Satu hari lepas sendayu mendera. Kian mengeras sendi-sendi otak. Kupikir, "Sudah berapa banyakah sendi paralel itu yang terputus?" Penglihatanku bias, dalam pikiran hanya runtut rumit persoalan dunia saja. Rimba di kepalaku celak keputihan, Orang-orang bijak seringkali berpesan, "Jangan mau tua di usia muda!" Selama bertahun-tahun tanpa sadar, jiwaku menua terkukung dalam kubangan kegelapan, hanya nampak badannya. Kepalaku bergumul dengan dunia hitam (suram).
Mega mendung kala itu diperburuk dengan polutan. Hujan berderai, membasahi rambutku yang tergerai tanpa ikat rambut ditutup kain kudung panjang. Saat itu petang aku sedikit berbincang dengan seorang pedagang, "Sudah lama, sejak permulaan Agustus tidak turun hujan. Alhamdulillah memasuki September terhitung dua kali hujan" Sambil tersenyum. Aku menimpali, "Iya alhamdulillah"
Sekembalinya dan hujan kian reda, rambutku basah dan gatal. Aku menggaruk dan seolah pikiranku disibukkan dengan suatu cuplikan manusia di padang mahsyar beratus-ratus tahun---pengadilan akhirat. Korelasi dengan jatah usia manusia sungguh jauh. Manusia ditanyai perkara "usia dihabiskan untuk apa" Seketika ketakutan merongrong hatiku, "bagaimana aku akan menjawab pertanyaan tuhanku, sedangkan setengah usiaku habis mencari jawaban bagaimana aku hidup"
Komentar
Tulis komentar baru