganku di dalam cermin)

:Tidak! Gelembung itu hanya kehampaan. Tidak lebih. Lihatlah! Dalam hitungan beberapa detik gelembung itu pecah. Hilang tak berbekas. Ia pecah dan meninggalkan dirimu sendirian dalam kesedihan.

Aku        :(menggurui bayanganku di dalam cermin)

                : Tak lebih dari kehampaan. Itulah mimpi. Kenyataan tetaplah kenyataan. Sepahit apapun itu, harus kuhadapi.

                Mimpi hanyalah mimpi.... Walau..., mimpi itu begitu....

Aku        :(tak menyadari kalau Maya, istriku, masuk ke dalam ruang keluarga)

Maya    :(memelukku dari belakang, kemudian menyandarkan dagunya tepat di bahuku)

Aku        :(hanya terdiam sambil memejamkan mataku)

Maya    :(berbisik di telingaku)

                :Al..., apa yang sedang kau pikirkan?

Aku        :(tetap memejamkan mata)

Maya    :Al..., akhir-akhir ini kamu banyak bicara sendiri. Apa ada masalah yang kau hadapi?

Aku        :(membuka mataku)

Kami     :(beradu pandang di dalam cermin)

Maya    :Al..., tidurmu sering tak nyenyak. Kamu pun sering berbicara tentang mimpi dan kenyataan.

Apa yang sebenarnya kamu risaukan?

Aku        :(kembali memejamkan mataku)

Maya    :Al..., tidakkah engkau mau mengatakan hal itu kepadaku?

                Aku mencintaimu Al....

Aku        :(menarik nafas dalam-dalam; merasakan hangat pelukan istriku)

Maya    :(semakin erat memelukku)

Kami     :(terdiam beberapa waktu)

Maya    :(membalikkan tubuhku menghadap padanya)

Aku        :(pun berbalik menghadap istriku)

Maya    :( membelai wajahku dengan lembut)

                : Al..., tidakkah engkau mau mengatakan gundah hatimu itu kepadaku?

Kami      :(terdiam bagai kehilangan kata-kata)

Maya    :Al....

Aku        :(tak mampu berkata sepatah kata pun)

Maya    :Al..., aku mencintaimu.

 Apa yang dapat kulakukan untuk menyelesaikan masalahmu?

Aku        :(mengangkat bahuku)

Maya    :Al..., kenapa kamu hanya diam?

Aku        :(menggeleng kepalaku)

Maya    :Al..., apa arti semuanya ini?

Aku        :(membelai wajah Maya)

Maya    :(menatapku dalam-dalam)

Aku        :(mencium kening Maya)

Kami      :(berpelukan dalam diam)

Aku        :(membatin)

Suara Batinku   :Aku bahagia mencintaimu. Tetapi sungguhkah ini adalah surga cinta itu atau hanya mimpi yang tiada pernah berakhir?

Instrument         :Surga Cinta-Ada Band

Phantasmagoria

Adegan 05

(di ruang keluarga)

 

Aku        :(pulang dari kantor)

Aku        :(menghempaskan tasku ke atas meja kemudian meraih koran yang ada dan membaca koran tersebut)

                : Konsultasi Keluarga.

                Istriku Seorang Wanita Karir.

Ah..., sudah kubaca ribuan artikel dengan judul yang sama tetapi istriku tidak pernah berubah.

 Sabar..., siapkan waktu khusus..., kejutan..., bangun komunikasi..., ajak jalan-jalan..., santai..., apalagi yang belum kuusahakan dan kulakukan?  Istriku tetap begitu, tak pernah berubah. Wanita Karir. Semua waktunya sampai pada hitungan detik pun tak  luput dari jadwal yang telah ia rancang.

Bahkan bercinta pun ada jadwal ketat yang mesti ditaati. Apa lagi yang mau ditulis koran ini?! Tak ada satu tips pun yang sungguh ampuh merubah sikap istriku.

Aku        :(menutup koran tersebut)

                :Dasar penipu!

Memang dasar koran lokal tak ada yang benar! Koran lokal sesungguhnya hanyalah permainan bisnis. Dan permainan bisnis berarti penipuan. Koran lokal tak lebih dari penipuan.

Tak pernahkah mereka memikirkan hal lain selain bisnis? Pernahkah mereka sungguh memikirkan hal lain yang jauh lebih mulia dari pada penipuan dan bisnis.

Aku        :(membuang koran ke atas meja membuka sepatuku; membuka kancing bajuku)

kemudian, berbaring di sofa. Dan....)

