Skip to Content

keberpihakan Montmartre

Foto ARZapata
Surat Dari Montmartre:
   
   
  MENYAKSIKAN PEMBACAAN PUISI TAN LIOE IE DI PARIS 

"Apa yang sedang kulakukan adalah suatu pertunjukan. Barangkali aku di sini dengan Rendra yang kuhormati atau yang lain-lain dalam membaca puisi. Dalam membaca puisi aku masukkan unsur akting dan musik", ujar Yoki menjelaskan caranya tampil membawakan 10 puisi yang judulnya disebutkan satu persatu oleh Christine Cabasset sebagai moderator. "Kumasukkan unsur musik karena aku memang punya latarbelakang musik sebelum bersyair", tambah Yoki. Bagi kami yang lama tinggal di Paris dan mengikuti perkembangan sastra serta pembacaan puisi di negeri ini , sebenarnya apa yang dilakukan oleh Yoki bukanlah hal yang asing. George Brassen, Jacques Prevet dan banyak nama lain lagi, selalu membacakan puisi-puisinya dengan iringan gitar. Sedangkan pemaduannya dengan unsur akting dalam teater pun sudah menjadi jamak pula. Puisi, musik dan teater, nampak di sini menjadi satu. Lirik-lirik lagu umumnya sangat puitis dan memang berasal dari puisi misalnya pada karya-karya Jacques Brel, penyanyi , penyair dan pemain opera sekaligus, seperti Amsterdam, Ne Me Quite Pas, dan lain-lain. Dilihat dari segi ilmu komunikasi, barangkali bisa didapatkan dasar alasannya. Makin banyak unsur panca indra yang digunakan untuk menyerap sesuatu yang dikomunikasikan maka hasilnya akan lebih besar. Lebih komunikatif. Sehingga apa yang dilakukan oleh Yoki bagi Perancis sama sekali bukanlah sesuatu inovasi atau invensi. Apalagi sastrawan-seniman Perancis dalam berkesenian selalu membuka diri terhadap sastra-seni asing. Matisse, sampai melanglangbuana ke pulau-pulau Melanesia untuk menyegarkan lukisannya, André Gide pergi ke Congo, Arthaud belajar dari teater Bali, Picasso belajar dan mendapatkan ilham dari lukisan-lukisan Papoea, André Malraux menyuburkan kreativitasnya dari Asia. Karena itu, aku sering mengatakan bahwa dalam standar, seniscayanya menggunakan ukuran dunia bukan lokal, tanpa meninggalkan ciri lokal kita sebagai bahasa dialog dengan budaya dunia. Tanpa menggunakan standar begini, kita bisa menjadi "gede rumangso". Merasa diri sudah hebat dan besar tapi sebenarnya belum apa-apa. Indonesia, jika ia dipandang sebagai sebuah standar, maka ia adalah pemaduan antara warna lokal dengan global. Indonesia pun jika dipandang sebagai suatu standar, maka ia pun adalah suatu tagihan sejarah atas hutang-hutang para sastrawan dan seniman. Tapi hebatnya, di Harian Kompas Jakarta, pernah kubaca artikel dari seorang yang mengaku diri seniman beken di mana ia tuliskan "seniman bebas tanggungjawab sosial" dan "kemanusiaan". Ah, ini suatu penemuan besar bagi seorang yang terbatas kemampuannya membaca sejarah dan kehidupan bagaikan kisah katak mau jadi lembu. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap Tan Lioe Ie yang menyebut dirinya sebagai sastrawan sebagai "setengah aktivis" untuk menunjukkan keberpihakan sosial dan manusiawinya. "Apakah dengan menyebut diri sebagai 'setengah aktivis', Anda menjadi partisan langsung sebuah partai politik?", tanyaku. "Sama sekali tidak. Yang kumaksudkan lebih pada keberpihakan sosialku. Keprihatinanku pada nasib rakyat dan bangsa di mana aku merupakan salah satu bagiannya tak terpisahkan" jelas Yoki yang berambut panjang terurai berwarna putih, mengingatkan kita pada figur penghuni kuil-kuil Tiongkok dan pusat-pusat persilatan yang bercirikan menyetiai keadilan dan kemanusiaan. Keprihatinan pada nasib bangsa ini dengan bersemangat diungkapkan secara berulang-ulang oleh Yoki bahwa semestinya Indonesia tidak menjadi negeri miskin dan pendidikan sebagai unsur penting kunci bagi perkembangan dan kemajuan bangsa, bisa gratis. Keprihatinan sosial dan manusiawi agaknya merupakan salah satu ciri dari Yoki. Dengan mengatakan bahwa dirinya sebagai seniman adalah "setengah aktivis" kulihat sebagai sikap Yoki terhadap hubungan sastra-seni dengan kehidupan . Sikap yang oleh May Swan, penulis Singapura-Indonesia disebut sebagai "against the wind". Sikap yang masih belum jamak di kalangan generasi Yoki yang lebih banyak asyik dengan diri sendiri, soal-soal ranjang , sampai-sampai ada yang bangga dengan sebutan