Ditingkah lantunan musik alam yang begitu agung, semilir angin petang hari menghembuskan kesejukan penuh misteri, seorang anak manusia bergaunkan merah merekah, disaput hem berwarna lembut, semerbak wewangian bak dewi surga turun dari kahyangan, membuat Sastro Kaslan terperangah dan terpesona.
"selamat malam mas sastro....", sekulum senyum tersungging di bibir wanita yang tadi siang diperkenalkan sebagai mei hwa.
"...se..selamat malam juga mbak mei...", setengah terperanjat dari lamunan mas sastro membalas salam, "kok sendirian mbak?", lanjutnya
"kan sudah janjian kalau satu minggu ini aku yang apel mas sastro...", mei hwa menggoda.
"oh b...begitu ya mbak?", jawab mas sastro lugu.
"mas..., jangan panggil aku mbak dong, aku yakin ..kalau aku lebih muda dari mas..."
"ahh...itu hanya kebiasaan orang kita untuk menghormati siapa saja yang baru kenal..."
"yeah...anggap saja kita sudah kenal lama.."
"terus bagaimana aku harus memanggil ?"
"panggil saja dik mei, atau mei...tapi aku lebih suka dipanggil dik mei.."
Jantung mas sastro berdesir, seumur-umur baru kali ini, dia digoda wanita, meski dia sadar dirinya tergoda, namun dibiarkannya godaan itu, karena......
"mas ...kok melamun?, mikirin ceweknya ya?, cewek mas cantik ya mas?"
Mas sastro kembali tercenung heran, tadi siang mei hwa terlihat pendiam, beda keadaannya bila dibandingkan dengan sekarang, ceriwis, banyak tanya.
"Dik mei....siapa bilang mas sastro punya cewek?', mas sastro balik bertanya,"aneh juga rasanya memanggil mei hwa dengan dik, seperti....ah", katanya dalam hati.
Biarkan jeratan cinta tumbuh bermekaran...
dua insan menggubah rasa di dekapan senja....
biarkan benih cinta tertancap tanpa ucap....
dua insan menadah amor di awal masa.......
cinta bersemi disemai temaram hari....
datang kumbang menghisap sari....
kuharap cinta kan tumbuh alami.....
tak ada gulma maupun duri merintangi.....
"wah...cewek mas sastro pasti cantik ya?", mei hwa makin menggoda.
"ya pastilah...., ingin tahu orangnya?", spontan mas sastro menimpali
"dimana mas rumahnya?"
"lha dik mei rumahnya dimana, ya disitu rumahnya...", jawab mas sastro enteng.
Tak sadar sebuah tangan mungil mencubit pergelangan tangan mas sastro," ihh..." pekik mei hwa manja.
Mas sastro terperanjat, sebentar tenang, kemudian senyum-senyum sendiri. Sudah sekian lama mas sastro tidak merasakan kegembiraan seperti sekarang. Namun mas sastro berusaha mengendalikan perasaan, sedemikian hingga. Terngiang di telinganya wejangan kakek sekaligus guru sekaligus pula teman di kala susah, "Nak, di saat engkau menemukan kebahagiaan telitilah terlebih dahulu, apakah itu bersumber dari nafsumu atau nuranimu, kemudian olahlah kesemuannya itu menjadi netral tak berbekas, karena sejatinya dunia itu candu buatmu".
Berbekal jiwa yang kuat, mas sastro menatap pertemuan dengan Mei Hwa menjadi tawar, tak ada lagi bersit perasaan menggebu yang mendalam, dia datarkan keinginan, dia luruhkan gejolak nafsu berlebihan, di hatinya ada satu kekukuhan cinta, hanya kepadanyalah dia kembalikan segala kebutuhan, keinginan, melewati jenjang-jenjang kepasrahan.
"Kira-kira, apa saja yang akan dilakukan selama KKN disini Dik Mei?, kenapa kok tidak bersama-sama saja dengan Jelita?"
"tadi siang kan sudah disepakati, kalau aku kebagian apel satu minggu, baru satu minggu kemudian Jelita...gitu", adapun tujuannya ya jelaslah KKN...hehehe",
"Dikiranya pendiam, selain ceriwis suka bercanda juga ya?, maksudku apa saja yang perlu aku bantu selama disini?"
"aku boleh apel kesini tiap hari?"
"Mei itu aneh, mana ada tamu diusir, bagiku tamu itu membawa berkah..., ya jelas boleh.."
"terus aku mau diajari apa mas?"
Kepala Mas Sastro pusing tujuh keliling, bayangkan! seorang mahasiswi yang pendidikannya lebih tinggi minta diajari oleh orang yang sekolahnya di pinggir kali. Memang benar, dari kecil mas Sastro sudah mempunyai cita-cita setinggi langit, dia ingin menjadi presiden! meski dia sadar, bahwa orangtuanya yang hidup di bawah garis kemiskinan tak kan sanggup menyekolahkannya. Bukan tanpa sebab mas Sastro ingin menjadi presiden, justru karena menyadari jika orangtuanya tak mampu, dia ingin presiden, presiden yang sanggup mengubah keadaan, bukan presiden yang oportunis, apalagi presiden yang apatis.....
Sejak kematian bapaknya, mas Sastro menjadi tulang punggung keluarga, ibunya telah berpulang terlebih dahulu, manakala sedang mengandung adik bungsu, sungguh menyedihkan kejadian waktu itu, hanya karena berat diongkos ke rumah sakit, jangankan biaya selama di rumah sakit, ongkos menuju rumah sakitpun tak ada, bapaknya hanyalah buruh tani, yang hanya bisa makan dari hasil mengolah tanah pekarangan, bila musim hujan seperti ini tanah garapan tidak bisa diharapkan hasilnya, kalaupun panen lancar, tentunya para tuan tanahlah yang berjaya, sedangkan bapaknya mas sastro hanya memperoleh upah yang jauh dari kemungkinan untuk menyekolahkan mas sastro tinggi-tinggi. Selepas Sekolah Dasar Mas Sastro lebih banyak belajar secara otodidak, dia kunjungi perpustakaan-perpustakaan, sekedar tahu saja, mas sastro lulus dengan predikat bintang kelas!, jadi wajar jika mas Sastro haus akan ilmu pengetahuan, sepeninggal bapaknya, mas sastro diasuh oleh kakeknya, dari kakeknya mas sastro belajar banyak tentang kehidupan, sebagai guru informal, kakek mas sastro memposisikan bukan sebagai guru, tapi menganggap mas sastro sebagai teman, dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, mas sastropun bisa mengimbangi diskusi-diskusi yang dikembangkan oleh kakeknya.
Senja semakin menggelayut, malam menjelang....
"Dik mei tidak ingin pulang?, sebentar lagi hari makin petang lho.."
"sudah tidak kerasan ya mas, kalau aku berlama-lama disini.."
"bukan begitu...ini di desa dik, beda kalau di kota, perempuan pulang malam-malam begini sendirian lagi, terlihat kurang baik..."
"kan ada mas sastro...."
Aduh, benar-benar bikin pusing, keluh mas sastro dalam hati...
"kalau tidak mau mengantar, boleh aku menginap disini saja..."
"mana mau tidur di rumah yang tidak pintunya, tidak takut sama hewan liar ya?"
"kan ada mas sastro..."
pusing-pusing, baru kali ini mas sastro ketemu batunya, selama ini dia selalu menang jika berdebat dengan kakeknya, meski itu masih dalam taraf belajar, bagaimanapun kakeknya orang yang luar biasa di matanya.
"sudahlah, kali ini aku antarkan, mau membonceng sepeda butut?"
"bener nih?, mauu mauu...", mei hwa lunjak-lunjak kegirangan....
Bulan purnama menyembulkan tubuhnya, seakan ingin mengiringi benih cinta yang mulai tumbuh, di sela-sela malam. Rerindangan pohon-pohon menjadi saksi siluet, di kegelapan yang membingkai, waktu begitu cepat mempertemukan dua insan, yang tak pernah sesuka dan sebahagia ini. Burung-burung berkicau menyambut alunan simphoni menambah hangat malam yang semakin dingin ditiup angin tenggara yang tak mau menepi.
Diterpa cahya bulan purnama tubuh mei hwa semakin elok, perpaduan gaun, aura jiwa sumringah, malam ini dialah ratunya. Sebentar-sebentar mas Sastro menatap mei hwa, setengah tak percaya dihadapannya manusia apa bidadari dari kahyangan langit ke tujuh.
"ah....", keluh mas sastro,"benar kata kakek, wanita adalah penggoda paling sempurna, hati-hatilah terhadapnya....", gumam mas sastro perlahan.
"ada apa mas?", mei hwa penasaran
"ah..tidak ada apa-apa, maaf tidak saya sediakan hidangan...."
"tidak apa-apa mas, kan masih ada hari esok, dan esoknya lagi, kalau terus-terusan mas sastro memberi hidangan, nanti aku diusir kalau kesini....", mei hwa kembali mengeluarkan jurus maut.
"ayok....", mas sastro menawari mei hwa membonceng
Entah mengapa mei hwa merasa nyaman duduk di belakang punggung mas sastro, mungkin ada perasaan terlindungi, atau ada perasaan mengagumi pria yang tatapan pertama kali meruntuhkan isi hati. Padahal, di bangku kuliah sudah tidak terhitung lelaki yang berusaha mendekati, namun tak satupun yang bisa memikat bunga mei hwa yang sedang mekar. Hidup ini memang aneh, kata orang, wanita mudah didekati apabila kita punya materi, baik itu berupa uang maupun jabatan, atau kedua-duanya. Mei hwapun merasakan keanehan, mengapa tiba-tiba dia menaruh percaya kepada sosok yang baru dikenal. Selama ini, mei hwa selalu berhati-hati, maklum hidup di kota penuh kepalsuan, jangankan barang atau makanan, cintapun bisa palsu, demikian prinsip mei hwa.
"ah..", mei hwa berusaha menepis keraguan, lelaki yang sedang mengayuh sepeda ini adalah lelaki penuh tanggungjawab, terlihat dari kekarnya tubuh dan perilaku sopan, buktinya tak sedikitpun tubuhnya disentuh.
"ada apa dik?, tidak enak ya naik sepeda?"
"enak enak, asyik ya naik sepeda tidak capek?"
"mau gantian mengayuh?"
"mau"
"jangan-jangan, kalau jatuh tambah repot aku nanti"
"tidak apa-apa, kan ada mas sastro"
Semakin jauh kayuhan, semakin dingin malam, semakin hangat saja dua insan bercengkerama....
tanpa disadari mereka berdua, sepasang mata selalu mengikuti dan mengintai kemana dan sedang apa mereka.
(bersambung)
Komentar
Tulis komentar baru