Aku        :(pun tertidur di sofa)

Phantasmagoria

Adegan 06

Aku        :(terjaga dari tidurku di sofa)

Maya    :(telah duduk di sampingku)

                :(tersenyum padaku)

                :Al..., sepertinya kamu kelelahan.

Aku        :(hanya diam)

Maya    :(menyuguhkan secangkir teh panas)

                :Baru kuseduh. Masih hangat. Minumlah agar kau merasa lebih rileks.

Aku        :(menghindar dari istriku)

Maya    :(menjadi heran)

Aku        :Tidak. Jangan harap aku akan menyentuh itu, apalagi meminumnya.

Maya    :(meletakkan cangkir teh itu di atas meja)

Aku        :Aku tahu ini semua hanya mimpi. Semua ini hanya mimpi!

                Aku sadar bahwa istriku memang sibuk dengan karirnya. Tetapi ia tetap mempunyai jadwal untuk bersama aku.

                Dan yang terpenting! Aku tahu bahwa kami sudah sedang dan akan selalu saling mencintai.

Maya    :(terdiam)

Aku        :Apa yang kau kehendaki?! Aku tahu ini hanyalah mimpi. Dan mimpi, semanis apapun itu, tetaplah mimpi; hampa; omong kosong belaka.Tak beda dengan koran lokal!!! Kau hanyalah mimpi; hampa; omong kosong belaka!!!

Maya    :(tetap diam namun mulai meneteskan air mata. Ia menggigit bibirnya yang gemetar seakan menahan sesuatu yang ingin ia teriakan dari dalam hatinya)

Aku        :Menangislah..., tapi jangan kira dengan tangismu itu hatiku akan luluh.

Maya    :Al....

Aku        :(tertawa sinis)

Maya    :(dengan suara yang bergetar)

                :Al..., beginikah kau artikan kisah kita? Kemana kau buang segala cinta, perhatian dan pengorbananku selama ini?

Aku        :(terdiam mendengar kata-kata Maya)

Maya    :(masih dengan suara yang bergetar)

                :Al..., jika memang aku tak kau cintai lagi, atau mungkin di sisimu telah ada yang lain, katakan saja sejujurnya. Itu jauh lebih baik dari pada kau sangkal semua yang pernah kita lalui bersama.

Aku        :Aku telah mengatakan yang sesungguhnya!Bahwa semua ini hanya OMONG KOSONG!!!

Maya    :Al!!!(menampar pipiku)

Aku        :(terdiam)

Maya    :Aku tak butuh balas budimu atas segala cinta, perhatian dan pengorbananku. Aku hanya ingin kaucamkan hal ini: aku telah sungguh mencintaimu dengan seluruh diriku. Semuanya itu bukanlah hal yang sederhana. 

Maya    :(mengambil pisau yang ada di meja dan hendak memotong nadinya)

Aku        :(segera menghalanginya)

Maya    :Biarkanlah!!! Apa gunanya aku hidup jika memang aku ini hanya ilusi bagi duniamu!!!

Aku        :(memeluk istriku)

                :MAYA!!! HENTIKAN!!!

Maya    :(menangis tersedu-sedu)

Aku        :(berusaha menenangkannya)

 

(beberapa saat kemudian)

 

Aku        :Maafkan aku.

Maya    :(masih menangis dalam dekapanku)

Aku        :Maafkan aku. Aku terlalu egois. Kuharap kau mengerti keadaanku. Pikiranku amat kacau terbeban begitu banyak masalah.

Maafkan kesalahanku. Lupakanlah yang baru terjadi.

Maya    :(sudah semakin tenang)

Aku        :Maya..., maafkan aku. Aku bersumpah tak ada wanita lain selain dirimu. Selamanya hanya kamu seorang.

                Engkaulah kenyataanku. Katakanlah bahwa sesungguhnya engkau adalah Maya.

Maya    :Al..., akulah Maya.

                Tapi sungguhkah sumpah yang kau katakan itu muncul dari hatimu?

Aku        :Maya..., bagaimana mungkin aku dapat mengatakan itu tanpa melibatkan hati?

Maya    :(mendekapku)

Aku        :(membelai rambutnya)

                :Aku takkan meragukanmu.

                Engkaulah kenyataanku.

Kami      :(berpeluk begitu mesrah)

Instrument         :(piano)

Phantasmagoria

Adegan 07

 

Aku        :(memeluk bantal erat-erat)

 

(beberapa saat kamudian)

 

Aku        :(terjaga dari tidurku di sofa. Aku telah berselimut;  berkeringat)

Aku        :Maya...?!

Aku        :(tak menyadari istriku sedang duduk di meja kerjanya; seperti biasa, begitu  serius dengan pekerjaannya)

                :Maya...?!