penyair "kuda ranjang", sibuk mengeksploatasi hal-hal di sekitar selangkang sesuai arus globalisasi kapitalisme yang menjadi "uang sebagai raja", masalah pokok sastra kita dewasa ini, ujar sastrawan-sastrawan muda Yogyakarta dalam diskusi di Yayasan Umar Kayam, November 2007 lalu. Uang mengarahkan perkembangan sastra negeri kita. Menyimak karya-karya dan pendapat-pendapat Yoki , ia nampak bukan jenis penulis begini. Ia adalah penyair yang "menentang arus", "against the wind", tahu apa yang ia lakukan dan mau apa serta ke mana. Penampilannya yang mengingkatkan kita pada tokoh-tokoh silat dari Bukit Liang San atau tokoh-tokoh dalam "Water Margin", juga adalah penampilan sadar. "Ia memandang bahwa budaya etnik Tionghoa di negeri kita merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia sama dengan budaya etnik lainnya yang terdapat di negeri ini. "Akulah yang pertama dalam dunia puisi Indonesia kekinian yang sadar mengangkat unsur budaya Tionghoa", tegasnya bangga. Dengan sikap ini, nampak bahwa Yoki ingin menjadikan budaya lokal dan etnik sebagai sumber kreasi yang berkindonesiaan dan republiken. Hal ini ia perlihatkan dalam penggunaan lambang-lambang berlatarkan budaya etnik Tionghoa seperti yang bisa dibaca dalam antologi puisinya "Nacht Van De Lampionnen" [Malam Cahaya Lampion]" dan yang disebutnya "puisi tubuh" atau "gerak" yang juga ia peragakan pada jumpa 21 Januari 2008. "Puisi gerak/tubuh" berbentuk gerak-gerak yang mendekati tai chi chuan, tapi bukan tai chi. "Ini puisi gerak Tan Lioe Ie", ujarnya serius tanpa senyum. "Boleh juga", ujarku pada diri dengan senyum. Ini kreativitas dan pencarian tanpa dermaga dan pantai keempat seorang penyair. Komentarku pada diri sendiri sesuai konsep puisi dan pertunjukan. Aku sama sekali tidak melihat puisi dan pertunjukan Yoki mengeksploatasi seks dan soal-soal ranjang. Ia bicara soal-soal besar dan bahkan menggunakan konsep-konsep berlatar Budhisme. Usai melihat acara pertunjukan Yoki, etnolog Jerman yang lama tinggal di Bali, Dr. Alexander Loch menanyakan: Apakah bentuk pertunjukan Yoki bisa dikatakan bentuk pertunjukan kash Bali kontemporer? Tidak, jawab Yoki tegas. Ini adalah diriku sebagai seorang Indonesia yang mengekspolatasi khazanah budaya Tionghoa. Menimpali jawaban ini, kutanyakan "Mengapa Anda menggunakan gitar dan bukan er ho [semacam kecapi bersenar dua, khas Tiongkok, sedangkan di Viêt Nam ada dan bao, kecapi bersenar tunggal] . Di Kalsel untuk pertunjukan puisi yang disebut mamanda, orang menggunaka rebana dan di Perancis pembaca puisi bahkan menggunakan genta kecil sebagai pengiring dan orang Afrika menggunakan tamtam. Aku minta maaf kepada Yoki karena kukira pertanyaanku telah menyulitkan dia di depan publik. "Tak ada maksudku melukai Anda dengan pertanyaanku. Aku justru sangat sangat menghargai usaha Anda mengeksploatasi budaya lokal dan etnik yang orang lain abaikan di negeri kita, karena sibuk dengan dalih go international dan modernisasi yang diidentikkan dengan Barat", ujarku. Yoki menjawabku dengan kerdipan mata yang kubalas dengan acungan jempol dengan gaya nakal. Eksperimen Yoki kukira sangat esensial dalam usaha menjadi Indonesia republiken dan menjadi sastrawan Indonesia dalam artian seperti kukatakan di atas. Dengan eksperimen kreatif beginilah , Yoki telah pergi ke Afrika Selatan, dan berbagai negeri Eropa Barat. Kedatangannya di Paris, pun kukira mengkonsolidasi usaha "Pasar Malam" dalam mempromosi sastra Indonesia di Perancis. Seniman tipe Yoki yang sanggup "against the wind" jika menggunakan istilah May Swan, kukira jenis yang disukai Perancis. Kemajuan negeri dan bangsa pun barangkali memerlukan orang-orang yang tak ragu "against the wind" dan "gila" jika menggunakan istilah Pastur Amerika Latin, Don Camara. "Against the wind" adalah pemberontakan melawan konservatisme, ortodoksisme dan kemapanan serta statisme. Gerak adalah keabadian. Bukanlah seniman, yang tak berani "against the wind". Hahaha. Aku mengusikmu, Hasian sebagaimana aku mengusik Yoki malam ini. Mengapa terlalu serius dan tak mau ketawa sedangkan hidup kita seperti perjalanan matahari di batasi malam?**** Paris, Musim Dingin 2008

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler