“MAMAAAT…”, berbarengan dengan suara lembut itu, pintu kamar lelaki kurus itu kini telah terbuka. Seraut wajah wanita setengah baya nongol dari balik pintu. Ada bekas-bekas kecantikan pada wajah wanita itu! Dia adalah ibu dari lelaki kurus itu.“Makan dulu, Mat…, “. Wanita yang masih cantik itu mengajak makan sang anak.
“Iya bu…, “Mamat bangkit. Dia mengambil kruk-nya yang asik bersandar di tepi ranjang. Diletakkannya kedua kruk itu di bawah kedua ketiaknya. Dengan kedua kruk itulah dia berjalan melangkah keluar dari kamar. Kaki kirinya yang 'tumbuh' kecil, berkibar-kibar akibat ayunan langkahnya. “Masak apa bu, “Tanya si anak.
“Sayur bening dengan Ikan Mas Bakar kesukaanmu, “jawab ibu. “Asik ….,” si anak tersenyum. Ibu juga ikut tersenyum. Ada perasaan bahagia bila melihat anak satu-satunya itu ikut tersenyum. Dia ikut merasakannya. Juga bila sang anak bersedih, ingin pula dia ikut berbagi kesedihan dengan sang anak. Atau seumpama kesedihan itu bisa dipindahkan, inginlah dia agar kesedihan itu dipindahkan saja kepada dirinya. Itulah ibu.
Ibu dan anak itu makan. Tak ada meja makan di rumah itu. Duduk lesehan di lantai itu sudah cukup. Ibu menatap anaknya yang makan dengan lahapnya. “Ayo tambah lagi Mat”.
“Iya, bu,” mulut Mamat penuh dengan nasi.
Kembali sang ibu tersenyum. Dan pelan-pelan kembali ia menyuapkan nasi lagi ke mulutnya. Pelan sang ibu mengunyah-ngunyah nasi yang ada di mulutnya. Mamat menambahkan lagi dua sendok nasi ke dalam piringnya. Ibu dan anak itu asik makan. Yang ada hanya dua ekor Ikan Mas Bakar (ukurannya kecil), tempe dan sayur bening serta sambal di cobek. Itu sudah cukup menurut Mamat. Ikan Mas Bakar itulah kesukaanya sejak kecil.
Ibu itu memperhatikan kembali wajah anaknya, di sela-sela 'kegiatannya' menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ingatannya kembali terbayang pada suaminya. Persis benar raut wajah sang anak dengan wajah sang bapak. Juga cara makannya yang lahap, dengan ikan bakar kesukaan mereka. Persis benar…, gumam sang ibu. Bila sang bapak pulang dari menyopir taksi untuk makan siang, yang ditanyakannya pasti apakah ada ikan bakar di pasar. Kalau makan Sang bapak 'gila' ikan bakar. Setiap makan siang, selalu ada ikan bakarnya (kecuali di pasar tidak ada orang yang menjual ikan). Selalu dia begitu. Tak bosan-bosannya dia makan ikan bakar. Si ibu pernah menanyakan seandainya kalau makan siang ini tak ada ikan bakarnya dan cuma ada ayam goreng misalnya, bapak tetap akan makan? “
Setengah bercanda Si bapak menjawab ikan bakar bagi saya, bu, sama dengan 'kebutuhan' saya terhadap ibu. Kalau tak ada ikan bakar yah…bukankah masih ada ibu, “jawab bapak. Selanjutnya cubitan manislah yang 'menjawab' canda bapak itu. Bapak tak suka daging ayam atau sapi.
Ah, itu dulu… selagi masih ada bapak bersama mereka. Bapak sudah 'pergi' beberapa tahun yang lalu (sekitar enam tahunan). Taksi yang di kendarai bapak bertabrakan dengan truk di persimpangan jalan. Tak ada pesan-pesan penting yang di tinggalkan bapak. Bapak hanya berkata : “ Bu, tolong nanti siang bakarkan bapak ikan mas”. Itu saja pesannya. Dan siangnya, saat bau ikan mas bakar menunggu bapak yang datang malah kabar duka : Bapak tabrakan dan meninggal. Oh, bapak. Bapak sudah pergi meninggalkan mereka berdua. Bapak sudah pergi…ibu mengusir bayangan bapak di sela-sela makan siangnya.
“Kenapa melamun, bu?” tanya Mamat. Piring di tangannya kini telah kosong. Isinya sudah 'licin mengkilat'. Dibasuhnya tangannya. “ingat bapak lagi ya?”
“Oh, ndak…,”ibu bergegas 'menyelesaikan' nasi yang tersisa di piringnya. Tak berapa lama nasi di piring ibu juga tandas. Alhamdullillah…
“Bu, saya nanti mau ke rumah Marno. Hari ini kan hari Minggu. Sudah lama saya ndak ke rumahnya. Saya nginap di saya ya bu? Besok siang baru saya pulang.”.
“Besok pagi kan kamu sekolah, Mat?”. “Sekali ini saya bolos dulu bu. Sehari ini saja, bu .. Saya kangen dengan suasana di kampung Marno. Besok siang saya pulang bu,”.