Aku        :(mencari-cari)

                :Maya...?!

Istriku   :Hm....

Aku        :(baru menyadari bahwa ia berada di belakangku)

Aku        :Maya..., kaukah itu?

Istriku   :(masih serius bekerja)

                :Al..., jangan ganggu aku dulu. Aku sedang bekerja dan pekerjaanku membutuhkan  konsentrasi tinggi.

Aku        :Maya..., di mana teh yang kau buat tadi? Aku ingin meminumnya.

Istriku   :(tidak menghiraukan aku)

Aku        :Maya..., tidakkah engkau mau memberi cinta dan perhatian kepadaku seperti yang ku katakan tadi?

Istriku   :(sedikit lebih tegas)

                :Al! Ini bukan waktunya kita bercanda. Aku butuh ketenangan untuk dapat berkonsentrasi.

Aku        :(terdiam)

(beberapa saat kemudian)

Aku        :(tertawa terbahak-bahak)

                :Oh ya....Hahahahahaha....! Aku baru sadar sekarang.

                Silahkan bekerja sesuka hatimu! Sekarang aku telah mengerti.

Istriku   :(berhenti bekerja mendengarkan ocehanku)

Aku        :(berkata-kata sambil menunjuk-nunjuk istriku)

:Ini semua hanyalah mimpi.

Istri karir yang bekerja dengan jadwal padat, yang bahkan untuk bercinta pun mesti sesuai jadwal hanyalah mimpi burukku.

Silahkan! Terserah padamu! Aku hanya perlu bersabar untuk dapat sadar dan kembali ke kenyataanku;hidup bersama istri yang sungguh ada waktu untukku kapan saja kubutuhkan dia.

Mengapa berhenti bekerja? Aku sudah tahu segala trikmu. Setelah ini tentu engkau akan berpura-pura mencintaiku; memperhatikanku; dan melakukan segala tipu muslihat agar aku percaya bahwa inilah realitaku.

                Silahkan. Silahkan buat demikian. Tetapi jangan harap aku terkecoh.

Istriku   :(mendekatiku)

Aku        :(tertawa sinis)

Istriku   :(menyentuh dahiku dengan tangannya)

                :Sepertinya kau demam. Badanmu sangat panas.

Aku        :Hahaha.... tak perlu berlagak seolah-olah memperhatikanku.

Istriku   :(pergi mengambil obat)

Aku        : Hei...! Jangan harap aku akan menyentuh itu, apalagi meminumnya. Sekarang realita dan mimpi telah menjadi jelas. Dengan obat itu engkau akan meracuniku. Kemudian aku akan mati di dunia mimpi ini dan tak akan kembali lagi ke dalam relitaku.

Istriku   :(memberikan aku beberapa butir obat dan segalas air putih)

                :Kau demam tinggi. Aku akan segera panggilkan dokter untuk memeriksa kesehatanmu.

                Minumlah obat ini. Jangan terlalu banyak berpikir. Beristirahatlah. Mungkin kau kecapaian.

Aku        :Sudah kukatakan, aku tak akan menyentuh apalagi meminum itu!

Istriku   :OK. Terserah padamu. Aku tak ingin memaksakan kehendakmu. Kau pun tak pernah memaksakan kehendakku.

Aku        :Ya, sebaiknya demikian.

Kami      :(terdiam)

 

(setelah beberapa saat)

 

Istriku   :(lembut berkata padaku)

                :Al..., apa yang terjadi?

Aku        :(tertawa sinis)

                :Pura-pura tak tahu.

Istriku   :(terdiam kemudian memegang tanganku)

Al...,aku minta maaf. Aku akui bahwa aku kurang memberi perhatian padamu. Tapi itu tidak berarti aku tak mencintaimu.

                Aku mencintaimu.

Aku        :(tertegun)

Istriku   :(lanjut berkata)

:Tentang karirku; aku sadar aku begitu tenggelam di dalamnya. Tahukah engkau, belasan bahkan puluhan tahun aku berjuang untuk meraih itu.

 Tapi aku sadar sekarang, aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk karirku. Aku telah begitu lama melupakan perasaanmu.

 Biarlah hilang semua itu, tapi jika boleh bukan dirimu yang pergi dari diriku. Maafkan aku.

 Jika masih ada kesempatan sekali saja, bolehkah kuperbaiki apa yang telah salah kulakukan selama ini?

Aku        :(membantahnya dengan keras)

:Hentikan ocehanmu! Ini semua hanya mimpi yang sebantar lagi akan lenyap. Semua tipu muslihatmu, kata-kata manismu tak akan mampu mempengaruhiku.

 

 

 

Istriku   :(terdiam sejenak, kemudian berkata padaku dengan terus menahan tangisnya. Suaranya bergetar)

Ya, Al..., kau pantas berkata demikian. Aku akan berhenti bicara. Sebab selama ini engkau telah begitu sabar. Aku tak pantas kau maafkan. Biarlah aku tak kau maafkan  agar aku dapat mengerti bagaimana rasanya disakiti orang yang kita cintai.

                Tetapi Al..., sebelum semuanya berakhir, izinkanlah aku menyatakan cintaku padamu dengan hal sederhana ini. 

Aku        :(menampar pipiku sendiri)

                :Jangan banyak bicara!Lihatlah aku akan segera sadar dari mimpi buruk ini.

Aku        :(tetap berada di hadapan istriku)

Istriku   :(memberikan aku obat dan segelas air)

Kami      :(terdiam; beradu pandang)

Aku        :(memegang tangannya)

:Maya....

Istriku   :(diam menatapku)

Aku        :(mencium ujung jarinya sambil tak lepas memandang matanya yang telah berbinar oleh air mata yang ia tahan)

Katakanlah bahwa engkau sungguh adalah Maya.

Istriku   :(tak mampu menahan tangis)

Aku istrimu Al... .

Aku        :Maya..., istriku, katakanlah bahwa kaulah kenyataanku.

Istriku   :Al...,maafkan aku

Aku        :Tahukah engkau, hadirmu sudah lebih dari cukup untuk mengobati sakitku.

Aku        :(mengecup kening istriku)

 

Instrument         :(Elegi Esok Pagi-Ebiet G. Ade)

Phantasmagoria

Adegan 08

(ruang keluarga)

 

Aku        :(duduk sendirian dengan tatapan kosong)

                :(bicara sendiri)

                :Akankah semuanya berakhir bahagia.

Aku        :(tak menyadari kalau Maya ada di belakangku)

Maya    :(menyentuh pundakku)

:Al....

Aku        :(sedikit terkejut)

Maya    :(berbisik di telingaku)

:Masihkah engkau memikirkan kejadian kemarin?

                Aku minta maaf kalau yang kulakukan kemarin itu membuatmu tidak tenang.

Aku        :Akulah yang mestinya minta maaf. Aku merasa diriku seperti manusia bodoh yang dipermainkan dan mempermainkan diriku sendiri.

Maya    :(memelukku dari belakang)

                :Lupakan semuanya. Kita akan memulai lembaran hidup yang baru.

                Em..., akan ku buatkan teh hangat agar engkau dapat lebih rileks.

Aku        :Maya..., tetaplah di sisiku. Aku takut jika nanti ia  datang.

Maya    :(bingung)

                :Siapa yang datang?

Aku        :(menyadari keteledoranku)

:Dia....Em...Kau....Em..., maksudku..., jangan lama-lama. Aku ingin bersamamu     selalu.

Maya    :(tak menghiraukan perkataanku; pergi ke belakang membuat teh)

                :Al..., aku tak akan lama.

Aku        :(menatap kosong ke udara)

Istriku   :(masuk ke dalam ruang keluarga tanpa aku sadari. Ia mendapati aku sedang melamun)

                :Al....

Aku        :(terkejut dari lamunanku)

                :Maya...? Cepat sekali engkau membuat teh?

Istriku   :(tampak bingung mendengar perkataanku)

Aku        :(menyadari kebingungan Maya dan mencoba bersikap wajar)

:O.... Em.... Maksudku..., kau sudah selesai..., e sorry .... aku merindukanmu. Kamu sudah pulang kantor ya...?  

Istriku   :(tak percaya dengan apa yang aku katakan)

:Al..., apa yang kau pikirkan? Apa engkau masih merasa sakit? Sudahkah kau minum obat yang dokter berikan? Apa perlu kita pergi ke dokter sekarang?

Aku        :Tidak..., tidak Maya. Berada di sampingmu sudah lebih dari cukup bagiku.

Istriku   :Al..., kau menyembunyikan sesuatu dariku.

Aku        :Tidak.... Tidak ada yang kusembunyikan darimu.

Istriku   :Baiklah, terserah padamu. Aku tak akan memaksamu untuk jujur.

Kami      :(terdiam)

Aku        :(meraih tangannya)

:Maya..., jangan tinggalkan aku. Aku takut kalau nanti ia datang lagi.

Istriku   :(bingung)

                :Siapa Al...? Siapa yang datang?

Aku        :Perempuan dalam mim...(mencoba memperbaiki pernyataanku)

Aku        :Em..., tidak.... Maksudku..., kau sudah datang dan aku ingin terus berada di sisimu.