Ibu memang terlalu memanjakan anak satu-satunya itu. Dan selalu tak bisa menolak keinginan Mamat. “Hati-hati ya Mat,”Si ibu menatap sang anak.
“Sip, bu,”jawab Mamat seraya mencium kening sang ibu. Dia kembali mengambil kruk di sampingnya lantas bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia sudah kangen tampaknya dengan Marno sahabatnya sewaktu SD. Dia sudah berteman dengan Marno sejak itu. Hingga kini sampai SMA dan Mamat berhenti sekolah karena biaya SPP tak dapat dijangkau lagi oleh kehidupannya yang miskin. Ayah Marno hanyalah petani. Dan itu pun hanya menggarapkan tanah milik orang , lalu hasilnya di bagi dua dengan pemilik tanah. Tanah Bapak Marno sudah dijualnya dan kini jadi lapangan golf. Tanah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibu Marno yang terkena tumor.
Ibu memberesi piring-piring makan dan perkakas makanan lainnya yang tak seberapa lengkap itu. Bergegas dia. Karena setelah itu kembali dia menjaga warungnya. Ibu punya warung hasil dari tabungan bapak selama menyopir taksi. Pelan-pelan ibu lantas menabung dari usaha warungnya. Rezeki dari warung itulah-setelah meninggalnya bapak-untuk menghidupi mereka berdua. Usaha warung itulah yang membuat mereka masih bisa bernapas himgga sekarang. Mamat memberesi alat-alat melukisnya. Tube-tube cat minyak yang berserakan di lantai dimasukkannya ke dalam plastik, lantas dimasukkannya lagi ke dalam ranselnya. Kuas-kuas dari berbagai ukuran diikatnya dengan karet, lantas dimasukkannya pula ke dalam ransel. Kain kanvas tak lupa pula dibawanya. Dia ingin melukis di kampung Marno.Pemandangan di sana tak habis-habisnya untuk dipindahkan di kanvas. Sesaat Mamat ingin melupakan kegundahan hatinya. Dia ingin melupakan 'masalah kecil' kemarin di sekolah. Tentang Ryan yang merupakan anak orang kaya, bersama-sama dengan teman-temannya mempermainkannya. Menyembunyikan kruknya, mengolok-ngolok dan menyinggung-nyinggung tentang kemiskinannya atau menjodoh-jodohkannya dengan Sinta atau hal-hal lainnya lagi yang begitu merendahkannya. Sesaat Mamat ingin melupakan itu semua.
Dimasukkannya pula beberapa potong pakaiannya, lantas diselempangkannya menyilang di tubuhnya. Sip. Tinggal berangkat. Sudah lama dia memang tidak ke rumah Marno. Setahun yang lalu, pada saat Idul Fitri, itu pun yang terakhir kali. Mamat lalu melangkah ke luar kamar. Dia menemui ibunya. “Bu…, panggilnya.
Ibu yang asik mencuci piring menghentikan kesibukannya. “Sebentar Mat…tangan ibu kotor,” ibu melanjutkan pekerjaannya.
Mamat memperhatikan ibu yang mencuci piring. Ibu yang sering berlomba duluan bangun dengan suara kokok ayam. Dan, walaupun ibu ketinggalan bangun dengan suara kokok ayam, namun masih duluan bangun dibandingkan dengan matahari, tapi ibu masih bilang begini :”ah, ibu terlambat bangun …” . Ibu yang di pagi buta sudah memasakkan nasi buat sarapan pagi untuknya sebelum berangkat sekolah.
Mamat masih berdiri…. Ibu melap tangannya dengan serbet. Pekerjaannya yang hanya mencuci beberapa piring dan gelas serta membereskan peralatan makan lainnya sudah selesai.
“Bu, Mamat pergi dulu… “Mamat mencium wanita lima puluh tahunan itu. Mencium tangannya… “Hati-hati ya Mat. Cepat pulang…”. Mamat mengangguk. “Bu,besok siang siapkan ikan mas bakar ya?”. Ibu mengangguk. Mamat lalu menyeret langkahnya ke luar rumah. Dan ibu mengiringi kepergian anaknya dengan matanya yang lelah. “Hati-hati ya Mat..”. Lagi-lagi Mamat mengangguk lantas kembali menyeret langkahnya.
Sang ibu masih berdiri di situ sampai Mamat menghilang dari pandangannya. Dia begitu sayang dengan anaknya. Hanya rasa itulah yang tertinggal. Rasa sayang ibu Mamat begitu murni. Tak dapatlah dibanding dengan apapun. Tak bisa dinilai dengan apapun. Emas yang begitu murni sekalipun tak akan bernilai bila di bandingkan dengan peraasaan sayang seorang ibunya Mamat. Tak bisa ditukarkan dengan berton-ton berlian sekali pun! Ibu sangat menyayangi Mamat. Ibu tahu, bila Mamat tidak ada maka sunyilah hatinya. Dan setelah Mamat kembali pulang hatinya kembali gembira. Ibu tidak ingin lama berpisah dengan Mamat. Menunggu Mamat dari pulang sekolah pun bagi ibu bagaikan sudah menunggu bertahun-tahun. Hanya Mamat-lah yang tersisa bagi ibu, setelah kepergian bapak. Dan bagi ibu hanya dialah tempat kasih sayang buat si Mamat. Ibu ingin membahagiakan Mamat. Ibu ingin Mamat berhasil jadi 'orang'. Dan menyekolahkan Mamat setinggi-tingginya, itulah keinginannya. Ibu berharap, nantinya Mamat bisa berbahagia. Kini setelah Mamat pergi ke rumah Marno di kampung Lempake, sunyilah hati ibu. Mamat persis betul wajah bapak. Kenangan dulu terbongkar kembali. Kenangan saat bapak masih ada. Kenangan ibu bersama bapak waktu pacaran dulu. Perkawinan ibu dan bapak yang tidak disetujui oleh orang tua ibu karena orang tua ibu tidak setuju kalau putrinya kawin dengan seorang yang pekerjaannya tidak tetap. Karena orang tua ibu tidak setuju kalau putrinya kawin dengan orang yang senangnya bikin puisi dan cerpen. “Seniman edan,” kata orang tua ibu. Orang tua ibu tidak setuju putrinya hidup menderita. Tapi akhirnya ibu tetap nekat kawin sama bapak. Walaupun hidup ibu dan bapak pas-pasan tapi ibu berbahagia. Akibat menikah dengan bapaklah, akhirnya ibu tidak diakui anak lagi oleh orang tua ibu. Itu dulu… selagi masih ada bapak. Saat ini pun ibu masih berbahagia karena ada Mamat. Walaupun bapak sudah 'pergi', hubungan ibu dengan orang tuanya pun masih seperti dulu. Pernah suatu hari, ibu dan Mamat ke rumah orang tua ibu, tapi sesampainya di sana ibu dan Mamat tidak dihiraukan. Orang tua ibu tidak berbicara sepatah kata pun. Ibu pulang dengan kekecewaan.
Bila tidak ada kerjaan memasak (pekerjaan memasak dan lain sebagainya) dan ibu sedang duduk menunggu warung, seringlah ibu melamun-lamun sendiri. Kenangan bapak sewaktu masih hiduplah yang paling banyak hadir dalam lamunan ibu. Perkenalan ibu dengan bapak. Masa-masa pacaran ibu dengan bapak. Dan sampai lahirnya Mamat. Bagi ibu bapak adalah hal terindah yang pernah ada dalam hidup ibu. Juga setelah Mamat lahir. Bagi ibu kedua laki-laki itulah yang membuatnya bahagia. Setelah bapak pergi, Mamatlah kini 'sisa kegembiraan' ibu.
Oh, hari ini Mamat pulang, hati ibu sedikit gembira. Sudah sehari semalam ibu tidak melihat Mamat. Selagi Mamat ke rumah Marno, ibu benar-benar disiksa sunyi. Ibu kangen dengan Mamat. Makanya sebentar-sebentar ibu memperhatikan jalan di depan rumah, apakah Mamat sudah pulang. Tapi ibu kecewa, karena sudah siang begini tapi Mamat belum muncul juga. Padahal ikan bakar sudah tidak sabaran menunggu Mamat. Kali ini ibu menyiapkan ikan Nila yang besar-besar untuk sang anak. Ibu ingin melihat Mamat makan dengan lahapnya seperti bapak.
Oh, tapi Mamat belum pulang-pulang juga. Ada suara. Ah,tapi itu bukan suara Mamat. Mamat kalau pulang memang suka berteriak-teriak memanggil ibu. Itu bukan suara Mamat. Masa Mamat memanggil ibunya dengan Bu Mamat. Itu suara Ibu Tatang, tetangga ujung. Pasti dia mau beli sesuatu. “Ada lombok bu,”. Benar. Itu Ibu Tatang. “Ada. Mau beli berapa bu?” Lima ratus saja.” Lombok lantas ditukar dengan uang. Dan Mamat belum pulang juga. Ke mana si Mamat? Padahal ikan bakarnya sudah menunggu.
Ibu gelisah. Hari sudah sore. Sebentar lagi malam. Tapi Mamat belum juga pulang.
Ah, ibu tidak tahu, kalau Mamat tidak akan pernah bisa pulang lagi. Taksi yang ditumpanginya saat pulang telah bertabrakkan dengan sebuah truk di persimpangan yang sama pada saat taksi yang dikemudikan bapaknya bertabrakkan dengan truk enam tahun yang lalu. Ibu belum tahu kalau ikan bakar yang telah disiapkannya untuk Mamat tidak akan pernah dihabiskan anaknya.
Ibu terus menunggu Mamat dan tidak ingin pula dia menyentuh ikan bakar itu. Itu ikan bakar untuk anak kesayangannya. Dan ibu terus menunggu… ****
Komentar
Tulis komentar baru