Istriku   :(menatap mataku;menyentuh dahiku)

                :Al..., kau masih badanmu panas, kau belum sembuh dari sakit. Akan kuberikan kau obat tidur agar sore ini engkau dapat beristirahat dengan baik.

Istriku   :(pergi ke belakang mengambil obat tidur)

Maya    :(datang membawa dua cangkir teh beserta satu poci berisi  teh hangat)

                :Teh hangat datang....

 

Aku        :(membatin)

Suara Batinku   :Tuhan..., keduanya datang silih berganti. Tunjukkanlah padaku.... Tuhan

Aku        :(berusaha menyembunyikan kebingunganku)

Maya    :(meletakkan dua cangkir teh itu di meja kemudian menuangkan teh ke dalam salah satu cangkir)

                :Teh tanpa gula, agar....

Aku        :Maya.... Em.... maksudku....Tidak.

Maya    :(bingung;menerka keinginanku)

                :Kau ingin minum teh ini dengan gula?

Aku        :Em...,ya...,ya.... bolehkah aku minta gula?

Maya    :(pergi ke belakang mengambil gula)

:Dengan senang hati akan kuambil.

Aku        :(memarahi diriku sendiri)

                :Harusnya aku berani mempertanyakan lagi mimpi dan kenyataan ini.

                Salah satu dari mereka pastilah hanya mimpi. Tetapi yang mana?

                Apa bedanya mimpi dan realita?

 Mestinya aku dapat membedakan itu keduanya.Tapi....

Istriku   :(datang tanpa aku sadari)

                :Minumlah ini agar kau dapt beristirahat.

Aku        :(mencoba bersikap wajar)

:Ya..., ya..., tapi, apa kau membawa gula?

Istriku   :(bingung)                                                                              

                :Gula...? Maksudmu...?

Aku        :(gagap)

                :Ya gula pasir... em..., tidak. Mak...sudku...

Istriku   :Oh...,apa  kau yang membuat teh itu? Baiklah jika kau ingin minum teh dengan gula. Tentu itu akan lebih baik lagi untuk pemulihan kesehatanmu.

Aku        :(mencoba menyembunyikan kebingunganku)

Istriku   :(meletakkan sebutir obat tidur di samping cangkir teh, kemudian ke belakang untuk mengambil gula pasir)

Aku        :Sebenarnya yang mana TUHAN....?

 TUHAN...! TUNJUKKAN PADAKU   YANG MANA  ISTRIKU SEBENARNYA...?!

                MAYA.... ATAU MAYA....?!!!

 Aku       :(mulai frustrasi)

Instrument         :Manusia Bodoh-Ada Band

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Phantasmagoria

Adegan 09

Instrument         :(Romance d’Amour)

Aku        :(menatap dua cangkir teh di hadapanku. Salah satu cangkir berisi teh tanpa gula, sedangkan yang lain kosong. Di antara kedua cangkir teh itu ada sebuah poci berisi teh tanpa gula serta sebutir obat tidur)

Pernahkah engkau bermimpi? 

Em..., maksudku bermimpi tentang sesuatu yang sungguh indah; tentang sesuatu yang sung...guh engkau harapkan?

 Misalnya saja..., tentang perjalananmu ke bulan; atau surga mungkin? Di sana engkau menemukan sekuntum bunga; satu-satunya bunga yang terindah yang pernah kau lihat. Lebih menakjubkan lagi, kau yang punya kesempatan untuk memetik bunga itu.

 

Pernahkah?

                ....

Apa pernah mimpi yang indah itu sekonyong-konyong berubah menjadi kenyataan?

                ....

                Kalau begitu..., bagaimana jika malam ini, ketika engkau tidur, engkau bermimpi tentang sesuatu yang indah itu. Dan esok ketika engkau terjaga, hal yang pertama engkau lihat bukanlah mentari, tetapi realita bahwa mimpimu telah menjadi kenyataan.

 Bagaimana jika demikian yang terjadi?

                ....

                Bahagia...?

                ....

                Indah...?

                ....

                Gembira...?

                ....

Dapatkah kau membantu aku...?

....

Adakah pisau yang sedemikian tajam,

yang mampu menyayat-pisahkan mimpi indah ini dari kenyataanku?

....

Inilah kisahku. Kuawali dengan mimpi. Mimpi yang indah.

Aku        :(menangis diriku)

 ***

Yohanes Baptista Juang  Wutun

Phantasmagoria,

tembok pemisah itu telah runtuh 

dan aku tak mampu lagi memilah mimpi dari realita

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler